MATERALISME
DIALEKTIS
Jika kita membahas metode Marxisme, maka kita sedang bergelut dengan
ide-ide yang memberikan basis bagi aktivitas-aktivitas kita dalam gerakan
buruh, argumen-argumen yang kita kemukakan ketika kita mengikuti berbagai
diskusi, dan artikel-artikel yang kita tulis.
Telah secara umum diterima bahwa Marxisme mengambil bentuknya dari
tiga akar pokok. Salah satu dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik
Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan
perjuangan-perjuangan kelas berikutnya selama awal abad ke-19. Akar lain dari
Marxisme adalah apa yang disebut 'ekonomi Inggris', yaitu analisis Marx tentang
sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme,
yang menurut sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah 'filsafat
Jerman', dan aspek filsafat inilah yang ingin saya bahas di sini.
Untuk memulainya, kita katakan bahwa basis Marxisme adalah
materialisme. Maksudnya, Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi
dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan sebaliknya.
Dengan kata lain, pikiran dan segala sesuatu yang dikatakan berasal
dari pikiran – misalnya ide-ide tentang seni, hukum, politik, moralitas, dan
sebagainya – hal-hal ini pada kenyataannya berasal dari dunia material. 'Akal',
yaitu pikiran dan proses berpikir, adalah sebuah produk dari otak; dan otak itu
sendiri, yang berarti juga ide-ide, muncul pada suatu tahap tertentu dari
perkembangan materi hidup. Jadi, akal adalah produk dari dunia material.
Oleh karena itu, untuk memahami sifat sesungguhnya dari kesadaran
dan masyarakat manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Marx sendiri, persoalannya
adalah "bukan berangkat dari apa yang dikatakan, dikhayalkan, atau
dibayangkan oleh manusia… agar sampai pada yang namanya manusia dengan bentuk
seperti sekarang; melainkan berangkat dari manusia riil (nyata) dan aktif, dan
berdasarkan basis proses-kehidupan riil manusia yang menunjukkan perkembangan
refleks-refleks dan gaungan-gaungan ideologis dari proses kehidupan ini.
Bayangan-bayangan yang terbentuk dalam otak manusia adalah juga
gambaran-gambaran dari proses-kehidupan material, yang secara empiris dapat
dibuktikan kebenarannya dan terikat pada premis-premis(dalil) material. Jadi, moralitas,
agama, metafisika, dan segala macam ideologi serta bentuk-bentuk kesadaran yang
berhubungan (serupa) dengan itu, tidaklah independent (bebas). Moralitas,
agama, metafisika, dan segala macam bentuk ideologi itu tidak memiliki sejarah,
tidak memiliki perkembangan; tetapi manusia, yang mengembangkan produksi
material dan hubungan material mereka, mengubah – seiring dengan eksistensi
riil mereka – pemikiran dan produk-produk pemikiran mereka. Kehidupan tidak
ditentukan oleh kesadaran, tetapi kesadaran ditentukan oleh kehidupan. Dalam
metode pendekatan pertama (non materialis), titik mulanya adalah kesadaran yang
dianggap sebagai individu hidup; dalam metode pendekatan kedua (materialis),
yang menyesuaikan diri (terhadap keadaanmaterial) adalah individu-individu
hidup riil itu sendiri, sedangkan kesadaran dianggap hanya sebagai kesadaran
mereka." (Ideologi Jerman, Bab Satu).
Karena itu, seorang materialis selalu berusaha mencari penjelasan bukan hanya tentang ide-ide, melainkan juga tentang gejala-gejala material itu sendiri, dalam hal sebab-sebab material, dan bukan campur tangan supranatural oleh Tuhan, Dewa, atau yang semacam itu. Dan ini adalah aspek yang sangat penting dari Marxisme, yang secara tegas menolak metode-metode pemikiran dan logika yang telah mapan dalam masyarakat kapitalis.
Perkembangan pemikiran ilmiah di negeri-negeri Eropa pada abad ke-17
dan 18 menunjukkan ciri-ciri yang sangat kontradiktif (bertentangan), yang
masih tetap khas (serupa) dengan pendekatan para teoritisi borjuis masa kini.
Di satu sisi, terdapat perkembangan ke arah metode materialis. Para ilmuwan
mencari sebab-sebab. Mereka tidak semata-mata menerima gejala-gejala alam
sebagai keajaiban Tuhan, melainkan mencari penjelasan atas gejala-gejala itu.
Namun seiring dengan itu, para ilmuwan ini tidak memiliki pemahaman materialis
yang konsisten dan menyeluruh; dan sering kali, di balik penjelasan-penjelasan
tentang gejala alam, ujung-ujungnya mereka masih mencari kaitannya dengan
campur tangan Tuhan dalam proses itu.
Pendekatan seperti itu berarti menerima, atau setidaknya membuka
kemungkinan, bahwa dunia material yang kita diami ini dibentuk oleh keuatan
dari luar dunia, dan bahwa kesadaran atau ide-ide muncul lebih dahulu, yaitu
dalam hal bahwa kesadaran atau ide-ide bisa eksis (ada) secara independent
(tidak terikat) pada dunia riil. Pendekatan ini, yang merupakan lawan filosofis
dari materialisme, kita sebut 'idealisme'.
Menurut pendekatan idealis ini, perkembangan umat manusia dan
masyarakat – baik seni, ilmu pengetahuan, dll. – ditentukan bukan oleh proses
material, melainkan oleh perkembangan ide-ide, oleh penyempurnaan atau
turun-temurunnya pemikiran manusia. Dan bukanlah kebetulan belaka bahwa
pendekatan umum ini, dinyatakan atau tidak, ternyata menyelubungi semua filsafat
kapitalisme. Para filsuf dan sejarawan borjuis secara umum menerima sistem yang
ada sekarang secara apa adanya. Mereka menerima bahwa kapitalisme adalah suatu
sistem yang telah lengkap dan tuntas, yang tidak bisa digantikandengan sebuah
sistem yang baru dan lebih maju. Dan mereka berusaha untuk menjelaskan semua
sejarah masa lalu sebagai usaha dari umat manusia yang belum maju untuk
mencapai semacam 'masyarakat yang sempurna', yang mereka yakin bahwa
kapitalisme telah mencapainya atau bisa mencapainya.
Jadi, jika mempelajari karya dari beberapa ilmuwan atau pemikir
besar borjuis di masa lalu atau bahkan sekarang, kita dapat melihat betapa
mereka cenderung untuk mencampur-adukkan ide-ide materialis dan ide-ide idealis
dalam pikiran mereka. Isaac Newton misalnya, yang telah meneliti hukum-hukum
mekanik, gerakan planet, dan benda-benda planet, tidak percaya bahwa
proses-proses ini ditentukan oleh akal atau pikiran. Namun apa yang dia percaya
ialah bahwa tenaga penggerak awal diberikan kepada semua materi, dan bahwa
dorongan awal ini ditentukan oleh semacam kekuatan supranatural, yaitu oleh
Tuhan.
Hal yang serupa, adalah mungkin bagi banyak ahli biologi saat ini
untuk menerima ide bahwa species tumbuhan dan hewan berevolusi dari satu jenis
menjadi jenis lainnya, dan bahwa manusia sendiri adalah hasil perkembangan dari
species terdahulu. Namun demikian, banyak di antara mereka yang terpaku pada
gagasan bahwa terdapat suatu perbedaan kualitatif antara akal manusia dengan
akal hewan, yaitu bahwa ada 'jiwa yang abadi' yang meninggalkan tubuh manusia
setelah kematiannya. Bahkan beberapa di antara ilmuwan yang paling termahsyur
juga mencampuradukkan metode materialis dengan ide-ide idealis seperti ini,
yang – kalau kita bicara secara ilmiah – ini sungguh-sungguh terbelakang, serta
lebih dekat kepada magic dan takhayul daripada kepada ilmu pengetahuan.
Karena itu, Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan
fundamental dengan idealisme dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme
mencerminkan suatu pemahaman materialis tentang apa yang tengah terjadi dalam
realitas (kenyataan).
DIALEKTIKA
Dialektika secara sederhana adalah logika gerak, atau logika
pemahaman umum dari para aktivis dalam gerakan. Kita semua tahu bahwa
benda-benda tidaklah diam; dan benda-benda itu berubah. Akan tetapi, ada suatu
bentuk logika lain yang bertentangan dengan dialektika, yang kita sebut 'logika
formal', yang sekali lagi juga melekat dalam masyarakat kapitalis. Barangkali
perlu untuk mulai menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan metode
ini.
Logika formal didasarkan pada apa yang dikenal sebagai 'hukum
identitas', yang menyatakan bahwa 'A' sama dengan 'A' – yaitu bahwa benda-benda
adalah seperti itu apa adanya, dan bahwa benda itu berposisi pada hubungan yang
tertentu (pasti) satu sama lain. Ada hukum-hukum turunan lain yang didasarkan
pada hukum identitas; yaitu misalnya, jika 'A' sama dengan 'A', maka 'A' tidak
mungkin sama dengan 'B' atau 'C'.
Secara sekilas, metode pemikiran ini nampak seperti pemahaman umum;
dan pada kenyataannya, logika formal telah menjadi alat yang sangat penting,
sarana yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan revolusi
industri, yang membentuk masyarakat sekarang ini. Perkembangan matematika dan
aritmatika dasar, misalnya, adalah didasarkan pada logika formal. Anda tidak
bisa mengajarkan tabel perkalian atau penjumlahan kepada seorang anak tanpa
menggunakan logika formal. Satu ditambah satu sama dengan dua, bukan tiga. Hal
yang sama, metode logika formal juga merupakan basis bagi perkembangan ilmu
mekanika, kimia, biologi, dll.
Sebagai contoh, pada abad ke-18 ahli biologi Skandinavia, Linnaeus,
mengembangkan sebuah sistem klasifikasi untuk semua tumbuhan dan hewan yang
dikenal. Linnaeus membagi semua benda hidup ke dalam kelas-kelas, ordO-ordo,
dan keluarga; misalnya dalam ordo primata, keluarga hominid, genus homo, dan
mewakili species homo sapiens.
Sistem klasifikasi merupakan sebuah langkah maju besar dalam
biologi. Untuk pertama kalinya, sistem ini memungkinkan dilakukannya studi mengenai
tumbuhan dan hewan yang betul-betul sistematis, untuk membandingkan dan
membedakan species hewan dan tumbuhan. Tetapi sistem ini didasarkan pada logika
formal. Sistem ini didasarkan pada pernyataan bahwa homo sapiens sama dengan
homo sapiens; bahwa musca domestica (lalat) sama dengan musca domestica; bahwa
cacing tanah sama dengan cacing tanah; dst. Dengan kata lain, sistem
klasifikasi ini adalah sistem yang kaku dan pasti. Menurut sistem ini, tidak
mungkin suatu species sama dengan species lain. Atau, jika bisa sama, berarti
sistem klasifikasi ini akan gugur.
Hal yang sama diterapkan dalam bidang kimia, dimana teori atom
Dalton merupakan langkah maju yang sangat besar. Teori Dalton didasarkan pada
ide bahwa materi tersusun atas atom-atom, dan bahwa masing-masing tipe atom
sama sekali khusus dan khas untuk tipe itu sendiri – bahwa bentuk dan berat
suatu atom adalah khusus untuk unsur tertentu itu, dan tidak sama dengan yang
lain.
Setelah Dalton, juga ada sebuah sistem klasifikasi unsur-unsur yang
hampir sama kaku-nya dengan sistem Dalton, yang kembali didasarkan pada logika
formal yang kaku, yang mengatakan bahwa sebuah atom hidrogen adalah sebuah atom
hidrogen; sebuah atom karbon adalah sebuah atom karbon; dsb. Dan jika sebuah
atom bisa menjadi atom lainnya, maka keseluruhan sistem klasifikasi ini, yang
telah membentuk basis bagi ilmu kimia modern, akan gugur.
Kini penting bagi kita untuk melihat bahwa terdapat
keterbatasan-keterbatasan dalam metode logika formal. Logika formal adalah
metode sehari-hari yang sangat bermanfaat, dan memungkinkan kita untuk
mempunyai perhitungan-perhitungan dalam mengidentifikasi benda-benda. Misalnya,
sistem klasifikasi Linnaean masih berguna bagi ahli-ahli biologi; tetapi,
terutama sejak munculnya karya Charles Darwin, kita juga jadi bisa melihat
kelemahan-kelemahan dalam sistem klasifikasi itu. Sebagai contoh, Darwin
menunjukkan bahwa dalam sistem Linnaean, tipe-tipe tumbuhan diberi nama-nama
tersendiri sebagai species khusus, namun sebenarnya tipe-tipe tumbuhan itu sangat
mirip satu sama lain.
Jadi, bahkan di masa Darwin, sudah mungkin untuk melihat sistem
klasifikasi Linnaean, dan mengatakan, 'Oh, ternyata ada yang salah'. Dan tentu
saja, karya Darwin sendiri memberikan basis yang sistematis untuk teori
evolusi, yang untuk pertama kalinya mengatakan adalah mungkin bagi satu species
untuk berubah (bertransformasi) menjadi species lainnya. Dan ini menunjukkan
adanya lobang besar dalam sistem Linnaean. Sebelum Darwin, orang menganggap
bahwa jumlah species di planet ini tepat sama dengan jumlah species yang
diciptakan oleh Tuhan dalam masa enam hari proses penciptaan – kecuali, tentu
saja, species-species yang musnah akibat Banjir Besar – dan bahwa
species-species itu tetap tidak berubah selama berjuta-juta tahun. Namun Darwin
menghasilkan ide perubahan species, sehingga tidak bisa dihindari lagi, metode
klasifikasi juga harus diubah.
Apa yang berlaku di bidang biologi juga berlaku di bidang kimia. Di
akhir abad ke-19, para pakar kimia menjadi sadar bahwa adalah mungkin bagi satu
unsur atom untuk berubah menjadi unsur lainnya. Dengan kata lain, atom tidaklah
mutlak bersifat khusus dan tertentu saja pada unsurnya sendiri. Kini kita
mengetahui bahwa banyak atom, banyak unsur kimia yang tidak stabil. Sebagai
contoh, uranium dan atom-atom radioaktif lainnya akan pecah dalam proses
perjalanan waktu, dan menghasilkan atom-atom yang sama sekali berbeda, dan
dengan kandungan serta berat kimia yang berbeda pula.
Jadi, kita bisa melihat bahwa metode logika formal mulai gugur
dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, metode
dialektika-lah yang menyebabkan bisa ditariknya kesimpulan-kesimpulan dari
penemuan-penemuan faktual ini, dan menunjukkan bahwa tidak ada kategori yang
mutlak atau pasti, baik di alam ataupun di masyarakat. Sementara seorang yang
mengatakan logika formal mengatakan 'A' sama dengan 'A', maka seorang yang
dialektis akan mengatakan bahwa 'A' belum tentu sama dengan 'A'. Atau ambillah
contoh praktis yang digunakan Trotsky dalam tulisan-tulisannya tentang hal ini:
satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya.
Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk
membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan
kelihatan bahwa takaran itu tidak tepat sama.
Jadi, kita perlu memiliki suatu bentuk pemahaman, suatu bentuk
logika, yang menjelaskan kenyataan bahwa benda-benda, kehidupan, dan
masyarakat, berada dalam keadaan pergerakan dan perubahan yang konstan. Dan
bentuk logika itu, tentu saja adalah: dialektika.
Akan tetapi, di sisi lain, adalah salah jika kita berpikir bahwa,
dialektika menyatakan bahwa proses di alam semesta adalah setara (genap) dan
perlahan (gradual). Hukum-hukum dialektika – dan perlu dicatat: konsep-konsep
ini kedengaran lebih rumit daripada kenyataan sesungguhnya – hukum-hukum
dialektika menjelaskan cara dimana proses-proses perubahan dalam realitas
terjadi.
KUANTITAS
MENJADI KUALITAS
Marilah kita mulai dengan hukum transformasi dari kuantitas menjadi
kualitas. Hukum ini menyatakan bahwa proses-proses perubahan – gerak di alam
semesta – tidaklah perlahan (gradual), dan juga tidak setara. Periode-periode
perubahan yang relatif gradual atau perubahan kecil selalu diselingi dengan
periode-periode perubahan yang sangat cepat – perubahan semacam ini tidak bisa
diukur dengan kuantitas, melainkan hanya bisa diukur dengan kualitas.
Sebagai contoh, kembali kita ambil dari ilmu alam, coba kita
bayangkan saat kita memanaskan air. Anda hanya bisa betul-betul mengukur
("melakukan kuantifikasi") dalam hal derajat temperatur/suhu, yaitu
perubahan ketika Anda menambahkan panas terhadap air itu. Katakanlah, dari 10
derajat Celcius (ini adalah temperatur normal air keran) menjadi sekitar 98
derajat Celcius, maka perubahan itu akan tetap kuantitatif, yaitu air akan
tetap berupa air, walaupun menjadi lebih panas. Tetapi kemudian akan sampai
suatu tahap dimana perubahan itu menjadi kualitatif, dan air pun berubah
menjadi uap. Anda tidak bisa lagi menjelaskan perubahan itu hanya secara
kuantitatif ketika air itu dipanaskan dari 98 derajat menjadi 102 derajat
Celcius. Kita harus mengatakan bahwa suatu perubahan kualitatif (air menjadi
uap) telah terjadi akibat akumulasi perubahan kuantitatif (menambahkan panas
terus-menerus).
Dan inilah yang dimaksud oleh Marx dan Engels ketika mereka
menyebutkan transformasi dari kuantitas menjadi kualitas. Hal yang sama dapat
dilihat pada perkembangan species. Jika kita melihat ke sekeliling, kita akan
mendapati tingkat varitas dari homo sapiens. Varitas itu dapat diukur secara
kuantitatif, misalnya tinggi badan, berat badan, warna kulit, panjang hidung,
dll. Namun jika perubahan-perubahan evolusioner bergerak maju sampai suatu
tahap, dibawah pengaruh perubahan-perubahan lingkungan, maka perubahan-perubahan
kuantitatif akan berakumulasi menjadi suatu perubahan kualitatif. Dengan kata
lain, Anda tidak akan lagi bisa menandai perubahan pada suatu species hewan
atau tumbuhan itu hanya dengan detail-detail (rincian) kuantitatif. Species
tersebut akan jadi berbeda secara kualitatif. Sebagai contoh, kita, sebagai
suatu species, secara kualitatif berbeda dengan simpanse atau gorila, dan
mereka ini pun secara kualitatif berbeda dengan species mamalia lainnya. Dan
perbedaan-perbedaan kualitatif itu, lompatan-lompatan evolusioner itu, terjadi
akibat perubahan-perubahan kuantitatif di masa lalu.
Ide Marxisme ialah bahwa akan selalu terdapat periode-periode
perubahan gradual yang diselingi dengan periode-periode perubahan tiba-tiba.
Dalam kehamilan, misalnya, ada suatu periode perkembangan yang gradual, dan
kemudian suatu periode perkembangan yang sangat mendadak di penghujung
kehamilan itu. Sangat sering kaum Marxis menggunakan analogi (perbandingan)
kehamilan untuk menggambarkan perkembangan perang dan revolusi. Hal tersebut
menunjukkan lompatan-lompatan kualitatif dalam perkembangan sosial; tetapi
perubahan itu muncul sebagai akibat akumulasi kontradiksi-kontradiksi
kuantitatif dalam masyarakat.
NEGASI
DARI NEGASI
Hukum kedua dari dialektika adalah 'hukum negasi dari negasi', dan
sekali lagi, ini kedengaran lebih rumit daripada yang sebenarnya. 'Negasi'
dalam hal ini secara sederhana berarti gugurnya sesuatu, kematian suatu benda
karena ia bertransformasi (berubah) menjadi benda yang lain. Sebagai contoh,
perkembangan masyarakat kelas dalam sejarah kemanusiaan menunjukkan negasi
(gugurnya) masyarakat sebelumnya yang tanpa-kelas. Dan di masa yang akan
datang, dengan adanya perkembangan komunisme, kita akan mendapati suatu
masyarakat tanpa-kelas yang lain, yang ini akan berarti negasi terhadap semua
masyarakat kelas yang ada sekarang.
Jadi, hukum negasi dari negasi secara sederhana menyatakan bahwa
seiring munculnya suatu sistem (menjadi ada/eksis), maka ia akan memaksa sistem
lainnya untuk sirna (mati). Tetapi, ini bukan berarti bahwa sistem yang kedua
ini bersifat permanen atau tak bisa berubah. Sistem yang kedua itu sendiri,
menjadi ter-negasi-kan akibat perkembangan-perkembangan lebih lanjut dan
proses-proses perubahandalam masyarakat. Karena masyarakat kelas telah menjadi
negasi dari masyarakat tanpa-kelas, maka masyarakat komunis akan menjadi negasi
dari masyarakat kelas – negasi dari negasi.
Konsep lainnya dari dialektika adalah hukum 'interpenetration of
opposites' (saling-menerobos dari hal-hal yang bertentangan). Hukum ini secara
cukup sederhana menyatakan bahwa proses-proses perubahan terjadi karena adanya
kontradiksi-kontradiksi – karena konflik-konflik yang terjadi di antara
elemen-elemen yang berbeda, yang melekat dalam semua proses alam maupun sosial.
Barangkali contoh paling tepat dari 'interpenetration of opposites'
dalam ilmu pengetahuan alam adalah 'teori quantum'. Teori ini didasarkan atas
konsep bahwa energi memiliki karakter ganda – yaitu untuk beberapa tujuan,
menurut beberapa eksperimen, energi eksis dalam bentuk gelombang, misalnya
gelombang elektro magnetik. Tetapi untuk tujuan-tujuan lain, energi mewujudkan
diri sebagai partikel. Dengan kata lain, sama sekali diterima di kalangan
ilmuwan bahwa materidan energi sebetulnya bisa eksis dalam dua bentuk yang
berbeda pada satu waktu yang sama – di satu sisi, sebagai sejenis gelombang
yang tak kelihatan, dan di sisi lain, sebagai sebuah partikel dengan 'quantum'
(jumlah) energi tertentu yang ada di dalamnya.
Karena itu, basis dari teori quantum dalam ilmu fisika modern adalah
kontradiksi. Namun ada banyak lagi kontradiksi yang dikenal dalam ilmu
pengetahuan. Energi elektromagnetik, misalnya, menjadi bergerak akibat dorongan
positif dan negatif atas satu sama lain. Magnetisme tergantung pada eksistensi
kutub utara dan kutub selatan. Hal-hal ini tidak bisa eksis secara terpisah
(sendiri-sendiri). Mereka eksis dan beroperasi justru akibat kekuatan-kekuatan
yang bertentangan, yang ada dalam sistem yang satu dan sama.
Hal yang serupa, setiap masyarakat saat ini terdiri atas
elemen-elemen berbeda yang bertentangan, yang bergabung bersama dalam satu
sistem, yang membuat mustahil bagi masyarakat apapun, di negeri manapun untuk
tetap stabil dan tak berubah. Metode dialektis – bertentangan dengan metode
logika formal – melatih kita untuk mengidentifikasi (mengenali)
kontradiksi-kontradiksi ini, dan dengan demikian berarti mempelajari secara
mendalam perubahan yang sedang terjadi.
Kaum Marxis tidak merasa malu untuk mengatakan bahwa terdapat
elemen-elemen yang bertentangan dalam setiap proses sosial. Sebaliknya, justru
dengan mengenali dan memahami kepentingan-kepentingan yang bertentangan, yang
terdapat dalam proses yang sama itu, maka kita akan mampu untuk mengarahkan
perubahan yang diinginkan, dan konsekuensinya juga berusaha untuk
mengidentifikasi maksud dan tujuan yang perlu dan mungkin dalam situasi seperti
itu untuk dirumuskan dari sudut pandang kelas-buruh.
Pada saat yang sama, Marxisme tidaklah mengabaikan logika formal
sama sekali. Akan tetapi, adalah penting untuk melihat – dari sudut pandang
pemahaman terhadap perkembangan-perkembangan sosial – bahwa logika formal
haruslah ditempatkan pada posisi kedua.
Kita semua menggunakan logika formal untuk keperluan sehari-hari.
Logika formal memberikan perhitungan-perhitungan yang berguna bagi kita untuk
komunikasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Kita tidak akan bisa
menjalani kehidupan normal tanpa berbasa-basi menggunakan logika formal, tanpa
menggunakan perhitungan bahwa satu sama dengan satu. Akan tetapi, di sisi lain,
kita harus melihat keterbatasan-keterbatasan logika formal –
keterbatasan-keterbatasan yang menjadi jelas dalam ilmu pengetahuan jika kita
mempelajari proses-proses secara mendalam dan mendetail, dan juga ketika kita
mempelajari proses-proses sosial dan politik dengan lebih teliti.
Dialektika sangat jarang diterima oleh para ilmuwan. Beberapa
ilmuwan dialektis, tetapi mayoritas, bahkan sampai saat ini, selalu
mencampur-adukkan pendekatan materialis dengan segala macam ide-ide formal dan
idealistik. Kalau seperti itu yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan alam,
maka di bidang ilmu pengetahuan sosial adalah jauh lebih parah. Penyebabnya
cukup jelas. Jika Anda mencoba meneliti masyarakat dan proses-proses sosial
dari sudut pandang ilmiah, maka Anda tidak bisa menghindari untuk sampai pada
kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kapitalis, dan kebutuhan untuk
transformasi sosial masyarakat.
Namun perguruan-perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusatstudi
dan penelitian, dibawah sistem kapitalis ini jauh dari independent terhadap
kelas yang berkuasa dan negara. Itulah sebabnya mengapa ilmu pengetahuan alam
masih memiliki suatu metode ilmiah yang cenderung kepada materialisme
dialektis; tetapi ketikasampai pada ilmu pengetahuan sosial, maka Anda akan mendapati
di sekolah tinggi dan politeknik, serta universitas-universitas, formalisme dan
idealisme yang paling parah. Hal ini bukannya tidak berhubungan dengan
kepentingan-kepentingan tertentu dari para profesor dan akademisi yang digaji
tinggi. Adalah jelas dan tak bisa dihindari bahwa posisi istimewa mereka di
mata masyarakat akan memiliki beberapa cerminan dan pengaruh pada apa yang
harus mereka ajarkan. Pandangan dan prasangka-prasangka subyektif mereka
sendiri akan disertakan dalam 'pengetahuan' yang mereka sampaikan kepada
mahasiswa mereka, dan begitu seterusnya sampai ke tingkat sekolah-sekolah.
Sejarawan borjuis, khususnya, adalah di antara ilmuwan-ilmuwan
sosial yang paling berpandangan sempit. Berapa banyak kita telah melihat
contoh-contoh sejarawan borjuis yang membayangkan bahwa sejarah berakhir
kemarin! Di sini, di Inggris, mereka semua nampaknya mengakui masa-masa
mengerikan sewaktu imperialisme Inggris abad ke-17, 18, sampai abad ke-19;
bahwa Inggris terlibat dalam lalu lintas perdagangan budak; bahwa Inggris juga
bertanggung jawab terhadap penaklukan rakyat di tanah-tanah jajahan yang paling
berdarah; bahwa Inggris juga harus bertanggung jawab terhadap eksploitasi
paling buruk terhadap buruh Inggris, termasuk wanita dan anak-anak di tambang-tambang
batu bara, di pabrik-pabrik pemintalan kapas, dst.
Mereka akan menerima kenyataan adanya kekejaman dan ketidakadilan
ini, tetapi hanya sampai kemarin. Namun jika kita bicara tentang masa sekarang,
tentu saja, mereka akan menganggap bahwa imperialisme Inggris tiba-tiba jadi
demokratis dan progressif.dan hal tersebut sepenuhnya cuma satu sisi saja, satu
cara pandang yang sepenuhnya berat sebelah dalam melihat sejarah, yang secara
diametris berlawanan dengan metode Marxisme. Marx dan Engels terbiasa untuk
memandang proses-proses sosial dari sudut pandang dialektis yang sama
sebagaimana mereka memandang alam - yaitu memandangnya dari sudut pandang
proses-proses itu sebenarnya terjadi.dalam berbagai diskusi dan debat kita
sehari-hari di dalam gerakan buruh, kita akan seringkali menjumpai orang-orang
yanf formalis. Bahkan banyak orang kiri akan memandang berbagai hal dalam cara
yang kaku dan formal, tanpa pemahaman akan arah yand di dalamnya hal-hal
tersebut tadi bergerak.
Sayap kanan di dalam gerakan buruh, dan juga beberapa orang di sayap
kiri, percaya bahwa teori Marxis adalah dogma, yakni, mereka percaya bahwa
"teori" itu selayaknya beban seberat 600 pound (1 pound = 2,2 kg) di
atas pundak seorang aktivis, dan semakin cepat si aktivis itu membuang beban tersebut,
maka ia akan bisa makin aktiv dan efektif jadinya.namun itu adalah konsepsi
yang sepenuhnya keliru mengenai keseluruhan sifat teori Marxis. pada kenyataan
yang sesungguhnya, Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme setepat-tepatnya
adalah metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses perubahan yang terjadi di
sekitar kita.
Tidak ada satupu hal yang ajeg, dan tiada pula sesuatupun yang tetap
tak berubah. adalah kaum formalis yang melihat masyarakat sebagai foto yang tak
bergerak, mereka dikuasai oleh situasi-situasi yang mereka hadapi sebab mereka
tidak mampu melihat bagaimana dan mengapa berbagai hal akan berubah. pendekatan
macam beginilah yang dapat dengan mudah menggiring orang pada penerimaan yang
dogmatis dari adanya berbagai hal sebagaimanan hal itu ada ataupun telah ada
sebagai benda yang ajeg, tanpa pemahaman tentang ketidakmungkinannya perubahan
untuk dielakkan.
Oleh karena itu teori Marxis adalah sepenuhnya merupakan sebuah alat
esensial bagi aktivitas apapun di dalam gerakan buruh. Kita mesti secara sadar
awas terhadap keuatan-kekuatan kontradiktif dalam kerja-kerja kita di dalam
perjuangan kelas, agar kita dapat mengorientasikan diri kita ke dalam cara yang
di dalamnya berbagai hal tengah berkembang.
Tentu saja, tidaklah senantiasa mudah untuk membebaskan diri kita
dari kerangka pikir yang masih mendominasi di dalam masyarakat kapitalis dan
menyerap metode Marxis. sebagaimana dikatakan Karl Marx, tidak ada jalan mulus
untuk menuju ilmu pengetahuan. Kadang kala kita harus menempuh jalan berliku
yang keras dalam usaha menggapai ide-ide politik yang baru.
Namun tetaplah diskusi dan mempelajari teori Marxis adalah sebuah
bagian yang sepenuhnya esensial bagi setiap aktivis. Hanyalah teori yang dapat
melengkapi kawan-kawan dengan kompas dan peta di tengah-tengah segala rupa
kompleksitas perjuangan. sungguh bagus untuk menjadi seorang aktivis, namun
tanpa pemahaman yang sadar mengenai proses-proses di mana kita terlibat di
dalamnya, kita tidak akan lebih efektif daripada seorang penjelajah tanpa peta
dan kompas.
Dan jika kita coba untuk menjelajah tanpa bantuan sains, kita dapat
menjadi seenergik yang kita mau tetapi cepat atau lambat akan terjerembab masuk
jurang dalam atau pasir hisap dan lalu hilang begitu saja, sebagaimana hal itu
terjadi pada banyak aktivis selama tahun-tahun yang sudah berlalu tanpa
keberhasilan.
Ide memiliki kompas dan peta adalah untuk memastikan posisi kita
setepatnya. kita dapat menerka di mana kita berada pada satu saat tertentu, ke
mana kita akan melangkah, dan di mana kita akan beradaa. dan itulah alasan
fundamental mengapa kita perlu menggenggam teori Marxis. sebab ia membekali
kita dengan sebuah panduan yang sama sekali tak ternilai harganya dalam
menuntun aksi dan tindakan seajauh mana perhatian kita adalah untuk gerakan
kelas buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar