GLOBALISASI DAN KEMISKINAN DI
INDONESIA:
PELUANG ATAU HAMBATAN UPAYA
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Abstrak
Tulisan ini
berusaha mendiskusikan implikasi globalisasi terhadap upaya penanggulangan
kemiskinan. Globalisasi yang pada awalnya dipahami sebagai fenomena teknologi
komunikatif ternyata berimplikasi ekonomi-politis. Tidak hanya integrasi dunia
tetapi juga mengandung proses liberalisasi pasar dunia. Fenomena globalisasi
bukanlah hal baru tetapi telah eksis sejak abad 19. Globalisasi dan
liberalisasi pasar telah terjadi dan dialami Indonesia sejak pedagang Eropa
melakukan kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara.
Kemudian memunculkan penjajahan (kolonial) dan membawa implikasi cukup penting
bagi kesejahteraan masyarakat. Peluang kerja memang terbuka karena investasi
mengalir cukup deras. Namun, tanah-tanah masyarakat dikuasai oleh pengusaha
asing dengan sewa jangka panjang atau dikuasai secara semena-mena. Masyarakat
terusir dari tanahnya dan kehilangan alat produksi utama. Untuk mereguk
keuntungan para pengusaha asing memperkerjakan masyarakat lokal dengan upah
rendah. Walaupun terintegrasi dengan pasar dunia, kesejahteraan masyarakat
lokal tidak berubah karena pasar sepenuhnya dikuasai para pedagang asing yang
menguasai teknologi, alat komunikasi dan transportasi. Ada perubahan tetapi tidak ada implikasi bagi
perbaikan kesejahteraan. Justru kemiskinan meluas.
Globalisasi
yang terjadi pada abad 21 ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan globalisasi
pada abad 19. Kalau dulu pasar dikuasai negara maju (kapitalis) dengan cara
menduduki (dijajah) sekarang dibungkus dengan mission sacree diselimuti
diplomasi politik dengan taktik lehih halus. Dibalik itu hakekat hasrat
negara-negara maju berusaha menguasai dan sebagai mencari jalan (strategi)
untuk melipat gandakan keuntungan tidaklah berbeda. Mungkin saja
peluang-peluang usaha tercipta tetapi lebih banyak dinikmati mereka yang telah
menyiapkan diri untuk berkompetisi. Tidak semua negara dan lapisan masyarakat
bisa menikmati peluang yang tercipta dalam era globalisasi. Implikasi bagi
penganggulangan kemiskikan tentunya tergantung pada masyarakat lokal dalam
menyikapi globalisasi itu. Setidaknya masyarakat perlu mempertimbangkan
menerima atau menyetujui bila globalisasi dapat menguntungkan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Perlu menolak dengan tegas bila globalisasi tidak
mempunyai implikasi bagi peningkatan kesejahteraan dan menghambat
penanggulangan kemiskinan.
PENGANTAR
Globalisasi
dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar
(barang dan uang) yang di dalamnya mengandung banyak implikasi bagi kehidupan
manusia. Dalam laporan World Development Report (World Bank, 1995:3 ) dilaporkan
bahwa integrasi dunia dapat memicu pertumbuhan ekonomi sehingga dapat
mengurangi kesenjangan dan kemiskinan melalui effek ganda (multiplier effects)
perluasan peluang kerja dan peningkatan upah riel. Bagi negara maju karena
ketersediaan dukungan berbagai keunggulan, barangkali hipotesis itu dapat
menjadi kenyataan. Bagi kebanyakan negara berkembang dengan berbagai macam
kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya
menguntungkan pemilik modal (negara-negara maju) dan akan menimbulkan
malapetaka bagi negara-negara berkembang. Masyarakat miskin yang merupakan
mayoritas penduduk negara berkembang mungkin tidak dapat menikmati
peluang-peluang yang tercipta dan bahkan terpaksa tersisih dan terjerembab
dalam pusaran kemiskinan.
Berangkat dari
pemikiran itu, tulisan ini berusaha membahas implilkasi globalisasi pada
beberapa aspek kehidupan, terutama kemiskinan. Atas dasar itu kemudian
diusahakan untuk menelaah apakah globalisasi dapat membuka peluang atau justru
menghambat upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Bahasan dimulai dengan
mendiskusikan aspek-aspek yang terkait dengan globalisasi. Berikutnya dibahas
implikasi globalisasi di Indonesia
yang dipusatkan pada implikasi pada ekonomi, sosial dan politik. Pada bagian
akhir dibahas implikasi pada upaya penanggulangan kemiskinan.
GLOBALISASI
Globalisasi
apakah ia hasil rekaan, kesepakatan atau paksaan dan terserah apa latar
belakang kemunculannya, ia telah menjadi istilah populer. Ada harapan terselip padanya karena
menjanjikankan peluang-peluang. Ada
kala memunculkan ketakutan dan menghantui pemikiran karena khawatir akibat yang
akan ditimbulkannya. Realitas menunjukkan bahwa istilah itu dengan berbagai
macam penafsiran telah menjadi isu dan pembicaraan di mana-mana. Terlepas dari
segala macam penafsiran globalisasi ditenggarai sebagai sebuah proses yang
kompleks (Giddens, 2000: 38). Kekomplekkan ini muncul karena ia digerakkan oleh
berbagai kekuatan, baik budaya, teknologi, politis maupun ekonomi. Tidak
mengherankan bila kemudian ia dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Ia tidak
hanya merubah kehidupan sehari-hari tetapi juga menciptakan kekuatan-kekuatan
internasional baru. Bahkan disadari atau tidak, globalisasi telah
mentranformasikan ruang dan waktu serta institusi-institusi, baik sosial maupun
ekonomi.
Globalisasi
adalah terminologi baru tetapi eksistensinya telah ada sejak lama. Gejala
globalisasi telah muncul pada abad 19 sebagai rekaan demokrasi sosial gaya lama (Giddens, 2000:
32-33). Gejala itu muncul sejak petualang dan pedagang Eropah mejelajahi dunia.
Era merkantilis pertengahan abad 19 dengan dukungan transportasi laut boleh
dikatakan sebagai awal globalisasi abad 19. Saat itu perdagangan dan
perekonomian dunia sudah terbuka dan dikuasai pedagang Eropa (negara maju). Jalur
perdagangan dan pasar dunia dikuasai dan dimonopoli pedagang Eropa. Monopoli
tidak hanya memalui diplomasi tetapi diusahakan melalui kekerasan (peperangan)
dalam upaya menundukan dan hasrat menguasai kerajaan-kerajaan di Asia, Afrika, Amerika Latin untuk dijadikan daerah
jajahan demi kepentingan perdagangan (sumber bahan mentah dan pasar). Ketika
itu muncul koloni-koloni yang sudah dikuasai sehingga dengan mudah untuk
dikontrol aktivitas perdagangannya. Dengan demikian keuntungan para pedagang
dapat dilipat gandakan dan negara bisa mengambil keuntungan untuk membiaya
pembangunan di negara asal.
Apa beda antara
globalisasi abad 19 dengan abad 21 ini. Perbedaan terletak pada cara dan
pendekatan yang dipakai dalam penguasaan dan dalam hal kecepatan serta cakupan.
Penguasaan pasar dan perdagangan tidak lagi dengan menguasai secara fisik,
seperti abad 19, tetapi melalui pendekatan dengan menggunakan instrumen
politik, budaya dan teknologi. Negara-negara maju dan para pemilik modal
berskala internasional tidak perlu bersusah payah dan berlama-lama diperjalanan
untuk melakukan transaksi perdagangan. Melalui kerjasama kelompok dalam pasaran
bersama, ekpansi pasar dapat dilakukan. Kerjasama pemasaran diorganisir dan
berdasarkan kesepakatan politis dibentuk forum di sebut AFTA, NAFTA, APEC, WTO
dsbnya. Melalui forum itu dilakukan perjanjian mengenai hak dan kewajiban
masing-masing anggota dalam mewujudkan ekspansi dan penguasaan pasar. Negara
yang mempunyai kekuatan lobi politis cenderung akan lebih diuntungkan ketimbang
negara yang lobi politis lemah. Secara politis negara-negara maju yang
mempunyai lobi politis lebih kuat akan banyak menguasai dan diuntungkan dengan
liberalisasi ekonomi dalam era globalisasi abad ini.
Penguasaan
pasar bisa juga dilakukan lewat media teknologi. Menggunakan teknologi
komunikasi mutakhir negara-negara maju dengan mudah melakukan transaksi
perdagangan menembus batas-batas negara dalam waktu sangat cepat dan singkat.
Integrasi ekonomi menuju pada perekonomian sepenuhnya global melampoi dan tanpa
ada batas-batas negara. Teknologi mempercepat proses intergrasi dan dengan
sekejap mata dapat mempengaruhi masyarakat dunia di mana pun berada. Informasi
dengan mudah menyebar keseluruh dunia tanpa ada yang bisa mengontrolnya. Siapa
saja yang mempunyai akses dan mengusasai teknologi komunikasi mutakhir, di mana
pun dia berada dengan mudah dan leluasa berinteraksi dengan dunia. Transaksi
apa pun dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu bersusah payah. Dunia semakin
terbuka dan dengan segala macam implikasinya. Implikasi tidak saja ekonomi dan
politik tetapi juga pada hidup keseharian, seperti gaya hidup, pola makan dan seterusnya.
BEBERAPA IMPLIKASI
Implikasi
globalisasi tdak sama untuk tiap negara dan masyarakat meskipun ada
kecenderungan memiliki kemiripan. Letak geografis dan daya resistensi suatu
negara dan masyarakat agaknya dapat mempengaruhi implikasi. Karenanya, derajad
keterpengaruhan globalisasi antar negara dan masyarakat juga bisa berbeda.
Tidak cukup ruang untuk mendiskusikan berbagai macam implikasi diberbagai
negara dan masyarakat. Sesuai dengan fokus pembahasan maka implikasi hanya
dipusatkan pada pengalaman dan realitas yang terjadi di Indonesia. Simplifikasi dan reduksi
mungkin saja terjadi sehingga tidak dapat memberikan gambaran utuh menyeluruh.
1. Implikasi globalisasi abad
19
Pertama mari
kita cermati implikasi globalisasi abad 19 pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Setelah petualang dan pedagang dari Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris
melakukan kontak dagang dengan masyarakat Indonesia kemudian disusul dengan
pedagang Belanda. Pada tahap berikutnya Belanda mengunakan armada untuk
menaklukan dan menduduki sebagai upaya untuk memonopoli perdagangan. Upaya
monopoli diwujudkan melalui maskapai perdagangan Belanda (VOC), tidak sama
tetapi sepak terjang ada kemiripan dengan multi corporation atau perusahaan
trans nasional. Monopoli perdagangan dengan kekerasan tidak hanya menyingkirkan
masyarakat Indonesia
tetapi juga telah mematikan berbagai macam benih aktivitas ekonomi yang sangat
penting dan sekaligus mematikan bibit kewiraswastaan (Furnival, 1944: 45).
Demikian juga, Masvelt (1979: 79) menyimpulkan bahwa perdagangan yang di
monopoli oleh pedagang yang disponsori oleh maskapai perdagangan Belanda telah
menghancurkan industri pribumi. Perdagangan bebas yang diterapkan oleh Belanda
menyebabkan Indonesia
kebanjiran barang-barang pruduk Eropa. Pada saat itu Indonesia hanya berfungsi sebagai
penghasilan bahan mentah dan juga pasar untuk mendukung kegiatan industri di
Eropa.
Untuk mendukung
kepentingan perdagangan dan menggerakkan industri di Eropa, kolonial Belanda
mengundang dan mengizinkan pengusaha-pengusaha, terutama pengusaha Eropa untuk
menanamlkan modal mereka di Indonesia. Melalui kebijakan pertanahan (agrarian
law) dengan menerapkan sistem sewa jangka panjang dan hak penguasaan yang
cukup ringan dan menguntungkan pengusaha. Modal asing secara besar-besaran
masuk ke Indonesia
dipenghujung abad 19 di awali dengan penanam modal pengusaha Inggris di
perkebunan teh (Hall, 1988: 733-735). Kemudian pengusaha Eropa dari Swiss,
Belgia dan Jerman berdatangan dan menanamkan modalnya di Indonesia dalam kegiatan minyak,
timah dan perkebunan. Modal Belanda sekitar 75 persen, Inggiris 13,5 per sen
dan Amerika 2,5 persen. Bersamaan dengan itu pekerja asing juga masuk ke
Indoensia. Diperkirakan ada sekitar 16.476 pekerja (tidak termasuk Cina, India
dan Belanda) yang bekerja di perusahaan asing di berbagai daerah di Indonesia.
Tanah-tanah
disewa oleh perusahaan asing untuk diusahakan sebagai lahan perkebunan tebu,
kelapa sawit, coklat, karet , indigo dll. Tanaman yang diusahakan adalah
tanaman untuk keperluan bahan mentah dalam upaya mendukung kegiatan industri di
Eropa. Bahkan kolonial Belanda menerapkan program tanam paksa. Pribumi
diharuskan menanam tanaman sesuai dengan kebutuhan pemerintah kolonial Belanda,
misalnya tanaman tebu. Hasil tanam paksa harus diserahkan pada pabrik-pabrik
tebu milik pengusaha kolonial Belanda dengan harga yang telah ditetapkan oleh
kolonial Belanda. Menurut Hall (1988: 732) ketika itu seluruh kegiatan ekonomi
di Indonesia
di kuasai oleh kolonial Belanda dan pengusaha asing sedang kegiatan ekonomi
pribumi dibatasi dan dipinggirkan dengan menggunakan beberapa peraturan yang
membatasi wilayah arena perdagangan. Misalnya perdagangan antar pulau hanya
dibolehkan bagi pedagang Eropa. Pedagang perantara pengumpul hanya diizinkan
bagi pengusaha keturunan Cina. Bahkan buruh di perusahaan timah dan minyak
hanya memperkerjakan pekerja dari Cina. Pribumi hanya menjadi kuli kontrak atau
buruh kasar dan hanya diizinkan berdagang atau membuka industri kecil di
pedesaan. Kontrol terhadap harga dan pembatasan wilayah perdagangan disertai
monopoli pasar menyebabkan masyarakat lokal tidak memiliki ruang gerak dan
keterbatasan peluang untuk terlibat pada aktivitas ekonomi yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Gambaran itu
memberikan pemahaman bahwa proses liberalisasi ekonomi yang dimulai tahun 1870
itu tidak hanya meminggirkan dan menyingkirkan penduduk pribumi dari tanah dan
aktivitas ekonomi tetapi membatasi pasar dengan diikuti membanjirnya produk
luar negeri, terutama yang berasal dari Eropa (Booth, 1998: 372).
Ketidakmampuan bersaing menyebabkan industri lokal pribumi tidak berkembang
ibarat pepatah mereka layu atau mati sebelum berkembang. Dalam posisi seperti
itu masyarakat lokal (pribumi) hanya dapat bekerja sebagai petani subsisten
atau pekerja diperkebunan sebagai buruh atau kuli dengan upah sangat rendah
yang tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan. Furnival (1944: 44) menggambarkan
bahwa saat itu kondisi ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat mengerdil alias
hidup serba kekurangan dalam himpitan kemiskinan.
Ditengah
liberalisasi ekonomi pada tahun 1930 terjadi krisis ekonomi. Banyak pengusaha
Eropa mengalami kesulitan bisnis dan bangkrut. Akibatnya, permintaan bahan
mentah dari Indonesia
menurun tajam. Pengusaha perkebunan di Indonesia terpukul dan mengalami
goncangan. Sebagian gulung tikar dan sebagian bertahan tetapi terjadi
pengurangan pekerja dan buruh. Ekonomi yang selama ini bertumpu pada kekuatan
pasar Eropa mengalami stagnasi. Secara langsung ekonomi pribumi tidak mengalami
pukulan yang cukup berarti tetapi berpengaruh pada kehidupan masyarakat karena
ribuan pekerja terpaksa kehilangan pekerjaan. Krisis ekonomi ini telah
memporakporandakan sistem ekonomi modern (kapitalis) sedang ekonomi pribumi
yang sebagian besar masih subsisten mampu bertahan dengan segala macam
kekurangannya. Namun, menurut catatan sejarah di beberapa daerah yang terisolir
mengalami bencana kelaparan karena untuk membantu pemulihan ekonomi pemerintah
Belanda di Eropa anggaran pemerintah kolonial untuk membeli persedian bahan
pangan berkurang. Keuntungan ekonomi yang didapatkan para pengusaha asing tidak
dirasakan rakyat pribumi karena digunakan untuk pembangunan di negeri asal (di
Eropa) tetapi ketika mengalami kesulitan (krisis ekonomi) rakyat priibumi ikut
merasakan akibanya. Ketidakadilan inilah yang menyebabkan rakyat pribumi tidak
dapat ke luar dan tetap berkubang dalam lembah kemiskinan.
2. Implikasi globalisasi abad
21 ini
Apa implikasi
globalisasi abad 21 ini. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi agar
legitimasi kekuasaan rezim berkuasa tidak goyah maka penanaman modal asing
dipermudah dengan bantuan berbagai kebijakan. Persyaratan untuk menanamkan
modal dibuat lebih ringan dan lunak. Modal asing mengalir terus. Kegiatan
industri meningkat tajam. Kerjasama (joint) pengusaha pribumi dengan pengusaha
asing semakin banyak dilakukan. Kerjasama perusahaan modal asing dengan
perusahaan pribumi tidak hanya dalam perdagangan tetapi juga dalam industri
otomotif (Chalmers, 1996: 327-345). Apakah kerjasama itu saling menguntungkan
apa tidak cukup sulit diketahui secara transparan? Yang jelas beberapa
perusahaan milik non-pribumi bekerjasama dengan penguasa menjadi perusahaan
raksasa (konglomerasi). Secara makro dapat dirasakan bahwa pertumbuhan ekonomi
meningkat dan ini banyak menjadi kekaguman berbagai negara yang menanamkan
modalnya di Indonesia.
Ada yang menyebutnya sebagai "keajaiban Asia".
Sejalan dengan
itu perusahaan-perusahaan pribumi yang tidak mampu bersaing dengan modal asing
cukup banyak. Perusahaan-perusahan kecil milik pribumi banyak yang bangkrut dan
gulung tikar. Angka yang bangkrut mencapai sekitar 30 persen tahun 1980-87 dan
33 persen tahun 1988-93 (lihat Tabel 1). Menurut Dawam
TABEL 1 Tingat Ukuran Usaha yang
bangkrut Tahun 1980-1993 (PER SEN)
Tingkat ukuran
Usaha
|
Bangkrut
1980-87 1988-93
|
Sangat kecil
Kecill
Menengah
Besar
Sangat besar
|
12 15
20 23
|
Sumber: Mundrajad Kuncoro dan Anggito
Abimayu, 1995, "Struktur dan Kinerja Industri dalam Era Deregulasi dan
Globalisasi", Kelola !0 (4), hal.52
Raharjo (1984:
177) sejak modal asing masuk ke Indonesia
banyak industri tradisional, terutama tekstil gulung tikar sebab tidak mampu
bersaing dengan industri modern milik modal asing. Diperkirakan pada tahun
1969-1970 jumlah industri tekstil tradisional sekitar 324.000 perusahaan. Pada
tahun 1976-1977 hanya tersisa sekitar 60.000 perusahaan. Berarti sekitar 60 persen
tidak mampu beroperasi lagi.
Kehancuran
industri kecil tidak hanya melanda industri tekstil, tetapi juga industri
minuman tradisional. Banyak industri minuman tradisional bangkrut karena tidak
mampu bersaing dengan industri minuman modern, seperti Coca Cola, Seven Up,
greensand dll. Demikian juga, industri kecil pedesaan yang memproduksi alat
rumah tangga memanfaatkan bahan baku
tanah dan bambu banyak gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produk
industri modern plastik. Beberapa ada yang mampu bertahan dengan melakukan
diversifikasi dan meningkatkan kualitas produk, seperti yang terjadi di
Kasongan, Bantul Yogyakarta. Meskipun ada yang mampu bertahan tetapi kondisi
sangat memperihatinkan.
Kehancuran
industri tradisonal ini juga ada kaitan dengan perubahan gaya
hidup masyarakat menuju pada gaya
hidup modern yang tergoda oleh bujuk rayu promosi dan iklan di media yang
begitu gencar di masa globalisasi ini. Mereka yang daya beli cukup cenderung
meniru gaya
hidup yang sering dipromosikan di media (TV) atau iklan lewat internet. Ekpansi
restoran gaya
Kentuky Fried Chicken , California Fried Chicken, bermunculan bagaikan jamur
dimusim hujan. Kota
kecil kabupaten juga tidak luput dari ekspansi restoran itu. Globalisasi
memungkinkan masyarakat kelas menengah menikmati dan meniru gaya hidup yang dapat mereka lihat dari media
masa dan iklan. Berbagai macam produk baru ditawarkan dan masyarakat setiap
saat dibujuk dengan berbagai macam hadiah yang cukup menarik dan menggoda.
Produk-produk itu pada umumnya adalah produk industri negara maju atau modal
asing yang dirancang dan di sesuaikan dengan kondisi pasar (masyarakat)
setempat. Komoditas apapun telah merasuk ke dalam kehidupan keseharian
masyarakat yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Kemajuan dalam teknologi
dan cara promosi telah memungkin ekpansi pasar yang kelihatannya sulit untuk
dielakkan.
Ekspansi pasar
dan mengalirnya modal asing diikuti dengan masuknya pekerja asing ke Indonesia.
Pada priode tahun 1990-1996 jumlah pekerja asing tenaga terampil meningkat dari
sekitar 18.335 menjadi sekitar 64.760 pekerja (periksa Tabel 2). Tentunya ini
berimplikasi pada menyempitnya peluang kerja bagi pekerja Indonesia. Di samping itu, para
pekerja asing ini umumnya dibayar dengan standard gaji masing-masing negara.
Gaji pekerja asing dengan pekerja Indonesia berbeda cukup jauh bisa
10 atau 15 kali lebih besar gaji pekerja asing. Implikasi yang dirasakan adalah
devisa dari sektor jasa mengalami defisit. Memang difisit itu tidak semua ada
kaitan dengan pekerja asing. Diperkirakan difisit negara di sektor jasa pekerja
asing dan jasa profesional sekitar 5 milyar dolar US.
TABEL 2 Jumlah Pekerja Asing
Menurut Jabatan di Indonesia Tahun 1990 dan 1996
Jabatan
|
1990
Jumlah %
|
1996
Jumlah %
|
Manajer
|
3245 17,7
|
18463 28,5
|
Profesional
|
4820 26,2
|
15899 24,5
|
Foreman
|
2993 16,3
|
9266 14,4
|
Operator/tehnisi
|
7277 39,7
|
1132 32,6
|
Total
|
18335 100
|
64760 100
|
Sumber: Depnaker, 1996, Laporan
Ditjen Binapenta
Memang era
globalisasi ini telah membuka peluang pekerja Indonesia bekerja di luar neberi.
Pada awalnya pekerja Indonesia
hanya bekerja di Timur Tengah, tetapi kemudian mereka bekerja di berbagai
negara. Menurut catatan Depatemen Tenaga kerja pekerja Indonesia yang bekerja
di luar negeri tercatat 964.111 pekerja terdiri dari perempuan 628.972 dan
laki-laki 335.139 pekerja. Sumbangan mereka pada devisa negara pasti ada tetapi
data akurat jumlah devisa dari pekerja migran ini sulit didapatkan. Namun
remitan yang dikirimkan ke kampung halaman mereka dapat memberikan sumbangan
bagi perbaikan ekonomi keluarga. Meskipun masih sangat terbatas para pekerja
migran dapat memberikan sumbangan bagi penanggulan kemiskinan bagi
masing-masing keluarga. Tetapi ketika krisis ekonomi melanda beberapa negara
para pekerja migran banyak yang kembali ke kampung halaman. Menambah beban
pengangguran yang selama ini sudah cukup mengkhawatirkan.
3. Krisis ekonomi dan
kemiskinan
Perubahan
paling penting dengan arus globalisasi adalah diperluasnya peran pasar keuangan
dunia. Lebih dari trilyunan dollar per hari dijual dalam transaksi jual beli
mata uang (Giddens, 1999: 34). Pialang-pialang mata uang kaliber dunia dengan
leluasa dan dalam tempo yang singkat dapat menjual dan membeli mata uang satu
negara. Transaksi mata uang yang demikian cepat telah membawa implikasi bagi
sistem moneter suatu negara. Memperjual belikan uang di pasar keuangan dunia
menyebabkan mata uang suatu negara dapat tidak stabil dan menyebabkan negara
itu mengalami goncangan sistem moneter. Sistem moneter Asia Tenggara mengalami
krisis setelah terjadi permainan transaksi mata uang di pasar internasional.
Mula-mula mata uang Thailand
terdepriasi kemudian mata uang Indonesia
yang berakibat pada munculnya krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis politik
dan kemudian krisis multidimensi.
Krisis moneter
yang diawali pertengahan 1997 menyebabkan sendi-sendi pereko nomian mengalami
krisis dan kemudian menerpa hampir ke seluruh sektor. Sektor tergolong modern
(industri, konstruksi, dan keuangan) mengalami pukulan paling berat. Sektor
listrik, gas, dan air bersih serta sektor pertanian masih dapat bertahan.
Mercermati data statistik pada tahun 1997 hampir semua sektor mengalami
penurunan bila dibandingkan dengan tahun 1996 (lihat Tabel 3). Pada tahun 1998
semua sektor mengalami penurunan. Bahkan beberapa sektor mengalami penurunan
sampai titik negatif, kecuali sektor pertanian, listrik, gas, dan air bersih.
Listrik, gas dan air dapat bertahan karena dari tahun 1996 sampai tahun 1998
konsumsi listrik
TABEL 3 Laju
Pertumbuhan PDB Atas Dasar Kostan 1993 Menurut Sektor Tahun 1996, 1997,
Dan 1998
Sektor
|
1996
|
1997
|
1998
|
Pertanian,
kehutanan, perikanan
|
3.14
|
0.72
|
0.38
|
Pertambangan
dan penggalian
|
6.74
|
1.71
|
-3.35
|
Industri
pengolahan
|
11.59
|
6.42
|
-15.59
|
Listrik, gas,
dan air bersih
|
13.63
|
12.75
|
1.42
|
Bangunan
|
12.76
|
6.43
|
-37.49
|
Perdagangan,
hotel, restoran
|
8.16
|
5.80
|
-20.64
|
Pengangkutan
dan komunikasi
|
8.68
|
8.31
|
-11.84
|
Keuangan,asuransi,
jasa perusahaan
|
6.04
|
6.45
|
-18.24
|
Jasa
kemasyarakatan
|
3.40
|
2.54
|
-5.51
|
PDB
|
7.82
|
4.91
|
-13.72
|
PDB Tanpa
Migas
|
8.16
|
5.45
|
-14.82
|
Sumber : Biro Pusat Statistik (dikutip dalam Boediono, Ace Suryadi, dan RusmanHeriawan,
1999.
terus menaik dari 56,932 GWh
menjadi 65,261 GWh. Sektor pertanian dapat bertahan tidak sampai titik negatif
mungkin karena beberapa hasil pertanian di beberapa daerah mengalami kenaikan
penghasilan secara tajam ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar terus
melemah. Harga produk perkebunan (kelapa sawit, coklat, cengkeh, kopi, lada
dll) dan perikanan (udang) yang sebagian besar di ekspor dengan patokan harga
dollar merasakan kenaikan penghasilan. Selama krisis berlangsung daerah-daerah
penghasil perkebunan dan perikanan kurang begitu merasakan terpaan krisis.
Nilai tukar yang tidak stabil menyebabkan penghasilan masyarakat juga turut
turun naik tidak menentu tergantung pada pasar.
Tidak di duga
sektor-sektor tergolong modern yang selama 32 tahun orde baru berkuasa mendapat
kemudahan agar menjadi andalan dalam memicu pertumbuhan ekonomi mengalami
penurunan tajam dan terpuruk hancur sampai pada titik negatif (minus). Bahkan
banyak pengusaha meninggalkan hutang, baik luar maupun dalam negeri. Bank-bank
yang dengan mudah mendapat kuncuran dana dari pemerintah melalui BLBI satu per
satu mengalami kesulitan likuiditas dan meninggalkan hutang dalam jumlah yang
cukup besar. Kemudian, para pekerja banyak yang di PHK dan dirumahkan.
Selain itu,
industri-industri yang amat bergantung, dengan bahan baku
impor tidak mampu beroperasi lagi, karena harga bahan baku eks impor naik tajam akibat nilai rupiah
melemah. Bersama dengan itu ribuan usaha perdagangan menengah di beberapa kota bangkrut. Kriris
politk terjadi karena kepercayaan masyarakat pada pemerintah merosot tajam.
Gelombang unjuk rasa dan kerusuhan sosial terjadi di mana-mana. Kerusuhan
sosial, amuk massa,
menghancurkan dan membakar pusat kegiatan ekonomi terjadi. Kasus Mei di Jakarta
dan kasus di Solo dll. Banyak pedagang mengalami kebangrutan dan banyak yang
tidak dapat bangkit lagi karena dihancurkan dan dibakar massa ketika terjadi kerusuhan. Jutaan pekerja
kehilangan pekerjaan terkena PHK ataupun terpaksa tidak dapat berusaha dan
bekerja karena tempat usaha hancur diamuk massa.
Kondisi ketenagakerjaan menuju pada titik yang cukup mengkhawatirkan. Jutaan
angkatan kerja baru tidak dapat memasuki pasar kerja diikuti dengan tingginya
angka pengangguran terbuka, setengah pengangguran dan meluasnya kemiskinan.
Krisis ekonomi
dan sosial telah menghambat proses perubahan struktur ketenagakerjaan. Sebelum
krisis terjadi aliran pekerja yang keluar dari sektor pertanian menuju sektor
non-pertanian (industri pengolahan, konstruksi, dan jasa) mulai meningkat.
Namun, selama krisis berlangsung banyak pekerja kembali lagi ke sektor
pertanian. Kecenderungan ini dapat diamati dari data pekerjaan menurut lapangan
pekerjaan pada tahun 1996 dan 1998 (lihat Tabel 4). Pada tahun 1996 pekerja di
sektor pertanian sekitar 45,4 % dan pada tahun 1998 naik menjadi sekitar 49 %.
Sebaliknya pekerja yang bekerja di sektor industri, konstruksi, perdagangan
TABEL 4 Pekerja
Menurut Lapangan Usaha Tahun 1997 dan 1998
Lapangan Usaha
|
1996 (%)
|
1998 (%)
|
Pertanian
|
45.4
|
49.5
|
Industri
|
11.3
|
11.3
|
Konstruksi
|
5,5
|
2.5
|
Perdagangan
|
17.7
|
17.3
|
Jasa angkutan
|
20.1
|
19.4
|
Total %
|
100
|
100
|
N (Juta)
|
82,5
|
87,0
|
Sumber : Susenas
1997 dan 1998
dan jasa pada tahun 1998
mengalami penurunan. Mengindikasikan banyak pekerja di sektor itu ke luar atau
meninggalkan pekerjaan itu. Ada
dua implikasi akibat pergeseran itu. Pertama, angka pengangguran terbuka
meningkat karena banyak pekerja di sektor industri, konstruksi, perdagangan dan
jasa terpaksa ke luar dan berusaha mencari kerja di sektor lain. Kedua,
angka setengah pengangguran meningkat karena sebagian dari mereka masuk ke
sektor pertanian dan sektor informal yang sebagian besar dikelola oleh
keluarga. Mereka kerja dengan jam kerja tidak menentu serta sering tidak
dibayar dan bila diupah biasanya upah rendah.
Sebelum krisis
berlangsung, ketika pertumbuhan ekonomi masih sekitar 7 %, angka pengangguran
terbuka total telah mencapai angka 7 % sedang angka pengangguran terbuka tenaga
terdidik di perkotaan sudah mencapai angka 18,6 %. (Manning, 1997). Angka
pengangguran terbuka semakin meningkat tajam dan melanda hampir seluruh lapisan
masyarakat ketika gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi sebagai
akibat perusahaan mengurangi produksi atau gulung tikar karena krisis moneter.
Juga ada kebijakan melikuidasi bank bermasalah. Saat ini pengangguran terbuka
total diperkirakan mencapai angka 17.1 % atau sekitar 15.4 juta (Johnson :
1997:39). Meskipun sebagian pekerja terkena PHK terpaksa kembali ke daerah asal
(pedesaan), tetapi barangkali sebagian besar pengangguran terbuka bertahan di
pusat-pusat industri (seperti Jabotabek) atau dengan segala daya untuk tetap
mengadu nasib di perkotaan.
Pekerja yang
terpaksa kembali ke desa tidak mustahil menambah angka setengah pengangguran
karena kemungkinan mendapatkan pekerja penuh (full time) cukup sulit di
perdesaan. Angka setengah pengangguran sebelum krisis sekitar 35 % dan proporsi
terbesar berada di perdesaan (Johnson: 1997:35). Setelah krisis ekonomi angka
setengah pengangguran diperkirakan mencapai 40 – 50 juta atau sekitar 50 %.
Masalah ketenagakerjaan ini semakin runyam karena selama krisis ribuan pekerja
migran yang selama ini bekerja di Malaysia dan Singapura dipulangkan
ke daerah asal.
Peluang kerja
sektor informal semakin tidak lagi mudah dimasuki. Persaingan semakin ketat
karena pekerja kelas menengah dan para selebritis selama krisis ekonomi
berusaha mengkais rezeki di sektor ini. Pekerja sektor formal yang terkena PHK
atau mendapat kesulitan berusaha di sektor formal juga berusaha masuk ke sektor
informal. Seperti di Jakarta dan di beberapa kota besar banyak kalangan kelas menegah,
termasuk selebritis, berusaha memasuki sektor informal selama krisis. Oleh
karena itu, proporsi pekerja memasuki sektor informal menaik dari sekitar 65 %
pada tahun 1997 (mulai krisis) dan menjadi sekitar 68 % pada tahun 1998 (selama
krisis berlangsung) (lihat Tabel 5).
TABEL5 Pekerja Menurut Status PekerjaanTahun 1997
dan 1998
Status Pekerjaan
|
1997 (%)
|
1998 (%)
|
Formal
|
35,4
|
31,7
|
Informal
|
64,6
|
68,3
|
Total %
|
100
|
100
|
N (Juta)
|
82,5
|
68,3
|
Ditulis Oleh:
Tadjuddin Noer Effendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar