I. PENDAHULUAN
1. Apakah Filsafat itu?
Banyak orang mengira bahwa filsafat itu tidak dapat
atau sulit dimengerti oleh rakyat biasa, dan merupakan salah satu mata kuliah
yang paling sulit dan abstrak di dalam perguruan tinggi. Dengan kata lain,
filsafat itu di pandang sebagai sesuatu yang tak ada atau sedikit sekali
hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Padahal tidak demikian. Pada
setiap hari dapat kita jumpai jejak-jejak atau potongan-potongan pikiran
filsafat.
Si A yang sudah
puluhan tahun merantau di luar negeri pada suatu waktu berkenan untuk pulang ke
tanah air Indonesia. Begitu tiba di Jakarta ia dikejutkan dengan wajah betawi
yang baru sama sekali baginya, sehingga ia tidak mengenali lagi kampung-kampung
yang ia tempati puluhan tahun yang lalu. Jalan-jalan kini lebar-lebar dan licin,
bermalang melintang dan penuh dengan berbagai kendaraan bermotor yang
membisingkan, gedung-gedung pencakar langit pun menjulang di sana-sini dengan
aneka lampu neon yang memberikan pandangan indah pada malam hari, banyak pusat
pusat perbelanjaan, Super market atau plaza di samping pasar loak dan kaki
lima. Pendek kata, betawi sekarang tidak jauh beda dengan kota-kota besar di
Eropa dan Amerika sana, walaupun nampak sangat jorok dengan tumpukan sampah di
mana-mana, yang tak pernah dijumpainya di jaman kolonial. Tetapi yang lebih
mengejutkan dan juga membanggakan ialah bahwa penguasa kolonial telah tidak ada
lagi, penguasa bangsa sendiripun ternyata mampu menjalankan roda pemerintahan.
Polisi dan tentara juga tidak kalah galak dan bengisnya dari pada polisi dan
tentara di jaman kolonial. Ketika ia di tengah tengah kerabatnya ia mendapati
kenyataan banyak di antara mereka yang sudah meninggal dan ada yang menjadi
pembesar dan kaya raya, dst.
Hasil
pengamatan seperti ini telah memberikan kesan yang mendalam kepadanya bahwa
segala sesuatu itu berubah, tidak langgeng. Dan pikiran bahwa SEGALA SESUATU
ITU BERUBAH, TIDAK LANGGENG ini adalah sepotong pikiran filsafat, menurut ilmu
filsafat inilah pikiran dialektis, yang merupakan bagian dari suatu sistim filsafat
dialektika.
Mari
kita lanjutkan contoh di atas tadi. Pada suatu ketika si A tadi yang setelah
beberapa waktu kembali ke tanah air, memperhatikan lebih dalam kehidupan rakyat
kecil, kehidupan kaum buruh, kaum tani dan kaum miskin di perkotaan, serta pengrajin
dan nelayan, dan mengetahui bahwa nasib mereka tetap miskin dan sengsara. Di
lain pihak, ia melihat pemilik-pemilik modal raksasa asing (kaum Imperialis)
masih tetap merajalela dan bahkan menguasai kehidupan perekonomian dan keuangan
Indonesia walaupun pemerintahan kolonial sudah tidak ada lagi.
Kenyataan-kenyataan yang keras ini telah memberikan suatu kesan padanya bahwa
segala sesuatu TETAP TIDAK BERUBAH, SEMUA TETAP DAN LANGGENG. Pikiran semacam
inipun, merupakan sepotong pikiran filsafat. Dan dalam ilmu filsafat ini
dikenal dengan pikiran stastis, merupakan sebagian dari sistim filsafat
metafisika, dalam pengertian non-dialektis.
Dari contoh di atas dapat kita ketahui dengan jelas bahwa suatu pikiran filsafat itu dilahirkan dari pikiran-pikiran yang hidup dalam perjuangan manusia sehari-hari untuk mempertahankan dan memperbaiki kehidupannya dan mempertinggi martabat kemanusiaan. Sungguhpun demikian, pikiran filsafat tidaklah sama dengan pikiran yang hidup sehari-hari. Di antara keduanya terdapat perbedaan kualitas atau sifat. Sebagaimana yang kita ketahui dari contoh di atas itu, bahwa pikiran sehari-hari itu adalah KHUSUS dan KONGKRIT, misalnya "wajah jakarta berubah", "keadaan politik di Indonesia berubah", "nasib kaum tani dan buruh di indonesia tetap miskin dan sengsara", "penanaman modal asing di Indonesia semakin besar", dsb. Sedangkan pikiran filsafat, yang merupakan penyimpulan dari pikiran-pikiran sehari-hari yang mencerminkan kenyataan-kenyataan khusus dan kongkrit, dan bersifat hakiki, umum dan abstrak.
Kembali
pada contoh di atas. bahwa si A pada situasi tertentu timbul kesan:
"segala sesuatu senantiasa berubah", tapi pada situasi lain timbul
kesan sebaliknya. Lalu bagaimana sebenarnya, apakah segala sesuatu itu berubah
atau tidak berubah? Bagi si A yang tidak pernah belajar filsafat atau tidak
punya pegangan pada suatu sistim filsafat tertentu, sudah tentu menjadi bingung
dan tidak dapat menjawabnya, dan ia akan selalu diombang-ambing oleh
perkembangan situasi. DI SINILAH LETAK SALAH SATU ARTI PENTING DARI HUBUNGAN
FILSAFAT DENGAN KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI, APA3a LAGI BAGI KAUM
PROGRESIF-REVOLUSIONER.
Mungkin ada kawan yang mengatakan bahwa kenyataan
menunjukkan, orang yang tidak belajar filsafat atau tidak memiliki sistim
filsafat tertentu toh juga bisa hidup. Memang, tidak memiliki sistim filsafat
tertentu bukan berarti tidak bisa hidup, tapi hidupnya akan selalu dalam
keadaan meraba-raba atau terombang-ambing oleh keadaan. Lagi pula banyak orang,
secara tak sadar memegang sebuah sistim filsafat tertentu, misalnya mereka yang
patuh menjalankan ajaran agamanya, sudah mengandung sebuah sistim filsafat
tertentu. Demikian juga bagi mereka yang yakin bahwa nasibnya sudah ditentukan
hanya oleh Yang Maha Esa, sehingga menerima apa saja adanya, maka secara tidak
sadar ia telah berpegang pada fatalisme, bagi mereka yang hidup tanpa pegangan
filsafat tertentu, sadar atau tidak selain mudah terombang-ambing oleh keadaan,
juga mudah terjerumus ke dalam dunia mistik atau dunia spekulatip, yang tak lain
adalah perjudian, yang lebih banyak kegagalan daripada keberhasilan, ia suka
bersikap avonturis atau labil
Mengapa
sebuah sistim filsafat dapat memberi pedoman hidup pada kita? Sebagaimana yang
dikemukakan di atas bahwa pikiran filsafat yang merupakan penyimpulan dari
pikiran sehari-hari yang khusus dan kongkrit adalah bersifat hakiki, umum dan
abstrak. Oleh karena itu maka pikiran-pikiran filsafat dapat memberikan
petunjuk kepada kita untuk mengenal hal-hal yang khusus dan konkrit yang selalu
kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
pikiran-pikiran filsafat yang dilahirkan dari berjuta-juta manusia dalam
perjuangan hidupnya sehari-hari, maka para filosof, menurut keyakinannya
masing-masing mengadakan penelitian dan seterusnya menyusun sistim filsafat
tertentu yang lengkap dan konsisten. Dengan perkataan lain suatu sistim
filsafat mencerminkan keadaan dunia semesta ini (alam masyarakat dan pikiran)
secara menyeluruh, mendasar dan umum, atau sebuah sistim filsafat itu
menyatakan keadaan dunia secara teori; dan dengan teori itu kita gunakan untuk
memecahkan masalah-masalah konkrit dan khusus yang kita hadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
Sudah
tentu, filsafat itu mengalami perkembangan. Bermula pada jaman Yunani kuno,
filsafat sudah mencakup segala macam pengetahuan bahkan segala macam
keterampilan, semua seni dan kerajinan tangan (art and craft), sehingga
filsafat pada saat itu mengandung arti: suka mengejar segala macam keterangan,
pengetahuan dan kebijaksanaan, hingga merupakan bidang yang sangat luas. Dengan
makin berkembangnya pengetahuan manusia terhadap dunia sekelilingnya, maka
timbulah spesialisasi dalam pengetahuan, terciptalah berbagai macam ilmu
pengetahuan khusus, alam ataupun sosial. Akibatnya pengetahuan-pengetahuan satu
demi satu keluar dari bingkai filsafat dan memasuki cabang-cabang ilmu khusus
masing-masing. Filsafat alam masuk ke dalam ilmu alam, filsafat hukum masuk ke
dalam ilmu hukum, filsafat sejarah masuk ke dalam ilmu sejarah dsb. Dan yang
terakhir yang keluar dari filsafat adalah ilmu psikologi. Lalu apakah yang
masih tertinggal dalam ilmu filsafat? Yang tertinggal adalah cara berpikir atau
metode berpikir. Sungguhpun demikian sampai sekarang filsafat masih mempertahan
lima subyek persoalan yang diakui oleh umum yaitu: etika, politik, logika,
estetika dan metafisika. Secara umum ilmu filsafat adalah suatu bidang studi
tentang saling hubungan antara pikiran manusia atau dunia subyektif dengan
keadaan di sekelilingnya atau dunia obyektif.
2. Masalah terpokok dalam Filsafat
Seperti
yang telah dikemukakan bahwa filsafat adalah studi tentang hubungan antara
pikiran manusia dan keadaan sekelilingnya, antara dunia subjektif dan dunia
objektif. Dalam hubungan antara pikiran atau ide manusia dan keadaan atau
kenyataan di sekelilingnya itu, sudah tentu banyak terdapat persoalan. Tetapi
di antaranya, yang paling pokok dan mendasar adalah antara pikiran dan keadaan
atau antara ide dan materi, yang manakah yang lebih dahulu. Ini menjadi masalah
yang terpokok dan paling mendasar, karena setiap sistim filsafat atau pandangan
dunia, mau tak mau harus menjawab hal ini. Dan jawabannya adalah menjadi
pangkal tolak pandangan filsafatnya.
Dalam
dunia filsafat terdapat banyak macam aliran atau sistim filsafat, tetapi
jawaban terhadap masalah pokok ini terbagi dalam dua kubu sistim filsafat yang
besar. bagi mereka yang berpendapat bahwa pikiran atau ide ada terlebih dahulu
atau primer dan keadaan atau materi adalah sekunder, karena dilahirkan atau
ditentukan oleh pikiran, maka mereka tergolong dalam kubu IDEALISME. Misalnya
mereka yang mengatakan: sebelum gedung pencakar langit itu ada, terlebih dahulu
ia sudah ada di dalam otak sang insinyur yang merancang pembangunannya.
Kemudian idenya itu dituangkan dalam gambar cetak biru dan akhirnya dibangunlah
gedung itu berdasarkan gambar tadi. Jadi gedung itu adalah perwujudan kongkrit
dari ide yang sudah ada lebih dahulu. Demikian pula sebelum Indonesia merdeka,
ide atau gagasan tentang indonesia itu sudah ada lebih dahulu dalam pikiran
pejuang nasional kita, di dalam pikiran rakyat indonesia.
Sebaliknya
mereka yang berpendapat, bahwa keadaan atau materi itu primer dan pikiran atau
idea itu sekunder, tergolong dalam kubu MATERIALISME. Terlihat misalnya, bahwa
keadaan penghidupan manusia yang membutuhkan tempat berteduh telah melahirkan
ide di alam pikirannya untuk membangun rumah. Oleh karena di dalam kota-kota
besar jumlah penduduk membesar, maka kebutuhan tanah untuk perumahan akan makin
besar pula, sehingga harga tanah akan membumbung tinggi, dan keadaan ini yang
menimbulkan ide untuk membangun rumah bertingkat. Demikian juga idea tentang
Indonesia merdeka dilahirkan oleh keadaan hidup bangsa dan rakyat Indonesia
yang menderita karena penindasan dan penghisapan kolonialisme. Jadi idea atau
pikiran itu tak lain adalah pemurnian atau refleksi keadaan atau kenyataan yang
material.
Dua
kubu besar filsafat itu, Idealisme dan materialisme, sejak dari dulu kala
sampai sekarang, saling berlawanan dalam segala pandangannya, justru karena
jawaban mereka terhadap masalah terpokok tersebut berlawanan. Dengan perkataan
lain titik tolak pandangan mereka bertentangan satu sama lain, masing-masing
berkeras mempertahankannya. Oleh karena itu, sejarah filsafat pada dasarnya
adalah sejarah perjuangan antara materialisme dan Idealisme. Pengalaman sejarah
selama ini menunjukkan, pada umumnya, bahwa materialisme selalu mewakili
pandangan dunia kelas yang maju, sedangkan idealisme mewakili pandangan dunia
kelas yang reaksioner. Ketika borjuasi Eropa melawan kekuasaan feodal, mereka mengangkat
materialisme sebagai senjata perlawanan mereka. Misalnya borjuasi Perancis
mengibarkan tinggi-tinggi materialisme sewaktu menjelang revolusi besar
perancis (1789). Tetapi setelah revolusi demokratis borjuis menang dan kaum
borjuis naik tahtah, mereka melemparkan materialisme dan mengibarkan kembali
idealisme yang tadinya menjadi senjata ideologis kelas feodal. Kini
materialisme umumnya menjadi senjata ideologi dari kelas dan rakyat
revolusioner dalam perjuangannya untuk demokrasi dan kebebasannya, dan
idealisme menjadi senjata ideologi dari kelas dan penguasa yang reaksioner dan
kontra revolusi, anti demokrasi dan anti rakyat.
Di
antara dua kubu besar filsafat yang bertentangan keras itu, terdapat suatu
aliran filsafat yang kelihatannya sebagai aliran ketiga atau non-blok, tidak
berpihak pada monoisme-idealis ataupun monisme-materialis. Mereka berpendapat
bahwa antara ide dan materi, antara pikiran dan keadan kongkrit, tak ada yang
primer atau sekunder, tak ada yang satu menentukan keadaan yang lain, masing
masing saling mempengaruhi. Pendek kata kedua kubu itu "ko-eksistensi
secara damai ". Aliran ini dalam ilmu filsafat disebut DUALISME. Tokohnya
yang terkenal adalah Immanuel kant, bapak filsafat kelasik jerman abad 19.
Kantianisme
ini nampak jelas hendak menempuh jalan kompromi, "jalan tengah", tak
mau membenarkan atau berpihak pada manapun, berdiri di tengah-tengah kedua
belah bihak yaitu antar materialisme dan idealisme. Padahal ia adalah bagian
dari salah satu bentuk idealisme, karena pandangan yang menjadi titik tolaknya
adalah karangan idea subjektifnya, tidak sesuai dengan kenyataan objektif.
Pandangan yang idealis ini banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari,
malahan juga masih terdapat dalam kelompok kaum progresif ataupun yang revolusioner.
Misalnya tidak sedikit mereka dapat menerima materialisme, tapi di pihak lain
masih belum bisa melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan idealisme (mistik,
tahyul dsb) dan banyak di antaranya akhirnya melepaskan materialisme dan jatuh
sepenuhnya dalam jurang-jurang idealisme itu.
Sudah
tentu dalam kubu idealisme terdapat berbagai aliran atau cabangnya, tapi pada
pokoknya dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan pangkal atau titik tolak
pandangannya. Golongan pertama, IDEALISME OBJEKTIF, yaitu mereka yang
berpangkal tolak dari ide yang secara objektif ada di luar manusia, misalnya,
ide Tuhan menurut filsafat agama dan ide absolut menurut filsafat Hegel.
Golongan ini umumnya berpendapat, misalnya adanya kehidupan dan alam semesta
karena perwujudan dari ide Tuhan sang pencipta. Dalam kehidupan keseharian,
pikiran filsafat semacam ini kita jumpai antara lain misalnya:" apa mau
dikata, nasibku memang sudah ditakdirkan demikian " dsb.
Golongan
kedua adalah IDEALISME SUBJEKTIF, ialah mereka yang berpendapat bahwa ide
subjektif kita manusia menentukan keadaan dunia sekeliling. Tokoh yang terkenal
adalah Bishop George Berkeley, seorang filsuf Inggris yang menyangkal adanya
dunia material secara objektif. Dalam kehidupan keseharian dapat kita jumpai
misalnya: " keadaan dunia ini tergantung dari suasana hatimu, bila hatimu
bahagia, dunia ini menjadi cerah, tapi bila hati muram, maka dunia menjadi
gelap gulita"; " Dunia menjadi hitam jika kamu memakai kaca mata
hitam, tapi ia akan menjadi semarak jika mengenalkan warna merah."
Dalam
kubu materialisme pun terdapat aneka ragam aliran yang pada pokoknya dibagi
menjadi dua golongan. Tetapi, berbeda dengan pembagian dalam kubu idealisme
yang berdasarkan pada titik tolak pandang, maka dalam kubu materialisme ini
berdasarkan pada metode berpikirnya. Sebab titik pangkal tolak pandangannya
adalah sama ialah dunia kenyataan material yang berada di sekeliling kita. Tapi
karena cara atau metode memandangnya berbeda, maka hasilnyapun berbeda.
Golongan pertama adalah MATERIALISME DIALEKTIS, yaitu filsafat yang memandang
dunia semesta ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong atau berat
sebelah, tidak beku atau statis, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang
terus menerus tiada akhirnya. Pikiran-pikiran materialisme dialektik inipun
dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, "bumi berputar terus, ada
siang ada malam", "habis gelap timbullah terang", "patah
tumbuh hilang berganti" dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan
kehidupan kita senantiasa berkembang.
Golongan
lainnya adalah MATERIALISME METAFISIK, yang memandang dunia secara
sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis.
Pikiran-pikiran berazaskan golongan ini misalnya:"sekali maling tetap
maling", memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.
3. Titik pandang, Metode berpikir dan asal-usul kelas
Dari
uraian di atas dapat kita ketahui, bahwa setiap sistim filsafat atau pandangan
dunia mempunyai dua unsur fundamental, yakni titik tolak atau pangkal pandangan
dan metode berpikir Suatu sistim filsafat yang dapat mencerminkan secara tepat
keadaan dunia objektip di sekeliling kita sudah tentu harus memiliki titik
tolak-pangkal pandangan dan metode berpikir yang tepat. Persoalannya sekarang
ialah: Apa titik tolak-pangkal pandang yang tepat itu dan bagaimana metode
berpikir yang tepat itu?
Sudah
dikemukakan bahwa titik tolak pandang pada dasarnya ada dua: Idealis dan
materialis. Dari contoh-contoh yang diberikan masing-masing mempunyai alasan
yang cukup kuat untuk mengklaim dirinya benar. Sudah tentu tidak mungkin
keduanya benar atau salah, kecuali kalau kita menganut dualisme. Di antara
meraka pasti hanya ada satu yang benar. Yang manakah? Idealis atau materialis?
Titik
tolak pandangan yang benar adalah yang berdasarkan pada kenyataan objektip
sebagaimana adanya, tanpa diberi bumbu subjektip sedikit pun, harus berdasarkan
hasil-hasil studi dan penelitian ilmiah dari data dan fakta dunia objektip di
sekeliling, harus berdasarkan penyimpulan-penyimpulan ilmiah dari pengalaman
praktis perjuangan rakyat dalam proses produksi dan revolusi. Sekali-kali
jangan berdasarkan terkaan-terkaan subjektip dan spekulatip, atau main
"sekiranya mesti Begini". Sebagai sebuah ilustrasi:
'Pada
suatu waktu si kelinci sedang asik bermain dengan temannya, tiba-tiba ia
berlari sambil berteriak "Api!", diikuti temannya mengejar di belakang.
Si kambing yang sedang merumput melihat kelinci berteriak sambil berlari,
berpikir dalam benaknya "kobaran api melahap hutan dengan
mengerikan", maka ia segera melompat dan mengajak anak-anaknya untuk lari
dan berteriak keras-keras "Api-Api!! " dan semua penghuni hutan yang
melihat mereka berlari ikut berlari, tanpa banyak tanya. Dan bertemulah mereka
dengan si Kancil yang menghentikan mereka dan bertanya sampai sejauh mana api
menjalar dan tak satu pun yang dapat menjawab. Si kancil pun mengusut dan
akhirnya bertanya pada kelinci, si kelinci menjawab bahwa ia semula bermain
dengan temannya yang sedang menjadi lakon "api", dan setelah melihat
sikambing lari terbirit-birit dan berteriak "Api" maka kelinci
mengira ada kebakaran sungguhan. Kancil tertawa dan mengajak mereka melihat
kebelakang "kalau ada kebakaran tentu ada asapnya mengepul. ternyata tidak
ada sedikitpun asap".
Dongeng
ini menunjukkan bahwa si kelinci, kambing dsb., dalam menghadapi persoalan
(kenyataan objektip) bertitik tolak dari dugaan, interprestasi, perkiraan
subjektip, sedang si kancil bertitik tolak pada kenyataan objektip, sebagaimana
adanya, bebas dari segala dugaan, dari tafsiran subjektif. Dongeng-dongeng
seperti ini banyak kita jumpai.
Yang
paling parah adalah pembumbuan subjektip yang sesungguhnya sangat berbahaya
dalam perjuangan. Cara atau metode berpikir yang benar tidak dapat dilepaskan
dari pangkal pandangan yang benar, dengan perkataan lain, metode berpikir yang
benar itu adalah metode yang sesuai dengan kenyataan objektip. Karena kenyataan
objektip itu bergerak dan berkembang, maka kita harus memandangnya secara
dinamis, mengikuti gerak dan perkembangannya. Oleh karena kenyataan itu punya
banyak segi, maka kita harus berusaha mengenal segala seginya. karena kenyataan
objektip mempunyai saling hubungan internal (antar bagian-bagiannya) dan
hubungan eksternal(antar kenyataan itu dengan kenyatan-kenyataan yang lain di
sekitarnya), maka kitapun harus menelitinya. hanya dengan cara demikian kita
baru bisa mengenal atau mencerminkan kenyataan itu sebagaimana adanya, tanpa
ada sedikitpun unsur subjektip di dalamnya. Inilah metode berpikir dialektika
materialis. Inilah metode ilmiah yang digunakan oleh para ilmuan dalam ilmu
alam maupun Sosial.
Jika
dunia yang bergerak ini kita pandang sebagai hal yang diam atau statis, kita
akan menganggap sebagian kenyataan sebagai keseluruhan kenyataan, kenyatan yang
saling berhubungan kita anggap terpisah-pisah, maka kita tidak dapat memahami
kenyataan itu sebagaimana adanya atau secara tepat. Cara atau metode berpikir
yang semikian kita sebut metode berpikir metafisika dalam pengertian
non-dialektik.
Kita
yang percaya pada perubahan radikal dan revolusioner, menjadi harus dengan
teguh dan konsisten serta ilmiah menggunakan metode berpikir yang dialektik
materialis. dalam menghadapi apapun dan kondisi yang bagaimanapun.
Setiap
orang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat berkelas
ia tergolong ke dalam dan mempunyai kepentingan kelas tertentu. Keadaan ini
sangat mempengaruhi pikiran dan pandangannya., dengan perkataan lain, asal-usul
kelas seseorang ikut menentukan pandangan kelasnya. Oleh karenanya,walaupun
seseorang mempunyai pandangan filsafat yang benar, tapi bila hasilnya itu
ternyata bertentangan dengan kepentingan kelasnya, maka kaum borjuis, mereka
dihadapkan pada suatu pilihan: menghianati kelasnya atau melepaskan pandangan
filsafatnya yang benar itu. Kalau ia hendak mempertahankan kepentinagan
kelasnya ia tak dapat secara konsisten mempertahankan sistim pandangan
filsafatnya yang benar itu.
Kaum
Borjuis Eropa ketika sebagai kelas tertindas (walaupun ia juga bagian dari
kelas yang ikut menghisap tenaga kerja orang lain), sebagai kelas yang
progresip dan revolusioner, melawan kekuasaan feodal, mempersenjatai diri
dengan materialisme (sekalipun materialisme perancis pada abad 18 adalah
materialisme mekanis). Tetapi sewaktu kaum borjuis ini berkuasa mereka menjadi
penindas dan penghisap kelas pekerja dan menjadi kelas yang reaksioner atau
kontra revolusi. Mereka berbalik mengibarkan panji-panji idealisme. Dalam
hal-hal tertentu, kaum borjuis misalnya menggunakan pandangan dan metode ilmiah
atau materialisme dialektik terhadap gejala alam dan tehnologi, karena
penguasaan terhadap tehnologi dan alam itu sesuai dengan kepentingan mereka.
Tetapi mengenai gejala-gejala sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah mereka
tidak konsisten menggunakan titik pandang dan metode yang ilmiah lagi. Mengapa?
Tidak lain karena materialisme dialektis akan mengungkapkan kenyataan masyarakat
kapitalis apa adanya, di mana terdapat penghisapan modal (kapitalis) terhadap
tenaga kerja, penghisapan kelas kapitalis terhadap kelas buruh dan rakyat
pekerja lainnya, terhadap kepincangan-kepincangan dan stagnasi yang menghambat
perkembangan masyarakat untuk lebih maju. Dan hanya kelas pekerja yang mampu
mengubur sistim sosial kapitalisme dan akan membawa manusia ke tingkat yang
lebih tinggi, masyarakat adil dan makmur, yang bebas dari kemiskinan dan segala
macam ketidak adilan, bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Semua
itu tentu saja tidak akan menguntungkan kelas kapitalis. Maka mereka sangat
memusuhi dan selalu menyebarkan idealisme menyesatkan yang membohongi rakyat
pekerja. Sebaliknya Filsafat materialisme dialektik yang dapat mencerminkan
kenyatan dengan objektip menjadi senjata paling ampuh bagi rakyat yang
tertindas dalam perjuangan untuk pembebasan mereka.
Jadi
untuk dapat memiliki suatu sistim filsafat yang tepat, tidak hanya titik tolak
dan metode yang tepat dan benar, tapi juga mempunyai pendirian kelas yang
tetap, artinya keberpihakan terhadap kelas yang paling tertindas yaitu kelas
pekerja. Untuk dapat memilikinya dan mempertahankan dengan konsisten: pangkal
pandang, metode berpikir, dan pendirian kelas yang tepat, tidak hanya cukup
belajar memahami dan menguasai materialisme dialektika, tapi yang lebih
penting: ikut ambil bagian, aktif dalam kerja untuk perjuangan kelas yang
paling tertindas secara aktual. Hanya dengan ikut serta langsung dalam proses
perjuangan kita dapat memahami, menguasai, mempertahankan secara konsisten
pandangan filsafat yang tepat dan benar ini.
II.
MATERIALISME DIALEKTIK
1. Latar belakang sejarah Materialisme Dialektik
Sebagaimana
kita telah ketahui, bahwa materialisme dialektik bersumber pada filsafat
kelasik Jerman abad ke 19, atau dengan perkataan lain Materialisme dialektik
(MD) merupakan pengembangan lebih lanjut dari filsafat kelasik jerman itu.
Fisafat klasik jerman merupakan filsafat yang paling maju di Eropa pada waktu
itu. Mengapa tidak di Inggris atau Perancis yang tingkat perkembangan
masyarakatnya jauh lebih maju dari pada di Jerman. Ini tentu bukan hal yang
kebetulan.
Pada
abad ke 19, kapitalisme mulai berkembang di Jerman, kaum borjuis Jerman berada
di telapak kaki kekuasaan feodal Kaum Jongker. Sedang di Inggrris dan Perancis,
kapitalisme sudah berkembang maju, dan borjuasinya sudah berhasil menumbangkan
kekuasaan feodal, borjuis Jerman membutuhkan sebuah filsafat sebagai sebuah
senjata ideologis yang mampu memberikan bimbingan dan pimpinan dalam perjuangan
itu. Filsafat kelasik Jerman abad ke 19 itu justru merupakan proses
perkembangan dari perjuangannya untuk mendapatkan senjata ideologi itu. Pada
batas-batas tertentu perjuangan kelas antara kaum feodal dan kaum borjuis lebih
berat daripada apa yang terjadi sebelumnya di Inggris dan Perancis, karena baik
kaum feodal yang berkuasa, maupun kaum borjuis yang berkuasa di Jerman,
masing-masing telah dapat menarik pelajaran dari pengalaman sejarah, pengalaman
perjuangan kelas, dari negeri-negeri tersebut. Sementara itu perkembangan
kapitalisme secara tak terhindarkan melahirkan suatu kelas baru, yaitu kelas
pekerja, kelas proletar yang makin tumbuh membesar dan kuat, sebagai musuh
utama kelas borjuis dalam masyarakat kapitalis. Gerakan kaum buruh yang sudah
mulai bangkit di Inggris, Perancis dsb., juga mempengaruhi alam pikiran kaum
borjuis Jerman.
Sudah
tentu di samping itu semua, ilmu pengetahuan dan tehnologi berkembang dengan
pesat, karena dorongan perkembangan kapitalisme saat itu, yang ikut
mempengaruhi perkembangan dunia pikiran dan filsafat. Dalam situasi demikian,
kaum borjuis Jerman di satu pihak berkepentingan menumbangkan kekuasaan feodal
untuk mengembangkan kapitalisme, sedang di pihak lain mereka juga mengkuatirkan
ancaman kebangkitan gerakan kelas proletar, sehingga hal ini menimbulkan
keraguan dalam diri mereka. Ini tercermin dalam filsafat kelasik jerman pada
abad 19 waktu itu, mulai dari filsafat dualisme Kant yang kompromis, filsafat
Hegel yang dialektik tapi idealis, sampai ke filsafat Feuerbach yang materialis
tapi mekanis dan tak konsekwen.
Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa tokoh-tokoh yang sangat erat hubungannya dengan
kelahiran materialisme dealektik adalah Hegel dan Feuerbach. Hegel berjasa
dalam mensistimatisir pikiran-pikiran dialektis yang terdapat sepanjang sejarah
filsafat, ini yang menunjukkan bagian progresip dari filsafatnya, tapi
dialektika Hegel itu berdasarkan idealisme, yang menunjukkan segi yang
reaksioner dari filsafatnya. Menurut Hegel, gejala alam dan sosial adalah
perwujudan dari 'ide absolut yang senantiasa bergerak dan berkembang. Marx
berpendapat bahwa dialektika Hegel itu berjalan dengan kaki di atas dan kepala
di bawah.
Filsafat
Feuerbach adalah filsafat materialis mekanis yang pernah menjadi senjata
ideologis kaum borjuis Perancis dalam revolusi abad 18. Sungguhpun demikian,
adalah juga feuerbach yang berani menghidupkan kembali materialisme dan
mengibarkan tinggi-tinggi di tengah lautan idealisme yng menguasai seluru Eropa
pada abad itu. Dengan materialisme yang terbatas, Feuerbach mengkritik agama
Katholik yang berkuasa pada saat itu, karena mereka tak lebih dari anjing
penjilat dan alat negara kerajaan pada saat itu, dan hendak mendirikan sebuah
agama baru di atas bumi yang nyata, bukan di awang-awang. Ini justru
menunjukkan ketidak konskwenan pandangan materialisme Feuerbach.
Marx
secara kritis mengubah dialektika Hegel yang idealis menjadi Materialis, dan
materialisme Feuerbach yang mekanis (non-dialektis) menjadi dialektis. Dengan
demikian terciptalah suatu sistim filsafat materialisme dialektik.
Berdasarkan
sistim filasafat materialisme dialektik, marx mengadakan penyelidikan dalam
bidang sejarah, menelaah sejarah perkembangan masyarakat manusia, maka lahirlah
apa yang dikenal Materialime Historis atau pandangan sejarah materialis.
Menurut materialisme historis Marx, masyarakat berkembang menurut
hukum-hukumnya dan tidak dapat ditentukan oleh ide atau kehendak seseorang atau
golongan, dan menurut hukum-hukum perkembangan masyarakat yang objektip ini,
terutama hukum yang menguasai masyarakat kapitalis, Marx menyimpulkan, bahwa
masyarakat kapitalis pasti akan tumbang dan akan diganti oleh masyarakat yang
lebih maju. Ini adalah suatu keharusan sejarah. Dan keharusan sejarah ini akan
diwujudkan dan hanya dapat diwujudkan oleh kelas pekerja, proletariat. Kelas
pekerja yang paling banyak dan paling tertindas itu telah mendapatkan
filsafatnya sebagai senjata ideologis yaitu materialisme dialektika. Dan
materialisme dialektika mendapatkan kekuatan realnya pada Kelas pekerja.
2. Dunia kenyataan objektip adalah material
Sama
seperti filsafat materialis lainnya, materialisme dialektik pertama-tama
mengakui, bahwa materi atau keadaan (being) adalah primer dan idea atau pikiran
itu adalah sekunder. Materi yang dimaksudkan di sini tidak berarti hanya benda
tapi segala sesuatu yang adanya secara nyata (riil), yang dapat ditangkap oleh
indera, dilihat, dibaui, didengar, diraba dan dirasakan. Selain itu yang lebih
penting bahwa materialisme dialektik mengakui materi atau kenyataan objektip
itu berada di luar kesadaran subjektip, artinya adanya suatu materi itu tidak
ditentukan oleh kesadaran atau pengetahuan kita.
Misal,
adanya pengaruh resesi dunia kapitalis dalam kehidupan ekonomi kita, kita
sadari atau tidak kenyataan itu tetap ada. Ada sementara orang yang hanya mau
mengakui suatu hal sebagai suatu kenyataan apabila sudah ia sadari, dengan kata
lain ada atau tidak adanya suatu kenyataan itu ditentukan oleh kesadaran
subjektif. Inilah pandangan idealisme subjektif. Sering secara tidak sadar
tergelincir kedalam pandangan yang demikian, hingga jatuh dalam jurang
subjektivisme.
Dasar
material dari pendirian kita bahwa idea atau pikiran itu sekunder adalah
sebagai berikut:
1.
Suatu
ide atau pikiran mesti dilahirkan oleh suatu materi yang dinamakan otak, tanpa
otak tak akan ada idea atau pikiran.
2.
Menurut
isinya, suatu idea mesti merupakan suatu pencerminan dari suatu kenyatan
objektip atau materi, sekalipun betapa abstraknya materi itu, misalnya ide
masyarakat adil makmur, adalah pencerminan yang berpangkal dari suatu kenyataan
masyarakat yang serba tidak adil dan miskin, hingga menimbulkan angan atau
cita-cita akan sebuah masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam
mencerminkan kenyataan objektif, ide atau pikiran tidak hanya seperti sebuah
cermin atau alat pemotret yang dapat mencerminkan objek sebagaimana adanya,
tapi dapat juga mengembangkannya lebih jauh; menghubungkan, membandingkan
dengan kenyataan-kenyataan lain lalu menarik kesimpulan atau keputusan, hingga
melahirkan suatu idea untuk merubah kenyataan itu. Peranan aktif ide ini
mendapatkan tempat yang sangat penting dalam pandangan materialisme dialektik,
karena motif berpikir kita pada umumnya untuk memecahkan persoalan atau
mengubah kenyataan, dan tidak hanya sekedar mencerminkan kenyataan begitu saja.
Meskipun
demikian, ide itu sendiri tidak dapat secara langsung mengubah kenyataan atau
keadaan, dan untuk dapat mewujudkannya ide memerlukan dukungan kekuatan
material. Dan seterusnya kekuatan material inilah yang secara kongkrit mengubah
kenyataan atau keadaan itu, Gagasan Indonesia tidak akan dapat menjadi
kenyataan apabila tak dapat menghimpun dan menggerakkan Rakyat Indonesia untuk
mewujudkannya. Kegunaaan praktis dari prinsip pertama filsafat materialisme
dialektik adalah, bahwa dalam menghadapi suatu persoalan kita harus bertolak
dari kenyataan objektif sebagaiman adanya, bukan dari dugaan atau pikiran
subjektif kita. Dan dengan pengetahuan kita yang lengkap mengenai kenyataan itu
kita baru dapat menyusun suatu ide atau cara yang tepat untuk pemecahannya.
3.
Dunia kenyataan objektip merupakan suatu kesatuan organik
Dunia
materiil atau kenyataan objektip merupakan suatu kesatuan organik, artinya
setiap gejala atau peristiwa yang terjadi di dunia sekeliling kita, tidak
berdiri sendirian, tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya. seperti
tubuh kita, setiap bagian badan mempunyai saling hubungan dengan bagian badan
lainnya secara tak terpisah.
Oleh
karena itu, sebuah gejala dapat dimengerti dan diterangkan kalau dipandang
dalam hubungannya dengan keadaan-keadaan yang tak terpisahkan dengan
gejala-gejala di sekelilingnya, sebagai gejala-gejala yang ditentukan oleh
gejala-gejala di sekitarnya. Pertumbuhan padi hanya dapat dimengerti hanya bila
kita mengetahui saling hubungannya dengan keadaan tanah, air, dan matahari dsb.
yang ada di sekitarnya; di samping keadaan saling hubungan antara bagian-bagian
dari pohon padi tadi yaitu, akar, batang, daun, dsb. Saling hubungan antara
gejala-gejala di sekitar kita itu banyak corak dan ragamnya, ada yang langsung
dan ada yang tak langsung; ada saling hubungan yang penting dan yang tak
penting; ada saling hubungan keharusan dan kebetulan dsb. Semua harus
dipelajari dan dapat dibedakan. Terutama saling hubungan keharusan dan yang
kebetulan. Salah satu bentuk saling hubungan kausal atau sebab-akibat. Dan kita
hanya dapat memahami sesuatu hal apabila kita mengetahui sebab dan
syarat-syarat serta faktor yang melahirkan hal-hal tersebut.
Dengan
mengenal baik saling hubungan internal suatu hal-ikhawal, serta saling
hubungannya dengan keadaan sekeliling (ekstern), kita tidak hanya dapat
memahami sifat dan kualitasnya, tapi juga dapat mengetahui hukum-hukum yang
menguasai perkembangannya. Dengan mengenal baik saling hubungan antar kelas
yang berada dalam masyarakat kita serta hubungannya dengan dunia sekitar
sebagai keseluruhan, kita dapat memahaami watak masyarakat kita. Materialisme
dialektika memandang suatu hal ikhwal tidak secara terpisah dari hubungannya
dengan keadaan sekitarnya. Supaya kita saling mengenal baik saling hubungan
kenyataan di sekitarnya. sehingga kita dapat mengetahui hukum yang
menguasainya. Dan hanya berdasarkan hukum-hukum yang kita ketahui, kita dapat
mengubah hal ikhwal tersebut.
4. Dunia kenyataan objektip senantiasa bergerak dan berkembang
Materialisme
dialektis selanjutnya menunjukkan bahwa, dunia materi atau kenyataan objektip
itu senantiasa dalam keadaan bergerak dan berkembang terus menerus. Keadaan
diam atau statis, hanya bersifat sementara atau relatif, disebabkan karena
kekuatan di dalamnya serta hubungannya dengan kekuatan-kekuatan yang ada di
sekitarnya dalam keadaan seimbang. Misalnya air dalam satu panci, dalam keadaan
temperatur dan tekanan udara yang bias, nampaknya diam, padahal molukel-molukel
air itu dalam keadaan bergerak, hanya saja dalam kecepatan yang rendah dan
stabil, dan tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Demikian juga
kekuatan-kekuatan antara air dengan dinding-dinding panci itu, tapi setelah
panci dipanasi maka gerakan-gerakan molukel air makin cepat hingga makin nampak
geraknya, akhirnya sampai pada 100 derajat celsius. Pecahlah keseimbangan
mereka hingga air berubah menjadi uap dan meninggalkan panci tersebut.
Materialisme
dialektika tidak hanya berpendapat, bahwa materi itu senantiasa dalam keadaan
bergerak dan berkembang, tapi juga berpendapat bahwa gerak materi itu adalah
gerak sendiri, bukan digerakkan oleh kekuatan di luarnya. Gerak bumi kita
adalah gerak sendiri, bukan digerakkan oleh "gerak pertama",
sebagaimana yang dikemukakan Newton, Yang pada hakekatnyanya adalah pandangan
idealisme --"gerak pertama" itu digerakkan Tuhan.
Materialisme
dialektika lebih lanjut menjelaskan. bahwa gerak materi banyak ragamnya, tidak
terbatas pada gerak mekanis saja, yang hanya membawa perubahan kuantitas, juga
bukan gerak lingkaran setan atau gerak berulang-ulang yang tetap. Setiap materi
mempunyai bentuk gerakan sendiri. Berpikirpun merupakan suatu gerak dari materi
tertentu yang kita sebut otak. Sungguhpun gerak mempunyai banyak bentuk, mereka
pada umumnya berada dalam proses perkembangan "tumbuh, hilang
berganti"di mana sesuatu itu senantiasa timbul dan berkembang, dan sesuatu
itu senantiasa rontok dan mati; senantiasa dalam 'gerak yang maju dan naik',
sebagai peralihan dari keadaaan kualitatif yang lama ke kualitatif yang baru,
perkembangan dari yang sederhana ke yang rumit, dari yang rendah ke yang lebih
tinggi.
Materialisme
dialektik juga menjelaskan bahwa gerak materi itu tidak tergantung atau
ditentukan oleh keinginan atau kehendak subjektif manusia, melainkan menurut
hukum-hukum yang menguasainya. Setiap hal yang khusus mempunyai hukum-hukum
gerak yang khusus. Hukum perkembangan dunia tumbuhan berlainan dengan hewan;
hukum perkembangan masyarakat desa berlainan dengan yang di kota. Hukum-hukum
gerak itu disebut hukum dialektika. Di samping hukum-hukum dialektika yang
berlaku khusus dari hal-hal yang khusus, sudah tentu juga ada hukum-hukum yang
berlaku umum, yang berlaku buat semua hal. Prinsip-prinsip dialektika secara
praktis mengajar kita agar supaya selalu berpandangan ke depan, jangan selalu
ke belakang, supaya selalu berorientasi pada hal-hal atau kekuatan yang sedang
tumbuh dan berkembang, jangan pada sesuatu yang sedang lapuk atau mati. Dengan
kata lain, supaya kita selalu berpandangan progresif revolusioner.
III. DIALEKTIKA
MATERIALISME
- Hukum dialektika dan metode dialektika
Apakah
metode dialektika itu?, Metode ini memandang, menyelidiki dan menganalisa
segala hal-hal yang kongkrit kita hadapi, dengan menggunakan dasar-dasar
hukum-hukum dialektika yang berlaku secara objektif, oleh karena, metode
dialektika itu sebetulnya tergantung oleh dua hal subjektif yaitu:
a. lengkap tidaknya, tepat tidaknya,
pengetahuan seseorang tentang hukum dialektika,
b. banyak atau sedikitnya pengalaman
dia dalam praktek menggunakan metode tersebut, atau dengan perkataan lain
sejauh mana ketrampilan dia menggunakannya.
Dengan
mengetahui secara jernih tentang perbedaan atau hukum dialektika yang objektif
dengan metode dialektika yang subjektif, kita dapat memiliki kegunaan secara
praktis sbb:
a. Kita hendaknya terus melatih
pandangan dialektika materialis kita, selain dengan rajin mempelajari
teori-teori revolusioner dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan umum
secara cermat, juga dan terutama ikut terjun dalam praksis, terjun dalam kancah
perjuangan massa rakyat revolusioner.
b. Melatih cara pandang dengan
menggunakan metode dialektika, meneliti dan menganalisa, memecahkan setiap hal
yang kita hadapi, misalnya dengan jalan berusaha mengenal sesuatu hal
seobjektif mungkin dan selengkap mungkin, mengumpulkan data dan
mendiskusikannya dengan kawan-kawan, dengan mengadakan dialog dengan massa
rakyat, memperhatikan pendapat orang lain, mempelajari tulisan, analisa atau
karya-karya ilmiah orang lain, berusaha untuk mampu mengadakan penyimpulan atau
analisa serta menguraikan secara sistimatis baik dengan lisan maupun tulisan.
Orang
menggunakan metode dialektik berdasarkan hukum umum dialektik, sebagai pedoman
untuk mendekati, mengenal dan menganalisa hal-hal yang khusus dan kongkrit, dan
untuk menemukan hukum-hukum dialektik yang khusus untuk menguasai hal-hal
tertentu tersebut. Sifat hukum dialektik yang umum itu abstrak, ia merupakan
abstraksi dari hukum-hukum dialektika yang khusus dan kongkrit, dalam dunia
kenyataan yang kongkrit.
Hukum
umum dialektik itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah hukum-hukum
dialektik yang khusus dan kongkrit. Setiap hal atau soal mempunyai hukum
dialektiknya sendiri yang khusus dan kongkrit.
Karena
itu, memecahkan suatu persoalan tertentu berarti memecahkan atau menemukan dan
memahami secara tepat hukum dialektikanya yang khusus mengenai persoalan itu.
Sedangkan hukum-hukum yang umum hanyalah pedoman. Seperti apa yang pernah
dikatakan oleh orang-orang revolusioner sepanjang sejarah pergerakan rakyat:
jangan banyak bicara umum dan abstrak, tapi pecahkan sesuatu hal secara khusus
dan kongkrit.
- Hukum umum dialektika yang pertama: Kesatuan dari segi-segi yang berlawanan
Dalam
'Anti Duhring', Engels mengemukakan tiga hukum umum dialektika. Hukum
dialektika yang pertama, Kesatuan dari segi-segi yang belawanan atau
kontradiksi, menunjukkan bahwa gerak dunia materiil atau dunia kenyataan
objektip ada karena segi-segi, faktor-faktor yang berlawanan dalam dirinya.
Oleh karena itu menurut arti sebenarnya, 'dialektika adalah studi tentang
kontradiksi di dalam hakekat segala sesuatu itu sendiri'.
Dengan
kata lain hukum kontradiksi itu adalah jiwanya dialektika. Tanpa adanya
kontradiksi intern, berarti tidak ada gerak dan perkembangan. berarti tidak ada
hal ikhwal itu sendiri.
a. Pengertian tentang Kontradiksi
Dalam
pengertian filsafat, sangatlah luas, tidak sebatas pada segi-segi yang saling
berlawanan atau bertentangan, tapi segi yang berlainan dan berbeda sekalipun
termasuk dalam kontradiksi.
b. Keumuman kontradiksi
Ada
dua pengertian: pertama, bahwa di dalam segala hal terdapat segi-segi yang
berkontradiksi. Kedua, bahwa di dalam segala hal dalam seluruh proses
perkembangannya, dari satu tingkat ke tingkat yang lain selalu terdapat
kontradiksi di dalamnya. Setelah satu kontradiksi pada suatu tingkat
perkembangan selesai, timbullah kontradiksi baru pada tingkat perkembangan yang
baru. Begitu seterusnya tiada habis-habisnya. Arti praktis dari pengertian
keumuman kontradiksi ini adalah bahwa kita tak boleh melarikan diri dari
kontradiksi atau persoalan, bahwa kita tak boleh merasa jemu atau jera menghadapi
dan memecahkan kontradiksi (persoalan). Di dunia ini tidak ada satu hal atau
masalah yang dapat dengan satu kali diselesaikan untuk selama-lamanya, tanpa
timbul persoalan baru.
c. Kekhususan kontradiksi
Mempunyai
dua pengertian, pertama bahwa di dalam setiap hal terdapat kontradiksinya
sendiri secara khusus, yang berbeda dengan kontradiksi di dalam hal yang lain.
kedua, bahwa suatu hal dalam proses perkembangannya, maka di setiap tingkat
perkembangannya terdapat kontradiksinya yang khusus, sehingga kita dapat
membedakan tingkat perkembangannya yang satu dengan yang lain. Misalnya dalam
proses perkembangan kupu-kupu, kontradiksi yang terkandung pada tingkat
perkembangannya sebagai telur berbeda dengan yang pada tingkat perkembangannya
sebagai ulat, dan seterusnya. Pengertian ini mempunyai arti praktis, bahwa
sekali lagi kita dalam mengenal dan memecahkan persoalan harus secara kongkrit,
tidak boleh secara umum dan garis besar saja, tidak boleh asal menjiplak saja.
Cara pemecahan suatu persoalan tertentu tak dapat digunakan mentah-mentah untuk
memecahkan persoalan yang lain. Demikian juga pemecahan untuk suatu tingkat
perkembangan tertentu dari suatu persoalan tak dapat dipakai begitu saja untuk
pemecahan tingkat perkembangannya yang lain.
d. Kontradiksi dasar
Dalam
suatu materi atau kenyataan objektif terdapat lebih dari satu kontradiksi.
Kontradiksi atau kontradiksi-kontradiksi yang menentukan kualitas suatu materi
atau kenyataan objektif, atau dengan perkataan lain, yang menentukan adanya
materi atau kenyataan objektif itu, disebut kontradiksi atau
kontradiksi-kontradiksi dasar. Perubahan kontradiksi dasar berarti terjadi
perubahan dari kualitas yang satu menjadi kualitas yang lain, berarti
terjadinya suatu perubahan dari suatu materi pertama menjadi materi yang lain.
Misalnya, Penghisapan kaum kapitais terhadap kaum buruh merupakan suatu
kontradiksi dasar dari masyarakat kapitalis, dan dengan lenyapnya kontradiksi
itu berarti lenyaplah pula masyarakat kapitalis yang berubah menjadi masyarakat
yang lain.
Arti
praktis dari pengertian ini ialah, kita hanya bisa mengambil sesuatu hal dengan
baik, apabila kita mengetahui dengan jelas apa kontradiksi dasarnya. Hanya
dengan demikian kita akan mengetahui dengan jelas pula suatu hal itu mengalami
perubahan yang kualitatif ataukah tidak, juga dengan hanya demikian kita baru
bisa mengusahakan untuk mengubahnya.
e. Kontradiksi Pokok atau kontradiksi utama
Pada
setiap tingkat perkembangan sesuatu hal, tidak semua kontradiksi yang
terkandung memainkan peranan yang sama. Di antaranya pasti ada satu dan hanya
satu kontrdiksi yang mamainkan peranannya yang paling menonjol. Kontradiksi ini
disebut kontradiksi pokok atau utama. Misalnya, kontradiksi antara rakyat
Indonesia (terutama rakyat pekerja) dengan kaum penjajah kolonial sebelum
kemerdekaan 45 merupakan kontradisi pokok dalam masyarakat Indonesia pada tahap
itu. Arti praktis dari ini adakah bahwa kita harus dapat mengenal kunci
persoalan atau kontradiksi pokok ini, maka kontradiksi-kontradiksi lainnya
dapat diselesaikan dengan lebih mudah. Tanpa memecahkan kontradiksi antara
rakyat Indonesia dengan penguasa kolonial, kita tidak akan dapat me-nyelesaikan
kontradiksi antara kaum petani dengan tuan-tuan feudal, suatu kelas yang
dipertahankan oleh sistim kolonial.
f. Mutasi
Kontradiksi
pokok itu tidak tetap kedudukannya. dalam keadaan dan syarat tertentu bisa
diambil alih oleh kontradiksi yang tadinya bukan pokok. Pergeseran atau
pergantian ini disebut mutasi kontradiksi pokok.Misalnya kaum imperialis pernah
berusaha agar kontradiksi antar daerah atau suku bermutasi menjadi kontradiksi
pokok di Indonesia, hingga bangsa kita dapat dipecah belah dan tetap mereka
kuasai. Arti praktisnya ialah, bahwa kita harus mengenal baik keadaan atau
syarat-syarat yang dibutuhkan oleh suatu kontradiksi hingga dapat bermutasi
menempati kedudukan sebagai kontradiksi pokok. Hanya dengan demikian kita baru
dapat mendorong/mempercepat atau sebaliknya mencegah/menghambat terjadinya
mutasi itu. Hanya dengan mengetahui dengan jelas dan tepat syarat-syarat yang
diperlukan telor ayam untuk mendapat menetas menjadi anak ayam, maka manusia
dapat menciptakan mesin penetas.
g. Kedudukan dua segi dalam suatu kontradiksi
Dua
segi yang berkontradiksi itu tentu berbeda kualitasnya. di antaranya pasti akan
ada yang mewakili kekuatan lama, yang tak mempunyai hari depan, dan segi
lainnya mewakili kekuatan baru atau yang sedang tumbuh. Kedudukan mereka dalam
proses perkembangan adalah tidak sama pula. Segi lama yang nampak besar dan
kuat pada awal perkembangan kontradiksi itu menempati kedudukan yang menguasai
dan yang memimpin. Sebaliknya segi yang baru yang semula nampak masih kecil dan
lemah, berkedudukan sebagai yang dikuasai dan yang dipimpin. Tapi dalam
perkembangan selanjutnya segi baru itu berkembang besar dan makin kuat. sedang
segi lama makin lemah dan makin lapuk sehingga suatu saat segi baru yang
berkedudukan dipimpin berkembang dan bermutasi menjadi yang memimpin. Ini
berarti arah perkembangan kontradiksi itu mengalami perubahan. Kalau tadinya ke
kanan misalnya, sekarang ke kiri. Lebih lanjut, segi baru yang tadinya dikuasai
sekarang bermutasi ke tempat yang menguasai. Dengan perkataan lain, terjadi
perubahan kwalitatip, hal yang lama berubah menjadi yang baru.
Arti
praktis dari pengertian itu adalah kita harus selalu berusaha mengenal
sebaik-baiknya segi-segi yang berkontradiksi. Baik kualitasnya, maupun
kedudukan atau posisinya dalam proses perkembangannya. Jadi kalau kita mau
mengalahkan musuh-musuh rakyat yang tertindas, kita harus mempelajari mendalam
mengenai segi-segi dan keadaan musuh dan posisinya, dan dari pihak kita
sendiri. Di samping itu, bagi kita yang menginginkan perubahan dan pembebasan,
harus selalu berorientasi pada kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh, yang
mempunyai hari depan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi perkembangannya,
agar kita membantu mempercepat pertumbuhannya.
h. Kesatuannya relatif, pertentangannya mutlak
Apabila
kita memperhatikan dua segi dalam suatu kontradiksi maka kita dapat melihat,
bahwa dua segi itu sejak dari awal sampai akhir proses perkembangannya selalu
bertentangan satu sama lainnya, selalu dalam perjuangan mengenyahkan lawannya
tanpa syarat. Artinya pertentangan dua segi itu adalah mutlak, tak peduli dalam
keadaan bagaimanapun juga. Kesatuannya bisa terjadi karena kedua segi itu
berbeda kualitasnya, dan menempati kedudukan yang berbeda pula dalam kesatuan
itu, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Dan hal ini dikatakan bersifat
sementara karena dalam perkembangannya kedua segi itu akan terjadi mutasi, yang
semula dikuasai akan menguasai, sehingga terjadi perubahan kwalitatip, kesatuan
yang lama diganti dengan kesatuan yang baru. Pengertian ini berarti, sikap
kompromi dengan musuh itu relatif sementara (taktis), sedangkan perjuangan melawan
musuh itu mutlak (strategis), tetap berlangsung terus, bervariasi dalam bentuk
dan bidangnya.
Dalam
kontradiksi hal ini mempunyai dua pengertian: Pertama, menurut wataknya
ada yang antagonistik, misalnya kaum buruh dan kaum kapitalis, buruh tani lawan
tuan-tuan feodal, yang langsung berlawanan kepentingannya. Ada pula kontradiksi
yang non-antagonistik.
Kedua, menurut
bentuknya perjuangan dari kedua segi yang berkontradiksi ada yang bersifat
antagonistik dan ada yang non-antagonistik. Yang dimaksud dengan perjuangan
yang non-antagonistik itu adalah perjuangan yang terbuka dan dengan kekerasan.
Misalnya perjuangan kaum buruh melawan majikan selama masih dalam bentuk
pernyataan protes dan berunding di meja perundingan, atau bahkan merupakan
pemogokkan dengan tata tertib, masih dapat digolongkan dalam bentuk perjuangan
yang non-antagonistik. Tetapi kalau sudah terjadi pengambil alihan pabrik atau
penindas dan dari majikan dengan kekerasan sehingga terjadi perkelahian, maka
perjuangan tersebut disebut perjuangan yang antagonistik. Kontradiksi yang
menurut wataknya antagonis belum tentu harus sudah mengambil bentuk perjuangan
yang antagonistik, dapat juga masih mengambil bentuk perjuangan yang non
antagonistik. Misalnya kontradiksi antara rakyat dan musuh-musuh rakyat,
menurut watak-nya adalah antagonistik. Namun bentuk perjuangannya dalam proses
perkembangan masih bisa bersifat non-antagnistik misalnya aksi-aksi reform.
jadi tidak mutlak sudah harus angkat senjata atau dengan kekerasan. Semua
tergantung pada kondisi dan situasi serta syarat-syarat kongkrit yang ada. Akan
tetapi pada tingkat terakhir di tingkat perkembangannya, pada pokoknya secara
mutlak mengambil perjuangan antagonistik. Karena tidak ada penguasa yang rela
menyerahkan kekuasaannya dengan suka rela, malah mereka akan mempertahankan
dengan kekerasan.
Pengertian
ini mengingatkan kita supaya kita pada satu pilihan memperkuat persatuan kita
dengan kelompok progresif lainnya dengan menciptakan dan mempertahankan
syarat-syarat yang diperlukan. Di pihak lain kita harus berusaha supaya musuh
terus terpencil dari sekutunya dan memperlemah persatuan mereka.
Di
samping itu kita harus melihat dengan cermat, bahwa pada keadaan yang bagaimana
kita akan mengambil bentuk perjuangan yang antagonistik atau non-antagonistik
dalam menghadapi musuh.
3. Hukum umum dialektika ke dua: Perubahan kuantitatif ke perubahan
kwalitatif
Hukum
umum dialektika yang kedua ini menyatakan, bahwa proses perkembangan dunia
material atau dunia kenyataan objektip terdiri dari dua tahap. Tahap pertama
adalah perubahan kuantitatif yang berlangsung secara perlahan, berangsur atau
evolusioner. Kemudian meningkat ketahap kedua, yaitu perubahan kualitatif yang
berlangsung dengan cepat, mendadak dalam bentuk lompatan dari satu keadaan ke
keadaan lain, atau revolusioner. Perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif
merupakan dua macam bentuk dasar dari segala perubahan. Segala perubahan yang
terjadi dalam dunia kenyataan objektif itu kalau bukan dalam bentuk perubahan
kuantitatif, maka dalam bentuk kualitatif.
a. Pengertian tentang kuantitas
adalah
jumlah dalam arti seluas-luasnya tidak terbatas mengenai ruang (banyak-sedikit,
besar-kecil, panjang-pendek, tebal-tipis) dan waktu (lama-sebentar,
cepat-lambat) saja tapi juga mengenai pikiran dan perasaan (tinggi-rendahnya
kesadaraan politik, kuat-lemahnya keyakinan atau kepercayaan, dalam-dang-kalnya
pengetahuan, besar-kecilnya minat atau pengetahuan) sebagai contoh:
Kuantitas-kuantitas
tertentu yang dimiliki seorang juara bulu tangkis, selain kuat keadaan
fisiknya, stamina, cepatnya gerak, pengalaman bertanding dan latihan dll.
Demikian pula bagi seorang kader revolusioner, selain ketentuan-ketentuan
formal dalam konstitusi organisasi, seperti umur dan masa calon anggota, maka
yang terpenting lainnya ialah kesadaran kelas dan kesadaran politik, yang hal
itu terbentuk dari aktivitasnya dalam keterlibatan dalam perjuangan massa
rakyat pekerja, dan semangat juangnya yang tinggi. Dari uraian di atas maka
dapat dilihat bahwa kuantitas dan kualitas itu tak dapat dipisahkan satu sama
lain, kuantitas tertentu membentuk kualitas tertentu pula.
b. Pengertian tentang kualitas
adalah
ciri yang membedakan hal yang satu dengan yang lain. Kita dapat membedakan
minyak dari air, demikian juga kita dapat membedakan antara kaum buruh dan kaum
tani, antara desa dan kota, karena kualitas mereka berbeda satu dan lainnya.
Telah dinyatakan, bahwa kuantitas-kuantitas tertentu yang dimiliki oleh sesuatu
hal membentuk dan menunjukkan kualitas tertentu dalam sesuatu hal itu.
misalnya, antara ormas kaum buruh dan partai politik kelas buruh, mempunyai
ketentuan susunan intern yang berlainan, antara lain adalah keterikatan para
anggota dari organisasi massa kaum buruh itu berdasarkan terutama pada
kepentingan sosial ekonominya, sedangkan dalam partai buruh, sangat berdasarkan
pada cita-cita politiknya. Ketentuan susunan intern mereka secara praktis
dinyatakan selengkapnya dalam anggaran dasar organisasi mereka masing-masing
dan aktivitas mereka sehari-hari dalam mewujudkan program mereka masing-masing.
Jelas kiranya bahwa kualitas yang mencirikan sesuatu hal itu adalah pernyataan
dari ketentuan susunan internnya.
c. Perubahan kuantitatif
Perubahan
kuantitatif seperti telah dikemukakan berlangsung secara perlahan-lahan dan
tidak menyolok. selama dalam proses perubahan kuantitatif tersebut, kualitasnya
nampak tidak berubah. Keadaan itu disebut kemantapan relatip kualitas.
Keadaan
kemantapan relatip kualitas tersebut mempunyai batas tertentu. Bila perubahan
kuantitatif melampaui batas itu maka rusaklah kemantapan relatip kualitas itu
yang berarti kualitasnya mengalami perubahan. Misal, seceret air dibawah
tekanan udara biasa, apabila penambahan suhunya tidak melampaui batas 100
derajat celcius, cirinya sebagai cairan masih dapat dipertahankan, tapi bila
perubahan suhu melampaui batas itu, maka kualitas cairan mengalami perubahan
menjadi uap. Demikian pula perkembangan rakyat revolusioner bila melampaui
batas tertentu, akan menjadi suatu revolusi sosial, hingga kualitas masyarakat
lama akan disingkirkan oleh masyarakat baru. Oleh karena itu dalam proses
perubahan kuantitatif, kualitas nampaknya tidak mengalami perubahan apa-apa,
maka seakan-akan perubahan kuantitatif itu tak ada hubungannya dengan kualitas.
Dari uraian singkat di atas kita dapat melihat bahwa perubahan kuantitatif
adalah persiapan untuk perubahan kualitatif, atau dengan kata lain, bahwa
perubahan kualitatif menyelesaikan atau mengakhiri perubahan kuantitatif yang
sedang berlangsung, dan menimbulkan atau melahirkan perubahan-perubahan
kuantitatif yang baru.
Hal
yang sangat sederhana ini perlu ditandaskan karena ada sebagian orang hanya mau
mengakui perubahan kuantitatif saja tetapi tidak mengakui adanya perubahan
kualitatif. Mereka berpendapat di dunia ini tak ada perubahan yang melahirkan
hal yang baru, karena menurut mereka anak ayam itu sejak semula telah berada di
dalam telur hanya saja masih terlalu kecil dan tersembunyi di dalam telur
hingga tak dapat kita lihat. Kemudian setelah mengalami perubahan kuantitatif,
ia tumbuh semakin besar hingga pada saat ia mampu memecahkan kulit dinding
telur yang melindunginya dan menampakkan dirinya di dunia ini. Demikian juga
kata mereka, bahwa penindasan dan penghisapan oleh manusia atas manusia sudah
ada sejak adanya manusia di bumi ini. Kalau semula penindasan dan penghisapan
itu dilakukan dengan cara primitif, sederhana, terbuka dan tidak intensif, tepi
setelah mengalami perubahan-perubahan kuantitatif maka penghisapan mengambil
bentuk yang terselubung, halus dan makin intensif.
Pandangan
metafisik (non-dialektis) semacam ini dapat menyesatkan kita. Dia merupakann
basis filosofis kesalahan-kesalahan reformis di dalam bidang politik, hingga
membuat orang merasa puas dengan hanya perubahan-perubahan reformis atau
perbaikkan tambal sulam rakyat pekerja, tanpa menghendaki adanya pembebasan
rakyat pekerja dari penghisapan manusia lainnya, tidak menghendaki adanya
perubahan revolusioner untuk mengubah sistim masyarakat penindasan. Sudah tentu
pandangan filosofis semacam ini menguntungkan dan dipelukan oleh kelas-kelas
penghisap dalam mempertahankan kekuasaan dan penghisapannya. Padahal, satu abad
yang lalu Hegel telah mengemukakan dengan tepat, bahwa peralihan dari alam yang
tak berperasaan ke alam berperasaan, dari alam an-organik ke alam kehidupan
organik, merupakan lompatan keadaan yang baru sama sekali.
Pernyataan
Hegel ini bukanlah spekulatif, melainkan berdasarkan pada hasil-hasil
pengembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, baik ilmu alam maupun ilmu
sosial. Masyarakat komune primitif waktu itu belum mengenal penghisapan manusia
oleh manusia dan masyarakat penghisapan ini baru lahir setelah komune primitif
ini mengalami keruntuhannya, di mana kerja seseorang dengan alat-alat kerja
yang relatif lebih maju dapat menghasilkan hasil lebih, sehingga memungkinkan
terjadinya penghisapan atas manusia oleh manusia dan melahirkan sistim
pemilikan budak.
Dengan
memiliki pengertian, bahwa perubahan-perubahan kuantitatif menyiapkan suatu
perubahan kualitatif yang revolusioner, maka kita tak akan mudah terjebak oleh
teori-teori seperti: kapitalisme kerakyatan, negara kapitalis yang berorientasi
sosialis, perkembangan kapitalisme ke sosialisme secara damai, memperjuangkan
masyarakat industri yang non-kapitalis dan non-sosialis dan sebagainya, yang dijajakan
oleh teoritikus-teoritikus borjuis dan revisionis.
Sebagaimana
selalu diingatkan oleh pejuang-pejuang besar revolusi, bahwa kelas penghisap
yang berkuasa tak akan pernah dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya, bahwa
rakyat tertindas harus melakukan perjuangan revolusioner untuk membebaskan
dirinya.
d. Perubahan kualitatif
Sebagaimana
telah dikemukan sebelumnya bahwa perubahan kualitatif itu terjadi secara
mendadak, cepat dalam bentuk lompatan dari satu keadaan ke satu keadaan
lainnya. Sedikit mengulangi tentang telur ayam selama dalam proses perubahan
kualitatif dalam masa pengeraman, cirinya yang berbentuk telur itu nampak tepat
tak berubah, masih tetap bertahan, atau masih dalam kemantapan relatif. Tetapi
begitu perubahan kuantitatif melampaui batas relatif kualitasnya, terjadilah
perubahan kualitatif dengan mendadak. Perubahan kuantitatif yang berlangsung
dalam telur itu segera berhenti atau terputus, kemantapan relatif kualitasnya
sebagai telur tak dapat dipertahankan lagi dan lenyap seketika itu juga.
Sebagai gantinya muncullah anak ayam yang ciri atau kualitasnya berlainan
dengan telur tadi. Demikianlah kita melihat perubahan dari telur ke anak ayam
itu merupakan suatu lompatan yang disebut keterputusan kesinambungan. Artinya
terputusnya keadaan kesinambungan perubahan kuantitatif atau kemantapan relatif
kualitasnya. Mengenai perubahan kualitatif ini, Engels di dalam bukunya
"Dialektika alam" mengemukan bahwa "kimia boleh dikatakan ilmu
tentang perubahan kualitatif yang terjadi dalam benda sebagai akibat perubahan
kuantitatif komposisinya. Contohnya oksigen atau zat asam apabila molekul itu
terdiri dari 3 atom dan bukan 2 sebagaimana biasanya maka kita mendapatkan ozon
yaitu suatu benda yang dalam hal bau dan reaksi kimianya sangat berlainan dengan
zat asam biasa. "
Kelanjutannya,
oleh karena perubahan kualitatif itu terjadi secara mendadak, merupakan
lompatan dari suatu lompatan keadaan ke keadaan lainnya, atau terputus sama
sekali kesinambungannya dengan keadaan sebelumnya, maka ada sementara orang
mengira bahwa perubahan kualitatif itu terlepas dari perubahan kuantitatif, tak
ada hubungan sama sekali dengan kuantitas atau perubahan kuantitatif. Mereka
tak mau mengeakui perubahan kuantitatif, dan hanya mengakui perubahan
kualitatif saja. Meletusnya gunung krakatau satu abad yang lampau hingga gunung
tenggelam ke dasar laut, menurut mereka, merupakan perubahan kualitatif yang
mendadak tanpa melalui perubahan kuantitatif. Demikian juga mereka menganggap,
misalnya meletusnya revolusi '45 terjadi secara mendadak dalam momentum yang
kebetulan, sama sekali tak ada hubungannya dengan perubahan-perubahan
kuantitatif sebelumnya, yang berupa gerakan massa rakyat. Katanya lagi, ibarat
meletusnya sebuah petasan, yang hanya dengan menyulut sumbunya saja (maksudnya,
cukup dengan agitasi atau menghasut massa rakyat)
Pandangan
ini juga suatu jenis metafisik, yang dapat menyesatkan kita dengan melakukan
kesalahan-kesalahan avonturis di bidang politik, misalnya kendak menyelesaikan
suatu revolusi sosial dengan kudeta militer atau avonturisme militer. Padahal
pejuang-pejuang besar revolusi, selalu mengingatkan kita bahwa revolusi adalah
urusan dan karya rakyat, merupakan puncak dari perjuangan rakyat untuk
membebaskan dirinya. Rakyat pekerja tak akan dapat dibebaskan oleh siapapun,
kecuali oleh perjuangan mereka sendiri. Kesadaran politik dan organisasional
pada rakyat sangat menentukan sebuah revolusi rakyat.
Telah
diketahui, bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam kuantitas dengan
sendirinya menimbulkan perubahan juga dalam kualitas. Sebagai contoh, air yang
dipanasi sehingga suhunya meningkat, perubahan kuantitatif ini dengan
sendirinya menimbulkan perubahan dalam kualitas atau cirinya. Sebagaimana dapat
kita saksikan, misalnya gerak molukel makin cepat, daya kohesi antar molukel
makin longgar, hingga kita dapat membedakan air panas dan air dingin. Akan
tetapi perubahan semacam ini tidak termasuk dalam pengertian perubahan
kualitatif.
(selesai
bagian pertama)
Ditulis ulang
oleh: JALAN TERANG -INDONESIA)
Materialisme Dialektika (9)
Berbarengan
dengan cara pandang materialis dan pengetahuan ilmiah bergerak maju dan menjadi
penting pada waktu kebangkitan kapitalisme (abad 17 dan 18) materialisme
mengambil bentuk materialisme mekanis. Yakni, bahwa alam dan masyarakat dilihat
sebagai sebuah mesin raksasa di mana bagian-bagiannnya bekerja secara mekanis.
Pandangan ini memudahkan orang memahami bagian-bagian dari sesuatu hal dan
bagaimana mereka "bekerja", tetapi hal ini tidak mampu menjelaskan
asal-usul dan perkembangan sesuatu hal.
Namun
demikian, akibat perkembangan masyarakat yg cepat pada saat itu, perubahan
sesuatu hal tidak bisa diabaikan begitu saja. Ilmu Alam pada jamannya Marx dan
Engels membuat lompatan besar dalam memahami perkembangan, memahami perubahan
dan transformasi dalam tubuh alam. satu contoh kunci soal ini adalah teori
Evolusi Darwin, yang memperlihatkan bagaimana bentuk-bentuk kehidupan bergerak,
berubah secara kualitatif sepanjang beberapa tahun. Ilmu Alam kemudian mulai
menggunakan konsep dialektika (paling kurag secara implisit), menegaskan
kembali perkembangan, kontradiksi dan transformasi dalam memahami materi dan
kehidupan. Seperti yg ditulis oleh Engels,
"Alam
adalah batu uji dialektika, dan harus dikatakan bahwa ilmu pengetahuan modern
sudah melampaui ujian ini dengan bahan-bahan yng sangat kaya dan melimpah, dan
dengan demikian memperlihatkan bahwa pada bagian yg menentukan alam bekerja
secara dialektik..." (Anti-Duhring) MD (10)
Namun
demikian, perubahan dan perkembangan bukan saja konsep yang penting ntuk
memahami alam, tetapi konsep-konsep ini secara sadar bisa diterapkan atas
seluruh area kenyataan, khususnya, pekrmbangan masyarakat. Marx dan Engels
mewarisi periode kamjuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan dari filsafat dialektik
hegel (yang secara berat dipengaruhi oleh idelisme) dan merumuskan pandangan
dialektika materislis secara sistematik.
Prinsip
dialektika dijabarkan dari analisa bagaimana dunia sebenarnya berkembang; jadi
bukan sekadar jatuh dari pikiran orang. Jadi dialektika bukanlah skema yg
dipaksakan atas kenyataan, tapi ia merupakan seperangkat prinsip-prinsip ilmiah
untuk memudahkan orang memahami kompleksitas perubahan dan perkembangan.
Metode
dialektika hanya dapat dipahami dalam pertentangannya dengan cara pandang
metafisik. berikut ini diringkaskan ciri-ciri pokok dialektika dan
melawankannya dengan cara pandang metafisik.
(1) Inter-koneksi atau saling hubungan
Dunia
merupakan kesatuan, keseluruhan yg saling berhubngan di mana semua hal saling
berkaitan dan bergantung. Sebaliknya, metafisika melihat bahwa dunia sebagai
kumpulan hal yg berdikari, independent, terpisah.
Seorang
MD dan metafisika, seabagai misal akan mengambil pendekatan yg berbeda dalam
memahami seorang individu. Seorang metafisika akan bertanya apa yg dipirkan
orang itu, apa aktivitas mereka, bagaimana penampilannya, apa yg mereka sukai
dan apa yang tidak disukai, dan seterusnya. tetapi seorang MD akan berusaha
memahmi orang tersebut dengan memeriksa hubungannya dengan orang lain dan dunia
sekitarnya dan memperlihatkan pengalaman orang tersebut sebagai bagian dari
keluarga tertentu, kelas tertentu, ras dan masyarakat tertentu.
Arti
penting pendekatan yg berbeda-beda ini adalah bahwa jika metode MD memudahkan
menemukan mengapa sesuatu itu dengan menganalisa konteks darimana mereka muncul
dan saling hubungan dengan sesuatu yg lain; sementara itu seorang pendekatan
metafisika hanya menjelaskannya pada tingkat menggambarkan sesuatu sebatas dari
dirinya sendiri.
(2) Materi
Materi
selalu dan terus-menerus dalam gerak. Dunia ini ada dalam keadaan gerak dari
dia ada, berkembang, berubah dan lenyap. Metafisika memandang bahwa dunia ada
dalam keadaan diam, segala sesuatu statik, diam, tetap dan tak berubah.
Jadi
MD dan metafisika memiliki pandangan yg berlawanan mengenai kapitalisme yg
permanen. Perbedan ini jelas menunjukkan pendirian konsevatif metafisika dan
pendirian revolusioner dari dialektika. Pendekatan metafisika secara implisit
mempertahankan bahwa "tak ada sesuatu pun yang berubah di dunia ini"
dan "ini adalah dunia yg terbaik dari semua kemungkinan yg ada" dalam
pandangannya atas kapitalisme sebagai sistem yg permanen. Ini semua menyatakan
bahwa pemilikan pribadi dan persaingan bebas sebagai kebal-nilai (tak dapat
dibantah), dan bahwa nilai-nilai ini berasal dari kualitas sifat manusia
seperti persaingan, ketamakan dsb. MD mempunyai pandangan yang panjang dan
obyektif atas bentangan sejarah dan mengakui bahwa kapitalisme tidak selalu
ada, dan bahwa ia telah mendominasi dunia selama ratusan tahun, dan selanjutnya
ia dalam proses digantikan oleh sosialisme. Tidak ada satupun sistem sosial yg
permanen, apa yang tetap adalah perkembangan dan transformasi masyarakat secara
terus menerus.
(3) Kontradiksi
Kontradiksi
internallah yg secara mendasar menentukan pertumbuhan dan perkmbangannya.
faktor-faktor ekternal dan kekuatan-kekuatan luar meletakkan kondisi material
bagi sesuatu hingga ia berkembang, tetapi tidak menentukan watak mendasar
sesuatu, dan bukan merupakan penyebab pokok geraknya.
Menegaskan
kontradiksi internal sebagai dasar perkembangannya berarti melihat sesuatu
sebagai "persatuan dari aspek-aspek yg berlawanan" di mana keduanya
saling berlawanan dan bersatu, dan pertarungan adalah sumber dari gerak
sesuatu. Jadi kapitalisme terdiri dari kesatuan dari hal-hal yg berlawanan,
yakni kaum borjuis dan kelas pekerja. Di bawah kapitalisme, dua kelas ini
adalah tergantung satu sama lain, yaitu memiliki kepentingan yang berlawanan
dan karena itu terlibat dalam perjuangan kelas yg terus-menerus. Pertarungan
antara kelas dalam masyarakat kapitalis ini yang menyebabkan perkembangan dan
transformasinya.
Hanya
dengan memahami persatuan dan perjuangan dari aspek-aspek internal yang saling
berlawanan ini barulah kita bisa paham mengapa sesuatu terus berubah.
Ini
akan jadi jelas jika kita kontraskan dengan metafisika yang melihat sesuatu
sebagai kesatuan dalam dirinya sendiri dan menjelaskan terjadinya perubahan
sebagai akibat faktor-faktor luar. Misalnya, kaum borjuis menggunakan metafisika
untuk menjelaskan revolusi di dunia tertindas sebagai akibat "Iblis
kekaisaran Soviet", atau akibat campur tangan luar komunis subversif.
Tentu saja, ini adalah penolakan menyeluruh atas kontradiksi internal dalam
masyarakat-masyarakat tersebut yg menyebabkan revolusi.
(4) Kuantitas ke dalam kualitas
Sesuatu
(barang atau peristiwa) berkembang melalui perubahan secara kuantitatif yg pada
umumnya bertahap dan secara halus; dan secara kualitatif berubah secara
sekonyong-konyong yang merubah menjadi sesuatu yang baru. Perubahan kualitatif
merupakan hasil akumulasi/penumpukkan perubahan kuantitatif dan membawa
perkembangan progresif dari sesuatu yang lama/tua menjadi baru, dan dari
sederhana menjadi kompleks.
Metafisika,
pada tingkat tertentu mengakui perubahan, hanya melihat perubahan kuantitatif
di mana sesuatu tumbuh menjadi lebih besar, lebih kecil, lebih kuat, lebih
lemah dsb, dan masa lalu mengulangi dirinya sendiri. pandangan metafisika
menolak perubahan kualitatif yang merubah sesuatu dan mendorong maju menjadi
sesuatu yang baru.
Perubahan
dialektik yang bergerak dari kuantitas ke kualitas niscaya terjadi dalam banyak
bidang. Esai Stalin menyebutkan hal ini, termasuk contoh yg menyolok mata
adalah evolusi. melewati adaptasi dan perkembangan selama ratusan tahun,
spesies awal berubah secara kualitatif menjadi spesies baru, homo sapiens atau
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari dari perubahan kuantitas ke kualitas,
contohnya adalah bagaimana air, secara bertahap berubah menjadi lebih panas
atau lebih dingin (perubahan kuantitas) berubah menjadi uap atai es (berubahan
secara kualitas).
Dan
dalam soal masyarakat juga terdapat jurang perbedaan yang memisahkan pandanagan
metafisika yg konservatif dengan pandanagn dialektika yg revolusioner mengenai
bagaimana dunia berubah. Sudah tentu, dalam dunia sosial perubahan terjadi
tidak secara otomatis sifatnya, sebagaimana terjadi dalam alam. Perubahan
sosial disebabkan oleh rakyat melalui aksi dan saling aksi. Jadi, pandangan
rakyat yg menentukan apa jenis perubahan dan bagaimana dilakukan, dibentuk oleh
kondisi sosial mereka dan kedudukan kelasnya.
Cara
pandang metafisika kelas berkuasa perubahan revolusioner dan kualitatif dalam
perubahan masyarakat dan berpendirian bahwa perubahan secara bertahap, gradual,
perubahan kuantitaif lah yang diperlukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan
masyarakat kapitalis sekarang ini.
Pandangan
MD dari kelas pekerja, di pihak lain, memandang perubahan kualitatif,
revolusioner sebagai puncak perjuangan untuk mengembangkan medan memajukan
masyarakat. Kehendak revolusi bukan untuk menyempurnakan kapitalisme, melainkan
untuk menggantikannya dengan sosialisme. MD (16)
Relevansi pertarungan antara Dilektika dan Metafisika dengan Perjuangan
kelas
Contoh-contoh
sebelumnya sudah menggambarkan bagaimana pandangan metafisika atas masyarakat
mewakili kepentingan kaum borjuis. Hal ini tidak mengejutkan karena
keinginannya (dan juga kelas-kelas berkuasa sebelumnya) untuk mamamerkan
kepentingan kelasnya sebagai permanen dan tak berubah. Kelas borjuis tak pernah
henti-hentinya menganjurkan cara berpikir metafisika kepada kelas pekerja,
sebagai usaha untuk membuktikan bahwa sistem kapitalis berharga dan permanen
dan menyingkirkan adanya pertentangan kelas.
Cara
berpikir metafisika juga menyusup ke dalam gerakan revolusioner sendiri, dalam
bentuk pikiran yang menganjurkan jalan damai, reformis dan evolusioner dari
kapitalisme ke sosialisme. Mereka ini gagal dan tidak mengakui bahwa revolusi
sosialis sebagai perubahan kualitatif bagi masyarakat kapitalis.
Bagi
kelas pekerja, dialektika merupakan alat penting untukmemahami mengapa dunia
seperti sekarang ini, menganlisanya bagaimana ia berubah dan mengerti bagaimana
rakyat yang sadar bisa merubahnya.
KESIMPULAN
Sebelum
pendirian MD oleh Marx, bentuk materialis yang ada adalah pandangan yang
mekanis, non-dialektika, dan Hegel, seorang dialektikus, menganjurkan versi
idealis dari dialektika. Kaum filsuf tidak mampu mengembangkan materislisme
yang konsisiten dan meneyeluruh karena pada analisa akhir, mereka menerima
pandangan borjuis yang ada. Mereka tidak sudi melihat secara lengkap, termasuk
privelese kelas, hak milik perorangan dan ketimpangan sosial sebagai faktor
bagi perubahan sosial.
Marx
dan Engels akhirnya berhasil mengembangkan sintesis materialisme dan dialektika
sebab mereka mendasarkan filsafatnya pada aspirasi revolusioner dan cara
pandang kelas pekerja. kelas pekerja memiliki kepentingan dalam memahami
masyarakat sebagaimana adanya "tanpa terkecuali" dan sebuah kelas
untuk perubahan, termasuk perubahan revolusioner, dapat menjadi kekuatan
pembebas.
MD
adalah filsafat revolusioner kelas pekerja. Ia memberikan arah umum bagi dunia
dan peranan manusia dan menyediakan seperangkat prinsip-prinsip ilmiah untuk
menjawab masalah-masalah politik dan parktis; namun demikian ia menyediakan
kerangka yang pasti untuk memperoleh jawaban. Juga MD merupakan dasar-dasar
dari semua teori Marxis dan pandangan khusus terhadap sejarah, ekonomi dan
politik.
Studi
kita yg singkat sudah meletakkan garis besar MD, arti petingnya filsafat Marxis
dalam memahami dunia, perjuangan kelas dan kerja politik di mana kita terlibat.
Untuk bisa paham sepenuhnya sudah tentu harus dilanjutkan dalam proses yang
akan terus berjalan, dan mendalaminya dalam studi dan praktek.
Ringkasan MD
Idealisme
dan materialisme menjawab masalah hubungan antara dunia ide dan dunia material.
Dua cara pandang filsafat ini muncul untuk menjawab yang manakah yang lebih
utama dan menentukan.
A.
Idealisme:
1.
Ide-ide,
spirit sebagai kenyataan pokok/prinsip.
2.
Ide-ide
dan spirit membentuk dan menentukan dunia material.
3.
Dunia
ini penuh berisi segala sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh manusia dan ilmu
pengetahuan.
B.
Materialisme
1. Dunia
material adalah kenyataan pokok.
2. Dunia
material adalah sumber ide-ide.
3. Dunia material ini dapat dijelaskan dan
dipahami melalui pengalaman manusia dan ilmu pengetahuan.
Metafisika
dan Dialektika keduanya berkaitan dan menjawab masalah perkembangan dan
perubahan yang terjadi dalam alam dan masyarakat.
A.
Metafisika
1. Fenomena atau gejala dilihat secara
terpisah
2. Keadaan alamiah adalah statik, diam.
3. Segala sesuatu bersatu dalam dirinya
sendiri dan perubahan disebabkan oleh faktor-faktor luar.
4.
Hanya
ada perubahan kuantitatif.
B.
Dialektika
1. Fenomena dilihat dalam salinghubugannya
dan salingketergantungannya.
2. Keadaan alamiah sesuatu hal adalah
terus-menerus berubah.
3. Kontradiksi ada secara internal dalam
suatu hal dan perubahan pada dasarnya akibat faktor-faktor internal ini.
4.
Ada
perubahan kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan terjadi dari sederhana ke
rumit, dari rendah ke tinggi.
POINT-POINT DISKUSI MD
1.
Ringkaskan
perbedaan antara materialisme dan idealisme. bagaimana agama dan bentuk
idealisme lain memainkan peran reaksioner dalam masyarakat, membela status quo
dan cara pandang kelas berkuasa. bagaimana materialisme mengabdi kepentingan
kelas pekerja?
2.
Jelaskan
perbedaan antara pandangan metafisika dan dialektis terhadap perkembangan dan
perubahan. Tunjukkan bagaimana sifat/ciri dialektika?
3.
Marxisme
berpendirian bahwa dialektika tidak saja menjelaskan alam, tetapi juga
masyarakat. Pilihlah fenomena sosial (misalnya rasisme (?)). Apakah pandangan
metafisika atas hal ini? Dan bagaimanakah pandangan dialektika?
4.
Dengan
menggunakan metode dialektika, coba bahas dan diskusikan sebuah contoh
bagaimana materialisme dialektika bekerja dalam kerja politik anda. bagaimana
materialisme dialektika menyingkap hakekat aneka fenomena?
5.
Akhirnya,
jelaskan bagaimana filsafat Marxis berwatak ilmiah dan partisan (memihak
kepentingan kelas pekerja)?
PRAKTEK DAN KEBENARAN
Kehidupan dan
perkembangan progresif masyarakat, di mana gambaran esensialitasnya telah
didiskusikan dalam bab yang sebelumnya, hanya memungkinkan dengan memperbesar
kontrol manusia atas alam dan penetrasinya ke dalam semua rahasianya. Pepatah
bijak mengatakan, bahwa pengetahuanlah teman terbaik. Pengetahuan manusia
menjamin dominasi manusia atas elemen-elemen alam. Pengakuan dan pengembangan
pengetahuan merupakan proses di mana manusia mengamati realitas yang ada di
sekitarnya. Doktrin dan esensi pengetahuan, serta struktur dan hukum proses
kognitif disebut teori pengetahuan atau epistemologi.
1. Aspek Kedua
dari Persoalan Fundamental Filsafat
Persoalan fundamental dari filsafat, yaitu
hubungan pemikiran ke keberadaan, dari kesadaran ke materi, sebagaimana yang
sudah saya kemukakan, memiliki aspek kedua sebagai tambahan dari aspek pertama
(Mana yang lebih utama: materi atau kesadaran?). Aspek kedua ini lebih memperhatikan
pada persoalan apakah pemikiran kita mampu mengenal dunia nyata, dan apakah
kita mampu secara tepat merefleksikan di luar realitas yang ada dalam pikiran
kita, tentang realitas tersebut. Para filsuf menyebutnya sebagai persoalan
identitas pikiran dan keberadaan.
Sebagian besar filsuf telah
memberikan jawaban afirmatif pada persoalan di muka. Mereka disebut agnostis.
Filsuf Jerman, Kant misalnya, memperkenalkan dunia nyata di luar manusia, namun
mempertahankan bahwa hal itu, secara prinsipil tidak dapat diketahui, selama
seperti yang dikatakannya, terdapat hambatan atau jurang yang tidak dapat
dilewati di antara fenomena ("sesuatu menurut kita"; Ding-fur-uns)
dan esensi ("sesuatu itu sendiri"; Ding-an-sich). Segera setelah manusia
membuat segala pembenaran mengenai "sesuatu itu sendiri", Kant
menyatakan, maka pemikiran manusia berhadapan dengan kontradiksi yang tidak
terpecahkan, atau antinomi, sehingga mengkhianati ketidakmampuannya yang
dinyatakan. Kant meyakini bahwa sebuah transisi dari fenomena menuju pada
sesuatu itu sendiri hanya memungkinkan melalui kejujuran.
Representasi dari
skeptisisme filsafat, khususnya yang terdapat dalam pemikiran seorang filsuf
Inggris di abad ke 18, David Hume, juga agnostis. Mereka menolak kemungkinan
mengetahui realitas, dengan menyatakan bahwa, kesemuanya meragukan apakah
sesuatu yang berada di luar kita, di luar perasaan kita juga. Untuk mendukung
pemikirannya, kaum skeptis berargumen bahwa penilaian yang beralawanan dapat
diungkapkan tentang sesuatu dan obyek yang sama, bahwa manusia hanya bersepakat
dengan sensasinya sendiri, dan tidak mengetahui dari mana kerangka persepsinya
datang, dll.
Para pendukung
irasionalisme --Nietzsche, Bergson (1859-1941), dll--mengadopsi satu pijakan
yang terlalu agnostisisme. Mereka mempertahankan pendapat bahwa dunia tidak
mampu dipahami, karena ketiadaan regularitasnya. Keberadaan adalah sebuah
aliran berbagai kejadian yang tidak beraturan, sebuah evolusi kreatif, yang
tidak logis, sementara pemikiran menghasilkan logika. Logika bersesuaian dengan
keteraturan, dengan sebab dan akibat, sementara alam nyata, seperti yang
didesakkan kaum irasionalis, tidak memiliki itu. Oleh karenanya, tidaklah
mungkin untuk memasuki pengetahuan dunia yang logis. Kaum agnostis justru
menekankan bahwa dalam prinsip, pikiran tidak dapat diidentifikasi dengan
kenyataan.
Agnostisisme
disebarluaskan dalam filsafat idealis borjuis modern. Hal ini menjadi jelas,
khususnya dalam Kongres Filsafat se-Dunia ke 16. Beberapa laporan yang
disampaikan dalam kongres itu, memperkuat tesis bahwa faktor irasionalitas
adalah primordial bagi manusia, bahwa "ilmu pengetahuan tidak dapat
berpikir". Oleh karenanya harus dilengkapi dengan sebuah doktrin agama
tentang keberadaan, dsb. Secara konseptual, agnostisisme merupakan satu
filsafat yang reaksioner. Secara sosial hal ini mengekspresikan ideologi klas
penghisap yang berusaha memisahkan manusia yang bekerja dari tindakan
mengetahui realitas yang ada. Agnostisisme membelenggu aktivitas dan inisiatif
kreatif manusia. Selama, jika dunia tidak mampu dipahami dan pengetahuan tidak
mampu menemukan hukum-hukum perkembangan masyarakat, maka manusia tidak dapat
secara sadar merubah dan mentransformasi realitas.
Agnostisisme
bertentangan dengan banyak representasi yang menonjol dari filsafat
pra-Marxian, baik itu kaum idealis maupun kaum materialis. Mereka berargumen
untuk kemampuan diketahuinya dunia. Namun kaum idealis dan kaum materialis
secara mendasar berpegang atas pendapat yang berbeda tentang hal ini. Kaum
idealis beranggapan bahwa keberadaan yang sesungguhnya adalah dengan bentuk
ideal alamiahnya, seperti diketahui pikiran. Sehingga mereka mengidentifikasi
keberadaan dan pikiran sebagai sebuah proses dengan mana semangat mengerti
dengan sendirinya. Kaum idealis obyektif, salah satunya Plato, menyatakan bahwa
manusia mengetahui kebenaran melalui "rekoleksi". Untuk tujuan ini,
Plato percaya bahwa, manusia harus menyingkirkan semua yang jasmaniah, sensual
dan harus menutup mata dan telinganya, dan menarik kembali ke dalam observasi
diri untuk mencoba "mengingat" apakah jiwa abadinya diduga telah
mengalami dalam dunia ide yang sesungguhnya.
Beberapa pandangan
yang sama tentang pengetahuan ditemukan dalam doktrin kaum idealis, dari
sekolah Vedanta (abad 4 S.M.). Menurut pandangan ini, hanya terdapat satu obyek
murni, yaitu Brahman. Hal ini hanya dapat diketahui melalui latihan yang
teratur. dengan mengenyampingkan semua yang duniawi, secara teratur
meningkatkan kemampuan mengendalikan jiwa, menekan emosi, mengendalikan hawa
nafsu dan melatih kesabaran, konsentrasi, serta kualitas yang lainnya, maka
kaum Yogis membangkitkan dalam diri mereka, harapan yang meluap-luap untuk
membebaskan pikiran mereka sendiri. Akibatnya, seperti yang dipikirkan kaum
idealis India, adalah kelahiran pengetahuan yang sempurna. Dengan demikian
pengetahuan tentang Brahman membebaskan semua dosa.
Dalam pemikiran
Hegel satu jawaban afirmatif pada persoalan tentang identitas pikiran dan
keberadaan juga sudah jelas: dalam dunia nyata kita mengetahui secara tepat isinya
yang mampu dimengerti, sejauh mana realitas itu sendiri mampu dipikirkan. Dalam
analisis akhir pengetahuan adalah sebuah proses kesadaran diri dari Ide
Absolut.
Oleh karenanya
bagi kaum idealis, ketika mereka memberikan satu jawaban yang positif untuk
aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat, maka "pengetahuan
murni" adalah sekedar yang Absolut, Idea, Brahman, dan sebagainya,
sehingga kritisismenya terhadap agnostisisme tidak konsisten. Kenyataannya
idealisme dan agnostisisme berhubungan satu dengan yang lainnya. Agnostisisme
hanya bisa benar-benar dihajar telak melalui sudut pandang filsafat materialis.
Bagi paham
idealisme pikiran dan keberadaan itu identik, karena keberadaan itu sendiri
diinterpretasi sebagai sesuatu yang ideal. Namun bagi materialisme, jawaban
untuk aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat berangkat dari prinsip
refleksi. Pikiran itu identik dengan kenyataan hanya dalam kerangka bahwa
pikiran merefleksikan kenyataan. Sebagaimana refleksinya, maka pikiran adalah
sekunder bagi keberadaan, bagi materi. Identitas untuk pikiran dan keberadaan
oleh karenanya hanya dapat dipertautkan dalam kerangka epistemologis, misalnya,
pada tataran kemampuan diketahuinya dunia. Salah seorang materialis Perancis di
abad ke 18, Feuerbach dan para filsuf lainnya, menegaskan keyakinan mereka
tentang kekuasaan dari intelek dan emosi manusia. Namun teori pengetahuan dari
paham materialisme pra-Marxian dibatasi oleh karakter kontemplatifnya. Kaum
materialis pra Marxian kurang mampu memahami sepenuhnya kualitas aktif dari
pemikiran manusia. Bagi mereka, manusia ditakdirkan hanya untuk sebuah persepsi
yang pasif di luar berbagai pengaruh. Lebih jauh lagi, mereka hanya mengambil
satu individu yang terisolasi sebagai subyek pengetahuan dan tanpa
memperhatikan alam sosio-historis dari kesadaran manusia. Keberagaman proses
merefleksikan realitas diinterpretasi sepihak oleh mereka, dengan cara yang
amat ekstrem, seperti sesuatu yang segera, langsung dan seolah-olah reproduksi
cermin dari esensi obyek dalam kesadaran manusia. Kesemua cacat ini dapat
diasalkan pada satu yang utama, yaitu pemikiran materialis pra Marxian,
sebagaimana juga pemikiran idealis, yang gagal untuk memahami peran yang
menentukan dari praktek sosio-historis dalam proses pengetahuan.
2. Peran
Determinan Praktek dalam Pengetahuan
Para filsuf pra
Marxian biasanya mempertentangkan pengetahuan dengan aktivitas material dan
tindakan sosial manusia. Mereka memperlakukan pengetahuan sebagai satu
penyelidikan subyektif untuk kebenaran, sebagai sekedar produk keingintahuan
yang sama sekali tidak dikondisikan oleh satu persyaratan aktual pun. Biasanya,
problem untuk kemampuan diketahuinya dunia ditangani dalam teori. Dan walaupun
para teoritisi memproduksi beberapa argumen yang cukup meyakinkan untuk melawan
agnostisisme, namun selanjutnya tidak pernah benar-benar disingkirkan.
Kenyataannya adalah bahwa pengetahuan bukanlah sebuah semangat yang murni,
persyaratan intelektual dari manusia. Secara tak terhindarkan, hal ini terikat
dalam akarnya yang terdapat dalam aktivitas material obyektif manusia, terikat
dengan praktek. Dan dalam praktek-lah agnostisisme disingkirkan sama sekali.
Manusia pertama
kali berhubungan dengan dunia dalam kerangka praktis, dengan mentransformasikan
dunia secara aktif, untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Hanya melalui
interaksi material dengan alam mereka dapat membentuk sikap teoritis terhadap
alam. Dalam merubah sebuah bahan untuk memproduksi obyek atau alat tertentu,
manusia harus memilah-milahkan jenis-jenis batu, kayu, logam yang khusus, dll,
di awal tahap sejarahnya. Sehingga realitas diketahui, dan pengetahuan
tentangnya diperoleh dalam proses kerja langsung. Konsekuensinya, pengetahuan
lahir dari praktek dan berkembang atas dasar praktek. "Pijakan dari
kehidupan, yaitu praktek, harus menjadi yang pertama dan fundamental dalam
teori pengetahuan", demikian tulis Lenin. Persyaratan untuk praktek sosial
selalu menjadi basis, kekuatan pendorong, dan sumber pengembangan pengetahuan.
Kebutuhan untuk mengukur luas tanah, menentukan kapasitas tong air,
memperhitungkan waktu, perhitungan dagang, dll, telah merangsang pengembangan
pengetahuan matematis. Kebutuhan untuk membangun rumah, kanal, waduk, kapal,
dan sarana transportasi lainnya, untuk memproduksi peralatan untuk mengangkat
sesuatu dan untuk kegunaan lainnya, senjata, dll., telah merangsang
pengembangan untuk mekanika.
Pada saat ini
pula, persyaratan praktis menentukan perkembangan pengetahuan ilmiah. Hal ini
terjadi dalam matematika, sebuah ilmu pengetahuan yang menampilkan
kecenderungan yang nyata untuk meningkatkan gagasan-gagasannya melalui logika
di dalamnya sendiri. Kebutuhan untuk memindahkan informasi melalui saluran
komunikasi telah muncul, misalnya, untuk sebuah ilmu pengetahuan yang baru,
teori informasi. Dengan memunculkannya atas dasar praktis, teori ini sendiri
dipengaruhi beberapa bidang matematika klasik, seperti teori fungsi, teori
kemungkinan dll. Produksi industrial modern dan perancangan struktur-struktur
yang baru, geodesi, manajemen ekonomi dsb., meminta sejumlah perhitungan,
komputer elektronik diciptakan untuk memenuhi kebutuhan praktis ini. Penggunaan
komputer menghasilkan banyak kecenderungan baru dalam penelitian matematis,
seperti memprogram komputasi dan beberapa problem bagi komputer, teori
automata, teori algoritma dsb.
Praktek bukan
hanya pijakan awal dan basis bagi pengetahuan, namun juga merupakan tujuannya.
Manusia mengetahui hukum alam dalam rangka menaklukkannya dan merubahnya untuk
bisa melayaninya. Pengetahuan tentang hukum-hukum sosial diperlukan baginya
untuk mempengaruhi kejadian-kejadian historis sehubungan dengan kepentingan
massa pekerja.
Lalu konsep
praktek apa yang dipahami oleh dialektika materialisme? Pertanyaan ini penting
karena begitu banyak filsuf idealis menggunakan istilah "praktek"
atau "pengalaman" untuk mengkaburkan esensi dari doktrin-doktrin
mereka. Kaum idealis subyektif menginterpretasi praktek sebagai pengalaman
manusia yang menyentuh perasaan. Bagi mereka, sesuatu hanya muncul dalam
pengalaman subyek, dan pengalaman hanyalah jumlah keseluruhan dari berbagai
sensasi, satu kompleksitas elemen dalam kesdaran diri manusia. Sejenis dengan
pandangan ini adalah pandangan dari para filsuf pragmatis borjuis modern.
Menurut Pragmatisme, praktek adalah organisasi, melalui satu usaha dari
keinginan dan perhatian, dari aliran kesadaran yang tidak beraturan, serta
perasaan dan emosi manusia. Perubahan mengambil tempat dalam
"praktek" yang bukan dalam fakta, atau dalam dunia fisik nyata, namun
dalam diri subyek itu sendiri. Pragmatisme sebagai bagian khusus dari idealisme
subyektif, menterjemahkan aspek aktif dalam pemikiran manusia sebagai yang
obyektif, yang mana sama dengan idealisme secara umum.
Sebuah konsep
ilmiah tentang praktek merupakan hasil dari sebuah solusi materialis terhadap
persoalan filsafat yang fundamental. Sesuatu tidaklah diciptakan dalam
pengalaman manusia, namun diketahui melalui merefleksikan realitas dalam
praktek. Praktek memiliki satu karakter yang konkret, historis; aktivitas
manusia yang bertujuan, yang memiliki obyek-material, yang terlibat dalam
perubahan dunia obyektif yang eksis di luar kesadarannya. Tindakan praktis
berbeda dari tindakan spiritual atau tindakan pikiran (operasi logis, fantasi,
doa-doa, dsb) yang dalam hal ini menganggap a) kontak manusia dengan obyek
alam, masyarakat, atau bentuk-bentuk hubungan tertentu manusia; b) pengeluaran
sejumlah energi fisik tertentu, seiring dengan energi mental; c)
pengkoordinasian rencana tindakan sesuai dengan esensi dan kekayaan dunia,alam
atau masyarakat yang diubah dalam bidang tindakan ini.
Dengan demikian di
atas segalanya, praktek membentuk aktivitas produksi material manusia, yang
merupakan aspek utama dan menentukan dari aktivitas manusia secara umum. Apa
yang termasuk di dalamnya adalah kerja manusia dalam industri, pertanian,
transportasi, komunikasi, dan lingkup produksi material lainnya. Bentuk praktek
yang mendasar ini termasuk di dalamnya adalah praktek sosial, seperti tindakan
manusia dalam merubah atau mempertahankan hubungan sosial yang ada: perjuangan
klas, tindakan revolusioner massa rakyat, gerakan pembebasan nasional,
transformasi sosialis masyarakat, dan pembangunan komunisme, perjuangan untuk
perdamaian, serta koeksistensi damai dengan negara-negara yang sistem sosialnya
berbeda. Lepas dari bentuk dasar praktek ini, tindakan praktis manusia
diungkapkan dalam bentuk-bentuk yang spesifik, dalam berbagai lingkup
aktivitas. Dalam ilmu pengetahuan, misalnya, sebagai lawan dari pengetahuan
teoritis, tindakan praktis meliputi eksperimen, observasi astronomis atau
observasi lainnya, penyelidikan geografis dan geologis. Aktivitas praktis juga
merupakan karakteristik dari obat-obatan, karya artistik dan kehidupan
sehari-hari.
Hasil dari seluruh
tindakan ini, pada basis mana merupakan aktivitas manusia dalam produksi
material, dan yang membuat perubahan dalam bidang sejarah, disebut sebagai
praktek sosio-historis. Sementara mengadopsi pijakan kehidupan, yaitu praktek,
dialektika materialisme menawarkan satu pemahaman baru yang fundamental
mengenai esensi dari proses kognitif.
3. Esensi
Epistemologi Marxis
Materialisme pra-Marxian, seperti
yang sudah dikemukakan, bersifat kontekmplatif. Pemikiran tersebut melihat
pengetahuan manusia sebagai refleksi pasif dari obyek dan proses-proses yang
muncul di seputar dunia. Materialisme dialektika, di lain pihak memperlakukan
pengetahuan sebagai satu komponen yang diperlukan dalam proses sosio-historis
untuk menaklukkan alam dan meningkatkan hubungan diantara manusia. Subyek dari
pengetahuan kita bukanlah alam dalam arti yang sepenuhnya, atau dalam artian
"bahan mentah", melainkan seperti alam yang ditransformasi melalui praktek,
manusia mampu mengetahui fenomena yang berada di laur aktivitas langsungnya.
Kognisi di sini harus dipahami sebagai sesuatu yang aktif secara dominan,
proses dinamis. Kognisi bukanlah sekedar persoalan alam yang mempengaruhi
manusia, yang mengkontemplasi secara pasif, namun dari satu subyek yang
bertindak praktis, dan menggunakan kekuatan-kekuatan elemen alam secara sadar
dan bertujuan, dan dalam orientasi obyeknya, proses material, memperkenalkan
struktur dan hukum alam. Lebih jauh lagi, adalah esensial untuk mencatat bahwa
kognisi tidak membatasi diri pada aktivitas koginitif individu, namun merupakan
hasil dari kombinasi berbagai usaha dari seluruh umat manusia. Praktek
historis, secara konstan diperkaya, sebagai basis untuk pertumbuhan dan perluasan
pengetahuan kita mengenai dunia obyektif dari alam dan manusia, dan tingkat di
mana pengetahuan kita berkaitan dengan esensi aktual dunia.
Sejarah ilmu
pengetahuan dan keseluruhan pengalaman sejarah manusia secara tidak
terbantahkan telah membuktikan bahwa terdapat begitu banyak hal yang tidak
diketahui, namun tidak ada satu pun yang tidak bisa dipahami dalam dunia.
Fisika modern terus menghasilkan struktur materi yang amat halus untuk
penerangan, dan kekuatan atom yang dilepaskan melalui kerja ini ditujukan untuk
melayani manusia. Pengetahuan kita tentang alam semesta telah diperluas melalui
pengembangan radioastronomi dan penelitian ruang angkasa. Biologi telah
diselidiki begitu dalam hingga ke mekanisme keturunan dan pengetahuan tentang
proses genetis, yang memiliki efek praktis dalam penemuan bibit-bibit unggul,
beberapa terobosan dalam memerangi penyakit, dll. Hukum umum di jaman modern,
tentang proses revolusioner dunia yang ditemukan oleh teori Marxist-Leninis,
membantu mempercepat perubahan progresif dalam dunia.
Dengan demikian,
dialektika materialisme, yang berdasar atas pengalaman praktis dari aktivitas
kognitif manusia, memberikan satu jawaban afirmatif terhadap aspek kedua dari
persoalan fundamental filsafat.lenin mengungkapkan esensi dari epistemologi
dialektika materialisme sbb: "1) Sesuatu itu ada lepas dari kesadaran
kita, lepas dari sensasi kita, di luar kita... 2) Secara tegas tidak ada
perbedaan yang prinsip diantara fenomena dankenyataan itu sendiri, dan tidak
akan terjadi perbedaan apapun. Satu-satunya perbedaan adalah antara apa yang
diketahui dan belum diketahui... 3) Dalam teori pengetahuan, sebagaimana dalam
ilmu pengetahuan lainnya, kita harus berpikir secara dialektis, yaitu bahwa
kita tidak harus memperhatikan pengetahuan kita sebagai yang terbaik dan baku,
namun harus menentukan bagaimana pengetahuan muncul dari kegelapan, bagaimana
kekurangannya, dan ketidak pastian pengetahuan menjadi lebih lengkap dan lebih
pasti.
Pengetahuan
manusia diperluas dan diperdalam sepanjang waktu dalam proses kognisi.
Pengetahuan merupakan komponen terpenting dari kesadaran yang berada bersama
emosi manusia dan sikap-sikapnya terhadap realitas. Hal ini jelas diperlukan
dan tidak dapat dihindarkan lagi berkaitan dengan bahasa sebagaiinstrumen
hubungan antar manusia. Pengetahuan adalah sebuah refleksi dari kepemilikan
esensial dari, dan keterkaitan diantara obyek dan hukum alamnya. Pengetahuan
dapat berbeda dalam isinya, pengetahuan dapat menyimpang (khayalan, kesalahan,
falsifikasi), ketidak absahan (dugaan, hipotesa), atau kebenaran. Manusia
selalu berusaha menghadirkan pengetahuan yang benar. Sebagaimana pepatah lama
berkata, 'Pengetahuan adalah harta yang terbesar, yang tidak dapat diambil
begitu saja, yang tiada habisnya dan nilai di luarnya" adalah benar pada
saat ini.
4. Apakah
Kebenaran Itu?
Manusia telah lama
sekali memikirkan persoalan ini. Apalagi persoalan ini selalu menjadi pusat
perdebatan filosofis. Satu pemahaman tentang apakah kebenaran, tidak dapat
dipisahkan dari solusi untuk persoalan mendasar dari filsafat. Solusi
dialektika materialisme terhadap problem kebenaran berdasar atas teori refleksi
dan berbeda dari berbagai konsepsi idealis. Solusi ini berbeda juga dari
interpretasi kebenaran yang diberikan oleh metafisika, materialisme kontemplatif.
Para pendukung
idealisme obyektif menginterpretasi kebenaran sebagai sebuah atribut dari
kenyataan ideal --semangat, ide atau Tuhan. Misalnya, menurut teori
pengetahuannya Plato, sebagai rekoleksi jiwa dari sebuah dunia ide, maka
kebenaran adalah sesuatu yang supernatural, lepas dari esensi ideal yang ada;
"kebenaran itu sendiri" adalah sebuah dunia ide, dan pengetahuan
manusia hanya benar sesuai dengan jiwa yang berada bersama dengan dunia ide
"lainnya". Menurut filsafat Vedanta, relaitas yang sesungguhnya benar
adalah semangat absolut, Jiwa Tertinggi (Brahman). Pengetahuan tentang dunia
fenomena sesaat (Maya) oleh karenanya tidak dapat menjadi benar. Hanya
kelengkapan Brahman yang merupakan pengetahuan yang benar. Untuk pemikiran
idealis obyektif Hegel, kebenaran adalah 'ide' dalam segala keutuhan definisi
dan konkretisitasnya; pemikiran itu menjadi pengetahuan dalam lingkup pikiran
yang murni (reine Denken)
Dengan demikian
idealisme obyektif mempertimbangkan kebenaran tanpa memperhatikan refleksi dari
dunia yang mengambil bagian dalam kesadaran manusia. Pemikiran ini melihat
kebenaran tidak sebagai sebuah bagian dari pengetahuan manusia dalam
hubungannya dengan sebuah obyek, namun sebagai sebuah kualitas inheren dari ide
yang abadi, menembus batas waktu. Sebagai lawan dari pandangan yang idealistik
ini, dialektika materialisme mengasumsikan bahwa dunia dan alam itu sendiri,
bisa benar maupun salah. Karakteristik dari kebenaran itu hanya merujuk pada
pengetahuan kita mengenai sesuatu yang lebih dari pada sesuatu itu sendiri.
Kaum idealis
subyektif juga tidak tepat menginterpretasi problem kebenaran. Dalam menolak
bahwa dunia luar itu eksis lepas dari manusia, mereka mengabaikan setiap isi
obyektif dalam pengetahuan kita dan kebenaran yang berkait secara eksklusif
dengan keberadaan dari kesadaran tanpa memperhatikan dari mana realitas
direfleksikan. ada beragam konsep subyektivis tentang kebenaran. Diantaranya
melihat kebenaran sebenar seperti apa yang bermakna secara umum, misalnya,
yaitu yang sesuai dengan opini mayoritas. Yang lainnya melihat kebenaran dengan
apa yang dipikirkan dalam gaya yang sederhana atau dalam gaya ekonomis.
Sementara lainnya tetap mempertimbangkan sebagaimana juga kesepakatan dengan
penilaian lain dalam satu sistem pernyataan yang ada. Dan terdapat satu
interpretasi tentang kebenaran sebagaimana yang berguna. Kesemua interpretasi
ini secara karakteristik menolak eksistensi dari kebenaran obyektif.
Di sini kebenaran dari penilaian
secara menyeluruh ditentukan oleh subyek dan bergantung padanya. Misalnya,
mayoritas orang-orang bisa menganut kepercayaan yang sama, namun kemudian tidak
menjadi benar oleh karena mayoritas itu. Dengan kata lain, penyederhanaan tidak
dapat diangkat pada satu kriteria kebenaran. Lebih mudah untuk meyakini tentang
sebuah atom yang tidak terbagi daripada mampu terbagi dan memiliki satu
struktur yang kompleks, namun pandangan yang pertama dalam penjelasan ilmu
pengetahuan modern. Lebih jauh lagi, seseorang dapat mengimajinasikan dengan
baik sebuah sistem proposisi, di mana setiap proposisi akan bersesuaian satu
dengan yang lain dan tidak akan bertentangan, namun tidak menampung satu
kebenaran pun ddan adalah sebuah konstruksi logis yang arbitrer. Sebagaimana
tesis yang menyatakan bahwa apa yang berguna adalah yang benar (sebuah konsepsi
yang didukung oleh filsafat pragmatisme borjuis), maka subyektivisme itu
sendiri ada, karena secara langsung pertanyaan siapa yang mengambil untung dan
siapa yang diuntungkan dari satu penilaian yang khusus. Adalah mudah untuk membuktikan
pijakan pragmatisme, misalnya, 'kebenaran' dari setiap takhayul atau
mistisisme, adalah sejauh mana digunakan bagi klas-klas yang reaksioner.
5. Kebenaran
Obyektif
Pemikiran idealis
subyektif dan obyektif keduanya melihat kebenaran sebagai sebuah bagian
internal dari kesadaran. Namun menurut dialektika materialisme, pengetahuan
adalah refleksi dari realitas dalam proses transformasi praktisnya oleh
manusia. Pengetahuan yang merefleksikan dengan benar oleh karenaya menjadi
benar. Refleksi terhadap realitas yang didistorsi, di lain pihak memunculkan
kesalahan-kesalahan, misalnya, menjadi pengetahuan yang tidak benar. Kebenaran
adalah pikiran yang berkaitan dengan realitas. Ini artinya bahwa pengetahuan
kita mengandung satu isi yang tidak bergantung pada subyek, tidak juga
inidividu maupun manusia. Dengan demikian kebenaran selalu obyektif.
Pengenalan
terhadap kualitas obyektif dari kebenaran mengungkapkan solusi materialis untuk
aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat: gagasan konsep dan teori kita
hanya benar sejauh kesemuanya itu memiliki satu kandunganyang tidak bergantung
atas kesadaran. Kebenaran dari pandangan partikular ditentukan oleh keberadaan
hukum-hukum alama dari realitas obyektif yang direfleksikan, yang lebih
daripada harapan atau opini subyektif manusia. Misalnya sudah berapa kali pula
para ideolog borjuis menyatakan bahwa ajaran Marxis tentang perjuangan klas
tidak berlaku, meskipun demikian tidak menghalanginya untuk menjadi satu
kebenaran obyektif. Sementara masyarakat kapitalis modern ditandai juga oleh
sebuah antagonisme kepentingan klas yang ditentukan oleh dominasi atas
kepemilikan pribadi dan eksploitas manusia.
Pemikiran
materialis pra-Marxian juga mengenal obyektivitas kebenaran. Pada saat yang
sama, mereka melihat kebenaran secara metafisis dalam berargumen bahwa
kandungannya menutupi secara sempurna realitas yang direfleksikan. Tidak
seperti materialisme yang usang, filsafat Marxis-Leninis memperhatingan
kebenaran sebagai satu proses yang memperdalam refleksi, yang dimediasi oleh
praktek sosio historis, yang lebih dari seperti satu kali tindakan yang sarat
dengan keterkaitan antara pikiran dan realitas obyektif. Artinya, pertama,
bahwa obyek pengetahuan yang sesungguhnya bukanlah dunia obyektif itu sendiri,
namun realitas yang dimediasikan oleh praktek, melalui aktivitas material
manusia. Kedua, sejauh mana praktek manusia itu sendiri merubah dan
potensialitas kognitif subyek meningkat, kebenaran obyektif tidak muncul
sebagai yang utuh, ide yang lengkap (pernyataan, teori, dll), namun sebagai
sebuah proses dialektis perubahan dan perkembangan pengetahuan, yang
merefleksikan dunia obyektif.
6. Kebenaran
Relatif dan Kebenaran Absolut
Diskusi yang
sedang berjalan ini mendorong kita untuk mengangkat problem mengenai hubungan
diantara kebenaran relatif dan absolut. Apabila kebenaran obyektif itu eksis,
lalu bagaimana hal itu bisa diketahui? Dapatkah gagasan manusia mengungkapkan
kebenaran obyektif secara langsung, menyeluruh, bebas dan mutlak, atau hanya
kira-kira dan relatif? Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa dalam
epistemologi ilmiah, persoalan yang diangkat bukanlah pada eksistensi dari tiga
bentuk kebenaran (obyektif, relatif dan absolut), namun lebih pada hubungan
diantara yang absolut dan yang relatif dalam salah satu atau beberapa kebenaran
obyektif yang sama. Doktrin dialektika materialis tentang hubungan diantara
kebenaran absolut dan relatif, mempertautkan beberapa aspek pengetahuan sebagaimana
kebenarannya dan kemampuan diubahnya. Bagi pemikiran metafisis kualitas yang
demikian ini tidak sesuai.
Filsafat pra
Marxian menempatkan kebenaran dari satu pijakan yang begitu dogmatis.
Dogmatisme filosofis adalah sebuah penolakan terhadap segala elemen relativitas
dalam kebenaran. Bagi pemikiran dogmatis, kebenaran yang sesungguhnya adalah
yang absolut, kokoh, lengkap, dan baku. Sekali ditetapkan, kebenaran
selanjutnya tak bisa diubah. Kebenaran dan kesalahan ditempatkan sebagaiyang
bertentangan secara diametris, secara lengkap dipisahkan satu dengan yang
lainnya. apabila dalam perkembangannya ketidaktepatan atau bahkan kesalahan
ditemukan dalam pengetahuan, maka ahli metafisis menyatakan bahwa pengetahuan
tersebut sesat dan tidak benar. Dogmatisme menghukum ilmu pengetahuan pada
stagnasi dan biasanya membawa pada satu penolakan terhadap pengetahuan yang
lebih jauh tentang dunia obyektif. Pada saat ini, perlakuan dogmatis terhadap
kebenaran lebih bersifat khusus, misalnya pada berbagai doktrin idalis religius
yang mengangkat pernyataan-pernyataan teologis ke dalam pengetahuan yang tak
terbantahkan pada satu tatanan yang lebih tinggi daripada pengetahuan ilmiah.
Relativisme
epistemolgis adalah pandangan sepihak yang metafisis. pemikiran relativis, mengabaikan
momen stabilitas dalam pergerakan. Dalam teoripengetahuan, hal ini berarti
bahwa mereka menolak setiap elemen absolut dalam kebenaran dan hanya mengenal
kualitas relatifnya. Lebih jauh lagi mereka menginterpretasi karakter relatif
dan fleksibel dari pengetahuan sebagai subyektivitasnya, yang mana berarti
bahwa mereka menolak baik itu kebenaran obyektif maupun kebenaran absolut. Hal
inilangsung membawanya pada agnostisisme. Suatu pendekatan relativis mendasari
pandangan mengenai problem kebenaran yang diangkat oleh kaum positivis modern
dan khususnya oleh kaum konvensionalis. Pemikiran konvensionalis ini
memperhatikan setiap proposisi ilmiah dari hukum sebagai produk dari satu
kesepakatan arbitrer diantara para ilmuwan, sehingga mencabut signifikansi ilmu
pengetahuan obeyktif dan menunjukkan ketidakbenaran dari prinsip-prinsipnya.
Para pendukung
dari pluralisme tersebut di muka, juga mengadopsi pijakan relativisme
filosofis. Pluralisme dalam epistemologi mencakup ajaran subyektivis tentang
multiplisitas kebenaran. Kaum pluralis menyatakan bahwa materialisme dan
idealisme, ilmu pengetahuan dan agama, gagasan sosialis dan borjuis dsb, itu
semua sama benarnya. Namun sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak memberikan
jawaban yang berbeda secara fundamental pada salah satu maupun problem yang
sama yang sudah dipecahkan. Hanya terdapat satu kebenaran ilmiah. Di saat yang
sama, pandangan yang sesat dan salah dari satu problem partikular, bisa
bervariasi secara meluas.
Berlawanan dengan
dogmatisme dan relativisme, dialektika materialisme mengenal satu kesatuan dan
pertentangan dari elemen-elemen relatif dan absolut dalam pengetahuan yang
sesungguhnya. Lalu apa yang dimaksud dengan kebenaran relatif? Itu adalah
pengetahuan yang secara tidak utuh dan hampir merefleksikan dunia obyektif.
Pada setiap tahap praktek sosio-historis, pengetahuan manusia adalah relatif
dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Namun relativitas kebenaran tidak
hanya diterapkan pada pengetahuan manusia yang dikombinasikan dengan satu tahap
khusus dalam perkembangan masyarakat, tapi juga sebuah kualitas dari setiap
kebenaran obyektif yang dipertimbangkan secara terpisah --teori ilmiah,
proposisi baku dsb. Dalam hal ini apa yang termasuk dalam relativitas kebenaran
menjadi tidak akurat, dalam keterbatasan historis akan pengetahuan kita tentang
fenomena spesifik, kenyataan, keterkaitan diantara fenomena dan kenyataan, dsb.
Setiap kebenaran (mis., teori ilmiah partikular) adalah relatif dalam kerangka
bahwa itu, pertama, tidak memberikan pengetahuan yang lengkap dan utuh pada
area yang dipelajari oleh teori tsb. Yang kedua, kebenaran (dalam contoh kita,
teori ilmiah) menggabungkan beberapa elemen pengetahuan (mis., konsep,
proposisi dan hipotesa) yang akan diubah, diperkaya dan digantikan oleh sesuatu
yang baru. Pada saat yang sama, kebenaran relatif, bukan kesalahan, memiliki
kandungan obyektif pada satu perluasan tertentu menandakan satu keterkaitan
diantara pikiran dan realitas. Oleh karenanya, kebenaran relatif juga memiliki
sesuatu yang absolut.
Apakah yang
dipahami oleh dialektika materialisme mengenai kebenaran absolut? Kadang-kadang
terjadi bahwa kebenaran absolut ditempatkan sebagai pengetahuan yang lengkap,
utuh secara menyeluruh ditempatkan bersama dengan obyek yang diperhatikan.
Namun karena ruang dan waktunya tidak berbatas, dan secara konstan berkembang
dan berubah, pengetahuan tentangnya tidak pernah lengkap. Sebuah konsepsi
serupa mengenai alam absolut dari pengetahuan manusia oleh karenanya harus
disingkirkan, dan kemudian bahwa kebenaran absolut harus didiskusikan dalam
kerangka yang berbeda, seperti koinsidensi maksimal dari pengetahuan dengan
obyek dalam beberapa bagian yang terbatas, seperti sebuah pengetahuan yang
lengkap dari aspek dan keberadaan yang terpisah. Kemutlakkan dalam kebenaran
adalah yang mana lahir dari praktik dan tidak dapat begitu saja dirubah di masa
yang akan datang. Pengetahuan yang lama tidak seluruhnya disingkirkan dalam
proses kognitif sepanjang perkembangannya, namun tercakup dalam beberapa bentuk
atau lainnya berada dalam sistem pengetahuan yang baru. Inilah akumulasi yang
berkelanjutan dari pengetahuan obyektif yang dihasilkan oleh konsep kebenaran
absolut. Setiap kebenaran relatif mengandung satu elemen "bibit" dari
kebenaran absolut. Pergerakan menuju kebenaran absolut diungkapkan dalam
pertumbuhan pengetahuan. Menurut Lenin, "Pemikiran manusia.. secara
alamiah mampu menghasilkan, dan membuat hasil, kebenaran absolut, yang mana keseluruhan
kebenaran relatif terkandung di dalamnya. Setiap tahap dalam perkembangan ilmu
pengetahuan menambahkan bibit-bibit baru pada keseluruhan kebenaran absolut,
namun batas-batas kebenaran dari setiap proposisi ilmiah adalah relatif, yang
meluas, menciut seiring dengan pertumbuhan pengetahuan V.I. Lenin,
"Materialisme dan Kritisisme-Empiris", Kumpulan Tulisan, Vol. 14,
p.135.
Sebagai contohnya,
adalah bagaimana pengetahuan kita tentang elemen-elemen kimia dan keberadaannya
disempurnakan. Konsepsi mengenai atom dan molekul ditetapkan dalam kimia pada
pertengahan kedua abad ke 19. Konsepsi tentang atom mendasari penemuan
hukum-hukum fundamental yang memperhatikan formasi substansi kompleks kimiawi
dari berbagai elemen. Lebih dari 60 elemen kimiawi telah dipelajari,
keberadaannya digambarkan, dan bobot atomisnya sedikit banyak secara tepat
diukur. Pelopor dari pengetahuan kita tentang elemen-elemen kimiawi, secara
luar biasa dikembangkan ketika seorang ilmuwan Rusia Dmitri Mendeleyev
menemukan hukum periodik elemen-nya. Penemuan obyektifnya, kaitan yang teratur
diantara elemen-elemen kimiawi memungkinkannya untuk memprediksi keberadaan
dari beberapa elemen yang belum diketahui dan menggambarkan sifat-sifatnya
dengan ketepatan yang luar biasa. Untuk menandakan elemen-elemen yang telah
diprediksikannya, Mendeleyev menggunakan bahasa Sanskrit. Dia menggunakan
awalan equa (satu) dan dvi (dua) untuk menamakan sebuah elemen yang belum
diketahui dalam sistemnya, yang berada satu atau dua baris di bawah elemen yang
diketahui dan harus dimiripkan. Dalam bukunya yang berjudul Natural System of
Elements (1870) dia menandakan elemen-elemen yang diprediksikan dengan
menggunakan garis bawah tebal. Equaboron menyerupai boron, equaaluminium
menyerupai aluminium, equasilikon menyerupai silikon, dan dvimangaan menyerupai
mangaan. Istilah modern untuk elemen-elemen tsb adalah scandium, gallium,
germanium dan rhenium.
Penemuan
Mendeleyev, seperti setiap kebenaran ilmiah, merupakan satu kesatuan dari yang
relatif dan absolut dalam pengetahuan. "Bibit" dari kebenaran absolut
adalah indikasinya tentang keterkaitan diantara sifat-sifat elemen dan bobot
atomisnya, periodisitas dari sifat-sifatnya, eksistensi dari elemen-elemen yang
belum diketahui,dsb. Pada saat yang sama, terdapat juga kebenaran relatifnya.
Karena ada pengetahuan yang tidak memadai mengenai alasan-alasan untuk
ketergantungan dari sifat-sifat elemen pada bobot atomisnya dan untuk
periodisitas dari sifat-sifat elemen, sementara beberapa elemen kimiawi beserta
isotop-isotopnya belumlah dipelajari.
Ilmu fisika dan
kimia modern pada saat ini secara esensial telah memperdalam pengetahuan kita
mengenai elemen-elemen kimiawi. Pemikiran untuk periodisitas elemen telah
ditemukan. Tenaga nuklir yang lebih daripada bobot atomis merupakan parameter
dasar dari sebuah atom. perputaran periodek untuk gambaran yang sama dalam
sifat-sifat elemen berasal dari periodisitas dalam struktur kutub-kutub
elektronik. Elemen-elemen Transuranik yang tidak ada dalam tabel Mendeleyev dan
tidak ada secara alamiah di bumi, dihasilkan dalam kondisi laboratorium. Pada
saat ini sudah diketahui 105 elemen. Pengetahuan kita mengenai dunai atomis
terus berlanjut, sebagaimana seluruh bibit dari kebenaran absolut. Dan
pergerakan menuju pengetahuan absolut ini adalah tanpa akhir, karena materi
tidak terbatas, dan setiap tahap dari praktek sosio-historis terbatas.
7. Tidak Ada
Kebenaran Abstrak, Kebenaran selalu Konkret
Walaupun kebenaran
obyektif, dengan kesatuannya yang terdiri dari aspek relatif dan absolut, adalah
sebuah proses, hal itu juga sebuah hasil pemikiran yang konkret historis. Tidak
ada kebenaran abstrak, kebenaran selalu konkret. Inilah tesis yang paling
penting dari Marxisme-Leninisme. Apakah artinya?
Ini berarti bahwa
di atas segalanya bahwa setiap pernyataan yang benar secara historis
ditentukan. Pernyataan itu memiliki isis yang inheren, nyata dan konkret.
Kebenaran hanya mempertahankan kualitasnya dalam kondisi yang ditetapkan di
mana terdapat satu keterkaitan diantara pikiran dan realitas. Setiap kebenaran
harus diperhatikan sebagai yang relatif pada kondisi yang spesifik. Dalam
kondisi yang lain kebenaran bisa menajdi sebuah kesalahan.
Kenyataan konkret
dari kebenaran berarti bahwa pengetahuan kita tentang obyek dan fenomena di
luar dunia haruslah sebuah kesatuan dari multiformitas, lebih dari sebuah
refleksi dari satu aspek darinya. Setiapobeyk dari realitas material memiliki
seperangkat sifat-sifat dan keterkaitan obyek yang lain; lebih jauh lagi, hal
tidak hanya memiliki kualitas umum namun juga memiliki kualitas uniknya.
Kualitas konkret
dari kebenaran adalah kepentingan yang luar biasa dalam praktek perjuangan
revolusioner. Sebagaimana yang diterapkan pada pemahaman tentang hukum-hukum
yang mengatur transisi menuju sosialisme, kualitas konkret di sini merupakan
pengetahuan tentang bagaiman yang umum diungkapkan dalam kekhususan dan
bagaimana yang khusus itu sendiri memperdalam dan memperkaya dialektika
kehidupan yang nyata. Konkretisitas kebenaran adalah sebuah kondisi yang
teramat penting dalam pendekatan kreatif pada tindakan revolusioner. Hal ini
ditekankan lagi dalam Dokumen Utama Pertemuan Internasional Partai Buruh dan
Partai Komunis: "Setiap Partai, dibimbing oleh prinsip-prinsip Marxisme
Leninisme dan disesuaikan dengan kondisi konkret nasional, yang sepenuh bebas
mengelaborasi kebjakannya sendiri, menentukan arah, bentuk dan metode
perjuangan, dan dengan bergantung atas situasi tersebut, memilih jalan damai
atau kekerasan dalam transisi menuju sosialisme, dan juga bentuk-bentuk dan metode
pembangunan sosialisme di negara masing-masing".
8. Praktek
adalah Kriteria Kebenaran
Alam konkret dari
kebenaran memberikan lebih banyak kenyataan dari perang yang menentukan dalam
praktek sosio-historis. Praktek bukan hanya merupakan basis dari proses
kognitif, namun juga kriteria yang menentukan dari pengetahuan yang
sesungguhnya. Bagaimana kita memisahkan kebenaran dari kesalahan dalam
pengetahuan kita? Sesungguhnya, "arus kebenaran bergerak melalui
saluran-saluran kesalahannya". Para filsuf idealis mencari kriteria
kebenaran hanya dalam lingkup ideal, di dalam kesadaran kita: di dalam
kejernihan intuitif dari pikiran, dalam ketidak-kontradiktifannya, di dalam
koordinasi dan makna umum dari proposisi dll. Namun tidak mungkin untuk
menemukan kriteria (ukuran) kebenaran yang tepat di dalam pikiran atau perasaan
itu sendiri. "secara intuitif jelas" dan terjadi, misalnya, bahwa
matahari bergerak mengelilingi bumi. Namun menurut doktrin Kopernikan,
kebenaran ilmiah adalah berbeda, misalnya, bumi beserta planet lainnya berputar
mengelilingi matahari. Hal ini telah dibuktikan melalui observasi astronomis
dan eksperimen-eksperimen dalam fisika.
Tidak seperti
idealisme, dialektika materialisme mengasumsikan bahwa persepsi, ide,
pandangan, teori kita merupakan refleksi, bayangan dari yang menyimpang melalui
praktek. "Manusia harus membuktikan kebenaran, misalnya realitas dan
kekuasaan, keduniawian dari pemikirannya dalam praktek", demikian menurut
Marx. "Perdebatan mengenai realitas dan non realitas dari pemikiran yang
dipisahkan dari praktek adalah sebuah persoalan yang benar-benar
skolastis!". Praktek adalah kriteria kebenaran karena hal itu yang
mendasari pengetahuan tentang realitas dan karena hasil dari proses kognitif
direalisasikan dalam aktivitas material, obyektif manusia. Praktek adalah
satu-satunya kriteria obyektif dari kebenaran sejauh hal itu merepresentasikan
bukan hanya mental manusia, namun juga keterkaitan manusia yang ada secara
obyektif dengandunia alam dan sosial yang melingkupi diri manusia.
Dalam
tindakanpraktisnya, manusia mempersiapkan tujuan-tujuan tertentu bagi dirinya
sendiri yang mengungkapkan konsepsinya tentang realitas dan pengetahuannya.
Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah dipersiapkannya, membuktikan
kebenaran dari pengetahuan ini. Sebagai contohnya, penemuan dan penggunaan
mesin uap dalam industri merupakan bukti praktis dari kebenaranobyektif dalam
pengetahuan ilmiah sehubungan dengan hukum-hukum yang mengatur konversi panas
menjadi gerakan mekanis. Bibit unggul dan varitas gandum yang baru,
keberhasilan dalam rekayasa genetika dan prestasi medis dalam menangani
penyakit keturunan --kesemuanya menegaskan validitas dari pengetahuan biologi
modern mengenai hukum keturunan. Kemenangan sosialisme di Rusia, dalam praktek
menegaskan bahwa Lenin benar adanya dalam menyimpulkan bahwa memungkinkan untuk
mempengaruhi transisi menuju sosialisme di satu negara di bawah kondisi
meningkatnya kesenjangan ekonomi dan perkembangan politik kapitalisme pada
tahap monopoli.
Sementara kita
memahami arti penting dari praktek sebagai kriteria kebenaran, kita pun harus
memahami kekontradiktifannya; kriteria ini absolut dan relatif. Kriteria ini
absolut sejauh tidak terdapat kriteria lain yang mana dapat menetapkan
kebenaran ataupun kesalahan dari hasil-hasil pemikiran manusia. Kriteria ini
juga absolut karena praktek dapat membuktikan kebenaran absolut. Ketika
pengetahuan dilahirkan melalui praktek adalah benar bukan hanya secara
obyektif, namun dalam batas-batas tertentu juga secara absolut, dan tidak
mengikuti perubahan yang ada dalam batas-batas ini. Pada saat yang bersamaan,
kriteria ini juga relatif. Hal ini diungkapkan, pertama-tama, yaitu dalam satu
tindakan praktek yang partikular, terisolasi, jelas tidak memadai untuk
membuktikan secara tepat kebenaran maupun ketidak benaran dari sebagain
pengetahuan yang partikular. Yang kedua, praktek dibatasi oleh tahap
perkembangan historis yang spesifik dari sarana-sarana industrial, teknis dan
eksperimental untuk mempengaruhi obyek pada satu titik dalam waktu. Aktivitas
manusia secara berkelanjutan berkembang dalam segala bentuknya. Oleh karenanya
praktek, sebagai kriteria kebenaran, harus dipertimbangkan, sebagaimana proses
kognisi sebagai satu keseluruhan, dalam satu latar sejarah --sehubungan dengan tingkat
produksi tertentu, eksperimentasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan sehubungan
dengan hubungan sosial dan tindakan sosial manusia yang relevan.
Keberlanjutan
perkembangan praktek mencegah pengetahuan kita berubah menjadi dogma yang baku
dan kaku. Pada saat yang sama, kenyataan absolut dari praktek sebagai kriteria
kebenaran memungkinkannya untuk membedakan pengetahuan yang benar secara
obyektif, dari penyimpangan, kesalahan dan fantasi tanpa dasar.
Selanjutnya, kita
dapat mulai mempelajari dialektika proses kognisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar