Rabu, 09 Mei 2012

Perkembangan Kerajaan Turki Usmani


PERKEMBANGAN KERAJAAN TURKI USMANI
Oleh: Sulaiman Ibrahim

I. Pendahuluan
Sejarah kerajaan Turki Usmani yang ditulis di dalam buku-buku tarikh Islam di Indonesia sering tidak mendapat porsi sebanyak yang diperoleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Melihat dari hasil budaya yang dipersembahkannya dipermukaan, Dinasti Turki Usmani ini tidaklah bisa disamakan dengan kedua Dinasti di atas, tetapi melihat peranannya sebagai benteng kekuatan Islam dalam menangkal ekspansi bangsa Eropa ke timur, maka dengan ini ia tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kajian sejarah Islam.
Turki Usmani telah menunjukkan kehebatannya dalam menangkis serangan musuh. Serangan-serangan perluasan yang dilakukannya langsung menusuk menusuk ke wilayah penting, termasuk penaklukan Konstantinopel.
Perjalanan panjang kerajaan Turki Usmani telah menampilkan 35 orang Sultan dengan corak pkepemimpinan masing-masing. Tetapi sebagaimana Dinasti lainnya, hukum sejarah juga berlaku, bahwa masa pertumbuhan yang diiringi dengan masa gemilang biasanya berakhir dengan masa kemunduran bahkan mungkin kehancuran.
Makalah ini akan membahas sejarah berkembangnya kerajaan Turki Usmani serta kemajuan-kemajuan yang dicapai baik dalam bidang sosial, politik dan lain-lain.





II. Pembahasan
A. Asal Mula Kerajaan Turki Usmani
Kerajaan Turki Usmani muncul di pentas sejarah Islam pada periode pertengahan. Masa kemajuan Dinasti ini dihitung dari mulai digerakkannya ekspansi ke wilayah baru yang belum ditundukkan oleh pendahulu mereka. keberhasilan mereka dalam memperluas wilayah kekuasaan serta terjadinya peristiwa-peristiwa penting merupakan suatu indikasi yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kemajuan tersebut.
            Pendiri dari kerajaan Turki ini adalah bangsa Turki dari kabilah Qayigh Oghus[1] salah satu anak suku Turk yang mendiami sebelah barat gurun Gobi, atau daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina, yang dipimpin oleh Sulaiman. Dia mengajak anggota sukunya untuk menghindari serbuan bangsa mongol yang menyerang dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm pada tahun 1219-1220. Sulaiman dan anggota sukunya lari ke arah Barat dan meminta perlindungan kepada Jalaluddin, pemimpin terakhir Dinasti Khawarizm di Transoxiana (maa wara al-Nahr). Jalaluddin menyuruh Sulaiman  agar pergi kearah Barat (Asia Kecil). Kemudian mereka menetap di sana dan pindah ke Syam dalam rangka menghindari serangan mongol. Dalam usahanya pindah ke Syam itu, pemimpin orang-orang Turki mendapat kecelakaan. Mereka hanyut di sungai Efrat yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun 1228.[2] Akhirnya mereka terbagi menjadi 2 kelompok, yang pertama ingin pulang ke negeri asalnya; dan yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia kecil. Kelompok kedua ini berjumlah 400 kepala keluarga yang dipimpin oleh Ertugril (Erthogrol) ibn Sulaiman. Mereka mengabdkan dirinya dirinya kepada Sultan Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang pusat pemerintahannya di Kuniya, Anatolia Asia Kecil.
            Pada saat itu, Sultan Alauddin II sedang menghadapi bahaya peperangan dari bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan di Romawi Timur (Byzantium). Dengan bantuan dari bangsa Turki pimpinan Erthogrol, Sultan Alauddin II dapat mencapai kemenangan. Atas jasa baik tersebut Sultan menghadiahkan sebidang tanah yang perbatasan dengan Bizantium. Sejak itu Erthogrol terus membina wilayah barunya dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut wilayah Byzantium.[3]
Pada tahun 1288 Erthogrol meninggal dunia, dan meninggalkan putranya yang bernama Usman, yang diperkirakan lahir pada 1258 M. usman inilah yang ditunjuk oleh Erthogrol untuk meneruskan kepemimpinannya dan disetujui serta didukung oleh Sultan Saljuk pada saat itu. Nama Usman inilah yang nanti diambil sebagai nama untuk Kerajaan Turki Usmani. Usman ini pula yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II. Kemenangan-kemenangan dalam setiap pertempuran dan peperangan diraih oleh Usman. Dan berkat keberhasilannya maka benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan Broessa dapat ditaklukkan. Keberhasilan Usman ini membuat Sultan Alauddin II semakin simpati dan banyak memberi hak istimewa pada Usman. Bahkan Usman diangkat menjadi gubernur dengan gelar Bey, dan namanya selalu disebut dalam do’a setiap khutbah Jum’at.[4] Penyerangan Bangsa Mongol pada tahun 1300 ke wilayah kekuasaan Saljuk Rum mengakibatkan terbunuhnya Sultan Saljuk tanpa meninggalkan putra sebagai pewaris kesultanan.[5] Dalam keadaan kosong itulah, Usman memerdekakan wilayahnya dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol. Usman memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani.
B. Perkembangan Kerajaan Turki Usmani
            Dengan jatuhnya jazirah Arab, maka imperium Turki Usmani mempunyai wilayah yang luas sekali, terbentang dari Budapest di pinggir sungai Thauna, sampai ke Aswan dekat hulu sungai Nil, dan dari sungai efrat serta pedalaman Iran, sampai Bab el-Mandeb di selatan jazirah Arab.[6] Selama masa kesultanan Turki Usmani (1299-1942 M.) sekitar 625 tahun berkuasa tidak kurang dari 38 Sultan.
Dalam hal ini, Syafiq A. Mughni membagi sejarah kekuasaan Turki Usmani menjadi lima periode,[7] yaitu:
1.      Periode pertama (1299-1402), yang dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan timur yaitu dari pemerintahan Usman I sampai pemerintahan Bayazid.
2.      Periode kedua (1402-1566), ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Dari masa Muhammad I sampai Sulaiman I.
3.      Periode ketiga (1566-1699), periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya. Sampai lepasnya Honggaria. Namun kemunduran segera terjadi dari masa pemerintahan Salim II sampai Mustafa II.
4.      Periode keempat (1699-1838), periode ini ditandai degan berangsur-angsur surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah yang di tangan para penguasa wilayah, dari masa pemerintahan Ahmad III sampai Mahmud II.
5.      Periode kelima (1839-1922) periode ini ditandai dengan kebangkitan cultural dan administrates dari negara di bawah pengaruh ide-ide barat, dari masa pemerintahan Sultan A. Majid I sampai A Majid II.
Persinggungan Islam dengan Turki melalui sejarah panjang, terhitung sejak abad pertama hijriyah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela Islam. Pengaruh Turki dalam dunia Islam semakin terasa pada masa Pemerintahan al-Musta’sim (640-656 H./1242-1258 M.), khalifah terakhir dinasti Abbasiyah. Sejak masa itu bangsa Turki dari berbagai suku senantiasa terlibat dalam jatuhbangunnya berbagai dinasti di daerah mana mereka bertempat tinggal dan mengabdi.[8]
1. Perluasan Wilayah
Setelah Usman mengumumkan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga Usman), pada tahun 1300 M. dia memulai memperluas wilayahnya.[9] Perluasan wilayah (ekspansi) para Sultan Usmani menjadi model. Hal ini berlangsung paling tidak sampai dengan masa Pemerintahan Sulaiman I. untuk mendukung hal itu, Orkhan membentuk pasukan tangguh yang dikenal dengan Inkisyariyyah. Pasukan Inkisyariyah adalah tentara utama Dinasti Usmani yang terdiri dari bangsa Georgia dan Armenia yang baru masuk Islam.[10] Ternyata, dengan pasukan tersebut seolah-olah Dinasti Usmani memiliki mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang besar sekali bagi penaklukan negeri-negeri non Muslim. Maka pada masa orkhan I kerajaan Turki Usmani dapat ditaklukkan Azmir (Asia kecil), tahun 1327, Thawasyani (1330), Uskandar (1338), Ankara (1354), dan Gholipolli (1356). Daerah-derah ini adalah bagian dunia eropa yang pertama kali dapat dikuasai kerajaan Usmani.[11]
            Ekspansi yang lebih besar terjadi pada masa Murad I. di masa ini berhasil ditaklukan wilayah Balkan, Adrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (ibukota Bulgaria) dan seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih oleh Murad I, kerajaan-kerajaan Kristen di Balkan dan Eropa timur menjadi Murka. Mereka lalu menyusun kekuatan yang terdiri atas Hongaria, Bulgaria Serbia dan Walacia (Rumania), untuk menggempur Dinasti Usmani. Meskipun Murad I tewas dalam pertempuran tersebut, kemenangan tetap dipihak Dinasti Usmani. Ekspansi berkutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I.
            Sultan Bayazid naik tahta tahun 1389 M. dengan mendapat gelar Yaldirin atau Yaldrum yang berarti kilat, karena terkenal dengan serangan-serangannya yang cepat terhadap lawan-lawannya. Perluasan wilayah terus berlanjut dan dapat menguasai Salocia dan Morea. Bayazid juga memperoleh kemenangan dalam perang salib di Nicapolas (1394).
            Ketika Sultan Bayazid sedang memusatkan perhatiannya untuk menghadapi musuh-musuhnya di Eropa. Ia ditantang oleh Musuh sesama Muslim Yang datang dari Timur Lenk. Seorang raja keturunan bangsa Mongol yang telah memeluk Islam dan berpusat di Samarkhand. Timur Lank mendapat dukungan dari negeri-negeri di Asia kecil yang tak mau tunduk kepada Bayazid. Akhirnya terjadi pertempuran hebat di Ankara tahun 1402 M. Bayazid dengan kedua putranya, Musa dan Ergthogrol dikalahkan dan di tawan oleh Timur tahun 1402. kekalahan ini membawa akibat buruk bagi Turki Usmani. Penguasa-penguasa di Asia kecil melepaskan diri dari pemerintahan Usmani. Wilayah Serbia dan Bulgaria memproklemirkan kemerdekaannya.[12]
            Puncak ekspansi terjadi pada masa Sultan Muhammad II yang dikenal dengan gelar al-Fatih (sang penakluk). Pada masanya dilakukan ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran. Kota penting yang berhasil ditaklukannya adalah Constantinopel (kota kerajaan Romawi Timur) yang ditaklukkan pada tahun 1453. setelah ditaklukkan, kota tersebut diubah namanya menjadi Istambul (tahta Islam). Kejatuhan Constantinopel ke tangan Dinasti Usmani memudahkan tentara Usmani menaklukkan wilayah lainnya., seperi Serbia, Albania dan Hongaria.
            Sultan Muhammad meninggal pada tahun 1481 M. dan digantikan oleh putranya Bayazid II. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Bayazid II lebih mementingkan kehidupan tasawuf dari pada penaklukkan wilayah dan perang. Hal ini menimbulkan perselisihan yang panjang dan pada akhirnya Sultan Bayazid II mengundurkan diri dari kursi kesultanan pada tahun 1512 M. dan digantikan oleh putranya Salim I. pada masa Sultan Salim I, pemerintahan Usmani bertambah luas hingga menembus Afrika utara, Syiria dapat ditaklukkan dan Mesir yang diperintah oleh kaum Mamalik ditundukkan pada tahun 1517 M. dan pada masa inilah para Sultan Usmani menyandang gelar khalifah.[13]
            Menurut Ahmad Syalabi, Sultan Salim I pernah meminta kepada khalifah Abbasiyah di Mesir agar menyerahkan kekhalifahan kepadanya, ketika ia menaklukkan Dinasti mamalik. Pendapat lain menyebutkan bahwa gelar “khalifah” sebenarnya sudah digunakan oleh Sultan Murad (1359-1389 M.) setelah ia berhasil menaklukkan Asia kecil dan Eropa. Dari dua pendapat ini, Ahmad Syalabi berkesimpulan, para Sultan kerajaan Usmani memang tidak perlu menunggu khalifah Abbasiyah menyerahkan gelar itu, karena jauh sebelum masa kerajaan Usmani sudah ada tiga khalifah dalam satu masa.[14] Pada abad ke 10 M., para penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah memakai gelar khalifah. Tidak lama setelah itu, Abd al-Rahman al-Nashir di Spanyol menyatakan diri sebagai khalifah melanjutkan Dinasti bani Umayyah di Damaskus, bahkan ia mencela para pendahulunya yang berkuasa di Spanyol yang meras cukup dengan gelar “Amir” saja. Karena itu ada kemungkinan para penguasa Usmani memang sudah menggunakan gelar khalifah jauh sebelum mereka dapat menaklukkan Dinasti mamalik, tempat pusat pemerintahan para khalifah Abbasiyah.[15]
            Dengan adanya berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Usmani berpindah-pindah. Sebagai contoh, sebelum Usman I memimpin Dinasti Usmani, ia mengambil kota Sogud sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Usmani dapat menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I. ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Constantinopel oleh Muhammad II, yang kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota pemerintahan yang terakhir.
           Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Usmani dalam perluasan wilayah Islam. (1) kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). (2) sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan. (3) semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam. (4) letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur. (5) kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Usmani mengalahkannya.[16]
2. Kemajuan-Kemajuan Yang Capai
a. Sosial Politik dan Administrasi negara
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani berlangsung dengan cepat, hal ini diikuti pula oleh kemajuan dalam bidang politik, terutama dalam hal mempertahankan eksistensinya sebagai negara besar. Hal ini berkaitan erat dengan sistem pemerintahan yang diterapkan para pemimpin Dinasti ini. Selain itu, tradisi yang berlalu saat itu telah membentuk stratifikasi yang membedakan secara menyolok antara kelompok penguasa (small group of rulers) dan rakyat biasa (large mass). Penguasa yang begitu kuat itu bahkan memiliki keistimewaan: (1) pengakuan dari bawahan untuk loyal pada Sultan dan negara, (2) penerimaan dan pengamalan, serta sistem berfikir dalam bertindak dalam agama yang dianut merupakan kerangka yang integral, (3) pengetahuan dan amalan tentang sistem adat yang rumit. Yang terpenting adalah bahwa para pejabat dalam hal apapun tetap sebagai budak Sultan. Tugas utama seluruh warga negara, baik pejabat maupun rakyat biasa adalah mengabdi untuk keunggulan Islam, melaksanakan hukum serta mempertahankan keutuhan imperium.
            Sebagai struktur masyarakatnya sangat heterogen, Dinasti Usmani mempunyai kekuasaan yang menentukan nasib warga Timur Tengah dan Balkan, sampai pada tingkat yang luar biasa. Dinasti Usmani tersebut mendominasi, mengendalikan dan membentuk masyarakat yang dikuasainya. Salah satu konsep utama yang diterapkan oleh Usmani adalah perbedan antara askeri dan ri’aya, yakni antara kalangan elit penguasa dan yang dikuasai, elit pemerintah dan warga Negara, antara tentara dan pedagang, antar petugas pemungut pajak dan pembayar pajak. Bahkan, untuk menjadi kelas penguasa seseorang harus dididik dalam kebahasaan dan tata cara yang khusus yang disebut dengan tata cara Usman. Seseorang dapat menjadi elit Usmani melalui keturunan atau melalui pendidikan sekolah-sekolah kerajaan, kemiliteran atau pendidikan sekolah keagamaan.[17]
b. Bidang Militer
kerajaan Turki Usmani telah mampu menciptakan pasukan militer yang mampu mengubah Negara Turki menjadi Mesin perang yang paling tangguh dan  memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri-negeri non Muslim. Bangsa-bangsa non Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen di asramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
Ketika terjadi kekisruan ditubuh militer, maka Orkhan mengadakan perombakan dan pembaharuan, yang dimulai dari pemimpin-pemimpin personil militer. Program ini ternyata berhasil dengan  terbentuknya kelompok militer baru yang disebut dengan pasukan Janissari atau Inkisyariyah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan kuat dalam penaklukan negeri Non Muslim. Selain itu, ada juga ada juga tentara feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat, pasukan ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah.[18]
Keberhasilan ekspansi wilayah dibarengi dengan terciptanya jaringan pemerintah yang teratur. Di masa Sulaiman I, disusunlah sebuah kitab undang-undang (qonun) yang diberi nama Multaqa al-Abhur. Kitab ini menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi abad ke-19.
Pengelolaan administrasi pemerintah tidaak hanya terbatas sampai ketingkat propinsi, tetapi selanjutnya diefektifkan dengan membentuk daerah-daerah tingkat II yang dikepalai masing-masing seorang kepala daerah (sanjaks). Di tingkat pusat, di samping ada sultan ada grand vizier (perdana menteri) yang dibantu oleh beberapa pembantu,diantaranya oleh para ulama yang berfungsi sebagai lembaga pemberi fatwa atau dewan pertimbangan.[19]
Sebuah administrasi birokratik sangat diperlukan dalam pengkajian militer budak. Orkhan (1324-1360) melantik seorang wazir untuk menangani administrasi dan kemiliteran pusat dan mengangkat sejumlah gubernur sipil untuk sejumlah propinsi yang ditaklukkan. Kepala-kepala jabatan disatukan dalam sebuah dewan kerajaan. Lantaran Dinasti Usmani semakin meluas, beberapa propinsi yang semula merupakan daerah jajahan yang harus menyerahkan upeti digabungkan menjadi sebuah sistem administrasi. Unit propensial yang terbesar, yang dinamakan baylerbayliks, dibagi menjadi sanjak-bayliks dan selanjutnya dibagi-bagi menjadi timarliks yang distrik tersebut diserahkan kepada pejabat-pejabat militer sebagai pengganti gaji mereka. Pada abad ke-16, term vali telah menggantikan baylerbayliks dengan pengertian seorang gubernur, dan term eyelet digunakan dengan arti propisi di Eropa, yakni Rumania dan Transilvania, Crimea, dan beberapa distrik di Anotalia yang berada dalam pengawasan masyarakat Kurdi dan Turki tetap berlangsung sebagai propinsi semi mereka yang wajib menyerahkan upeti.[20]
c. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
            Dalam bidang pendidikan, Dinasti Usmani mengantarkan pada pengorganisasian sebuah sistem pendidikan madrasah yang tersebar luas. Madrasah Usmani pertama didirikan di Izmir pada tahun 1331, ketika itu sejumlah ulama di datangkan dari Iran dan Mesir untuk mengembangkan pengajaran Muslim dibeberapa toritorial baru.[21] Tapi hal ini tidak begitu berkembang, karena Turki Usmani lebih memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sehingga dalam khazanah Intelektual Islam kita tidak menjumpai ilmuan terkemuka dari Turki Usmani.          
Dalam bidang ilmu pengetahuan, memang kerajaan Turki Usmani tidak menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian ilmiah seperti di masa Daulah Abbasiyah. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan), dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap karya-karya klasik yang telah ada. Namun dalam bidang seni arsitektur, Turki Usmani banyak meninggalkan karya-karya agung berupa bangunan yang indah, seperti Mesjid Jami’ Muhammad al-Fatih, mesjid agung Sulaiman dan Mesjid Abu Ayyub al-Anshary dan mesjid yang dulu asalnya dari gereja Aya Sophia. Mesjid tersebut dihiasi dengan kaligrafi oleh Musa Azam.[22] Pada masa Sulaiman di kota-kota besar lainnya banyak dibangun mesjid, sekolah rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum.
d. Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara
            karena Turki mengusai beberapa kota pelabuhan utama, seperti pelabuhan-pelabuhan sepanjang laut tengah (Afrika Utara), pelabuhan laut merah,  teluk Persia, pelabuhan di Siria (pantai Libanon sekarang), pantai Asia Kecil dan yang paling strategis adalah pelabuhan Internasional Konstantinopel yang menjadi penghubung Timur dan Barat waktu itu, maka Turki menjadi penyelenggara perdagangan, pemungut pajak (cukai) pelabuhan yang menjadi sumber keuangan yang besar bagi Turki.
            Keberhasilan Turki Usmani dalam memperluas kekuasaan dan penataan politik yang rapi, berimplikasi pada kemajuan social ekonomi Negara, tercatat beberapa kota industri yang ada pada waktu itu, antara lain: (a) Mesir yang memperoleh produksi kain sutra dan katun, (b) Anatoli memproduksi bahan tekstil dan wilayah pertanian yang subur. Kota Anatoli merupakan kota perdagangan yang penting di rute Timur dalam perindustrian dalam hasil industri dan pertanian di Istambul, polandia dan Rusia. Para pedagang dari dalam maupun dari luar negeri berdatangan sehingga wilayah Turki menjadi pusat perdagangan dunia pada saat itu.[23]
            Selain dari sumber perdagangan, Turki Usmani memiliki sumber keuangan Negara yang sangat besar, yaitu dari harta rampasan perang, dari upeti tanda penaklukkan Negara-negara yang ditundukkan serta dari orang-orang zhimmi.
B. Kemunduran Turki Usmani
Pada akhir kekuasaan Sulaiman al-Qanuni I kerajaan Turki Usmani berada ditengah-tengah dua kekuatan monarki Austria di Eropa dan kerajaan Syafawi di Asia. Melemahnya kerajaan Usmani setelah wafatnya Sulaiman I dan digantikan oleh Salim II. Pengganti kepemimpinan ini ternyata tidak mampu menghadapi kondisi tersebut. Pada awal abad ke-19 para Sultan tidak mampu mengontol daerah-daerah kekuasaannya. Dan melemahnya militer Turki Usmani berakibat munculnya pemberontakan-pemberontakan. Beberapa daerah berangsur-angsur mulai memaisahkan diri dan mendirikan pemerintah otonom.
Di Mesir, kelemahan-kelemahan kerajaan Turki Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M., Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis tahun 1798 M.[24] Demikian pula pemberontakan-pemberontakan terjadi di Libanon dan Syiria, sehingga kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduruan, bukan saja daerah-daaerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk muslim.
Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani ini mengalami kemunduran, di antaranya adalah:
1.       Wilayah kekuasaan yang sangat luas yang tidak dibarengi dengan Administrasi dan potensi yang kuat.
2.       Kelemahan para penguasa, baik dalam kepribadian maupun dalam kepemimpinan yang berakibat pemerintahan menjadi kacau.
3.       Pemberontakan tentara jenissari
4.       Heterogenitas penduduk. Wilayah yang luas yang didiami penduduk yang beragam, baik dari segi agama, suku, ras, etnis dan adat istiadat acap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan.
5.       Merosotnya ekonomi. Akibat perang yang berkepanjangan sehingga perekonomian negara merosot.

III. Kesimpulan
Suku Turki terkenal sebagai suku bangsa yang berjiwa militer, mempunyai kemampuan mengatur strategi perang, sehingga mereka mampu mempertahankan keutuhan kerajaan dalam waktu yang lama. Karena berjiwa militer, maka ketaatan terhadap pemimpinnya (sultan) sangat menonjol, yang diikuti dengan pejabat kerajaan yang hampir semua dari golongan mereka, sehingga persaingan dengan suku bangsa lain tidak terjadi.
Turki Usmani yang disibukkan dengan usaha-usaha penaklukan tentu saja tidak sempat terlalu banyak mempersembahkan karya-karya material yang bisa dinikmati sekarang. Akan tetapi, peranannya dalam memperluas wilayah, membendung serangan musuh dan meneruskan estafet kekuasaan Islam, terutama ketika menaklukkan Konstantinopel.

DAFTAR PUSTAKA

Brockkmann, Carl, History of the Islamic Peoples, London: Routledge & Kegan Paul, 1982

Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Oxford: Oxford Univercity Press, 1995, vol. vi

Ensiklopedi Islam, jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990

Hamka, Sejarah Umat Islam III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981

Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976, jilid IV,

Hasan Ibrahim Hasan, Mausu’at al-Tarikh al-Islami V, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1967

Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, jilid I.

Mughni, A. Syafiq, Sejarah Kebudayaan di Turki, Jakarta: Logos, 1997

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya I, Jakarta: UI Press, 1992

Siti Maryam dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2002

Syalabi, Ahmad, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, tth.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, cet. XIII,




[1] John L.Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, (Oxford: Oxford Univercity Press, 1995), vol. vi, h. 63, lihat juga Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami, (Cairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1976), jilid IV, h. 324
[2]A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), h. 51
[3]Siti Maryam dkk. (ed.) Sejarah Pearadaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 132 
[4]A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, h. 52
[5]Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, h. 945
[6]Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, (Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, tth.) h. 660
[7] A. Syafiq Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, h. 54
[8] Ensiklopedi Islam, h. 114
[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. XIII, h. 130
[10]Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 59
[11]Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 131
[12] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan di Turki, h.59,lihat juga Carl Brockkmann, History of the Islamic Peoples, (London: Routledge & Kegan Paul, 1982), h. 328
[13] Carl Brockkmann, History of the Islamic Peoples, h. 328-329
[14] Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, h. 34-35, Lihat juga Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, h.133
[15]Ibid.
[16] Ensiklopedi Islam, jilid IV, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), h. 60
[17]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), jilid I, h.496-497
[18] Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, h.41
[19] lihat Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, h. 34
[20]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), jilid I dan II, terj, h. 488-489
[21] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 499
[22] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 499

[23]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 498
[24] Hasan Ibrahim Hasan, Mausu’at al-Tarikh al-Islami V, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1967), h. 342

1 komentar:

Unknown mengatakan...

materinya bagus,, sayang fontnya kurang menarik

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas