|
|
|
|
Sangiran, Lahan Penelitian
OLEH TRUMAN SIMANJUNTAK
SEANDAINYA Von Koenigswald tahun 1934 tidak menginjakkan kakinya di
bumi Sangiran, situs manusia purba ini mungkin tidak akan setenar sekarang.
Mengapa? Karena sejak kunjungan itu, nama Sangiran muncul dalam ranah ilmu
pengetahuan sebagai situs penemuan alat batu.
Jauh sebelum Von Koenigwald, tahun 1893, Eugene Dubois, penemu fosil
manusia purba Trinil, sudah mendatangi Sangiran. Tetapi, kering dan
tandusnya wilayah, kurang berkesan baginya. Dokter muda yang minta
ditugaskan ke Hindia Belanda karena ingin menelusuri mata rantai yang putus
dari evolusi manusia (missing link), awalnya memilih Payakumbuh sebagai
lokasi penelitian, namun karena hanya menemukan fosil hewan, lalu
mengalihkannya ke Tulungagung dan Trinil. Di Desa Trinil yang terletak di
tepi Bengawan Solo, Dubois menemukan fosil tulang paha dan tengkorak
manusia purba yang disebut Pithecanthropus erectus, si manusia berjalan
tegak.
Von Koenigswald tertarik alat-alat yang serupa dengan di permukaan bersama
fosil-fosil hewan. Penemuan ini segera meluas berkat publikasinya pada
Bulettin Raffles Museum, Singapura, dengan sebutan the Sangiran flake industry.
Penemuan fosil rusa Axis lydekkeri yang dipandang sebagai fauna khas Trinil
meyakinkannya, bahwa alat-alat serpih dari bahan tufa kersikan, jasper, dan
kalsedon itu merupakan buatan manusia purba Homo erectus, pendapat yang
kemudian ditentang para peneliti lain.
Penemuan Koenigswald di Sangiran menjadi awal rangkaian temuan tak
berkesudahan. Dua tahun kemudian penduduk menemukan rahang bawah fosil
manusia purba di lapisan Pucangan Atas di Sangiran, menyusul fosil-fosil
lain pada tahun-tahun berikutnya. Kini penemuan telah mencapai sekitar 60
individu manusia purba, tersebar pada lahan luas menempati wilayah
Kabupaten Sragen di utara dan Kabupaten Karanganyar di selatan. Jumlah
keseluruhan telah melebihi 50 persen dari seluruh temuan fosil manusia purba
di dunia.
Sekadar diketahui, situs serupa hanya sekitar hitungan jari di dunia. Di
Asia terbatas di Cina, India, dan Indonesia. Di Eropa ditemukan di Jerman,
Perancis, Rusia, dan baru-baru ini di Inggris. Benua Afrika lebih menonjol
dengan kekunaan yang lebih tua, antara lain di Ethiopia, Kenya, dan Afrika
Selatan. Indonesia bukan hanya memiliki Sangiran, tetapi juga situs lain di
sepanjang aliran Bengawan Solo, seperti Sambungmacan, Trinil, Ngawi dan
Ngandong. Selebihnya dijumpai di Kedungbrubus, Patiayam, dan Perning.
Dilema Sangiran
Pada satu sisi, Sangiran telah bercerita banyak tentang kehidupan masa
purba Jawa. Tetapi, di sisi lain, meninggalkan lembaran cerita yang masih
terpendam dalam tanah. Sangiran memang lahan penelitian tidak berkesudahan.
Hampir 70 tahun sejak penemuannya, penelitian di situs ini seakan tiada
ujung. Sangiran, termasuk situs unik, di balik potensinya, situs ini
menawarkan penelitian dengan tingkat kesulitan tinggi.
Lihat wilayah amat luas, lapisan pengandung fosil, dan artefak yang
ketebalannya mencapai puluhan meter, kondisi yang amat menyulitkan untuk
memperoleh data lengkap penelitian. Belum lagi proses sedimentasi air
sungai yang membentuk lapisan, telah menghilangkan konteks asli tinggalan.
Kandungan pasir yang tinggi menjadikan situs amat rentan erosi dan longsor,
kejadian yang paling sering memunculkan fosil ke permukaan. Tidak
mengherankan jika hujan deras lebih berpotensi menampakkan fosil daripada
kegiatan ekskavasi, karena air hujan akan mengerosi seluruh permukaan situs
secara simultan dan menimbulkan kelongsoran pada tebing-tebing, sementara
ekskavasi hanya berkutat pada secuil lahan dengan kedalaman terbatas. Para
pemburu fosil amat memahami kondisi ini, sehingga di setiap hujan mereka
menelusuri tebing-tebing di areal perladangan, guna mencari fosil yang
tersingkap.
Agaknya ajaran Von Koenigswald tentang pengenalan fosil puluhan tahun lalu,
bertahan hingga generasi sekarang. Pengetahuan akan nilai ekonomisnya yang
tinggi mendorong mereka menjual fosil kepada kolektor ketimbang
menyerahkannya kepada pemerintah. Praktik semacam ini menjadi salah satu
kendala yang sulit diberantas dalam perlindungan benda cagar budaya
Sangiran.
Jutaan tahun
Berdasarkan bukti-bukti per tanggalan, manusia purba Homo erectus telah
mendiami Sangiran (Jawa) sejak awal Plestosen (sekitar 1,8 juta tahun)
hingga ratusan ribu tahun lalu (akhir Plestosen Tengah). Jika menurut teori
out of Africa, manusia purba Jawa ini berasal dari Afrika. Sejak 2,5 juta
tahun lalu mereka meninggalkan Afrika: sebagian ke Eropa dan ada pula yang
ke China dan Indonesia setelah melewati India. Mereka diperkirakan memasuki
Indonesia melalui jembatan darat yang terbentuk ketika air laut surut pada
periode glasial.
Amat mengesankan, mereka hidup turun-temurun selama jutaan tahun di
Sangiran. Ketersediaan berbagai sumber daya lingkungan (hewan, tumbuhan)
menjadi jawabnya. Asumsi ini tidak meragukan jika melihat keberadaan
fosil-fosil hewan yang tersebar pada lapisan-lapisan tanah Sangiran.
Manusia purba ini diperkirakan mendiami Sangiran setelah air laut surut
atau paling tidak saat Sangiran telah menjadi rawa dan sebagian daratan.
Fosil kura-kura, herbivora, gajah jenis stegedon, babi, dan monyet yang
ditemukan di lapisan Pucangan-terbentuk sekitar 1,7 juta tahun lalu-menjadi
bahan makanan pokok, selain biota rawa dan tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Lingkungan alam Sangiran kian mendukung kehidupan manusia purba manakala
seluruh wilayah depresi Solo telah menjadi daratan sejak 800.000 tahun
lalu. Berbagai jenis tanaman dan hewan diperkirakan tersedia saat itu,
terbukti dari penemuan-penemuan dalam lapisan Kabuh. Pada periode ini jenis
karnivora dan antilope cukup menonjol, selain hewan lain yang sudah ada
pada periode sebelumnya. Penangkapan hewan dilakukan lewat perburuan dengan
menggunakan peralatan kayu dan batu. Jika alat-alat batu masih bertahan
hingga kini, alat-alat kayu sudah sudah hancur termakan waktu.
Sebuah lembaran baru Sangiran terisi melalui penemuan-penemuan alat batu
dalam penelitian dasawarsa terakhir. Jika temuan Koenigswald dan lainnya
masih diragukan sebagai peralatan Homo erectus, temuan tim
Indonesia-Prancis di Ngebung dan Balai Arkeologi Yogyakarta-Pusat
Penelitian Arkeologi di Dayu dan Ngledok, telah menghapuskan keraguan itu.
Alat-alat serpih, kapak pembelah, kapak perimbas, bola batu, batu dipecah,
dan batu pukul bersama fosil-fosil hewan yang ditemukan dalam lapisan
Kabuh, di tepi endapan sungai purba di Ngebung dan alat-alat serpih dalam
lapisan grenzbank di Dayu menjelaskan peralatan itu milik Homo erectus yang
hidup sekitar 900.000-500.000 tahun lalu. Berkat penemuan ini terbukti,
manusia purba Sangiran, seperti manusia purba lain di dunia, telah
menggunakan alat-alat batu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Prospek pengembangan
Kekayaan tinggalan Sangiran telah mengantarnya menjadi situs terpenting
dalam penelusuran sejarah kemanusiaan dan peradaban. Perannya menjadi lebih
penting jika mengingat jarangnya situs sejenis di dunia. Kepentingan inilah
yang menjadi dasar pertimbangan UNESCO untuk mengesahkannya sebagai warisan
budaya dunia pada tahun 1996. Pengesahan ini membawa perubahan pada
kedudukan situs yang bukan hanya berlingkup pada kepentingan
lokal-nasional, tetapi juga berlingkup kepentingan dunia.
Konsekuensi lain dari situs dunia menuntut profesionalisme yang tinggi
dalam pengelolaan, sejajar dengan pengelolaan warisan budaya lain di dunia.
Pemerintah pusat agaknya perlu mendirikan semacam Pusat Pengembangan yang
secara integral menangani penelitian, pelestarian, pemasyarakatan, dan
pemanfaatan di situs ini. Lokasi institusi ini amat ideal di museum
sekarang dengan meluaskannya menjadi sebuah kompleks bertaraf
internasional. Selain perkantoran, dalam kompleks ini dibangun museum
modern, laboratorium lengkap, ruang konferensi, dan taman wisata.
Pembangunan kompleks pengelolaan terpadu ini mencerminkan kesungguhan kita
sebagai bangsa yang memiliki apresiasi besar terhadap Sangiran, dan
mengelolanya dengan baik untuk pengembangan ilmu dan kepentingan masyarakat
sekitar.*
Truman Simanjuntak, Ahli Peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi.
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Februari 2003
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar