PERKEMBANGAN KERAJAAN TURKI USMANI
Oleh: Sulaiman Ibrahim
I. Pendahuluan
Sejarah kerajaan Turki Usmani yang ditulis di dalam buku-buku tarikh
Islam di Indonesia sering tidak mendapat porsi sebanyak yang diperoleh Dinasti
Umayyah dan Abbasiyah. Melihat dari hasil budaya yang dipersembahkannya
dipermukaan, Dinasti Turki Usmani ini tidaklah bisa disamakan dengan kedua Dinasti
di atas, tetapi melihat peranannya sebagai benteng kekuatan Islam dalam
menangkal ekspansi bangsa Eropa ke timur, maka dengan ini ia tidak bisa
ditinggalkan begitu saja dalam kajian sejarah Islam.
Turki Usmani telah menunjukkan kehebatannya dalam menangkis serangan
musuh. Serangan-serangan perluasan yang dilakukannya langsung menusuk menusuk
ke wilayah penting, termasuk penaklukan Konstantinopel.
Perjalanan panjang kerajaan Turki Usmani telah menampilkan 35 orang Sultan
dengan corak pkepemimpinan masing-masing. Tetapi sebagaimana Dinasti lainnya,
hukum sejarah juga berlaku, bahwa masa pertumbuhan yang diiringi dengan masa
gemilang biasanya berakhir dengan masa kemunduran bahkan mungkin kehancuran.
Makalah ini akan membahas sejarah berkembangnya kerajaan Turki Usmani
serta kemajuan-kemajuan yang dicapai baik dalam bidang sosial, politik dan
lain-lain.
II.
Pembahasan
A. Asal Mula Kerajaan Turki Usmani
Kerajaan Turki Usmani muncul di pentas sejarah Islam pada periode
pertengahan. Masa kemajuan Dinasti ini dihitung dari mulai digerakkannya
ekspansi ke wilayah baru yang belum ditundukkan oleh pendahulu mereka.
keberhasilan mereka dalam memperluas wilayah kekuasaan serta terjadinya
peristiwa-peristiwa penting merupakan suatu indikasi yang dapat dijadikan
ukuran untuk menentukan kemajuan tersebut.
Pendiri dari kerajaan Turki ini
adalah bangsa Turki dari kabilah Qayigh Oghus[1] salah
satu anak suku Turk yang mendiami sebelah barat gurun Gobi, atau daerah Mongol
dan daerah utara negeri Cina, yang dipimpin oleh Sulaiman. Dia mengajak anggota
sukunya untuk menghindari serbuan bangsa mongol yang menyerang dunia Islam yang
berada di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm pada tahun 1219-1220. Sulaiman dan
anggota sukunya lari ke arah Barat dan meminta perlindungan kepada Jalaluddin,
pemimpin terakhir Dinasti Khawarizm di Transoxiana (maa wara al-Nahr). Jalaluddin
menyuruh Sulaiman agar pergi kearah Barat
(Asia Kecil). Kemudian mereka menetap di sana
dan pindah ke Syam dalam rangka menghindari serangan mongol. Dalam usahanya
pindah ke Syam itu, pemimpin orang-orang Turki mendapat kecelakaan. Mereka
hanyut di sungai Efrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun
1228.[2]
Akhirnya mereka terbagi menjadi 2 kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri
asalnya; dan yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia
kecil. Kelompok kedua ini berjumlah 400 kepala keluarga yang dipimpin oleh
Ertugril (Erthogrol) ibn Sulaiman. Mereka mengabdkan dirinya dirinya kepada Sultan
Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang pusat pemerintahannya di Kuniya,
Anatolia Asia Kecil.
Pada saat itu, Sultan Alauddin II
sedang menghadapi bahaya peperangan dari bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan
di Romawi Timur (Byzantium).
Dengan bantuan dari bangsa Turki pimpinan Erthogrol, Sultan Alauddin II dapat
mencapai kemenangan. Atas jasa baik tersebut Sultan menghadiahkan sebidang
tanah yang perbatasan dengan Bizantium. Sejak itu Erthogrol terus membina
wilayah barunya dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut wilayah Byzantium.[3]
Pada tahun 1288 Erthogrol meninggal dunia, dan meninggalkan putranya yang
bernama Usman, yang diperkirakan lahir pada 1258 M. usman inilah yang ditunjuk
oleh Erthogrol untuk meneruskan kepemimpinannya dan disetujui serta didukung
oleh Sultan Saljuk pada saat itu. Nama Usman inilah yang nanti diambil sebagai
nama untuk Kerajaan Turki Usmani. Usman ini pula yang dianggap sebagai pendiri Dinasti
Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II.
Kemenangan-kemenangan dalam setiap pertempuran dan peperangan diraih oleh
Usman. Dan berkat keberhasilannya maka benteng-benteng Bizantium yang
berdekatan dengan Broessa dapat ditaklukkan. Keberhasilan Usman ini membuat Sultan
Alauddin II semakin simpati dan banyak memberi hak istimewa pada Usman. Bahkan
Usman diangkat menjadi gubernur dengan gelar Bey, dan namanya selalu disebut
dalam do’a setiap khutbah Jum’at.[4]
Penyerangan Bangsa Mongol pada tahun 1300 ke wilayah kekuasaan Saljuk Rum
mengakibatkan terbunuhnya Sultan Saljuk tanpa meninggalkan putra sebagai
pewaris kesultanan.[5] Dalam keadaan kosong
itulah, Usman memerdekakan wilayahnya dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol.
Usman memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani.
B.
Perkembangan Kerajaan Turki Usmani
Dengan jatuhnya jazirah Arab, maka
imperium Turki Usmani mempunyai wilayah yang luas sekali, terbentang dari
Budapest di pinggir sungai Thauna, sampai ke Aswan dekat hulu sungai Nil, dan
dari sungai efrat serta pedalaman Iran, sampai Bab el-Mandeb di selatan jazirah
Arab.[6]
Selama masa kesultanan Turki Usmani (1299-1942 M.) sekitar 625 tahun berkuasa
tidak kurang dari 38 Sultan.
Dalam hal
ini, Syafiq A. Mughni membagi sejarah kekuasaan Turki Usmani menjadi lima periode,[7]
yaitu:
1.
Periode
pertama (1299-1402), yang dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama
sampai kehancuran sementara oleh serangan timur yaitu dari pemerintahan Usman I
sampai pemerintahan Bayazid.
2.
Periode
kedua (1402-1566), ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan
sampai ekspansinya yang terbesar. Dari masa Muhammad I sampai Sulaiman I.
3.
Periode
ketiga (1566-1699), periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan
wilayahnya. Sampai lepasnya Honggaria. Namun kemunduran segera terjadi dari
masa pemerintahan Salim II sampai Mustafa II.
4.
Periode
keempat (1699-1838), periode ini ditandai degan berangsur-angsur surutnya
kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah yang di tangan para penguasa wilayah,
dari masa pemerintahan Ahmad III sampai Mahmud II.
5.
Periode
kelima (1839-1922) periode ini ditandai dengan kebangkitan cultural dan
administrates dari negara di bawah pengaruh ide-ide barat, dari masa
pemerintahan Sultan A. Majid I sampai A Majid II.
Persinggungan
Islam dengan Turki melalui sejarah panjang, terhitung sejak abad pertama
hijriyah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela Islam. Pengaruh
Turki dalam dunia Islam semakin terasa pada masa Pemerintahan al-Musta’sim
(640-656 H./1242-1258 M.), khalifah terakhir dinasti Abbasiyah. Sejak masa itu
bangsa Turki dari berbagai suku senantiasa terlibat dalam jatuhbangunnya
berbagai dinasti di daerah mana mereka bertempat tinggal dan mengabdi.[8]
1.
Perluasan Wilayah
Setelah Usman mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja
besar keluarga Usman), pada tahun 1300 M. dia memulai memperluas wilayahnya.[9]
Perluasan wilayah (ekspansi) para Sultan Usmani menjadi model. Hal ini
berlangsung paling tidak sampai dengan masa Pemerintahan Sulaiman
I. untuk mendukung hal itu, Orkhan
membentuk pasukan tangguh yang dikenal dengan Inkisyariyyah. Pasukan Inkisyariyah
adalah tentara utama Dinasti Usmani yang terdiri dari bangsa Georgia dan Armenia yang
baru masuk Islam.[10]
Ternyata, dengan pasukan tersebut seolah-olah Dinasti Usmani memiliki mesin
perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi
penaklukan negeri-negeri non Muslim. Maka pada masa orkhan I kerajaan Turki
Usmani dapat ditaklukkan Azmir (Asia kecil), tahun
1327, Thawasyani (1330), Uskandar (1338), Ankara
(1354), dan Gholipolli (1356). Daerah-derah ini adalah bagian dunia eropa yang
pertama kali dapat dikuasai kerajaan Usmani.[11]
Ekspansi yang lebih besar terjadi
pada masa Murad I.
di masa ini berhasil ditaklukan wilayah Balkan, Adrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (ibukota Bulgaria) dan
seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih oleh Murad I,
kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa timur menjadi Murka. Mereka lalu
menyusun kekuatan yang terdiri atas Hongaria,
Bulgaria Serbia dan
Walacia (Rumania),
untuk menggempur Dinasti Usmani. Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran tersebut,
kemenangan tetap dipihak Dinasti Usmani. Ekspansi berkutnya dilanjutkan oleh
putranya, Bayazid I.
Sultan Bayazid naik tahta tahun 1389
M. dengan mendapat gelar Yaldirin atau Yaldrum yang berarti
kilat, karena terkenal dengan serangan-serangannya yang cepat terhadap
lawan-lawannya. Perluasan wilayah terus berlanjut dan dapat menguasai Salocia
dan Morea. Bayazid juga memperoleh kemenangan dalam perang salib di Nicapolas
(1394).
Ketika Sultan Bayazid sedang
memusatkan perhatiannya untuk menghadapi musuh-musuhnya di Eropa. Ia ditantang
oleh Musuh sesama Muslim Yang datang dari Timur Lenk. Seorang raja keturunan
bangsa Mongol yang telah memeluk Islam dan berpusat di Samarkhand. Timur Lank
mendapat dukungan dari negeri-negeri di Asia kecil yang tak mau tunduk kepada Bayazid.
Akhirnya terjadi pertempuran hebat di Ankara
tahun 1402 M. Bayazid dengan kedua putranya, Musa dan Ergthogrol dikalahkan dan
di tawan oleh Timur tahun 1402. kekalahan ini membawa akibat buruk bagi Turki
Usmani. Penguasa-penguasa di Asia kecil
melepaskan diri dari pemerintahan Usmani. Wilayah Serbia dan Bulgaria
memproklemirkan kemerdekaannya.[12]
Puncak ekspansi terjadi pada masa Sultan
Muhammad II yang dikenal dengan gelar al-Fatih (sang penakluk). Pada
masanya dilakukan ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran. Kota penting yang
berhasil ditaklukannya adalah Constantinopel (kota kerajaan Romawi Timur) yang ditaklukkan
pada tahun 1453. setelah ditaklukkan, kota
tersebut diubah namanya menjadi Istambul (tahta Islam). Kejatuhan
Constantinopel ke tangan Dinasti Usmani memudahkan tentara Usmani menaklukkan
wilayah lainnya., seperi Serbia,
Albania
dan Hongaria.
Sultan Muhammad meninggal pada tahun
1481 M. dan digantikan oleh putranya Bayazid II. Berbeda dengan ayahnya, Sultan
Bayazid II lebih mementingkan kehidupan tasawuf dari pada penaklukkan wilayah
dan perang. Hal ini menimbulkan perselisihan yang panjang dan pada akhirnya Sultan
Bayazid II mengundurkan diri dari kursi kesultanan pada tahun 1512 M. dan
digantikan oleh putranya Salim I. pada masa Sultan Salim I, pemerintahan Usmani
bertambah luas hingga menembus Afrika utara, Syiria dapat ditaklukkan dan Mesir
yang diperintah oleh kaum Mamalik ditundukkan pada tahun 1517 M. dan pada masa
inilah para Sultan Usmani menyandang gelar khalifah.[13]
Menurut Ahmad Syalabi, Sultan Salim
I pernah meminta kepada khalifah Abbasiyah di Mesir agar menyerahkan
kekhalifahan kepadanya, ketika ia menaklukkan Dinasti mamalik. Pendapat lain
menyebutkan bahwa gelar “khalifah” sebenarnya sudah digunakan oleh Sultan Murad
(1359-1389 M.) setelah ia berhasil menaklukkan Asia
kecil dan Eropa. Dari dua pendapat ini, Ahmad Syalabi berkesimpulan, para Sultan
kerajaan Usmani memang tidak perlu menunggu khalifah Abbasiyah menyerahkan
gelar itu, karena jauh sebelum masa kerajaan Usmani sudah ada tiga khalifah
dalam satu masa.[14] Pada abad ke 10 M., para
penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah memakai gelar khalifah. Tidak lama
setelah itu, Abd al-Rahman al-Nashir di Spanyol menyatakan diri sebagai
khalifah melanjutkan Dinasti bani Umayyah di Damaskus, bahkan ia mencela para
pendahulunya yang berkuasa di Spanyol yang meras cukup dengan gelar “Amir”
saja. Karena itu ada kemungkinan para penguasa Usmani memang sudah menggunakan
gelar khalifah jauh sebelum mereka dapat menaklukkan Dinasti mamalik, tempat
pusat pemerintahan para khalifah Abbasiyah.[15]
Dengan adanya berbagai ekspansi,
menyebabkan ibukota Dinasti Usmani berpindah-pindah. Sebagai contoh, sebelum
Usman I memimpin Dinasti Usmani,
ia mengambil kota Sogud sebagai ibukotanya. Kemudian
setelah penguasa Dinasti Usmani dapat menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka
pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung
sampai pemerintahan Murad I. ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu
dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Constantinopel oleh
Muhammad II, yang kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota
pemerintahan yang terakhir.
Ada
lima faktor
yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Usmani dalam perluasan wilayah Islam. (1)
kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita
memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). (2) sifat dan karakter
orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga
memudahkan untuk tujuan penyerangan. (3) semangat jihad dan ingin mengembangkan
Islam. (4) letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga
sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia.
Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat Bosphaoras dan selat
Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia,
kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur. (5) kondisi kerajaan-kerajaan
di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Usmani mengalahkannya.[16]
2.
Kemajuan-Kemajuan Yang Capai
a. Sosial
Politik dan Administrasi negara
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani berlangsung dengan
cepat, hal ini diikuti pula oleh kemajuan dalam bidang politik, terutama dalam
hal mempertahankan eksistensinya sebagai negara besar. Hal ini berkaitan erat
dengan sistem pemerintahan yang diterapkan para pemimpin Dinasti ini. Selain
itu, tradisi yang berlalu saat itu telah membentuk stratifikasi yang membedakan
secara menyolok antara kelompok penguasa (small group of rulers) dan
rakyat biasa (large mass). Penguasa yang begitu kuat itu bahkan memiliki
keistimewaan: (1) pengakuan dari bawahan untuk loyal pada Sultan dan negara,
(2) penerimaan dan pengamalan, serta sistem berfikir dalam bertindak dalam
agama yang dianut merupakan kerangka yang integral, (3) pengetahuan dan amalan
tentang sistem adat yang rumit. Yang terpenting adalah bahwa para pejabat dalam
hal apapun tetap sebagai budak Sultan. Tugas utama seluruh warga negara, baik
pejabat maupun rakyat biasa adalah mengabdi untuk keunggulan Islam, melaksanakan
hukum serta mempertahankan keutuhan imperium.
Sebagai struktur masyarakatnya
sangat heterogen, Dinasti Usmani mempunyai kekuasaan yang menentukan nasib
warga Timur Tengah dan Balkan, sampai pada tingkat yang luar biasa. Dinasti Usmani
tersebut mendominasi, mengendalikan dan membentuk masyarakat yang dikuasainya.
Salah satu konsep utama yang diterapkan oleh Usmani adalah perbedan antara askeri
dan ri’aya, yakni antara kalangan elit penguasa dan yang dikuasai, elit
pemerintah dan warga Negara, antara tentara dan pedagang, antar petugas
pemungut pajak dan pembayar pajak. Bahkan, untuk menjadi kelas penguasa
seseorang harus dididik dalam kebahasaan dan tata cara yang khusus yang disebut
dengan tata cara Usman. Seseorang dapat menjadi elit Usmani melalui keturunan
atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan, kemiliteran atau pendidikan
sekolah keagamaan.[17]
b. Bidang
Militer
kerajaan Turki Usmani telah mampu menciptakan pasukan militer yang mampu
mengubah Negara Turki menjadi Mesin perang yang paling tangguh dan memberikan dorongan yang amat besar dalam
penaklukan negeri-negeri non Muslim. Bangsa-bangsa non Turki dimasukkan sebagai
anggota, bahkan anak-anak Kristen di asramakan dan dibimbing dalam suasana
Islam untuk dijadikan prajurit.
Ketika terjadi kekisruan ditubuh militer, maka Orkhan mengadakan
perombakan dan pembaharuan, yang dimulai dari pemimpin-pemimpin personil
militer. Program ini ternyata berhasil dengan
terbentuknya kelompok militer baru yang disebut dengan pasukan Janissari
atau Inkisyariyah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara Usmani
menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan kuat dalam
penaklukan negeri Non Muslim. Selain itu, ada juga ada juga tentara feodal yang
dikirim kepada pemerintah pusat, pasukan ini disebut tentara atau kelompok
militer Thaujiah.[18]
Keberhasilan ekspansi wilayah dibarengi dengan terciptanya jaringan
pemerintah yang teratur. Di masa Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab
undang-undang (qonun) yang diberi nama Multaqa al-Abhur. Kitab
ini menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya
reformasi abad ke-19.
Pengelolaan administrasi pemerintah tidaak hanya terbatas sampai
ketingkat propinsi, tetapi selanjutnya diefektifkan dengan membentuk
daerah-daerah tingkat II yang dikepalai masing-masing seorang kepala daerah
(sanjaks). Di tingkat pusat, di samping ada sultan ada grand vizier
(perdana menteri) yang dibantu oleh beberapa pembantu,diantaranya oleh para
ulama yang berfungsi sebagai lembaga pemberi fatwa atau dewan pertimbangan.[19]
Sebuah administrasi birokratik sangat diperlukan dalam pengkajian militer
budak. Orkhan (1324-1360) melantik seorang wazir untuk menangani administrasi
dan kemiliteran pusat dan mengangkat sejumlah gubernur sipil untuk sejumlah
propinsi yang ditaklukkan. Kepala-kepala jabatan disatukan dalam sebuah dewan
kerajaan. Lantaran Dinasti Usmani semakin meluas, beberapa propinsi yang semula
merupakan daerah jajahan yang harus menyerahkan upeti digabungkan menjadi
sebuah sistem administrasi. Unit propensial yang terbesar, yang dinamakan baylerbayliks,
dibagi menjadi sanjak-bayliks dan selanjutnya dibagi-bagi menjadi timarliks
yang distrik tersebut diserahkan kepada pejabat-pejabat militer sebagai
pengganti gaji mereka. Pada abad ke-16, term vali telah menggantikan baylerbayliks
dengan pengertian seorang gubernur, dan term eyelet digunakan dengan
arti propisi di Eropa, yakni Rumania dan Transilvania, Crimea, dan beberapa
distrik di Anotalia yang berada dalam pengawasan masyarakat Kurdi dan Turki
tetap berlangsung sebagai propinsi semi mereka yang wajib menyerahkan upeti.[20]
c. Bidang
Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Dalam bidang pendidikan, Dinasti Usmani
mengantarkan pada pengorganisasian sebuah sistem pendidikan madrasah yang
tersebar luas. Madrasah Usmani pertama didirikan di Izmir pada tahun 1331, ketika itu sejumlah
ulama di datangkan dari Iran
dan Mesir untuk mengembangkan pengajaran Muslim dibeberapa toritorial baru.[21]
Tapi hal ini tidak begitu berkembang, karena Turki Usmani lebih memfokuskan
kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sehingga dalam khazanah Intelektual
Islam kita tidak menjumpai ilmuan terkemuka dari Turki Usmani.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, memang kerajaan Turki Usmani tidak
menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian ilmiah seperti di masa Daulah
Abbasiyah. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan
hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ulama hanya
suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan), dan hasyiyah
(catatan pinggir) terhadap karya-karya klasik yang telah ada. Namun dalam
bidang seni arsitektur, Turki Usmani banyak meninggalkan karya-karya agung
berupa bangunan yang indah, seperti Mesjid Jami’ Muhammad al-Fatih, mesjid
agung Sulaiman dan Mesjid Abu Ayyub al-Anshary dan mesjid yang dulu asalnya
dari gereja Aya Sophia. Mesjid tersebut dihiasi dengan kaligrafi oleh Musa
Azam.[22] Pada
masa Sulaiman di kota-kota besar lainnya banyak dibangun mesjid, sekolah rumah
sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum.
d. Bidang Ekonomi
dan Keuangan Negara
karena Turki mengusai beberapa kota
pelabuhan utama, seperti pelabuhan-pelabuhan sepanjang laut tengah (Afrika
Utara), pelabuhan laut merah, teluk
Persia, pelabuhan di Siria (pantai Libanon sekarang), pantai Asia Kecil dan
yang paling strategis adalah pelabuhan Internasional Konstantinopel yang
menjadi penghubung Timur dan Barat waktu itu, maka Turki menjadi penyelenggara
perdagangan, pemungut pajak (cukai) pelabuhan yang menjadi sumber keuangan yang
besar bagi Turki.
Keberhasilan Turki Usmani dalam
memperluas kekuasaan dan penataan politik yang rapi, berimplikasi pada kemajuan
social ekonomi Negara, tercatat beberapa kota industri yang ada pada waktu itu,
antara lain: (a) Mesir yang memperoleh produksi kain sutra dan katun, (b)
Anatoli memproduksi bahan tekstil dan wilayah pertanian yang subur. Kota
Anatoli merupakan kota
perdagangan yang penting di rute Timur dalam perindustrian dalam hasil industri
dan pertanian di Istambul, polandia dan Rusia. Para
pedagang dari dalam maupun dari luar negeri berdatangan sehingga wilayah Turki
menjadi pusat perdagangan dunia pada saat itu.[23]
Selain dari sumber perdagangan,
Turki Usmani memiliki sumber keuangan Negara yang sangat besar, yaitu dari
harta rampasan perang, dari upeti tanda penaklukkan Negara-negara yang
ditundukkan serta dari orang-orang zhimmi.
B.
Kemunduran Turki Usmani
Pada akhir kekuasaan Sulaiman al-Qanuni I kerajaan Turki Usmani berada
ditengah-tengah dua kekuatan monarki Austria di Eropa dan kerajaan Syafawi di
Asia. Melemahnya kerajaan Usmani setelah wafatnya Sulaiman I dan digantikan
oleh Salim II. Pengganti kepemimpinan ini ternyata tidak mampu menghadapi
kondisi tersebut. Pada awal abad ke-19 para Sultan tidak mampu mengontol
daerah-daerah kekuasaannya. Dan melemahnya militer Turki Usmani berakibat
munculnya pemberontakan-pemberontakan. Beberapa daerah berangsur-angsur mulai
memaisahkan diri dan mendirikan pemerintah otonom.
Di Mesir, kelemahan-kelemahan kerajaan Turki Usmani membuat Mamalik
bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M., Mamalik
kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis
tahun 1798 M.[24] Demikian pula
pemberontakan-pemberontakan terjadi di Libanon dan Syiria, sehingga kerajaan
Turki Usmani mengalami kemunduruan, bukan saja daerah-daaerah yang tidak
beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk muslim.
Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani ini mengalami kemunduran,
di antaranya adalah:
1.
Wilayah
kekuasaan yang sangat luas yang tidak dibarengi dengan Administrasi dan potensi
yang kuat.
2.
Kelemahan
para penguasa, baik dalam kepribadian maupun dalam kepemimpinan yang berakibat
pemerintahan menjadi kacau.
3.
Pemberontakan
tentara jenissari
4.
Heterogenitas
penduduk. Wilayah yang luas yang didiami penduduk yang beragam, baik dari segi
agama, suku, ras, etnis dan adat istiadat acap kali melatarbelakangi terjadinya
pemberontakan.
5.
Merosotnya
ekonomi. Akibat perang yang berkepanjangan sehingga perekonomian negara
merosot.
III. Kesimpulan
Suku Turki terkenal sebagai suku bangsa yang berjiwa militer, mempunyai
kemampuan mengatur strategi perang, sehingga mereka mampu mempertahankan
keutuhan kerajaan dalam waktu yang lama. Karena berjiwa militer, maka ketaatan
terhadap pemimpinnya (sultan) sangat menonjol, yang diikuti dengan pejabat
kerajaan yang hampir semua dari golongan mereka, sehingga persaingan dengan
suku bangsa lain tidak terjadi.
Turki Usmani yang disibukkan dengan usaha-usaha penaklukan tentu saja
tidak sempat terlalu banyak mempersembahkan karya-karya material yang bisa
dinikmati sekarang. Akan tetapi, peranannya dalam memperluas wilayah,
membendung serangan musuh dan meneruskan estafet kekuasaan Islam, terutama
ketika menaklukkan Konstantinopel.
DAFTAR PUSTAKA
Brockkmann,
Carl, History of the Islamic Peoples, London: Routledge & Kegan Paul, 1982
Esposito, John
L., The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World, Oxford: Oxford
Univercity Press, 1995, vol. vi
Ensiklopedi Islam, jilid IV, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990
Hamka, Sejarah Umat
Islam III, Jakarta:
Bulan Bintang, 1981
Hasan,
Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, Cairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976, jilid IV,
Hasan Ibrahim
Hasan, Mausu’at al-Tarikh al-Islami V, Kairo: Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyah, 1967
Lapidus, Ira
M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999, jilid I.
Mughni, A. Syafiq, Sejarah
Kebudayaan di Turki, Jakarta:
Logos, 1997
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya
I, Jakarta:
UI Press, 1992
Siti Maryam
dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2002
Syalabi, Ahmad,
Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah,
tth.
Yatim, Badri,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002, cet. XIII,
[1] John L.Esposito, The Oxford Encyclopedia of the
Modern Islamic World, (Oxford: Oxford Univercity Press, 1995), vol. vi, h.
63, lihat juga Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Cairo: Maktabah
al-Nahdhah al-Misriyah, 1976), jilid IV, h. 324
[2]A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki,
(Jakarta: Logos, 1997), h. 51
[3]Siti Maryam dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam
dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), h. 132
[4]A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki,
h. 52
[5]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai
Aspeknya, h. 945
[6]Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami,
(Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, tth.) h. 660
[7] A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki,
h. 54
[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), cet. XIII, h. 130
[10]Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), h. 59
[11]Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 131
[12] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki,
h.59,lihat juga Carl Brockkmann, History of the Islamic Peoples,
(London: Routledge & Kegan Paul, 1982), h. 328
[13]
Carl Brockkmann, History of the Islamic
Peoples, h. 328-329
[14] Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami,
h. 34-35, Lihat juga Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, h.133
[16] Ensiklopedi Islam, jilid IV, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1990), h. 60
[17]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), jilid I, h.496-497
[18] Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami,
h.41
[20]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), jilid I dan II, terj, h. 488-489
[21] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h.
499
[22] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h.
499
[23]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h.
498
[24] Hasan Ibrahim Hasan, Mausu’at al-Tarikh al-Islami
V, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1967), h. 342
1 komentar:
materinya bagus,, sayang fontnya kurang menarik
Posting Komentar