MENATAP MASA DEPAN PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Seorang pakar pendidikan islam Khursyid Ahmad, berujar bahwa : melalui
pendidikan manusia ditanami dan dengannya masa depan dibangun.
Pendidikan islam di Indonesia dapat didefinisikan
sebagai upaya memberikan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran
Islam kepada masyarakat masyarakat Islam di Indonesia yang dilakukan oleh
berbagai Lembaga pendidikan mulai dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi atau Universitas.[1]
Dalam pelaksanaan fungsinya, yaitu mensosialisasikan
ajaran Islam, pendidikan islam selalu dihadapkan kepada berbagai tantangan.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam
di Indonesia yang telah berlangsung selama lebih kurang empat belas abad telah
mengajarkan kepada kita tentang adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
terus bertahan dan berkembang hingga saat ini dan ada pula lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang di masa lalu mencatat kemajuan dan kejayaan namun pada
perkembangan selanjutnya di masa sekarang sudah tidak terdengar lagi dan
ditinggalkan masyarakat.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya keadaan lembaga
pendidikan Islam yang demikian itu terletak pada sejauh mana lembaga-lembaga
pendidikan islam tersebut dapat mengatasi tantangan pada masanya dan merebaknya
menjadi peluang.
Pemahaman yang komprehensif dan tuntas terhadap tantangan pendidikan islam yang terjadi di Indonesia, baik pada masa islam pertama kali datang ke Indonesia masa penjajahan Belanda, masa orde lama dan orde baru serta masa era informasi dan reformasi adalah penting dilakukan baik oleh praktisi perancang maupun pemikir bidang pendidikan. Alasan utamanya adalah karena sebuah konsep pendidikan harus dirumuskan, dirancang dan didesain sesuai dengan tantangan dan keadaan di mana pendidikan Islam itu dilaksanakan.
Pendidikan adalah kegiatan yang bersifat sosial
kemasyarakatan. Keadaannya selalu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan corak,
sifat dan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tersebut[2],
seluruh atas dasar ini, disepakati oleh akte pendidikan bahwa sistem serta
tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat
atau negara tidak dapat diimpor atau di ekspor dari atau ke suatu negara
atau masyarakat. Ia harus timbul dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah
pakaian yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran
pemakainya berdasarkan identitas, pandangan hidup serta nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.[3]
B. Pembahasan
Sekurang-sekurangnya
terdapat dua hal yang relevan untuk dibahas dalam makalah ini.
Pertama :
sikap dalam menghadapi tantangan pada umumnya, kedua : tantangan yang dihadapi
pendidikan islam di Indonesia dan upaya-upaya mengatasinya.
- Sikap islam dalam menghadapi tantangan pada umumnya dan pengaruhnya terhadap pendidikan.
Dari sejak
kelahirannya, empat belas abad yang lalu, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW selalu terlibat dalam memecahkan berbagai tantangan dan merebaknya menjadi
peluang. Upaya ini dilakukan atas dasar alasan sebagai berikut :
Pertama :
Islam mengajarkan bahwa di dalam setiap tantangan (kesulitan) terdapat
kemudahan (peluang), Q.S Alam Nasyrah, 94 ayat 6, 7, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu
urusan ) kerjakanlah dengan sesungguh-sungguhnya (urusan) yang lain. Orang-orang
yang sering menghadapi tantangan dan merabahnya menjadi peluang itulah orang
yang memperoleh keberuntungan berupa pengalaman ilmu dan keberkahan.
Kedua, Islam
mengajarkan tentang perlunya sikap berbaik sangkat (positif thingking) terhadap
segala sesuatu yang menimpa dirinya, sesuatu perbuatan yang tampaknya berat dan
menyakitkan, harus diyakini bahwa di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan bagi
orang yang menghadapinya dengan jiwa yang positif. Karena tidak mungkin Allah
Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menyesengsarakan makhluknya. Atas dasar inilah maka tantangan
yang kelihatannya berat dan menyakitkan, jika disikapi secara positif ia akan
memberikan kebaikan bagi dirinya.
Ketiga,
Islam mengajarkan kepada penganutnya agar menjelajahi bumi (rihlah ilmiati)
dalam upaya belajar dan mengambil hikmah dari perjalan umat atau peristiwa di
masa lalu. Islam mengajarkan kepada ummatnya agar memperhatikan pengalaman
orang-orang masa lalu sebagai tercatat dalam sejarah. Sejarah adalah cermin
masa lalu untuk dijadikan pedoman bagi masa kini dan mendatang. Dari sejarah
orang dapat mengambil ibarat dan memperoleh keteladanan, dan mengenal siapa
dirinya. Lebih dari itu, bagi kaum Muslimin, sejarah dapat menjadi alat untuk
memahami secara lebih tepat sumber-sumber Islam, khususnya al-Qur'an dan Hadis.[4]
Dan dengan mempelajari sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Islam dapat
diketahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran, terang benderang dan gelap
gulitanya pendidikan Islam.
Keempat, bahwa kata Islam yang berasal
dari bahasa Arab, aslama tidak hanya berarti kedamaian, keselamatan, dan
berserah diri kepada Allah, tetapi juga berarti berbuat kebajikan.[5]
Dengan pengertian ini, maka keberadaan Islam harus dapat dirasakan manfaatnya
oleh seluruh ummat manusia sebagai sebuah rahmat yang memberikan pemecahan
terhadap permasalahan yang dihadapi.
Kelima, Nabi Muhammad SAW selaku pembawa ajaran Islam telah dinyatakan
sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, dengan strategi utama diletakkan pada
perbaikan akhlak masyarakat menjadi akhlak yang mulia.
Berdasarkan pada lima alasan tersebut di atas, maka sejak awal kelahirannya
Islam telah terlibat ke dalam pemecahan terhadap berbagai tantangan melalui
kegiatan pendidikan. Tantangan tersebut demikian berat, kompleks dan multi
dimensional. Muhammad bin Abdullah diutus Allah sebagai Nabi dan Rasul tepat
dalam keadan dunia laksana suatu bangunan yang sedang digoncang hebat sekali
oleh gempa, sehingga semua isinya berantakan tidak berada di tempat semestinya.
Ada sebagian dari tiang-tiang dan perkakasnya yang rusak dan hancur, ada yang
miring dan bengkok, ada yang bergeser dari tempatnya semula pindah ke tempat
lain yang tidak pantas, ada juga yang bertumpang tindih saling bertumpuk.10
Suasana kehidupan keagamaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan
lain sebagainya yang dihadapi Nabi Muhammad pada waktu itu berada dalam keadaan
chaos. Kehidupan keagamaan manusia terjerumus ke dalam perbuatan syirik,
bid'ah, khurafat dan takhayyul yang berakibat pada penurunan martabat manusia,
dan penjajahan manusia atas manusia lain. Kehidupan politik berada dalam
kekuasaan pemerintah dan raja-raja yang diktator, otoriter, absolut dan dzalim.
Keadaan ekonomi berada dalam suasana menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan, monopoli, penipuan, kapitalistik dan perbuatan licik lainnya yang
berakibat pada terjadinya kesenjangan antara kaum yang kaya dengan kaum yang
miskin. Sedangkan keadaan sosial ditandai oleh kehidupan yang didasarkan pada
diskriminasi warna kulit, suku, agama, jenis kelamin dan sebagainya.
Selanjutnya dalam bidang kebudayaan suasananya ditandai oleh kebudayaan yang
bercorak hedonistik, materialistik dan memuja hawa nafsu. Dan dalam bidang
pendidikan ditandai oleh tidak adanya pemerataafTnak-dair kesempatan dalam
memperoleh pendidikan.
Agenda utama perjuangan Nabi Muhammad SAW adalah beru-paya mengatasi
tantangan yang terkait dengan bidang keagamaan, politik, ekonomi, sosial,
budaya dan pendidikan tersebut. Itulah sebabnya kita melihat adanya ayat-ayat
al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad yang berisikan respon terhadap berbagai
masalah tersebut di atas. Dengan kata lain, kehadiran pendidikan Islam dari
sejak awal berada dalam ruang yang penuh tantangan.
Melalui kegiatan pendidikan Islam berupaya memilah dan memilih warisan masa
lalu yang masih relevan, sambil menambahkan dan menciptakan hal-hal yang baru
sesuai dengan tuntutan zaman. Kota Mekkah dan Madinah tempat dimana buat
pertama kali Islam berkembang adalah kota yang banyak mengandung tantangan dan
masalah.
Tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad di Mekkah antara lain berkaitan
dengan sikap keagamaan yang musyrik, sikap politik yang diktator, otoriter,
absolut dan dzalim, sikap ekonomi yang materialistik. Kota Mekkah yang oleh
para pedagang Hijaz dijadikan pusat perdagangan mereka telah mendorong
orang-orang Mekkah menjadikan materi sebagai satu-satunya ukuran hidup dan
status sosial. Jalan-jalan yang menghubungkan kota itu diletakkan di bawah
pengawasan mereka. Demikian halnya sebelum datangnya Islam, sedang hebat-hebatnya
peperangan antara Persi dan Romawi, pedagang-pedagang Mekkah telah mencapai
kemajuan yang sangat pesat di bidang perdagangan.
Posisi Mekkah sebagai kota
perdagangan ini telah menyulut polemik mendalam antara William Montgomery Watt dengan
Patricia Crone12 yang berkisar pada teori kemunculan dan kebangkitan Islam
dalam hubungannya dengan posisi Mekkah sebagai kota perdagangan sebagai faktor
utamanya. Menurut Watt, bahwa perdagangan Mekkah merupakan faktor yang sangat
penting dan dominan dalam kemunculan dan kebangkitan Islam. Sedangan Patricia
Crone menolak teori tersebut, dengan mengatakan bahwa perdagangan Mekkah bukan
merupakan faktor penting untuk menjelaskan secara meyakinkan kemunculan dan
kebangkitan Islam di Arabia. Menurutnya, perdagangan Mekkah, kalaupun ada itu
hanya bersifat lokal dan sedikitpun tak ada yang istimewa. Menurut Cron, bahwa
tidaklah diragukan bahwa terdapat rasa persatuan dan kesatuan yang kuat dalam
tatanan kultur dan struktur kehidupan masyarakat di Arabia yang didasarkan pada
ikatan etnis dan kultural, bukan pada ikatan ekonomis.13 Namun terlepas dari
polemik tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa Mekkah adalah kota
perdagangan. Sedangkan hubungannya dengan teori kebangkitan Islam di Saudi
Arabia itu soal lain. Yang pasti keadaan tersebut telah memberikan tantangan
kepada Nabi Muhammad dan sekaligus mencarikan cara pemecahannya secara tepat.
Adanya orang Quraisy dalam hubungannya dengan perdagangan di Mekkah juga dapat
ditambahkan di sini. Dalam Kamus Lisan al-Arab misalnya dikatakan bahwa suku
ini dinamai suku Quraisy, karena mereka berpencaharian dagang, bukan dari
pengusaha peternakan atau bercocok tanam. Quraisy dari perkataan Qarasya yang
berarti mengumpulkan[6].
Selanjutnya,
tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW ketika terdapat di Madinah berbeda
dengan tantangan yang berada di Makkah. Di Madinah Nabi Muhammad menghadapi
suku bangsa, agama, warna kulit, dan kebudayaan yang beraneka ragama sebagai
warisan masa lalu.
Namun
demikian di balik tantangan-tantangan tersebut, Nabi Muhammad juga menjumpai
potensi dasar yang dimiliki bangsa Arab tersebut, antara lain kecakapan mereka
dalam menghafal sya'ir, keberanian dalam berperang, solidaritas kelompok,
kepandaian mereka dalam berniaga, serta kebiasaan mereka untuk melakukan
perjalanan jauh.
Tantangan
yang dihadapi Nabi Muhammad ketika di Mekkah menyebabkan Nabi Muhammad
melakukan pembinaan keimanan, ketakwaan dan akhlak terlebih dahulu, serta
mengambil langkah mundur sementara sambil menghimpun kekuatan melalui hijrah ke
Madinah. Sedangkan tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad di Madinah, diatasi
dengan cara terlebih dahulu mempersatukan segenap potensj/melalui apa yang
dikenal sebagai Perjanjian Madinah.
Selanjutnya
ketika Islam meluas ke berbagai wilayah di luar Jazirah Arabia, ummat Islam di
samping menghadapi tantangan tentang perlunya sumber daya manusia yang akan
bertugas membangun wilayah tersebut, ummat Islam juga memanfaatkan berbagai
warisan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya yang telah ditinggalkan bangsa
sebelumnya di daearah tersebut. Daerah Syam misalnya, sebelum dikuasai oleh
Islam, telah menjadi daerah pengaruh Romawi baik politik maupun budaya,
kebanyakan penduduknya beragama Nasrani. Sewaktu daerah ini masuk ke
pemerintahan Islam telah banyak mewarisi kebudayaan bangsa-bangsa yang pernah
menguasainya. Demikian pula Mesir, pernah menjadi pusat kebudayaan purba dan
pewaris kebudayaan Mesir, Yunani dan Romawi. Kota Iskandariah merupakan tempat
pertemuan aliran-aliran filsafat dengan faham keagamaan, dan sebagai tempat
pertemuan pendapat yang datang dari Timur dan Barat. Waktu itu Mesir selain
didiami oleh penduduk aslinya juga oleh orang Yahudi dan Romawi. Contoh
berikutnya Irak. Daerah ini adalah yang tertua dalam budaya dan kemakmuran,
sejak 30 abad sebelum Isa telah banyak bangsa-bangsa yang berbudaya datang ke
negeri ini: Babilon, Asyuria, Kaldan, Persi dan Kemudian Yunani. Bangsa-bangsa
tersebut di atas mendirikan kerajaan di Irak yang mempunyai corak
sendiri-sendiri, dan kebudayaan mereka bagaikan menara yang menerangi
daerah-daerah sekelilingnya.
Warisan
budaya yang ditinggalkan daerah-daerah tersebut telah dilihat, dianalisa dan
dikaji oleh ummat Islam sesuai dengan anjuran al-Qur'an dan Hadis sebagaimana
telah disinggung di atas. Warisan kebudayaan Yunani dalam bidang Ilmu
pengetahuan dan filsafat, Cina dalam bidang alat-alat tulis, Romawi dalam
bidang militer, Persia dalam bidang peralatan rumah tangga, India dalam bidang
obat-obatan dan sebagainya telah dikaji secara dialektis berdasarkan semangat
al-Qur-'an, yang kemudian menghasilkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, kebudayaan dan
peradaban yang tinggi. Di kalangan ummat Islam telah lahir bukan saja sarjana
yang menguasai ilmu agama seperti tafsir, hadis, fiqih, ilmu kalam, filsafat,
dan tasawuf, melainkan juga para sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan umum
seperti kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi
dan lain-lain.18 Kemajuan yang dicapai dunia Islam ini pada gilirannya telah
memberikan pengaruh bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa sarjana Eropa dan
Barat yang jujur banyak memberikan pernyataan yang tulus bahwa kemajuan Eropa
dan Barat adalah berkat kemajuan yang dicapai oleh dunia Islam. Berbagai
kemajuan yang dicapai dunia Islam sebagaimana tersebut di atas dilakukan
melalui kegiatan pendidikan yang disesuaikan dengan tantangan di mana
pendidikan itu diselenggarakan. Pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa
itu haru ditujukan untuk menjawab tantangan kebutuhan masyarakat terhadap
ajaran Islam, tenaga penyiar Islam, tenaga pelaksana (pegawai) pemerintahan,
dan menyalur berbagai aliran keagamaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Pada
masa awal pendidikan Islam telah memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
pemahaman al-Qur'an, keterampilan membaca dan menulis. Untuk memenuhi kebutuhan
ini, maka dilaksanakan pendidikan di masjid dan kuttab. Pada perkembangan
selanjutnya pendidikan Islam telah pula memenuhi kebutuhan masyarakat akan ilmu
agama yang bermacam-macam serta ilmu pengetahuan umum. Sebagai misal, Dar
al-Hikmah lebih merujuk kepada pola pendidikan failasuf dan pengikut syi'ah,
al-Zawiyah dan al-Ribat adalah khas sufi, sedangkan madrasah, pada awalnya
merupakan lembaga pendidikan yang didukung ulama fiqih dan hadis.[7]
Khusus tentang madrasah Nidzamiah didirikan untuk menjawab tiga tantangan
yaitu, Pertama, untuk berfungsi sebagai tempat menyebarkan pemikiran Sunni
untuk menghadapi tantangan pemikiran syi'ah. Kedua, untuk menyediakan guru-guru
Suni yang cakap untuk mengajarkan mazhab sunni dan menyebarkannya ke
tempat-tempat yang lain, dan ketiga untuk membentuk kelompok pekerja sunni
untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya,
khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
Perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan, khususnya madrasah juga muncul untuk menjawab
tantangan kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, banyak ilmu yang tidak bisa lagi sepenuhnya
diajarkan di masjid. Dalam kaitan ini Ahmad Syalabi menyatakan bahwa ilmu
berkembang dengan berkembangnya zaman. Pengetahuanpun lebih maju lagi yang pada
gilirannya membutuhkan tempat untuk mengajarkannya secara lebih khusus berupa
madrasah. Berdirinya madrasah juga dapat dikatakan sebagai konsekwensi logis
dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah
tempat ibadah. Untuk tidak mengganggu ketenteraman dalam beribadah di masjid,
maka kegiatan pendidikan dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah.
Selain,
masjid, suffah, zawiyah, kuttab dan madrasah terdapat pula lembaga pendidikan
yang bernama Manazil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Muntadiyat, al-Hawanit,
Halaqat al-Dzikr, Maristan (tempat penyembuhan dan pengobajan pada zaman
keemasan Islam), al-Qushr (istana), dan al-maktabat (perpustakaan). Munculnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang beraneka ragam ini adalah karena
perbedaan tantangan yang dihadapi pada masa itu. Namun yang paling menonjol
adalah tantangan dalam bidang politik dan pemikiran. Pendidikan Islam dalam
perjalanannya, sangat dipengaruhi oleh dua arus pergumulan, yaitu bidang
politik dan pemikiran yang saling berkaitan. Terutama sejak awal abad ke-3
Hijrah terdapat pertentangan antar pemikiran dalam Islam semakin tajam.[8]
Demikian
pula perkembangan pendidikan Islam pada abad pertengahan, khususnya dalam
bidang kurikulum dan metodologi pengajarannya amat dipengaruhi oleh zaman
tersebut. Sejarah mencatat, bahwa pada abad pertengahan keadaan ummat Islam
amat memperhatikan segi pengetahuan agama, dan taklid. Hal ini menyebabkan
kurikulum pendidikan Islam di abad pertengahan diisi oleh ilmu agama saja
dengan metode hafalan yang cenderung membuat siswa pasif dan menerima apa
adanya.
Dari
uraian tersebut di atas, tampak jelas bahwa munculnya berbagai lembaga
pendidikan berikut komponen yang ada di dalamnya seperti tujuan, kurikulum,
proses belajar mengajarnya, manajemen pengelolaan, pendanaan dan lain
sebagainya adalah merupakan jawaban terhadap berbagai tantangan yang dihadapi
pada masanya. Dengan demikian, lembaga pendidikan adalah merupakan anak suatu
zaman. Uraian tersebut di atas, juga mem peri ihatkan bahwa dari sejak
kelahirannya, ajaran Islam amat erat hubungannya dengan pendidikan. Hubungan tersebut
nampak bersifat simbiotik. Yaitu dari satu segi lembaga-lembaga pendidikan
Islam muncul sebagai jawaban atas tantangan_tentang perlunya menyebarkan ajaran
Islam kepada masyarakat yang beraneka ragam, dan dari sisi lain perkembangan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada gilirannya amat mempengaruhi
corak pendidikan. Dan dalam sisi yang kedua inilah, corak pendidikan di suatu
daerah dengan daerah lain amat berbeda-beda.
2.
Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Indonesia
Dinamika,
corak, sifat dan kecenderungan pendidikan Islam di Indonesia yang sudah
berlangsung sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga kini menunjukan keadaan
yang amat bervariatif. Hal yang demikian terjadi karena tantangan dan peluang
yang dihadapi pendidikan Islam tersebut mengalami perbedaan antara satu masa
dengan masa yang lain.
Tantangan dan peluang pendidikan Islam pada masa awal kedatangan Islam,
berkisar antara lain pada upaya menghadapi kuatnya pengaruh agama Hindu yang
datang sebelumnya ke Indonesia, agama lokal (animisme, dinamisme dan
politisme), raja-raja Hindu, serta corak ajaran Islam yang tradisional.
Tantangan yang demikian itu menyebabkan para muballigh/pendidik melakukan
peng-Islaman secara bertahap dan menempuh jalan damai, khususnya dalam
menglslamkan masyarakat wilayah Indonesia bagian pedalaman. Berbagai saluran
untuk menglslamkan masyarakat seperti perdagangan, perkawinan, tasawuf,
pendidikan, kesenian dan politik digunakan. Melalui saluran politik misalnya,
umat Islam berhasil menumbangkan kerajaan-kerajaan Hindu dan menggantikannya
dengan kerajaan-kerajaan Iskam, seperti Kerajaan Samudera Pasai (abad ke-13 M),
Kerajaan Islam Aceh Darussalam (abad ke-15 M.), Kerajaan Islam Demak (abad
ke-16 M.), Kerajaan Islam Pajang (sebagai pelanjut kerajaan Demak), Kerajaan
Islam Mataram (abad ke-16 M), Kerajaan Islam Cirebon (abad ke-16 M.) Kesultanan
Banten (abad ke-16 M.) dan Kerajaan Islam Banjar di Kalimantan Selatan (abad
ke-16 M.).
Selanjutnya
untuk menghadapi tantangan sisa-sisa faham agama Hindu dan faham agama lokal,
pendidikan Islam buat sementara waktu terpaksa bersikap akomodatif dan
bertahap. Akibat dari pendekatan yang demikian itu, maka corak ajaran Islam
yang ada di Indonesia pada waktu itu menampilkan corak Islam santri, abangan
dan priyayi, walaupun secara konseptual tidak selalu sahih untuk menjelaskan
kehidupan agama dan budaya masyarakat Jawa.[9]
Adapun
untuk menghadapi tantangan corak ajaran Islam yang tradisional dan kehilangan
vitalitasnya, pendidikan Islam tampaknya tidak merasakannya sebagai beban.
Karena dunia Islam pada waktu itu berada dalam suasana taklid yakni mengikuti
saja apa yang dikemukakan para ulama terdahulu. Selain itu Islam yang diajarkan
bercorak fiqih dan tasawuf-pun tampaknya tidak menjadi kendala, karena
masyarakat di Indonesia pada waktu itu masih bercorak agraris dan belum
tersentuh pengaruh modernisasi. [10]
Dalam keadaan demikian itulah maka pelaksanaan
pendidikan Islam dalam berbagai aspeknya dilakukan secara tradisional. Tujuan
pendidikan Islam pada waktu itu hanya diarahkan pada upaya menghasilkan ulama
ahli agama Islam; metode pengajaran bersifat hafalan dan berpusat pada perintah
guru; manajemen pengelolaannya bersifat kekeluargaan; kurikulumnya bermuatan
mata pelajaran agama; buku-buku yang digunakan karangan ulama lokal, dan
lembaga-lembaga pendidikan yang digunakanpun masih sederhana seperti mesjid,
langgar, tajug, surau, meunasah, rangkang dan rumah guru ngaji.
Selanjutnya
tantangan pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda muncul sebagai akibat
dari kebijakan pemerintah Belanda yang menerapkan pendidikan yang bersifat
diskriminatif yang didasarkan pada ras dan agama, dikhotomis, sekularistis dan
menciptakan mental budak.
Diskriminasi
pendidikan Belanda itu terlihat jelas pada klasifikasi sekolah-sekolah yang
didirikannya. Pada tingkat dasar pemerintah Belanda membuka sekolah yang
dibedakan menurut ras dan keturunan, seperti sekolah untuk orang Eropa (Europeesce Legere School), untuk orang
keturunan Cina dan Asia Timur (Hollandsc
Chinese School), untuk orang-orang Bumiputera dari kalangan ningrat (Hollandsch Inlandsche School), dan
sekolah untuk orang pribumi pada umumnya (Inlandsche School).[11]
Diskriminasi
Selanjutnya terlihat pada perbedaan mutu pendidikan yang diberikan kepada orang
pribumi pada umumnya. Ki Hajar Dewantara misalnya mengatakan bahwa pengajaran
pada zaman itu tidak dapat memberikan kepuasan pada rakyat kita. Pengajaran
Gubernemen yang seolah-olah dijadikan contoh dan umumnya dianggap sebagai usaha
untuk menjunjung derajat kita, ternyata tidak dapat memberikan kehidupan pada
kita. Pada saat itu nasib kita semata-mata hanya untuk memberi manfaat kepada
bangsa lain.[12]
Penyelenggaraan
pendidikan yang diskriminatif dan merusak mental masyarakat itu juga terlihat
pada sikap pemerintah Belanda yang tidak memberikan perhatian kepada masyarakat
Islam sama sekali. Hal ini pada gilirannya menimbulkan pertanyaan dari kalangan
penyelenggara pendidikan agama di pesantren. Untuk ini pemerintah Belanda
berargumentasi dengan dalih untuk menjaga netralitas pendidikan dari pengaruh
agama apapun sebagaimana secara formal tertuang dalam Konstitusi Belanda tahun
1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Akan tetapi klaim
tersebut dusta belaka, karena pada saat yang sama pemerintah Belanda membangun
sekolah tinggi Kristen.[13]
Di
samping itu, pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan Staatsblad No. 550 yang
disebut Ordonansi Guru Agama yang pada intinya membatasi jumlah guru agama yang
beragama Islam dengan mengharuskan mereka mendapatkan ijazah dari pemerintah melalui
Bupati (bagi mereka yang tinggal di Jawa dan Madura) atau melalui pejabat
pemerintah yang lain (bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah lain). Di
samping itu, peraturan baru tersebut mengharuskan siswa dari luar daerah untuk
melaporkan identitas mereka kepada Bupati sebelum mereka memulai program
studinya. Ordonansi guru ini dinilai ummat Islam sebagai kebijakan yang tidak
sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus
menghapus peran penting Islam di Indonesia.
Selanjutnya
corak dikhotomis pendidikan Belanda terlihat pada kebijakan yang memisahkan
pendidikan agama dengan pendidikan umum. Pendidikan agama diselenggarakan di
pesantren-pesantren yang dikelola oleh ummat Islam. Sedangkan pendidikan umum
dikelola oleh pemerintah Belanda.
Pendidikan umum yang dikelola pemerintah Belanda itu bersifat sekularistis.
Pemerintah Belanda melalui lembaga pendidikan yang diciptakannya berupaya
mengabaikan nilai-nilai dan adat istiadat lokal, dan menggantinya dengan
adat-istiadat Eropa yang sekularistik. Usul C. Snouck Hurgronye untuk mengganti
hari Jum'at dengan hari Minggu sebagai hari lubur sekolah misalnya, merupakan
salah satu contoh dari upaya semacam itu. Upaya westernisasi dan sekularisasi
yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia juga terlihat pada
pendidikan yang diberikan kepada kalangan bangsawan. Snouck Hurgronye
mendambakan kesatuan Indonesia dengan Belanda dalam suatu ikatan yang disebut
Pax Neederlandica. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan Belanda tersebut,
bangsa Indonesia harus dituntun untuk dapat bersosialisasi dengan kebudayaan
Belanda. Namun gagasan Pax Neederlandica ini tidak tercapai, bahkan justru
lulusan-lulusannya menjadi orang-orang yang sangat gigih memperj-uangkan
kemerdekaan.
Selanjutnya
missi pendidikan Belanda yang ditujukan untuk membentuk mental budak antara
lain terlihat dari missi pendidikan yang dirumuskan, yaitu menghasilkan
l)orang-orang yang tidak mempunyai jiwa merdeka, 2)orang-orang yang telah mulai
menunjukkan sifat-sifat individualistis dan kehilangan perasaan kemasyarakatan
dan kekeluargaannya; 3)orang-orang yang mempunyai pengetahuan tanpa disertai
kecakapan-kecakapan praktis dan sikap susila; 4)orang-orang yang mempunyai
sikap pasif pada umumnya dan tidak memiliki inisiatif dan menyerah pada
keadaan. Sebagai akibat dari kebijakan ini, maka timbulah sikap verbalisme dan
intelektualisme, hanya mementingkan bahan pelajaran belaka, tidak melatih anak
berfikir melalui analisa dan sintesa sehingga mereka menjadi tidak kritis dan tidak
kreatif.
Dalam
menghadapi tantangan yang demikian itu di kalangan ummat Islam timbul tiga
kelompok sebagai berikut
Pertama,
kelompok yang mengisolasi diri dan menentang kebijakan pemerintah Belanda,
sambil terus mengobarkan semangat anti penjajah dan mengusirnya lewat konsep
Perang Suci (Jihad fi Sabilillati) dengan menjadikan pesantren sebagai basisnya
dan pengajaran agama Islam sebagai dasarnya. Terhadap sikap yang dilakukan
kalangan Islam tradisional ini, pemerintah Belanda semakin memberikan tekanan
dan pengawasan yang ketat.
Kedua,
sikap yang mengimbangi kemajuan yang dicapai oleh pemerintah Belanda dengan
cara memodernisasikan lembaga pendidikan tradisional (pesantren khususnya)
menjadi madrasah. Modernisasi ini sebagiannya mengambil model pendidikan
Belanda, dan sebagiannya dipengaruhi semangat modernisme yang sedang berkembang
di Timur Tengah, khususnya Mesir. Di Minangkabau pada tahun 1907 misalnya,
Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah Adabiyah yang merupakan transformasi lembaga
pendidikan tradisional menjadi pendidikan Islam pertama di Nusantara. Sedangkan
di Jawa Timur pada tahun 1905 berdiri Madrasah Mambaul Ulum yang menerapkan
sistem klasikal.
Ketiga, sikap yang mengadopsi sepenuhnya model pendidikan Belanda, namun di
dalamnya masih terdapat pelajaran agama. Sikap ini misalnya dilakukan oleh
Muhammadiyah. Sebagai organisasi sosial Islam yang bercorak modern, Muhammaiyah
bahkan tidak menyebut lembaga pendidikan yang didirikannya dengan nama
madrasah, melainkan dengan nama sekolah sebagaimana halnya sekolah yang
didirikan pemerintah Belanda.
Ketiga corak dan sifat lembaga
pendidikan Islam yang demikian itu hingga saat ini tampak masih ada. Penjajah
Belanda bagaimanapun telah membuka mata sebagian ummat Islam untuk memajukan
lembaga pendidikannya dalam rangka mengejar keterbelakangannya dalam segala
bidang melalui pembaharuan lembaga pendidikannya. Melalui lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang telah dimodernisir ini telah dilahirkan kader intelektual
muslim yang tidak hanya menguasai agama dan menjiwainya, melainkan juga
menguasai ilmu pengetahuan modern serta memiliki semangat nasionalisme dan
patriotisme yang menjadi modal utama bagi perjuangan kemerdekaan Republik
Indonesia. Bagi sebagian kalangan ummat Islam yang maju, tantangan yang
dijumpai pada masa pemerintahan Belanda dihadapi dengan kerja keras dan
merubahnya menjadi peluang yang memungkinkan mereka tampil sebagai pemimpin
bangsa.
Selanjutnya tantangan pendidikan
Islam pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru muncul sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah yang bersifat politis dan kurang percaya kepada ummat
Islam, serta tuntutan pembangunan dan modernisasi.
Pada
masa pemerintah Orde Lama, kekuatan Nasional terpecah menjadi tiga golongan
yang antara satu dan lainnya sulit dipertemukan. Ketiga golongan tersebut
adalah golongan Islam yang didukung kaum santri; golongan nasionalis sekuler
yang didukung kaum priyayi; dan golongan komunis yang didukung kaum abangan.
Kekuatan golongan nasionalis sekuler sering mendominasi kedua golongan lainnya,
bahkan sebagian dari golongan ini pernah berkolaborasi dengan golongan komunis
untuk menghancurkan golongan Islam yang berakhir dengan tragedi Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia tahun 1965 (G-30 S PKI).
Selain
adanya tantangan yang bersifat politis tersebut, pada era Orde Lama ini juga
terdapat tantangan dalam bidang stabilitas sebagai akibat dari keadaan negara
yang masih dalam proses pembentukan dan pemantapan ideologi. Dalam proses ini
pemerintah seringkali melakukan eksperimen yang berakibat pada terjadinya
benturan dengan golongan Islam. Dalam hal ini kita mencatat adanya demokrasi
liberal yang memberikan peluang tumbuhnya banyak partai, dan demokrasi
terpimpin yang mengarah pada kekuasaan pemerintah yang cenderung tidak tak
terbatas.
Namun sungguhpun demikian, Soekarno secara pribadi adalah seorang Muslim
modernis. la amat suka terhadap ide-ide pembaharuan dalam Islam seperti yang
diperlihatkan Kemal Attaturk di Turki, Muhammad Iqbal di India, Muhammad Abduh
di Mesir dan lain-lain. Menurutnya ajaran Islam yang modernis inilah yang dapat
digunakan sebagai spirit untuk membangun masa depan negara Indonesia yang maju
dan sejahtera Dalam salah satu kesempatan Soekarno misalnya berkata: Kita
sebagai kaum pro-ijtihad atau kita sebagai kaum ant/ taqlid; kita harus siap
mengadakan penyelidikan secara terus menerus agar kita selalu mendapat
kemajuan, pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman... Janganlah kita tutup
mata kita, tidak mau melihat bahwa di luar Indonesia kini seluruh dun/a Timur sedang
asik peninjau kembali pemikiran Islam (rethingking of Islam). Yakni memakai
kembali maksud-maksud Islam yang sewajarnya seperti yang terjadi di Mesir,
Turki, Irak, Suriah, Iran, India dan negeri-negeri Islam lainnya?
Dengan kenyataan tantangan seperti itu, maka melalui kelompok Islam
modernis yang sebagian tergabung di Departemen Agama, upaya pembaharuan
pendidikan Islam, khususnya Madrasah yang telah dimulai sejak zaman akhir
pemerintahan Belanda dapat dilanjutkan pada zaman era Orde Lama.
Tantangan berikutnya datang berkisar pada
soal pengakuan (legitimasi). Meskipun pemerintah sudah mengakui keberadaan
Departemen Agama, namun pada sisi lain muncul pemikiran yang menghendaki agar
pendidikan diurus oleh satu atap, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun berkat kegigihan kaum Muslimin, upaya ini mengalami kegagalan.
Pembaharuan madrasah masih dapat dilakukan. Pemerintah masih nemberikan bantuan
yang bertujuan memodernisasi madrasah. Selanjutnya pengakuan terhadap lembaga
pendidikan agama-pun muncul, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pokok
Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 di mana belajar di madrasah yang
telah mendapat pengakuan Depertemen Agama dianggap memenuhi kewajiban belajar
Sebagai respon terhadap Undang-undang tersebut, Departemen Agama pada
tahun 1963 menyelenggarakan Madrasah Wajib Belajar (MWB), yaitu lembaga
pendidikan 8 tahun yang difungsikan untuk mendukung kemajuan ekonomi, industri
dan transimigrasi, yang pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi madrasah
pembangunan.
Selanjutnya di zaman Orde Baru
pendidikan Islam menghadapi
tantangan yang tidak jauh berbeda dengan tantangan yang dijumpai
pada zaman Orde Lama, yaitu tantangan yang bersifat politis dan
modernisasi.
tantangan yang tidak jauh berbeda dengan tantangan yang dijumpai
pada zaman Orde Lama, yaitu tantangan yang bersifat politis dan
modernisasi.
Diketahui
bahwa Orde Lama berkuasa selama lebih kurang 32 tahun (tahun 1965-1998). Pada
enam belas tahun pertama, hubungan sebagian ummat Islam (tradisionalis-politis)
dengan pemerintah Orde Baru masih belum harmonis. Ummat Islam masih sering
disebut sebagai ekstrim kanan, sebuah istilah yang mengacu kepada kelompok yang
menginginkan negara didasarkan pada syari'at Islam bahkan menjadi negara Islam.
Sementara itu dari kalangan ummat Islam yang tradisionalis-politis itupun
cenderung anti pemerintah. Keadaan ini jelas mempersulit bagi ummat Islam pada
umumnya dalam upaya meningkatkan dan memajukan pendidikan Islam.
Menghadapi
kenyatan seperti itu, maka dari kalangan Islam modernis muncul gagasan untuk
merubah pendekatan dan orientasi perjuangan, yaitu merubah pendekatan dari
Islam yang bersifat politis, formalistis dan legalistis menjadi Islam yang
bersifat kultural, substantif dan aktual. Di antara tokoh modernis Islam yang
mengajukan gagasan yang demikian itu adalah Nurcholish Madjid melalui
ungkapannya "Islam Yes, Partai Islam No". Gagasan Nurcholish Majid
ini disambut dan dikembangkan oleh sebagian besar ummat Islam terpelajar
melalui organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Upaya
yang dilakukan kaum Islam modertiis ini secara perlahan tapi pasti membuahkan
hasilnya, yaitu berubahnya sikap pemerintah Orde Baru pada enam belas tahun
terakhir, yang semula jauh dan mencurigai ummat Islam menjadi dekat, mesra dan
percaya pada ummat Islam. Istilah ekstrim kanan bagi ummat Islam sudah tidak
digunakan lagi.
Namun
demikian, sebagaimana pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru-pun
sebenarnya menyukai pemikiran Islam yang modernis, karena pemikiran Islam yang
demikian itu amat dibutuhkan untuk menggerakkan ummat Islam agar mendukung dan
terlibat dalam proses pembangunan yang dijalankan pemerintah. Dengan kata lain,
pemerintah menghendaki sebaiknya ummat Islam tidak usah berpolitik, melainkan
lebih terlibat aktif dalam membangun bangsa.
Atas
dasar kenyataan ini, maka melalui kelompok Islam modernis yang tergabung di
Departemen Agama, maka pada masa enam belas tahun pertama pemerintahan Orde
Baru-pun dapat dilakukan upaya-upaya pembaharuan pendidikan Islam. Pada tahun 1975
misalnya, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3 Menteri),
yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam
Negeri. Melalui SKB ini keadaan Madrasah diakui oleh pemerintah. Lulusan
Madrasah dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi Umum. Lulusan Madrasah
Ibtidaiyah dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sebaliknya
lulusan Sekolah Dasar (SD) dapat melanjutkan ke Tsanawiyah dan seterusnya.
Konsekwensinya kurikulum Madrasah harus dirubah menjadi 70% mata pelajaran
umum, dan 30% mata pelaiaran agama.
Peluang
ummat Islam untuk memajukan pendidikannya, secara lebih leluasa terjadi pada
enam belas tahun terakhir pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini tercatat
sejumlah kemajuan yang memperlihatkan/kemesraan dan keberpihakan pemerintajV
terhadap ummat Islamf^yaitu munculnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dengan Undang-undang ini, pendidikan Islam sudah
masuk dalam bagian dari pendidikan nasional. Pemerintah aktif membangun masjid
melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Musabaqah Tilawatil Qur'an,
Pesantren Kilat, Berkembangnya Pengajian-pengajian agama di berbagai tempat,
Vestival Istiqlal, Bank Muamalat Indonesia, Undang-undang Peradilan Agama, dan
sebagainya.
Selanjutnya
untuk mengatasi kekurangan SKB 3 Menteri tersebut di atas, maka di zaman
Menteri Agama Munawir Sadzali didirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK),
yaitu madrasah berasrama dengan kurikulum 70% agama. Melalui madrasah ini
diharapkan akan lahir bibit unggul baik di dalam maupun luar negeri dan setelah
tamat dapat menjadi ulama yang handal. Periode berikutnya saat Tarmidzi Taher
sebagai Menteri Agama, MAPK diubah menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).
Bedanya adalah jika pada MAPK hanya dilaksanakan di beberapa Madrasah Aliyah
Negeri, maka MAK dapat pula dilaksanakan pada madrasah-madrasah swasta yang
berminat. Setelah itu menyusul pula dibukanya Madrasah Tsanawiyah jarak jauh,
sebuah konsep yang ditujukan untuk menunjang terlaksananya program wajib
belajar sembilan tahun.
Namun
demikian, sikap baik pemerintah Orde Baru terhadap rakyat pada umumnya dan
terhadap ummat Islam pada khususnya tidak dapat membendung jatuhnya pemerintah
Orde Baru yang diakibatkan oleh berbagai kebijakan politis yang dianggapnya
sudah melenceng. Sistem politik pemerintahan Orde Baru yang monoloyalitas
dengan titik tekan pada sentralisasi dalam seluruh aspek kehidupan: politik,
ekonomi-perdagangan, pertahanan-keamanan, hukum, pendidikan, dan lain
sebagainya. Akibatnya saluran demokrasi menjadi tersumbat, aspirasi rakyat
terkooptasi, rakyat menjadi apatis, mandul dan cenderung mengikuti budaya
petunjuk dari atas. Keadaan ini memberikan peluang yang leluasa bagi sebagian
pejabat yang kurang amanah untuk melakukan penyimpangan dalam segala bidang.
Muncullah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), jual beli hukum, jual
beli jabatan, ijazah dan lain sebagainya. Keadaan internal yang parah ini pada
gilirannya tidak mampu menghadapi krisis ekonomi yang membawa negara dalam
keadaan lemah dan tak berdaya. Dalam keadaan demikian itulah timbul gelombang
demontrasi besar-besaran yang berakhir dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
pada tanggal 12 Mei 1998,40 digantikan oleh pemerintah Orde Reformasi.
Di
era reformasi saat ini tantangan yang dihadapi pendidikan Islam secara garis
besar ada dua. Pertama tantangan yang berkaitan dengan penataan kembali seluruh
aspek kehidupan: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan lain
sebagainya menurut cara yang lebih demokratis, teransparan, berkeadilan, jujur,
amanah, manusiawi dan modern, melalui konsep masyarakat madani. Dengan cara
demikian, praktek korpusi, kolusi dan nepotisme (NKK) dapat dihindari. Kedua,
tantangan yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi dunia
yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi.
Berkaitan
dengan tantangan yang pertama di atas, kita melihat bahwa sejak runtuhnya
kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada Mei 1998
hingga saat ini, keadaan negara Indonesia dengan berbagai perangkatnya masih
dalam keadaan yang tidak menentu.41 Program reformasi secara total dan
menyeluruh terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara yang menandai
era ini belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya. Berbagai aturan dan
tatanan lama yang dipandang tidak lagi relevan mulai ditinggalkan. Sementara
aturan dan tatanan baru sebagai penggantinya yang diharapkan dapat merubah
keadaan yang lebih baik juga belum berhasil dirumuskan.
Upaya
untuk melakukan penataan kembali berbagai aspek kehidupan tersebut antara lain
dengan cara menerapkan konsep masyarakat madani. Konsep masyarakat madam"
ini kemudian menjadi wacana pembicaraan para ahli untuk dilihat akar dan asal
muasal tumbuhnya dan kemungkinan penerapannya.42 Dalam wacana tersebut sebagian
pakar menghubungkan konsep Masyarakat Madani dengan pandangan hidup Barat,43 dan
sebagian lagi mengambil contoh dari data historis masa lalu Islam (masyarakat
kota Madinah bentukan Nabi) yang secara kualitatif mereka dianggap sejajar
dengan masyarakat ideal hasil dari tuangan konsep Civil Society. Mereka
melakukan penyetaraan untuk menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam terdapat
potensi yang dapat dipakai untuk menciptakan sebuah pranata kehidupan sosial
politik dan ekonomi sejalan dengan visi masyarakat modern.
Seiring dengan tantangan reformasi dan penerapan konsep masyarakat madani tersebut,
maka berbagai produk perundangan juga mengalami perubahan. Dua di antara
perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan (reformasi) Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan perubahan sistem
pemerintahan dari yang semula sentralistik menjadi lebih desentralisasi melalui
munculnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan (Otonomi)
Daerah; dan Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Berkaitan
dengan tantangan reformasi tersebut, maka pendidikan Islam harus memberikan
sumbangan bagi Iahirnya manusia-manusia yang dapat mewujudkan masyarakat
madani. Kalangan pendidikan Islam selanjutnya ditantang untuk mem-perjuangkan
nasib pendidikan Islam melalui reformasi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Islam juga harus mampu
menghadapi tantangan otonomi daerah. Diketahui bahwa dalam rangka menghadapi
otonomi pendidikan sebagal akibat dari implementasi Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tersebut, pendidikan Islam, khususnya Madrasah menghadapi masalah
yang amat krusial. Di satu sisi Madrasah sebagian besar berada di daerah,
jumlahnya banyak dan keadaannya lemah, sementara dalam undang-undang tersebut
masalah Madrasah menjadi tanggung jawab Departemen Agama Pusat, dan bukan
urusan Departemen Pendidikan Nasional di Daerah (Kanwil Diknas). Dengan
demikian, dari segi anggaran dan lainnya Madrasah harus berjuang ke pusat. Hal
ini merupakan tantangan yang harus dijawab antara lain dengan menerapkan konsep
pendidikan berbasis masyarakat yang dalam prakteknya menuntut kerja keras,
mengingat selama ini masyarakat sudah terbiasa diberi petunjuk dari atas dan
dimanjakan dengan berbagai fasilitas.
Selanjutnya
berkaitan dengan tantangan yang kedua, yaitu dampak globalisasi keadaannya
lebih berat lagi. Berbagai karakteristik masyarakat di era global sudah banyak
dikaji para ahli.46 Intinya adalah bahwa pada era informasi tersebut terjadi
revolusi teknologi, dengan meningkatkan kontrol pada materi, ruang dan waktu
yang pada gilirannya dapat menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir
dan sistem rujukan. Sementara itu, Daniel Bell sebagaimana dikutip Mochtar
Buchori mengatakan bahwa pada abad informasi ini kehidupan akan ditandai oleh
lima hal sebagai berikut.
Pertama,
kehidupan masa mendatang akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling
bertentangan, yaitu kecencerungan untuk saling berintegrasi dalam kehidupan
ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan
politik. Kedua kecenderungan ini sekarang sudah menjadi kenyataan di berbagai
kawasan di dunia.
Kedua, bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang.
Ketiga, bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan
cepatnya akan mengubah secara radikal situasi dalam pasar tenaga kerja.
Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut kecakapan
baru. Karena itu kepada seluruh pekerja
perlu dilakukan re-edukasi (pendidikan ulang), atau re-training (pelatihan
ulang), mengingat pendidikan dan pengetahuannya sudah tidak cocok lagi dengan
kebutuhan kerja sekarang.
Keempat, bahwa proses industrialisasi dalam ekonomi dunia makin menuju pada
penggunaan teknologi tingkat tinggi, sedangkan teknologi rendah akan diekspor
dari negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih berkembang.
Kelima, bahwa di tahun-tahun mendatang sebagai akibat dari globalisasi
informasi ini, akan lahir suatu gaya hidup baru yang mengandung ekses-ekses
tertentu.
Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa era informasi
dan globalisasi telah menimbulkan tantangan-tantangan baru dan
sekaligus peluang bagi mereka yang dapat mengatasinya.
dan globalisasi telah menimbulkan tantangan-tantangan baru dan
sekaligus peluang bagi mereka yang dapat mengatasinya.
Dalam kaitan dengan masalah tersebut di atas, pendidikan Islam ditantang
agar mampu menghasilkan lulusan yang dapat menghadapi tantangan globalisasi
tersebut dan merubahnya menjadi peluang. Berkaitan dengan ini, maka berbagai
komponen yang terdapat dalam pendidikan Islam seperti tujuan pendidikan,
kurikulum, proses belajar mengajar, guru, sarana prasarana, lingkungan,
evaluasi dan sebagainya, harus direvitalisasi, direvisi dan ditinjau ulang agar
sesuai dengan tantangan zaman.
Dalam era globalisasi ini pendidikan Islam harus mampu melahirkan lulusan
yang mampu menjalani kehidupan (preparing children for life), bukan sekedar
mempersiapkan anak didik untuk bekerja. Pendidikan Islam juga harus
menghasilkan manusia yang berorientasi ke masa depan, bersikap progressif,
mampu memililah dan memilih secara bijak, dan membuat perencanaan dengan baik.
la juga harus menghasilkan anak didik yang memiliki keseimbangan antara
penggunaan otak kiri dengan otak kanan, manusia yang memiliki kecerdasan
intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pendidikan juga harus memberikan
keseimbangan antara pendidikan jasmani dan rohani, keseimbangan antara
pengetahuan alam dan pengetahuan sosial dan budaya, serta keseimbangan antara
pengetahuan masa kini dan pengetahuan masa lampau.Anak didik yang dihasilkan
oleh pendidikan Islam adalah bukan hanya
anak yang mengetahui
sesuatu secara benar (to know)
melainkan juga harus disertai dengan mengamalkannya secara benar (to do),
mempengaruhi dirinya (to be) dan membangun kebersamaan hidup dengan orang lain
(to life together). Pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang memiliki
ciri-ciri: l)terbuka dan bersedia menerima hal-hal baru hasil inovasi dan perubahan; 2 )berorientasi
demokratis dan mampu memiliki pendapat yang tidak selalu sama dengan pendapat
orang lain; 3) berpijak pada kenyataan, menghargai waktu, konsisten
dan sistematik dalam
menyelesaikan masalah; 4)selalu
terlibat dalam perencanaan dan pengorganisasian; 5)memiliki keyakinan bahwa
segalanya dapat diperhitungkan; 6)menyadari dan menghargai pendapat
orang lain;) rasional dan
percaya pada kemampuan iptek; 8)
menjunjung tinggi keadilan berdasarkan prestasi, kontribusi, dan kebutuhan; dan
9) berorientasi kepada produktivitas, efektifitas dan efisiensi. Manusia yang
memiliki ciri-ciri seperti itulah yang
harus dihasilkan oleh pendidikan Islam, yaitu manusia yang penuh percaya diri (self
confident) serta mampu melakukan pilihan-pilihan secara arif serta bersaing
dalam era globalisasi yang kompetitif. [14]
Berkaitan dengan tujuan
pendidikan Islam tersebut, maka kurikulum dan bahan ajar-pun
harus ditinjau ulang. Mochtar Buchori mengusulkan adanya bahan ajar yang
terdiri dari pelajaran-pelajaran tentang kehidupan fisik, sosial dan budaya,
serta pelajaran-pelajaran yang membawa anak kepada pemahaman terhadap diri
sendiri. Logika yang mendasari strategi ini ialah bahwa
hanya mereka yang memahami lingkungan fisik, sosial dan
budaya, serta diri sendiri-lah yang dapat mengarungi kehidupan ini dengan baik,
dalam art! mampu hidup dan mampu
menyumbangkan sesuatu kepada kehidupan. Selain itu perlu
ditambahkan bahwa sebelum anak didik memilih bidang spesialisasi atau keahlian tertentu yang sesuai dengan bakat dan minatnya, perlu juga diberikan
dasar-dasar yang utuh dan kuat tentang Dirasah Islamiyah, Ilmu Alamiah Dasar,
Ilmu Sosial Budaya Dasar, Seni dan Matematika Dasar.
Selanjutnya bahan ajar yang dituangkan dalam kurikulum juga harus memiliki
kesesuaian dan keterkaitan (link and mach) dengan kebutuhan lapangan kerja.
Untuk kalangan dunia kerja baik dalam bidang jasa maupun perdagangan dan keahlian
lainnnya harus memberikan masukan ke kalangan pendidikan, tentang keahlian apa
yang sesungguhnya dibutuhkan lapangan kerja. Selanjutnya karena berbagai
keahlian dan pekerjaan dalam era globalisasi ini begitu cepat dan dinamis, maka
kurikulum-pun harus bersifat dinamis dan progressif. Kurikulum atau mata
pelajaran yang diajarkan harus terlebih dahulu ditawarkan kepada peserta didik,
sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka. Model kurikulum yang
bersifat normatif perenialis, tampak sudah tidak cocok lagi untuk diterapkan di
masa sekarang.
Seiring dengan adanya perubahan pada bidang tujuan dan kurikulum pendidikan
tersebut di atas, maka bentuk proses belajar mengajar-pun harus pula ditinjau
ulang. Model pengajaran yang hanya bertumpu pada aktifitas guru (teacher
centris) harus diimbangi dengan pengajaran yang menggerakkan dan melibatkan
siswa secara aktif (student centris). Filosofi dan paradigma mengajar tidak
lagi didasarkan prinsip mengisi air ke dalam gelas; tetapi lebih pada prinsip
menyalakan lampu, menggali potensi dan membantu melahirkan anak didik, serta
menempatkan guru sebagai bidan yang membantu dan membimbing anak didik
melahirkan gagasan dan produktifitasnya. Proses belajar mengajar harus
diarahkan pada upaya membangun daya imajinasi dan daya kreatifitas anak didik,
yaitu proses belajar mengajar yang mencerahkan dan membangunkan (inspiring
teaching) anak didik.
Lebih jauh lagi proses
belajar mengajar juga harus dilakukan dan diarahkan pada (l) mengubah cara
belajar dari model warisan kepada model belajar pemecahan masalah; (2)dari
hafalan ke dialog (3)dari pasif ke aktif; (4)dari memiliki (to have) ke menjadi
(to be)} (5) dari mekanis ke kreatif; (6)dari strategi menguasai materi
sebanyak-banyaknya ke menguasai metodologi yang kuat; (7) dari memandang dan
menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan ke memandang dan menerima ilmu
sebagai yang berada dalam dimensi proses; dan (8)melihat fungsi pendidikan
bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, melainkan mengolah dan
mengembangkan hati(moral) dan keterampilan.
Sejalan dengan pentingnya proses belajar mengajar yang inovatif dan kreatif
tersebut di atas, maka berbagai metode pengajaran yang lebih melibatkan peserta
didik seperti inter-active learning, participative learning, cooperative learning[15],
Quantum teaching, quantum learning?5 dan sebagainya perlu diterapkan. Dengan
kata lain cara belajar yang melibatkan siswa aktif ini tidak hanya menekankan
pada penguasaan materi sebanyak-banyaknya, melainkan juga terhadap proses dan
metodologi.
Seiring
dengan perubahan paradigma pada beberapa kompo-nen pendidikan tersebut di atas,
maka paradigma gurupun harus mengalami perubahan. Keadaan guru pada era
globalisasi berbeda dengan keadaan guru pada era agricultural. Jika pada era
agrikultural guru merupakan satu-satunya tempat untuk digugu dan ditiru,
dimuliakan, dihormati dan seterusnya, maka pada era informasi sekarang ini,
guru bukan satu-satunya lagi agent of information, karena masyarakat sudah
memiliki banyak jaringan informasi yang dapat diakses lewat peralatan teknologi
canggih
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka fungsi guru mengalami perubahan dan pengembangan. Guru
dapat berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan anak didik pada sumber
belajar yang dapat diakses; dinamisator yang memacu anak didik agar
mengembangkan kreativitas dan imajinasinya; evaluator dan justificator yang
menilai dan memberikan catatan, tambahan, pembenaran dan sebagainya terhadap
hasil temuan siswa. Pengajar tidak lagi berfungsi sebagai kyai yang didatangi
santri; guru yang mendatangi siswa, melainkan sebagai mitra.
Pergeseran peran dan fungsi guru seperti ini dari satu segi akan menjadi
ancaman, karena guru akan kehilangan pekerjaan dan ditinggalkan muridnya. Namun
pada sisi lain guru akan mendapatkan banyak sekali peluang, apabila ia dapat
meningkatkan profesionalitasnya. Penghormatan kepada guru di masa sekarang
bukan didasarkan pada senioritas atau do'anya yang makbul melainkan lebih
didasarkan pada peran fungsionalnya dalam mengantarkan anak didik kepada tujuannya
yang sesuai dengan tantangan zaman.
Tantangan
pendidikan Islam selanjutnya di era globalisasi ini adalah pada bidang
manajemen pendidikan. Sistem manajemen pendidikan yang didasarkan pada
kekeluargaan sebagaimana pada masyarakat agraris sudah tidak cocok lagi. Dalam
kaitan ini paling kurang ada tiga sistem manajemen pendidikan yang relevan
untuk dipergunakan sebagai berikut.
Pertama, Total Quality Management (TQM) yang berasal dari seorang ahli
statistik Amerika, Dr.W. Edward Deming. Manajemen yang telah membawa kemajuan
masyarakat Jepang dalam meningkatkan produktivitasnya ini berdasarkan pada
teori yang menekankan pada Customer Oriented Quality dengan melihat lebih
sensitif terhadap mutu yang diperoleh melalui team work yang solid dan
leadership yang handal. Dalam prakteknya, manajemen ini mengharuskan adanya
penilaian (akreditasi) terhadap kinerja pendidikan.
Kedua,
Benchmarking Management. Manajemen ini didasarkan pada teori bahwa untuk
meningkatkan mutu produksi harus didasarkan pada standardisasi mutu yang baku,
sehingga tujuan produksi menjadi jelas. Dengan demikian seluruh proses produksi
mengarah kepada suatu level tertentu yang sudah dirumuskan dan disepakati
sebagai sebuah model.
Ketiga, School Based Management.Manajemen ini didasarkan pada teorl bahwa
proses pengambilan keputusan dan perumusan tujuan pendidikan yang selama ini
dilakukan oleh otoritas birokrasi pusat harus didelegasikan kepada pelaksana di
lapangan, yakni sekolah, sehingga efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan
lebih dapat dipertanggungjawabkan. Manajemen yang terakhir ini mulai diterapkan
pada lembaga-lembaga pendidikan non-pemerintah.
Seiring
dengan perubahan paradigma pada berbagai komponen pendidikan tersebut di atas,
maka sarana dan prasarana pendidikan Islam-pun
harus dikembangkan. Jika selama
ini sarana prasarana pendidikan
terbatas hanya pada gedung sekolah,
papan tulis dan kapur,
maka pada era
globalisasi ini berbagai
sarana yang memungkinkan yang
berada di luar sekolah dapat diintegrasikan dan digunakan. Surat kabar,
majalah, radio, televisi, musium, pameran, bengkel kerja (workshop) milik
perusahaan, mesjid dan
berbagai sarana lainnya yang dimiliki masyarakat luas dapat digunakan
sebagai sarana pendidikan dengan sistem kerjasama. Khusus mengenai sarana
telekomunikasi dan informasi seperti komputer dan internet dapat digunakan.
Kini tengah dirancang suatu konsep belajar jarak jauh yang dikenal dengan
nama tele-education, yaitu
konsep yang memungkinkan seorang
guru atau dosen
dari jarak jauh dapat mengajar
puluhan kelas di berbagai kota di dalam maupun luar negeri dengan cara
menggunakan saluran internet melalui webside sebagai station pengendalinya.
C. Penutup
Berdasarkan
uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.
Bahwa
kehadiran pendidikan Islam lengkap dengan sistem kelembagaan dan
komponen-komponennya adalah muncul sebagai jawaban atas tantangan di mana
pendidikan Islam tersebut dilaksanakan.
2.
Sifat
dan karakter pendidikan Islam yang demikian itu adalah sejalan dengan sifat
ajaran Islam yang sejak kelahirannya selalu terlibat dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi masyarakat, dan tampil dalam dinamika warna yang amat
variatif
Dalam perjalanannya selama empat belas abad,
pendidikan Islam baik yang diselenggarakan di dunia Islam, maupun di Indonesia
pada dasarnya menghadapi dua macam tantangan, yaitu tantangan yang datang dari
luar dan tantangan yang datang dari dalam. Tantangan dari luar muncul sebagai
akibat dari politik Barat dan kebijakan penjajah; sedangkan tantangan dari
dalam muncul berkaitan dengan kebutuhan ummat Islam dalam menghadapi tantangan
modernisasi.
3.
Dari
perjalanan sejarahnya selama empat belas abad terlihat dengan jelas bahwa
lembaga pendidikan yang dapat terus bertahan dan diminati masyarakat adalah
lembaga pendidikan yang dapat menerima inovasi dan perubahan sesuai dengan
tuntutan zaman.
4.
Ummat
Islam di Indonesia walaupun dengan menggunakan pendekatan yang berlain-lainan
ternyata sangat peduli terhadap kegiatan pendidikan. Berdirinya ribuan
pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan Islam yang didasarkan atas inisiatif
masyarakat sendiri, menunjukkan kepedulian tersebut.
5.
Secara
keseluruhan nasib lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia belum menunjukkan
keadaan yang menggembirakan. Hal ini sebagian besar disebabkan karena berbagai
kelemahan yang dimiliki internal ummat Islam sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta:Majelis Ulama Indonesia,
1991).
Amin,
Ahmad, Fajar Islam, (teg.) H. Zaini
Dahlan, dari judul asli Fajr al-Islam, (Cirebon: Fak.Tarbiyah IAIN Cirebon,
1967).
Bruinessen, Martin
Van, Kitab Kuning
Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), cet. III.
Buchori,
Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Jakarta: Kanisius, 2001), cet. I.
Clifford,
Geerzt, Santri, Abangan dan Priyayi, (Jakarta:Pustaka Jaya, 1986).
DePorter,
Bobbi, at.al., Quantum Teaching, (Bandung:Mizan, 2001), cet. I.
Fakhry,
Madjid, Sejarah Filsafat Islam, (terj.) R.Mulyadi Kartanegara, dari judul asli
A History of Islamic Philosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), cet. I.
Islam,
R. Nurul, "Meningkatkan Kualitas Madrasah Menimbang Teori Pengajaran dan
Manajemen" dalam JurnalMadrasah Vol. 5. No. 1, 2001.
Jumbulati, al, All, Perbandingan Pendidikan Is/am,(3akarta: Rineka Cipta, 1994), cet. I.
Komite Reformasi
Pendidikan, Reformasi Pendidikan
Nasional, (Jakarta :Depdiknas, 2001).
Langgulung,
Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta:Pustaka AI-Husna, 1986), cet. I.
Mestoko,
Sumarsono, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, (Jakarta:Balai Pustaka,
1986).
Nasution,
Harun, Akaldan Wahyu, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II.
Poerbakawatja,
Soegarda, Pendidikan da/am A/am Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung,
1970), cet. I.
Rahmat,
Jalaluddin, "Islam Menyongsong
Peradaban Dunia Ketiga" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 2 Tahun 1989.
Saefuddin,
Didin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2002), cet. I.
Sudjana,
H.D., Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: Falah Production,
2001), cet. I.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1984), cet. II.
[1] Pendidikan Islam di Indonesia : Tantangan
dan Peluang, Prof. DR. H. Abudin Nata, MA, Jakarta, 2003. h. 1
[2] Ali Khalil Abu al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al - Islamiyah,
fi al-Quran al – Karim, (t.t : Dar a;-Fikr al-Araby, 1980), cet I, hal. 37
[3] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 1992), cet.
I, hal, 175
[4] Nourouzzaman Shidiqi, Jeram-jeram
Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), Cet I, hal. 3
[5] Syed Mahmudunnasir,
Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, (terj.) Adang Affandi dari judul asli Islam:
Its Concepts & History, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), cet. I, hal. 3
[6] Ahmad
Amin, Fajar Islam (Terj), H. Zaini Dahlan, dari Judul asli, Fajr al-Islam, Cet,
hal. 18
[7]
Hasan Abd, al’Al, al – Tarbiyah Al Islamiyah fi Qrn al-Rabi’ al-Rabi al-Hijr,
(Kairo : Dar al- Fikr al’Arabi, 1978) hal. 98-101
[8]
Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al – Islamiyah, (Kairo : Maktabah al –
Nahdadh al-Mashriyah, 1987), cet I, hal 96-115
[9] Clifford
Geertz, Santri Abangan dan Priyayi, (Jakarta : Pusataka Jaya, 1986), hal.
24-26;
[11] Moh.
Tauhid, Masalah Pendidikan Rakyat, 1954,
hal, 8-9
[12] Ki
Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan,Yogyakarta,
1962 : 103
[13] Sumarsono Moestoko, Pendidikan di
Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta, 123
[14] Mastuhu, Memberdayakan Sistem
Pendidikan Islam, Jakarta, Cet. II, hal. 47
[15] HD, Sudjana, Metode & Teknik
Pembelajaran Partisipatif, Bandung, 2001, hal 1-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar