DAKWAH DAN AHL AL-KITAB
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah hubungan Islam – ahl al-kitab bermula dengan
lahirnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Posisi beliau sebagai penyampai
risalah Islam, banyak bersentuhan dengan golongan ahl al-kitab. Sejarah ini
telah diwarnai oleh aneka macam corak terkadang kooperatif-konstruktif yang
dilandasi oleh semangat saling pengertian, namun lebih sering menampakkan wajah
dan watak saling curiga, bahkan permusuhan.[1]
Beberapa pendapat mengatakan bahwa ajaran-ajaran agama tsb
turut berperan menurut penganut masing-masing untuk berperilaku curiga. Alquran
misalnya, sejak awal mengatakan bahwa beberapa ajaran Isa as., telah mengalami tahrif
(dirtorsi), lebih jauh Alquran mengecam doktrin trinitas dan konep “Anak
Tuhan” yang berkembang dalam tradisi Kristen.[2]
Sebaliknya doktrin agama Kristen jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw.,
menyatakan bahwa satu-satunya jalan kesalamatan dunia akhirat hanya ditawarkan
oleh Yesus; Siapa tidak bersama aku, ia melawan aku dan siapa tidak berkumpul
bersamaku, bercerai berai (Matius 12:13). Ajaran ini kemudian berkembang
menjadi slogan extra asclesias nulla Salus (di luar gereja tak ada
keselamatan).[3]
Sementara itu Islam sebagai agama yang memandang setiap penganutnya
sebagai dai bagi dirinya sendiri dan orang lain, karena Islam tidak menganut
adanya hierarki religius. Setiap muslim bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri di hadapan Allah. Namun demikian, karena ajaran Islam bersifat universal dan ditujukan
kepada seluruh ummat manusia, kaum muslim memiliki kewajiban untuk memastikan
bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia disepanjang sejarah.
Ketiga komunitas itu mempunyai misi keagamaan
masing-masing dan meyakini akan kebenaran ajaran-ajaran yang diembangnya
sebagai agama di sisi Allah yang harus disebar luaskan di muka bumi ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasar paradigma di atas maka muncul beberapa masalah
yaitu;
1.
Siapakah yang dimaksud dengan ahl al-kitab
2.
Bagaimana metode dakwah ummat Islam terhadap ahl al-kitab
C. Signifikansi
Dalam pembahasan ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang dakwah dan hubungannya dengan ahl al-kitab, karena dakwah merupakan
suatu keharusan yang mesti diemban oleh setiap muslim. Ia merupakan denyut nadi
ummat Islam, kapan ia berhenti berdenyut mengembangkan misinya tunggulah
kehancuran ummat, demikian pula sebaliknya, jika ia mampu berdenyut secara
dinamis dan propesional maka nantikanlah kebangkitan ummat.
Selain itu pembahasan ini kiranya bisa memberi motivasi
untuk merevitalisasikan dakwah secara proporsional dan mem-posisikan ahl
al-kitab secara arif dan hikmah.
II. PENGERTIAN
A. Dakwah
Dakwah secara etimologi berasal dari asal kata al-dâl (الدال), al-‘ain (العين) dan salah satu huruf mu’tal
yang bermakna; condongnya sesuatu kepadamu dengan suara atau ucapan.[5]
Dakwah adalah bentuk masdar dari kata “دعا“. “دعو“ yang bermakna panggilan,
seruan atau ajakan. Dakwah dalam makna itu banyak ditemukan dalam Alquran
misalnya QS. Yusuf: 33 dan QS. Yunus: 25.
Sedangkan dakwah secara terminologi mempunyai beragam
makna dan pendapat tentang hal itu diantaranya adalah makna dakwah menurut
Departemen Agama RI dalam buku “Metodologi Dakwah kepada Suku Terasing”, yaitu
Dakwah adalah setiap usaha yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan
yang lebih baik dan layak, sesuai dengan kehendak dan tuntunan kebenaran.[6]
Pendapat ini dapat dikatakan dakwah bukan hanya milik suatu kemunitas agama,
tetapi milik semua komunitas yang ada untuk menciptakan kehidupan yang damai.
Muhammad Nasir dalam tulisannya yang berjudul “Fungsi Dakwah
Islam dalam Rangka Perjuangan” memdefenisikan dakwah sebagai “usaha-usaha
menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh ummat.
Konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini yang
meliputi Amar ma’ruf nahi mungkar dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan
akhlak dan membimbing pengamalannya dalam perikehidupan perseorangan.
Perikehidupan berumah tangga (usrah). Perikehidupan bermasyarakat dan
bernegara.[7]
Defenisi ini berbeda dengan pendapat pertama, karena dalam uraian ini
digambarkan dakwah sebagai seruan dan ajakan hanya ada dalam konsepsi Islam. Dan
masih bersifat normatif.
Sementara itu
terdapat juga defenisi yang berbeda dari kedua pendapat di atas yaitu dakwah
adalah usaha untuk merealisasikan ajaran Islam di dalam kenyataan hidup
sehari-hari, baik bagi kehidupan seseorang, maupun kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan ummat
manusia untuk memperoleh keridhaan Allah swt.[8]
Defenisi ini lebih menekankan pada makna dakwah bi al-hâl untuk membangun
krrakter tata hidup ummat manusia yang diridhai oleh Allah swt. Oleh karena itu
Islam dianggap suatu nilai etika akhlak yang harus direalusasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Ahl al-Kitâb
Term ini merupakan satu frase yang terdiri dari kata “ahl”
dan “al-kitâb”. Kata “ahl” terdiri dari huruf “alif”, “ha” dan
“lam” yang secara literal mengandung pengertian ramah, senang atau suka.[9]
Kata ‘ahl” juga berarti “sukkân”, orang yang mendiami suatu
tempat dan penganut suatu ajaran atau agama.[10]
Kata tersebut juga digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang mempunyai
hubungan yang sangat dekat seperti yang dikatakan Raghib al-Asfahani ahl
al-rasul yaitu orang yang menghimpun mereka baik karena hubungan nasab
maupun agama atau hal yang setara dengannya seperti profesi, etnis dan
komunitas.[11]
Dari beberapa makna “ahl” di atas, agaknya makan itu juga terangkum
dalam kamus bahasa Indonesia. Yaitu orang yang mahir dalam suatu ilmu, kaum,
keluarga, orang-orang termasuk dalam suatu golongan.[12]
Sedang kata al-kitâb berasal dari asal kata kaf,
ta dan ba’ yang menunjukkan atas makna menghimpun sesuatu dengan
sesuatu yang lain.[13]
Term al-kitâb kemudian diartikan tulisan. Karena tulisan itu sendiri
menunjukkan rangkaian dari beberapa huruf huruf, termasuk pula firman Allah
yang diturunkan kepada rasulNya disebut al-kitâb karena ia merupakan
himpunan dari beberapa lafazh.[14]
Demikian pula al-kitab secara literal berarti tulisan atau yang ditulis. Karena
itu, Alquran sebagai wahyu yang ditulis dalam mushaf sering pula disebut
sebagai al-kitab. Akan tetapi penyebutan al-kitab dalam tulisan ini, terutama
juka dikaitkan dengan kata ahl, maka yang dimaksud adalah menunjuk kepada kitab
suci yang diwahyukan Allah selain Alquran yaitu taurat dan injil.
Ahl al-kitab jika diindonesiakan menjadi ahli kitab. Kata
ahli dalam bahasa indonesia merujuk kepada orang yang mahir atau paham sekali
dalam suatu ilmu atau kerampilan tertentu. kata ahli juga dapat merujuk kepada
kaum, keluarga, sanak saudara dan orang-orang yang termasuk dalam suatu
golongan tertentu. term ahl al-kitab
yang dimaksudkan lebih mengacu kepada golongan dan pengikut agama tertentu
selain Islam.
Untuk lebih
mengenal ‘ahl al-kitab’ secara jelas, maka salah satu metode yang tepat
untuk ditempu adalah mengkaji kitab sumber al-Qur’ân al-Karîm karena di
dalamnya terdapat ayat-ayat yang membicarakan tentang ahl al-kitâb.
Term ahl al-kitâb dalam Alquran, ada yang secara
jelas menunjuk kepada kepada komunitasi Yahudi dan Nasrani antara lain
ditrmukan dalam QS. Ali Imran (3): 64-65. Ayat tersebut berisikan tentang tuntunan kepada pengikut
Muhammad agar menjalin hubungan yang harmonis dengan dua agama sebelumnya.
Yaitu Yahudi dan Nasrani, dan larangan untuk berbantah-bantahan tentang
Ibrahim, sedangkan pada term yang lain terkadang ahl al-kitâb hanya
ditujukan pada Yahudi atau khusus pada Nasrani.[15]
Sementara itu, terdapat pula pendapat yang lain tentang ahl
al-kitâb yang memahaminya tidak hanya sebatas pada kedua komunitas itu,
tetapi mencakup pada semua agama yang memiliki kitab ajaran, baik yang Samawi
maupun yang Ardhi. Tetapi pendapat ini dianggap sangat tidak berdasar, karena
hanya memahami term ahl al-kitâb secara etimologi sebagai kelompok atau
komunitas agama yang mempunyai kitab ajaran. Pendapat ini juga tidak sejalan
dengan pemahaman Nabi saw., terhadap term ahl al-kitâb, sebab terdapat
indikasi dalam sabda Nabi yang mengatakan
Hadis ini wurud ketika Umar bin Khattab menyebut
agama Majusi dan beliau mengatakan tidak mengetahui cara berbuat kepada mereka,
lalu ketika itu Abd rahman bin Auf berkata saya telah mendengarkan bahwa Nabi
pernah bersabda (sebagaimana yang tersebut di atas) yang artinya; Perlakukanlah
mereka (orang-orang Majusi) seperti ahl al-kitâb. Oleh karena itu,
secara batasan makna Nabi tidak memasukkan orang Majusi sebagai ahl al-kitâb.
Sementara itu, terdapat juga term-term yang sepadam dengan
term ahl al-kitab yaitu al-lazina ataenahum al-kitab, al-lazina utu al-kitab,
al-lazina utu nashiban min al-kitab dan al-lazina yakrauna al-kitab min kablik.
Menurut Muin Salim bahwa term ahl al-kitab adalah mereka yang mempunyai
keahlian dalam kitab ajaran-ajarannya atau yang biasa disebut dengan pendeta,
rahib atau ulama di kalangan mereka. Sedang selain term ahl al-kitab
(sebagaimana tersebut di atas) adalah mereka para pengikut kedua kelompok agama
tersebut secara keseluruhan.
III. METODE DAKWAH MENGHADAPI AHL AL-KITÂB
Ada satu asumsi yang mengatakan bahwa Islam yang telah
disosialisasikan pada masyarakat Barat saat ini (yang bernota bene dengan ahl
al-kitab) adalah bukan Islam yang sebenarnya karena pengetahuan tentang
Islam yang mereka dapatkan justru sebaliknya yang diterima seperti halnya
mereka berpendapat Islam tidak mempunyai hak asasi manusia, Islam tidak
menghormati wanita, Islam tidak mengakui pluralisme agama dan lain-lain yang
kesemuanya itu bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya.
Jika asumsi ini memang benar, maka suatu indikasi bahwa metode dakwah Islam
saat ini belum berhasil ditampilkan dan ditanamkan secara benar pada seluruh
masyarakat Barat.
Secara tegas Allah menyodorkan beberapa langkah teknis
untuk mendakwahkan Islam dalam QS. An Nahl (16) 125, sebagai berikut:
أدع الي سبيل
ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن ان ربك هو أعلم بمن ضل عن
سبيله وهو أعلم بالمهتدين
Pada ayat itu
dikatakan bahwa serulah manusia di jalan Allah dengan cara hikmah. Nasihat yang
baik dan berdebatlah dengan cara yang baik.
Sementara itu, bila metode dakwah Islam dispesialisasikan
bagi ahl al-kitab maka ketiga metode yang disebut diatas, dapat
dihubungkan dengan ayat yang lain. Yang lebih spesifik memposisikan ahl
al-kitab sebagai objek dakwah hal ini dapat ditemukan dalam Alquran surah
al Ankabut (29) 46, sebagai berikut:
ولا تجادلوا أهل
الكتاب الا بالتي هي أحسن الا الذين ظلموا منهم وقولوا أمنا بالذي أنزل الينا
وأنزل اليكم والهنا والهكم واحد ونحن له مسلمون
Ayat ini menggambarkan bahwa dakwah kepada mereka harus diformat secara
arif dan berusaha menghindari perbedaan dan lebih mengedepankan norma-norma
ajaran agama yang bersifat unifersal.
Hal yang senada juga digambarkan oleh Alquran untuk
mengajak ahl al-kitab dalam kalimat sawa yaitu pada QS. Ali Imran
(3) 64, sebagai berikut:
قل يا أهل
الكتاب تعالو الي كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد الا الله ولا نشرك به شيئا ولا
يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فان تولو فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
Pada ayat itu jelas bahwa Allah menyeru ahl al-kitab untuk bersama-sama sepakat menghilangkan
perselisihan di antara umat Islam dengan mereka untuk menyembah Allah SWT. dan
tidak mensyarikatkannya.
Dari beberapa langkah yang ditempuh dan dicontohkan oleh Alquran untuk menyikapi ahl
al-kitab, maka tidak berlebihan jika dikatakan Alquran sangat responsible
terhadap ahl al-kitab sebagai suatu objek dakwah Islam yang harus
ditempatkan secara proporsional, karena mereka adalah manusia-manusia yang
beragama ilahiyah yang diakui oleh Allah
SWT.
Maka dari itu, berangkat dari uraian diatas, dakwah Islam
terhadap ahl al-kitab bertujuan untuk mengantarkan mereka untuk kembali
beriman secara murni kepada Allah SWT, dan mengaktualisasikan amal-amal yang
salih[17]
dan menampilkan Islam sebagai agama yang menyerukan kedamaian dan
mensejahtrakan terhadap ummat manusia, sehingga asumsi mereka yang keliru dapat
berubah dan disadari sepenuhnya.
Oleh karena itu,dalam menghadapi ahl al-kitab, tidak
dibenarkan berlaku secara extrim dalam
menyeru mereka. Karena menurut Syekh Abd Rahman Abd Khalid, salah satu
faktor kegagalan terbesar pada misi informasi risalah Islam di zaman
modern ini, ialah bahwa Islam itu lebih baik dari idiologi dan propaganda yang
ada saat itu, Islam lebih baik dari kapitalisme, sosialisme dan komunisme dan
sebagainya[18]
pendapat Syekh Abd Rahman itu memberikan sinyal, bahwa sudah saatnya ummat
Islam meninggalkan metode dakwah terhadap non muslim yang menggunakan
pendekatan Teologis Normatif[19]
dan tiba saatnya untuk menampilkan metode dakwah yang mengedepankan pendekatan
teologi dialogis dan konvergensi,[20]
sehingga khasanah-khasanah dakwah Islam lebih dinamis tetap eksis dan aktual.
IV. PENUTUP
1st. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Dakwah adalah merupakan tanggung jawab Ummat Islam yang
mesti diemban, karena mrupakan denyut nadi yang tak boleh berhenti sampai
kapanpun.
2.
Ahl al-Kitab merupakan kelompok
atau komunitas agama yang memiliki ajaran-ajaran dan petunjuk berupa al-Kitab,
meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang batasan makna itu tetapi
pendapat yang mayoritas hanya terbatas pada komunitas Yahudi dan nasrani.
3.
Metode dakwah dalam menghadapi ahl al-kitab membutuhkan langkah yang arif dan hikmat
sebagai makna yang tertuang dalam kitab suci Alquran dan tiba saatnya
menampilkan dakwah Islam dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan
(Multiapproach).
2nd. Implikasi
Tumbuhnya kesadaran ummat untuk memahami ajaran Islam
secara kaffah akan mengantar pada suatu kondisi dimana tugas dan tanggung
jawabnya sebagai ummatan wa satan untuk mensosialisasikan Islam sebagai ajaran
yang menghembuskan perdamaian kepada seluruh ummat manusia.
Dengan demikian difrensiasi agama akan menjadi wahan dan
nuansa untuk mengekspresikan dakwah Islam secara dinamis dan aktual.
KEPUSTAKAAN
Abd Khaliq, Abd.Rahman. Fusulun
Min al-Siyasati Syariat Fi Da’wah Ila Allah diterjemahkan oleh Marsuni
Sasaki et.all dengan judul Metode dan Strategi Dakwah Islam. Cet.I;
Jakarta: Pustaka al-Kausat, 1996
al-Asfahani, Al-Raghib. Mu’jam
Mufradat al-Afadz al-Qur’an. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Dep. P dan K, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet.III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Ibn Malik, Anas. al-Muwattha’.
t.tp.: Dar al-Syaib, t.th.
Ibn Zakariyah, Abu Husain Ahmad
bin Faris. Mu’jam al-Maqayis al-Lughah. Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr,
1994.
M. Ghalib, M. Ahl al-Kitab;
Makna dan Cakupannya. Cet.I; Jakarta: Paramadina, 1998ز
al-Munawwir, A.W. Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
Nata, Abuddin. Metode Memahami
Agama Islam. Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
Shaleh, A. Rosyad. Management
Dakwah Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Syakir, Asmuni. Dasar-Dasar
Strategi Dakwah Islam. Surabaya: al-Ikhlas, 1983
Syihab, Alwi. Islam Inklusif.
Cet.IV; Bandung; Mizan, 1998
[1] Penomena sejarah
ini-mau tidak mau, telah mengundang aneka analisis dan teori, terutama tentang
wacana “Perjanjian Madinah” yang telah dibuat oleh Nabi dengan orang-orang
Yahudi Nasrani dan Majuzi.
[2] Lihat QS.al-Maidah
(5):73. “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah
satu dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa.
Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka akan timpa siksaan yang pedih”.
[5] Abu Husain Ahmad bin
Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis al-Lughah (Cet. I; Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), h. 350
[9] A.W. al-Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir,
1984), h.49.
[15] Lihat QS.al-Baqarah
(2):105. Ahl al-Kitâb dalam ayat itu berusaha memperdayakan ummat Islam
agar kembali ke kufuran dan tidak menghendaki diturunkan kebaikan kepada kaum
muslim (term ini untuk Yahudi) dan lihat pula QS. Al-Nisa (4):17. Term ahl
al-kitâb pada ayat ini khusus untuk kaum nasrani, karena di dalamnya
diungkapkan kecaman tentang sikap Nasrani yang terlalu melebih-lebihkan atau
mengkultuskan Nabi Isa al-Masih sebagai Tuhan bagian dari Trinitas.
[17] Tujuan dakwah
terhadap ahl al-kitab ini,
berangkat dari pemahaman dan interperetasi ayat dalam QS. Al Maidah (5) 69.
Yaitu :
إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئون والنصاري من آمن
بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلا خوف عليهم ولاهم يحزنون
Menurut hemat
penulis, ahl al-kitab yang beriman kepada Allah SWT, secara murni dan
beramal shalih, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan perbuatan mereka dan tetap
mendapat balasan dari sisi Tuhan yang maha pengasih dan penyayang.
[19] Teologis Normatif
adalah upaya memahami dan meneliti sesuatu yang bertitik tolak dari
doktrin-doktrin dan norma-norma yang bertolak dari satu keyakinan yang diakui
kebenarannya. Lihat Abuddin Nata, Metode Memahami Agama Islam (Cet.I;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.28.
[20] Teologis dialogis
adalah pendekatan agama melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing
aliran agama dan pendekatan teologis konfergensi adalah pendekatan kepada agama
dengan melihat unsur-unsur persamaan untuk mencari titik temu dari
masing-masing agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar