Sabtu, 05 Mei 2012

Pengantar Cara Berpikir


I. PENDAHULUAN

1. Apakah Filsafat itu?
Banyak orang mengira bahwa filsafat itu tidak dapat atau sulit dimengerti oleh rakyat biasa, dan merupakan salah satu mata kuliah yang paling sulit dan abstrak di dalam perguruan tinggi. Dengan kata lain, filsafat itu di pandang sebagai sesuatu yang tak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari. Padahal tidak demikian. Pada setiap hari dapat kita jumpai jejak-jejak atau potongan-potongan pikiran filsafat.
Si A yang sudah puluhan tahun merantau di luar negeri pada suatu waktu berkenan untuk pulang ke tanah air Indonesia. Begitu tiba di Jakarta ia dikejutkan dengan wajah betawi yang baru sama sekali baginya, sehingga ia tidak mengenali lagi kampung-kampung yang ia tempati puluhan tahun yang lalu. Jalan-jalan kini lebar-lebar dan licin, bermalang melintang dan penuh dengan berbagai kendaraan bermotor yang membisingkan, gedung-gedung pencakar langit pun menjulang di sana-sini dengan aneka lampu neon yang memberikan pandangan indah pada malam hari, banyak pusat pusat perbelanjaan, Super market atau plaza di samping pasar loak dan kaki lima. Pendek kata, betawi sekarang tidak jauh beda dengan kota-kota besar di Eropa dan Amerika sana, walaupun nampak sangat jorok dengan tumpukan sampah di mana-mana, yang tak pernah dijumpainya di jaman kolonial. Tetapi yang lebih mengejutkan dan juga membanggakan ialah bahwa penguasa kolonial telah tidak ada lagi, penguasa bangsa sendiripun ternyata mampu menjalankan roda pemerintahan. Polisi dan tentara juga tidak kalah galak dan bengisnya dari pada polisi dan tentara di jaman kolonial. Ketika ia di tengah tengah kerabatnya ia mendapati kenyataan banyak di antara mereka yang sudah meninggal dan ada yang menjadi pembesar dan kaya raya, dst.
Hasil pengamatan seperti ini telah memberikan kesan yang mendalam kepadanya bahwa segala sesuatu itu berubah, tidak langgeng. Dan pikiran bahwa SEGALA SESUATU ITU BERUBAH, TIDAK LANGGENG ini adalah sepotong pikiran filsafat, menurut ilmu filsafat inilah pikiran dialektis, yang merupakan bagian dari suatu sistim filsafat dialektika.
Mari kita lanjutkan contoh di atas tadi. Pada suatu ketika si A tadi yang setelah beberapa waktu kembali ke tanah air, memperhatikan lebih dalam kehidupan rakyat kecil, kehidupan kaum buruh, kaum tani dan kaum miskin di perkotaan, serta pengrajin dan nelayan, dan mengetahui bahwa nasib mereka tetap miskin dan sengsara. Di lain pihak, ia melihat pemilik-pemilik modal raksasa asing (kaum Imperialis) masih tetap merajalela dan bahkan menguasai kehidupan perekonomian dan keuangan Indonesia walaupun pemerintahan kolonial sudah tidak ada lagi. Kenyataan-kenyataan yang keras ini telah memberikan suatu kesan padanya bahwa segala sesuatu TETAP TIDAK BERUBAH, SEMUA TETAP DAN LANGGENG. Pikiran semacam inipun, merupakan sepotong pikiran filsafat. Dan dalam ilmu filsafat ini dikenal dengan pikiran stastis, merupakan sebagian dari sistim filsafat metafisika, dalam pengertian non-dialektis.

Dari contoh di atas dapat kita ketahui dengan jelas bahwa suatu pikiran filsafat itu dilahirkan dari pikiran-pikiran yang hidup dalam perjuangan manusia sehari-hari untuk mempertahankan dan memperbaiki kehidupannya dan mempertinggi martabat kemanusiaan. Sungguhpun demikian, pikiran filsafat tidaklah sama dengan pikiran yang hidup sehari-hari. Di antara keduanya terdapat perbedaan kualitas atau sifat. Sebagaimana yang kita ketahui dari contoh di atas itu, bahwa pikiran sehari-hari itu adalah KHUSUS dan KONGKRIT, misalnya "wajah jakarta berubah", "keadaan politik di Indonesia berubah", "nasib kaum tani dan buruh di indonesia tetap miskin dan sengsara", "penanaman modal asing di Indonesia semakin besar", dsb. Sedangkan pikiran filsafat, yang merupakan penyimpulan dari pikiran-pikiran sehari-hari yang mencerminkan kenyataan-kenyataan khusus dan kongkrit, dan bersifat hakiki, umum dan abstrak.
Kembali pada contoh di atas. bahwa si A pada situasi tertentu timbul kesan: "segala sesuatu senantiasa berubah", tapi pada situasi lain timbul kesan sebaliknya. Lalu bagaimana sebenarnya, apakah segala sesuatu itu berubah atau tidak berubah? Bagi si A yang tidak pernah belajar filsafat atau tidak punya pegangan pada suatu sistim filsafat tertentu, sudah tentu menjadi bingung dan tidak dapat menjawabnya, dan ia akan selalu diombang-ambing oleh perkembangan situasi. DI SINILAH LETAK SALAH SATU ARTI PENTING DARI HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN KEHIDUPAN KITA SEHARI-HARI, APA3a LAGI BAGI KAUM PROGRESIF-REVOLUSIONER.
Mungkin ada kawan yang mengatakan bahwa kenyataan menunjukkan, orang yang tidak belajar filsafat atau tidak memiliki sistim filsafat tertentu toh juga bisa hidup. Memang, tidak memiliki sistim filsafat tertentu bukan berarti tidak bisa hidup, tapi hidupnya akan selalu dalam keadaan meraba-raba atau terombang-ambing oleh keadaan. Lagi pula banyak orang, secara tak sadar memegang sebuah sistim filsafat tertentu, misalnya mereka yang patuh menjalankan ajaran agamanya, sudah mengandung sebuah sistim filsafat tertentu. Demikian juga bagi mereka yang yakin bahwa nasibnya sudah ditentukan hanya oleh Yang Maha Esa, sehingga menerima apa saja adanya, maka secara tidak sadar ia telah berpegang pada fatalisme, bagi mereka yang hidup tanpa pegangan filsafat tertentu, sadar atau tidak selain mudah terombang-ambing oleh keadaan, juga mudah terjerumus ke dalam dunia mistik atau dunia spekulatip, yang tak lain adalah perjudian, yang lebih banyak kegagalan daripada keberhasilan, ia suka bersikap avonturis atau labil
Mengapa sebuah sistim filsafat dapat memberi pedoman hidup pada kita? Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa pikiran filsafat yang merupakan penyimpulan dari pikiran sehari-hari yang khusus dan kongkrit adalah bersifat hakiki, umum dan abstrak. Oleh karena itu maka pikiran-pikiran filsafat dapat memberikan petunjuk kepada kita untuk mengenal hal-hal yang khusus dan konkrit yang selalu kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pikiran-pikiran filsafat yang dilahirkan dari berjuta-juta manusia dalam perjuangan hidupnya sehari-hari, maka para filosof, menurut keyakinannya masing-masing mengadakan penelitian dan seterusnya menyusun sistim filsafat tertentu yang lengkap dan konsisten. Dengan perkataan lain suatu sistim filsafat mencerminkan keadaan dunia semesta ini (alam masyarakat dan pikiran) secara menyeluruh, mendasar dan umum, atau sebuah sistim filsafat itu menyatakan keadaan dunia secara teori; dan dengan teori itu kita gunakan untuk memecahkan masalah-masalah konkrit dan khusus yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah tentu, filsafat itu mengalami perkembangan. Bermula pada jaman Yunani kuno, filsafat sudah mencakup segala macam pengetahuan bahkan segala macam keterampilan, semua seni dan kerajinan tangan (art and craft), sehingga filsafat pada saat itu mengandung arti: suka mengejar segala macam keterangan, pengetahuan dan kebijaksanaan, hingga merupakan bidang yang sangat luas. Dengan makin berkembangnya pengetahuan manusia terhadap dunia sekelilingnya, maka timbulah spesialisasi dalam pengetahuan, terciptalah berbagai macam ilmu pengetahuan khusus, alam ataupun sosial. Akibatnya pengetahuan-pengetahuan satu demi satu keluar dari bingkai filsafat dan memasuki cabang-cabang ilmu khusus masing-masing. Filsafat alam masuk ke dalam ilmu alam, filsafat hukum masuk ke dalam ilmu hukum, filsafat sejarah masuk ke dalam ilmu sejarah dsb. Dan yang terakhir yang keluar dari filsafat adalah ilmu psikologi. Lalu apakah yang masih tertinggal dalam ilmu filsafat? Yang tertinggal adalah cara berpikir atau metode berpikir. Sungguhpun demikian sampai sekarang filsafat masih mempertahan lima subyek persoalan yang diakui oleh umum yaitu: etika, politik, logika, estetika dan metafisika. Secara umum ilmu filsafat adalah suatu bidang studi tentang saling hubungan antara pikiran manusia atau dunia subyektif dengan keadaan di sekelilingnya atau dunia obyektif.

2. Masalah terpokok dalam Filsafat
Seperti yang telah dikemukakan bahwa filsafat adalah studi tentang hubungan antara pikiran manusia dan keadaan sekelilingnya, antara dunia subjektif dan dunia objektif. Dalam hubungan antara pikiran atau ide manusia dan keadaan atau kenyataan di sekelilingnya itu, sudah tentu banyak terdapat persoalan. Tetapi di antaranya, yang paling pokok dan mendasar adalah antara pikiran dan keadaan atau antara ide dan materi, yang manakah yang lebih dahulu. Ini menjadi masalah yang terpokok dan paling mendasar, karena setiap sistim filsafat atau pandangan dunia, mau tak mau harus menjawab hal ini. Dan jawabannya adalah menjadi pangkal tolak pandangan filsafatnya.
Dalam dunia filsafat terdapat banyak macam aliran atau sistim filsafat, tetapi jawaban terhadap masalah pokok ini terbagi dalam dua kubu sistim filsafat yang besar. bagi mereka yang berpendapat bahwa pikiran atau ide ada terlebih dahulu atau primer dan keadaan atau materi adalah sekunder, karena dilahirkan atau ditentukan oleh pikiran, maka mereka tergolong dalam kubu IDEALISME. Misalnya mereka yang mengatakan: sebelum gedung pencakar langit itu ada, terlebih dahulu ia sudah ada di dalam otak sang insinyur yang merancang pembangunannya. Kemudian idenya itu dituangkan dalam gambar cetak biru dan akhirnya dibangunlah gedung itu berdasarkan gambar tadi. Jadi gedung itu adalah perwujudan kongkrit dari ide yang sudah ada lebih dahulu. Demikian pula sebelum Indonesia merdeka, ide atau gagasan tentang indonesia itu sudah ada lebih dahulu dalam pikiran pejuang nasional kita, di dalam pikiran rakyat indonesia.
Sebaliknya mereka yang berpendapat, bahwa keadaan atau materi itu primer dan pikiran atau idea itu sekunder, tergolong dalam kubu MATERIALISME. Terlihat misalnya, bahwa keadaan penghidupan manusia yang membutuhkan tempat berteduh telah melahirkan ide di alam pikirannya untuk membangun rumah. Oleh karena di dalam kota-kota besar jumlah penduduk membesar, maka kebutuhan tanah untuk perumahan akan makin besar pula, sehingga harga tanah akan membumbung tinggi, dan keadaan ini yang menimbulkan ide untuk membangun rumah bertingkat. Demikian juga idea tentang Indonesia merdeka dilahirkan oleh keadaan hidup bangsa dan rakyat Indonesia yang menderita karena penindasan dan penghisapan kolonialisme. Jadi idea atau pikiran itu tak lain adalah pemurnian atau refleksi keadaan atau kenyataan yang material.
Dua kubu besar filsafat itu, Idealisme dan materialisme, sejak dari dulu kala sampai sekarang, saling berlawanan dalam segala pandangannya, justru karena jawaban mereka terhadap masalah terpokok tersebut berlawanan. Dengan perkataan lain titik tolak pandangan mereka bertentangan satu sama lain, masing-masing berkeras mempertahankannya. Oleh karena itu, sejarah filsafat pada dasarnya adalah sejarah perjuangan antara materialisme dan Idealisme. Pengalaman sejarah selama ini menunjukkan, pada umumnya, bahwa materialisme selalu mewakili pandangan dunia kelas yang maju, sedangkan idealisme mewakili pandangan dunia kelas yang reaksioner. Ketika borjuasi Eropa melawan kekuasaan feodal, mereka mengangkat materialisme sebagai senjata perlawanan mereka. Misalnya borjuasi Perancis mengibarkan tinggi-tinggi materialisme sewaktu menjelang revolusi besar perancis (1789). Tetapi setelah revolusi demokratis borjuis menang dan kaum borjuis naik tahtah, mereka melemparkan materialisme dan mengibarkan kembali idealisme yang tadinya menjadi senjata ideologis kelas feodal. Kini materialisme umumnya menjadi senjata ideologi dari kelas dan rakyat revolusioner dalam perjuangannya untuk demokrasi dan kebebasannya, dan idealisme menjadi senjata ideologi dari kelas dan penguasa yang reaksioner dan kontra revolusi, anti demokrasi dan anti rakyat.
Di antara dua kubu besar filsafat yang bertentangan keras itu, terdapat suatu aliran filsafat yang kelihatannya sebagai aliran ketiga atau non-blok, tidak berpihak pada monoisme-idealis ataupun monisme-materialis. Mereka berpendapat bahwa antara ide dan materi, antara pikiran dan keadan kongkrit, tak ada yang primer atau sekunder, tak ada yang satu menentukan keadaan yang lain, masing masing saling mempengaruhi. Pendek kata kedua kubu itu "ko-eksistensi secara damai ". Aliran ini dalam ilmu filsafat disebut DUALISME. Tokohnya yang terkenal adalah Immanuel kant, bapak filsafat kelasik jerman abad 19.
Kantianisme ini nampak jelas hendak menempuh jalan kompromi, "jalan tengah", tak mau membenarkan atau berpihak pada manapun, berdiri di tengah-tengah kedua belah bihak yaitu antar materialisme dan idealisme. Padahal ia adalah bagian dari salah satu bentuk idealisme, karena pandangan yang menjadi titik tolaknya adalah karangan idea subjektifnya, tidak sesuai dengan kenyataan objektif. Pandangan yang idealis ini banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, malahan juga masih terdapat dalam kelompok kaum progresif ataupun yang revolusioner. Misalnya tidak sedikit mereka dapat menerima materialisme, tapi di pihak lain masih belum bisa melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan idealisme (mistik, tahyul dsb) dan banyak di antaranya akhirnya melepaskan materialisme dan jatuh sepenuhnya dalam jurang-jurang idealisme itu.
Sudah tentu dalam kubu idealisme terdapat berbagai aliran atau cabangnya, tapi pada pokoknya dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan pangkal atau titik tolak pandangannya. Golongan pertama, IDEALISME OBJEKTIF, yaitu mereka yang berpangkal tolak dari ide yang secara objektif ada di luar manusia, misalnya, ide Tuhan menurut filsafat agama dan ide absolut menurut filsafat Hegel. Golongan ini umumnya berpendapat, misalnya adanya kehidupan dan alam semesta karena perwujudan dari ide Tuhan sang pencipta. Dalam kehidupan keseharian, pikiran filsafat semacam ini kita jumpai antara lain misalnya:" apa mau dikata, nasibku memang sudah ditakdirkan demikian " dsb.
Golongan kedua adalah IDEALISME SUBJEKTIF, ialah mereka yang berpendapat bahwa ide subjektif kita manusia menentukan keadaan dunia sekeliling. Tokoh yang terkenal adalah Bishop George Berkeley, seorang filsuf Inggris yang menyangkal adanya dunia material secara objektif. Dalam kehidupan keseharian dapat kita jumpai misalnya: " keadaan dunia ini tergantung dari suasana hatimu, bila hatimu bahagia, dunia ini menjadi cerah, tapi bila hati muram, maka dunia menjadi gelap gulita"; " Dunia menjadi hitam jika kamu memakai kaca mata hitam, tapi ia akan menjadi semarak jika mengenalkan warna merah."
Dalam kubu materialisme pun terdapat aneka ragam aliran yang pada pokoknya dibagi menjadi dua golongan. Tetapi, berbeda dengan pembagian dalam kubu idealisme yang berdasarkan pada titik tolak pandang, maka dalam kubu materialisme ini berdasarkan pada metode berpikirnya. Sebab titik pangkal tolak pandangannya adalah sama ialah dunia kenyataan material yang berada di sekeliling kita. Tapi karena cara atau metode memandangnya berbeda, maka hasilnyapun berbeda. Golongan pertama adalah MATERIALISME DIALEKTIS, yaitu filsafat yang memandang dunia semesta ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong atau berat sebelah, tidak beku atau statis, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang terus menerus tiada akhirnya. Pikiran-pikiran materialisme dialektik inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan misalnya, "bumi berputar terus, ada siang ada malam", "habis gelap timbullah terang", "patah tumbuh hilang berganti" dsb. Semua pikiran ini menunjukkan bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
Golongan lainnya adalah MATERIALISME METAFISIK, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak, tidak menyeluruh dan statis. Pikiran-pikiran berazaskan golongan ini misalnya:"sekali maling tetap maling", memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.

3. Titik pandang, Metode berpikir dan asal-usul kelas
Dari uraian di atas dapat kita ketahui, bahwa setiap sistim filsafat atau pandangan dunia mempunyai dua unsur fundamental, yakni titik tolak atau pangkal pandangan dan metode berpikir Suatu sistim filsafat yang dapat mencerminkan secara tepat keadaan dunia objektip di sekeliling kita sudah tentu harus memiliki titik tolak-pangkal pandangan dan metode berpikir yang tepat. Persoalannya sekarang ialah: Apa titik tolak-pangkal pandang yang tepat itu dan bagaimana metode berpikir yang tepat itu?
Sudah dikemukakan bahwa titik tolak pandang pada dasarnya ada dua: Idealis dan materialis. Dari contoh-contoh yang diberikan masing-masing mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mengklaim dirinya benar. Sudah tentu tidak mungkin keduanya benar atau salah, kecuali kalau kita menganut dualisme. Di antara meraka pasti hanya ada satu yang benar. Yang manakah? Idealis atau materialis?
Titik tolak pandangan yang benar adalah yang berdasarkan pada kenyataan objektip sebagaimana adanya, tanpa diberi bumbu subjektip sedikit pun, harus berdasarkan hasil-hasil studi dan penelitian ilmiah dari data dan fakta dunia objektip di sekeliling, harus berdasarkan penyimpulan-penyimpulan ilmiah dari pengalaman praktis perjuangan rakyat dalam proses produksi dan revolusi. Sekali-kali jangan berdasarkan terkaan-terkaan subjektip dan spekulatip, atau main "sekiranya mesti Begini". Sebagai sebuah ilustrasi:
'Pada suatu waktu si kelinci sedang asik bermain dengan temannya, tiba-tiba ia berlari sambil berteriak "Api!", diikuti temannya mengejar di belakang. Si kambing yang sedang merumput melihat kelinci berteriak sambil berlari, berpikir dalam benaknya "kobaran api melahap hutan dengan mengerikan", maka ia segera melompat dan mengajak anak-anaknya untuk lari dan berteriak keras-keras "Api-Api!! " dan semua penghuni hutan yang melihat mereka berlari ikut berlari, tanpa banyak tanya. Dan bertemulah mereka dengan si Kancil yang menghentikan mereka dan bertanya sampai sejauh mana api menjalar dan tak satu pun yang dapat menjawab. Si kancil pun mengusut dan akhirnya bertanya pada kelinci, si kelinci menjawab bahwa ia semula bermain dengan temannya yang sedang menjadi lakon "api", dan setelah melihat sikambing lari terbirit-birit dan berteriak "Api" maka kelinci mengira ada kebakaran sungguhan. Kancil tertawa dan mengajak mereka melihat kebelakang "kalau ada kebakaran tentu ada asapnya mengepul. ternyata tidak ada sedikitpun asap".
Dongeng ini menunjukkan bahwa si kelinci, kambing dsb., dalam menghadapi persoalan (kenyataan objektip) bertitik tolak dari dugaan, interprestasi, perkiraan subjektip, sedang si kancil bertitik tolak pada kenyataan objektip, sebagaimana adanya, bebas dari segala dugaan, dari tafsiran subjektif. Dongeng-dongeng seperti ini banyak kita jumpai.
Yang paling parah adalah pembumbuan subjektip yang sesungguhnya sangat berbahaya dalam perjuangan. Cara atau metode berpikir yang benar tidak dapat dilepaskan dari pangkal pandangan yang benar, dengan perkataan lain, metode berpikir yang benar itu adalah metode yang sesuai dengan kenyataan objektip. Karena kenyataan objektip itu bergerak dan berkembang, maka kita harus memandangnya secara dinamis, mengikuti gerak dan perkembangannya. Oleh karena kenyataan itu punya banyak segi, maka kita harus berusaha mengenal segala seginya. karena kenyataan objektip mempunyai saling hubungan internal (antar bagian-bagiannya) dan hubungan eksternal(antar kenyataan itu dengan kenyatan-kenyataan yang lain di sekitarnya), maka kitapun harus menelitinya. hanya dengan cara demikian kita baru bisa mengenal atau mencerminkan kenyataan itu sebagaimana adanya, tanpa ada sedikitpun unsur subjektip di dalamnya. Inilah metode berpikir dialektika materialis. Inilah metode ilmiah yang digunakan oleh para ilmuan dalam ilmu alam maupun Sosial.
Jika dunia yang bergerak ini kita pandang sebagai hal yang diam atau statis, kita akan menganggap sebagian kenyataan sebagai keseluruhan kenyataan, kenyatan yang saling berhubungan kita anggap terpisah-pisah, maka kita tidak dapat memahami kenyataan itu sebagaimana adanya atau secara tepat. Cara atau metode berpikir yang semikian kita sebut metode berpikir metafisika dalam pengertian non-dialektik.
Kita yang percaya pada perubahan radikal dan revolusioner, menjadi harus dengan teguh dan konsisten serta ilmiah menggunakan metode berpikir yang dialektik materialis. dalam menghadapi apapun dan kondisi yang bagaimanapun.
Setiap orang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat berkelas ia tergolong ke dalam dan mempunyai kepentingan kelas tertentu. Keadaan ini sangat mempengaruhi pikiran dan pandangannya., dengan perkataan lain, asal-usul kelas seseorang ikut menentukan pandangan kelasnya. Oleh karenanya,walaupun seseorang mempunyai pandangan filsafat yang benar, tapi bila hasilnya itu ternyata bertentangan dengan kepentingan kelasnya, maka kaum borjuis, mereka dihadapkan pada suatu pilihan: menghianati kelasnya atau melepaskan pandangan filsafatnya yang benar itu. Kalau ia hendak mempertahankan kepentinagan kelasnya ia tak dapat secara konsisten mempertahankan sistim pandangan filsafatnya yang benar itu.
Kaum Borjuis Eropa ketika sebagai kelas tertindas (walaupun ia juga bagian dari kelas yang ikut menghisap tenaga kerja orang lain), sebagai kelas yang progresip dan revolusioner, melawan kekuasaan feodal, mempersenjatai diri dengan materialisme (sekalipun materialisme perancis pada abad 18 adalah materialisme mekanis). Tetapi sewaktu kaum borjuis ini berkuasa mereka menjadi penindas dan penghisap kelas pekerja dan menjadi kelas yang reaksioner atau kontra revolusi. Mereka berbalik mengibarkan panji-panji idealisme. Dalam hal-hal tertentu, kaum borjuis misalnya menggunakan pandangan dan metode ilmiah atau materialisme dialektik terhadap gejala alam dan tehnologi, karena penguasaan terhadap tehnologi dan alam itu sesuai dengan kepentingan mereka. Tetapi mengenai gejala-gejala sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah mereka tidak konsisten menggunakan titik pandang dan metode yang ilmiah lagi. Mengapa? Tidak lain karena materialisme dialektis akan mengungkapkan kenyataan masyarakat kapitalis apa adanya, di mana terdapat penghisapan modal (kapitalis) terhadap tenaga kerja, penghisapan kelas kapitalis terhadap kelas buruh dan rakyat pekerja lainnya, terhadap kepincangan-kepincangan dan stagnasi yang menghambat perkembangan masyarakat untuk lebih maju. Dan hanya kelas pekerja yang mampu mengubur sistim sosial kapitalisme dan akan membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi, masyarakat adil dan makmur, yang bebas dari kemiskinan dan segala macam ketidak adilan, bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Semua itu tentu saja tidak akan menguntungkan kelas kapitalis. Maka mereka sangat memusuhi dan selalu menyebarkan idealisme menyesatkan yang membohongi rakyat pekerja. Sebaliknya Filsafat materialisme dialektik yang dapat mencerminkan kenyatan dengan objektip menjadi senjata paling ampuh bagi rakyat yang tertindas dalam perjuangan untuk pembebasan mereka.
Jadi untuk dapat memiliki suatu sistim filsafat yang tepat, tidak hanya titik tolak dan metode yang tepat dan benar, tapi juga mempunyai pendirian kelas yang tetap, artinya keberpihakan terhadap kelas yang paling tertindas yaitu kelas pekerja. Untuk dapat memilikinya dan mempertahankan dengan konsisten: pangkal pandang, metode berpikir, dan pendirian kelas yang tepat, tidak hanya cukup belajar memahami dan menguasai materialisme dialektika, tapi yang lebih penting: ikut ambil bagian, aktif dalam kerja untuk perjuangan kelas yang paling tertindas secara aktual. Hanya dengan ikut serta langsung dalam proses perjuangan kita dapat memahami, menguasai, mempertahankan secara konsisten pandangan filsafat yang tepat dan benar ini.

II. MATERIALISME DIALEKTIK

1. Latar belakang sejarah Materialisme Dialektik

Sebagaimana kita telah ketahui, bahwa materialisme dialektik bersumber pada filsafat kelasik Jerman abad ke 19, atau dengan perkataan lain Materialisme dialektik (MD) merupakan pengembangan lebih lanjut dari filsafat kelasik jerman itu. Fisafat klasik jerman merupakan filsafat yang paling maju di Eropa pada waktu itu. Mengapa tidak di Inggris atau Perancis yang tingkat perkembangan masyarakatnya jauh lebih maju dari pada di Jerman. Ini tentu bukan hal yang kebetulan.
Pada abad ke 19, kapitalisme mulai berkembang di Jerman, kaum borjuis Jerman berada di telapak kaki kekuasaan feodal Kaum Jongker. Sedang di Inggrris dan Perancis, kapitalisme sudah berkembang maju, dan borjuasinya sudah berhasil menumbangkan kekuasaan feodal, borjuis Jerman membutuhkan sebuah filsafat sebagai sebuah senjata ideologis yang mampu memberikan bimbingan dan pimpinan dalam perjuangan itu. Filsafat kelasik Jerman abad ke 19 itu justru merupakan proses perkembangan dari perjuangannya untuk mendapatkan senjata ideologi itu. Pada batas-batas tertentu perjuangan kelas antara kaum feodal dan kaum borjuis lebih berat daripada apa yang terjadi sebelumnya di Inggris dan Perancis, karena baik kaum feodal yang berkuasa, maupun kaum borjuis yang berkuasa di Jerman, masing-masing telah dapat menarik pelajaran dari pengalaman sejarah, pengalaman perjuangan kelas, dari negeri-negeri tersebut. Sementara itu perkembangan kapitalisme secara tak terhindarkan melahirkan suatu kelas baru, yaitu kelas pekerja, kelas proletar yang makin tumbuh membesar dan kuat, sebagai musuh utama kelas borjuis dalam masyarakat kapitalis. Gerakan kaum buruh yang sudah mulai bangkit di Inggris, Perancis dsb., juga mempengaruhi alam pikiran kaum borjuis Jerman.
Sudah tentu di samping itu semua, ilmu pengetahuan dan tehnologi berkembang dengan pesat, karena dorongan perkembangan kapitalisme saat itu, yang ikut mempengaruhi perkembangan dunia pikiran dan filsafat. Dalam situasi demikian, kaum borjuis Jerman di satu pihak berkepentingan menumbangkan kekuasaan feodal untuk mengembangkan kapitalisme, sedang di pihak lain mereka juga mengkuatirkan ancaman kebangkitan gerakan kelas proletar, sehingga hal ini menimbulkan keraguan dalam diri mereka. Ini tercermin dalam filsafat kelasik jerman pada abad 19 waktu itu, mulai dari filsafat dualisme Kant yang kompromis, filsafat Hegel yang dialektik tapi idealis, sampai ke filsafat Feuerbach yang materialis tapi mekanis dan tak konsekwen.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tokoh-tokoh yang sangat erat hubungannya dengan kelahiran materialisme dealektik adalah Hegel dan Feuerbach. Hegel berjasa dalam mensistimatisir pikiran-pikiran dialektis yang terdapat sepanjang sejarah filsafat, ini yang menunjukkan bagian progresip dari filsafatnya, tapi dialektika Hegel itu berdasarkan idealisme, yang menunjukkan segi yang reaksioner dari filsafatnya. Menurut Hegel, gejala alam dan sosial adalah perwujudan dari 'ide absolut yang senantiasa bergerak dan berkembang. Marx berpendapat bahwa dialektika Hegel itu berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah.
Filsafat Feuerbach adalah filsafat materialis mekanis yang pernah menjadi senjata ideologis kaum borjuis Perancis dalam revolusi abad 18. Sungguhpun demikian, adalah juga feuerbach yang berani menghidupkan kembali materialisme dan mengibarkan tinggi-tinggi di tengah lautan idealisme yng menguasai seluru Eropa pada abad itu. Dengan materialisme yang terbatas, Feuerbach mengkritik agama Katholik yang berkuasa pada saat itu, karena mereka tak lebih dari anjing penjilat dan alat negara kerajaan pada saat itu, dan hendak mendirikan sebuah agama baru di atas bumi yang nyata, bukan di awang-awang. Ini justru menunjukkan ketidak konskwenan pandangan materialisme Feuerbach.
Marx secara kritis mengubah dialektika Hegel yang idealis menjadi Materialis, dan materialisme Feuerbach yang mekanis (non-dialektis) menjadi dialektis. Dengan demikian terciptalah suatu sistim filsafat materialisme dialektik.
Berdasarkan sistim filasafat materialisme dialektik, marx mengadakan penyelidikan dalam bidang sejarah, menelaah sejarah perkembangan masyarakat manusia, maka lahirlah apa yang dikenal Materialime Historis atau pandangan sejarah materialis. Menurut materialisme historis Marx, masyarakat berkembang menurut hukum-hukumnya dan tidak dapat ditentukan oleh ide atau kehendak seseorang atau golongan, dan menurut hukum-hukum perkembangan masyarakat yang objektip ini, terutama hukum yang menguasai masyarakat kapitalis, Marx menyimpulkan, bahwa masyarakat kapitalis pasti akan tumbang dan akan diganti oleh masyarakat yang lebih maju. Ini adalah suatu keharusan sejarah. Dan keharusan sejarah ini akan diwujudkan dan hanya dapat diwujudkan oleh kelas pekerja, proletariat. Kelas pekerja yang paling banyak dan paling tertindas itu telah mendapatkan filsafatnya sebagai senjata ideologis yaitu materialisme dialektika. Dan materialisme dialektika mendapatkan kekuatan realnya pada Kelas pekerja.

2. Dunia kenyataan objektip adalah material
Sama seperti filsafat materialis lainnya, materialisme dialektik pertama-tama mengakui, bahwa materi atau keadaan (being) adalah primer dan idea atau pikiran itu adalah sekunder. Materi yang dimaksudkan di sini tidak berarti hanya benda tapi segala sesuatu yang adanya secara nyata (riil), yang dapat ditangkap oleh indera, dilihat, dibaui, didengar, diraba dan dirasakan. Selain itu yang lebih penting bahwa materialisme dialektik mengakui materi atau kenyataan objektip itu berada di luar kesadaran subjektip, artinya adanya suatu materi itu tidak ditentukan oleh kesadaran atau pengetahuan kita.
Misal, adanya pengaruh resesi dunia kapitalis dalam kehidupan ekonomi kita, kita sadari atau tidak kenyataan itu tetap ada. Ada sementara orang yang hanya mau mengakui suatu hal sebagai suatu kenyataan apabila sudah ia sadari, dengan kata lain ada atau tidak adanya suatu kenyataan itu ditentukan oleh kesadaran subjektif. Inilah pandangan idealisme subjektif. Sering secara tidak sadar tergelincir kedalam pandangan yang demikian, hingga jatuh dalam jurang subjektivisme.
Dasar material dari pendirian kita bahwa idea atau pikiran itu sekunder adalah sebagai berikut:
1.      Suatu ide atau pikiran mesti dilahirkan oleh suatu materi yang dinamakan otak, tanpa otak tak akan ada idea atau pikiran.
2.      Menurut isinya, suatu idea mesti merupakan suatu pencerminan dari suatu kenyatan objektip atau materi, sekalipun betapa abstraknya materi itu, misalnya ide masyarakat adil makmur, adalah pencerminan yang berpangkal dari suatu kenyataan masyarakat yang serba tidak adil dan miskin, hingga menimbulkan angan atau cita-cita akan sebuah masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam mencerminkan kenyataan objektif, ide atau pikiran tidak hanya seperti sebuah cermin atau alat pemotret yang dapat mencerminkan objek sebagaimana adanya, tapi dapat juga mengembangkannya lebih jauh; menghubungkan, membandingkan dengan kenyataan-kenyataan lain lalu menarik kesimpulan atau keputusan, hingga melahirkan suatu idea untuk merubah kenyataan itu. Peranan aktif ide ini mendapatkan tempat yang sangat penting dalam pandangan materialisme dialektik, karena motif berpikir kita pada umumnya untuk memecahkan persoalan atau mengubah kenyataan, dan tidak hanya sekedar mencerminkan kenyataan begitu saja.
Meskipun demikian, ide itu sendiri tidak dapat secara langsung mengubah kenyataan atau keadaan, dan untuk dapat mewujudkannya ide memerlukan dukungan kekuatan material. Dan seterusnya kekuatan material inilah yang secara kongkrit mengubah kenyataan atau keadaan itu, Gagasan Indonesia tidak akan dapat menjadi kenyataan apabila tak dapat menghimpun dan menggerakkan Rakyat Indonesia untuk mewujudkannya. Kegunaaan praktis dari prinsip pertama filsafat materialisme dialektik adalah, bahwa dalam menghadapi suatu persoalan kita harus bertolak dari kenyataan objektif sebagaiman adanya, bukan dari dugaan atau pikiran subjektif kita. Dan dengan pengetahuan kita yang lengkap mengenai kenyataan itu kita baru dapat menyusun suatu ide atau cara yang tepat untuk pemecahannya.

3.      Dunia kenyataan objektip merupakan suatu kesatuan organik
Dunia materiil atau kenyataan objektip merupakan suatu kesatuan organik, artinya setiap gejala atau peristiwa yang terjadi di dunia sekeliling kita, tidak berdiri sendirian, tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya. seperti tubuh kita, setiap bagian badan mempunyai saling hubungan dengan bagian badan lainnya secara tak terpisah.
Oleh karena itu, sebuah gejala dapat dimengerti dan diterangkan kalau dipandang dalam hubungannya dengan keadaan-keadaan yang tak terpisahkan dengan gejala-gejala di sekelilingnya, sebagai gejala-gejala yang ditentukan oleh gejala-gejala di sekitarnya. Pertumbuhan padi hanya dapat dimengerti hanya bila kita mengetahui saling hubungannya dengan keadaan tanah, air, dan matahari dsb. yang ada di sekitarnya; di samping keadaan saling hubungan antara bagian-bagian dari pohon padi tadi yaitu, akar, batang, daun, dsb. Saling hubungan antara gejala-gejala di sekitar kita itu banyak corak dan ragamnya, ada yang langsung dan ada yang tak langsung; ada saling hubungan yang penting dan yang tak penting; ada saling hubungan keharusan dan kebetulan dsb. Semua harus dipelajari dan dapat dibedakan. Terutama saling hubungan keharusan dan yang kebetulan. Salah satu bentuk saling hubungan kausal atau sebab-akibat. Dan kita hanya dapat memahami sesuatu hal apabila kita mengetahui sebab dan syarat-syarat serta faktor yang melahirkan hal-hal tersebut.
Dengan mengenal baik saling hubungan internal suatu hal-ikhawal, serta saling hubungannya dengan keadaan sekeliling (ekstern), kita tidak hanya dapat memahami sifat dan kualitasnya, tapi juga dapat mengetahui hukum-hukum yang menguasai perkembangannya. Dengan mengenal baik saling hubungan antar kelas yang berada dalam masyarakat kita serta hubungannya dengan dunia sekitar sebagai keseluruhan, kita dapat memahaami watak masyarakat kita. Materialisme dialektika memandang suatu hal ikhwal tidak secara terpisah dari hubungannya dengan keadaan sekitarnya. Supaya kita saling mengenal baik saling hubungan kenyataan di sekitarnya. sehingga kita dapat mengetahui hukum yang menguasainya. Dan hanya berdasarkan hukum-hukum yang kita ketahui, kita dapat mengubah hal ikhwal tersebut.

4. Dunia kenyataan objektip senantiasa bergerak dan berkembang
Materialisme dialektis selanjutnya menunjukkan bahwa, dunia materi atau kenyataan objektip itu senantiasa dalam keadaan bergerak dan berkembang terus menerus. Keadaan diam atau statis, hanya bersifat sementara atau relatif, disebabkan karena kekuatan di dalamnya serta hubungannya dengan kekuatan-kekuatan yang ada di sekitarnya dalam keadaan seimbang. Misalnya air dalam satu panci, dalam keadaan temperatur dan tekanan udara yang bias, nampaknya diam, padahal molukel-molukel air itu dalam keadaan bergerak, hanya saja dalam kecepatan yang rendah dan stabil, dan tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Demikian juga kekuatan-kekuatan antara air dengan dinding-dinding panci itu, tapi setelah panci dipanasi maka gerakan-gerakan molukel air makin cepat hingga makin nampak geraknya, akhirnya sampai pada 100 derajat celsius. Pecahlah keseimbangan mereka hingga air berubah menjadi uap dan meninggalkan panci tersebut.
Materialisme dialektika tidak hanya berpendapat, bahwa materi itu senantiasa dalam keadaan bergerak dan berkembang, tapi juga berpendapat bahwa gerak materi itu adalah gerak sendiri, bukan digerakkan oleh kekuatan di luarnya. Gerak bumi kita adalah gerak sendiri, bukan digerakkan oleh "gerak pertama", sebagaimana yang dikemukakan Newton, Yang pada hakekatnyanya adalah pandangan idealisme --"gerak pertama" itu digerakkan Tuhan.
Materialisme dialektika lebih lanjut menjelaskan. bahwa gerak materi banyak ragamnya, tidak terbatas pada gerak mekanis saja, yang hanya membawa perubahan kuantitas, juga bukan gerak lingkaran setan atau gerak berulang-ulang yang tetap. Setiap materi mempunyai bentuk gerakan sendiri. Berpikirpun merupakan suatu gerak dari materi tertentu yang kita sebut otak. Sungguhpun gerak mempunyai banyak bentuk, mereka pada umumnya berada dalam proses perkembangan "tumbuh, hilang berganti"di mana sesuatu itu senantiasa timbul dan berkembang, dan sesuatu itu senantiasa rontok dan mati; senantiasa dalam 'gerak yang maju dan naik', sebagai peralihan dari keadaaan kualitatif yang lama ke kualitatif yang baru, perkembangan dari yang sederhana ke yang rumit, dari yang rendah ke yang lebih tinggi.
Materialisme dialektik juga menjelaskan bahwa gerak materi itu tidak tergantung atau ditentukan oleh keinginan atau kehendak subjektif manusia, melainkan menurut hukum-hukum yang menguasainya. Setiap hal yang khusus mempunyai hukum-hukum gerak yang khusus. Hukum perkembangan dunia tumbuhan berlainan dengan hewan; hukum perkembangan masyarakat desa berlainan dengan yang di kota. Hukum-hukum gerak itu disebut hukum dialektika. Di samping hukum-hukum dialektika yang berlaku khusus dari hal-hal yang khusus, sudah tentu juga ada hukum-hukum yang berlaku umum, yang berlaku buat semua hal. Prinsip-prinsip dialektika secara praktis mengajar kita agar supaya selalu berpandangan ke depan, jangan selalu ke belakang, supaya selalu berorientasi pada hal-hal atau kekuatan yang sedang tumbuh dan berkembang, jangan pada sesuatu yang sedang lapuk atau mati. Dengan kata lain, supaya kita selalu berpandangan progresif revolusioner.

III. DIALEKTIKA MATERIALISME

  1. Hukum dialektika dan metode dialektika
Apakah metode dialektika itu?, Metode ini memandang, menyelidiki dan menganalisa segala hal-hal yang kongkrit kita hadapi, dengan menggunakan dasar-dasar hukum-hukum dialektika yang berlaku secara objektif, oleh karena, metode dialektika itu sebetulnya tergantung oleh dua hal subjektif yaitu:
a.   lengkap tidaknya, tepat tidaknya, pengetahuan seseorang tentang hukum dialektika,
b.   banyak atau sedikitnya pengalaman dia dalam praktek menggunakan metode tersebut, atau dengan perkataan lain sejauh mana ketrampilan dia menggunakannya.
Dengan mengetahui secara jernih tentang perbedaan atau hukum dialektika yang objektif dengan metode dialektika yang subjektif, kita dapat memiliki kegunaan secara praktis sbb:
a.   Kita hendaknya terus melatih pandangan dialektika materialis kita, selain dengan rajin mempelajari teori-teori revolusioner dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan umum secara cermat, juga dan terutama ikut terjun dalam praksis, terjun dalam kancah perjuangan massa rakyat revolusioner.
b.   Melatih cara pandang dengan menggunakan metode dialektika, meneliti dan menganalisa, memecahkan setiap hal yang kita hadapi, misalnya dengan jalan berusaha mengenal sesuatu hal seobjektif mungkin dan selengkap mungkin, mengumpulkan data dan mendiskusikannya dengan kawan-kawan, dengan mengadakan dialog dengan massa rakyat, memperhatikan pendapat orang lain, mempelajari tulisan, analisa atau karya-karya ilmiah orang lain, berusaha untuk mampu mengadakan penyimpulan atau analisa serta menguraikan secara sistimatis baik dengan lisan maupun tulisan.
Orang menggunakan metode dialektik berdasarkan hukum umum dialektik, sebagai pedoman untuk mendekati, mengenal dan menganalisa hal-hal yang khusus dan kongkrit, dan untuk menemukan hukum-hukum dialektik yang khusus untuk menguasai hal-hal tertentu tersebut. Sifat hukum dialektik yang umum itu abstrak, ia merupakan abstraksi dari hukum-hukum dialektika yang khusus dan kongkrit, dalam dunia kenyataan yang kongkrit.
Hukum umum dialektik itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah hukum-hukum dialektik yang khusus dan kongkrit. Setiap hal atau soal mempunyai hukum dialektiknya sendiri yang khusus dan kongkrit.
Karena itu, memecahkan suatu persoalan tertentu berarti memecahkan atau menemukan dan memahami secara tepat hukum dialektikanya yang khusus mengenai persoalan itu. Sedangkan hukum-hukum yang umum hanyalah pedoman. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh orang-orang revolusioner sepanjang sejarah pergerakan rakyat: jangan banyak bicara umum dan abstrak, tapi pecahkan sesuatu hal secara khusus dan kongkrit. 

  1. Hukum umum dialektika yang pertama: Kesatuan dari segi-segi yang berlawanan
Dalam 'Anti Duhring', Engels mengemukakan tiga hukum umum dialektika. Hukum dialektika yang pertama, Kesatuan dari segi-segi yang belawanan atau kontradiksi, menunjukkan bahwa gerak dunia materiil atau dunia kenyataan objektip ada karena segi-segi, faktor-faktor yang berlawanan dalam dirinya. Oleh karena itu menurut arti sebenarnya, 'dialektika adalah studi tentang kontradiksi di dalam hakekat segala sesuatu itu sendiri'.
Dengan kata lain hukum kontradiksi itu adalah jiwanya dialektika. Tanpa adanya kontradiksi intern, berarti tidak ada gerak dan perkembangan. berarti tidak ada hal ikhwal itu sendiri.
a. Pengertian tentang Kontradiksi
Dalam pengertian filsafat, sangatlah luas, tidak sebatas pada segi-segi yang saling berlawanan atau bertentangan, tapi segi yang berlainan dan berbeda sekalipun termasuk dalam kontradiksi.
b. Keumuman kontradiksi
Ada dua pengertian: pertama, bahwa di dalam segala hal terdapat segi-segi yang berkontradiksi. Kedua, bahwa di dalam segala hal dalam seluruh proses perkembangannya, dari satu tingkat ke tingkat yang lain selalu terdapat kontradiksi di dalamnya. Setelah satu kontradiksi pada suatu tingkat perkembangan selesai, timbullah kontradiksi baru pada tingkat perkembangan yang baru. Begitu seterusnya tiada habis-habisnya. Arti praktis dari pengertian keumuman kontradiksi ini adalah bahwa kita tak boleh melarikan diri dari kontradiksi atau persoalan, bahwa kita tak boleh merasa jemu atau jera menghadapi dan memecahkan kontradiksi (persoalan). Di dunia ini tidak ada satu hal atau masalah yang dapat dengan satu kali diselesaikan untuk selama-lamanya, tanpa timbul persoalan baru.
c. Kekhususan kontradiksi
Mempunyai dua pengertian, pertama bahwa di dalam setiap hal terdapat kontradiksinya sendiri secara khusus, yang berbeda dengan kontradiksi di dalam hal yang lain. kedua, bahwa suatu hal dalam proses perkembangannya, maka di setiap tingkat perkembangannya terdapat kontradiksinya yang khusus, sehingga kita dapat membedakan tingkat perkembangannya yang satu dengan yang lain. Misalnya dalam proses perkembangan kupu-kupu, kontradiksi yang terkandung pada tingkat perkembangannya sebagai telur berbeda dengan yang pada tingkat perkembangannya sebagai ulat, dan seterusnya. Pengertian ini mempunyai arti praktis, bahwa sekali lagi kita dalam mengenal dan memecahkan persoalan harus secara kongkrit, tidak boleh secara umum dan garis besar saja, tidak boleh asal menjiplak saja. Cara pemecahan suatu persoalan tertentu tak dapat digunakan mentah-mentah untuk memecahkan persoalan yang lain. Demikian juga pemecahan untuk suatu tingkat perkembangan tertentu dari suatu persoalan tak dapat dipakai begitu saja untuk pemecahan tingkat perkembangannya yang lain.
d. Kontradiksi dasar
Dalam suatu materi atau kenyataan objektif terdapat lebih dari satu kontradiksi. Kontradiksi atau kontradiksi-kontradiksi yang menentukan kualitas suatu materi atau kenyataan objektif, atau dengan perkataan lain, yang menentukan adanya materi atau kenyataan objektif itu, disebut kontradiksi atau kontradiksi-kontradiksi dasar. Perubahan kontradiksi dasar berarti terjadi perubahan dari kualitas yang satu menjadi kualitas yang lain, berarti terjadinya suatu perubahan dari suatu materi pertama menjadi materi yang lain. Misalnya, Penghisapan kaum kapitais terhadap kaum buruh merupakan suatu kontradiksi dasar dari masyarakat kapitalis, dan dengan lenyapnya kontradiksi itu berarti lenyaplah pula masyarakat kapitalis yang berubah menjadi masyarakat yang lain.
Arti praktis dari pengertian ini ialah, kita hanya bisa mengambil sesuatu hal dengan baik, apabila kita mengetahui dengan jelas apa kontradiksi dasarnya. Hanya dengan demikian kita akan mengetahui dengan jelas pula suatu hal itu mengalami perubahan yang kualitatif ataukah tidak, juga dengan hanya demikian kita baru bisa mengusahakan untuk mengubahnya.
e. Kontradiksi Pokok atau kontradiksi utama
Pada setiap tingkat perkembangan sesuatu hal, tidak semua kontradiksi yang terkandung memainkan peranan yang sama. Di antaranya pasti ada satu dan hanya satu kontrdiksi yang mamainkan peranannya yang paling menonjol. Kontradiksi ini disebut kontradiksi pokok atau utama. Misalnya, kontradiksi antara rakyat Indonesia (terutama rakyat pekerja) dengan kaum penjajah kolonial sebelum kemerdekaan 45 merupakan kontradisi pokok dalam masyarakat Indonesia pada tahap itu. Arti praktis dari ini adakah bahwa kita harus dapat mengenal kunci persoalan atau kontradiksi pokok ini, maka kontradiksi-kontradiksi lainnya dapat diselesaikan dengan lebih mudah. Tanpa memecahkan kontradiksi antara rakyat Indonesia dengan penguasa kolonial, kita tidak akan dapat me-nyelesaikan kontradiksi antara kaum petani dengan tuan-tuan feudal, suatu kelas yang dipertahankan oleh sistim kolonial.
f. Mutasi
Kontradiksi pokok itu tidak tetap kedudukannya. dalam keadaan dan syarat tertentu bisa diambil alih oleh kontradiksi yang tadinya bukan pokok. Pergeseran atau pergantian ini disebut mutasi kontradiksi pokok.Misalnya kaum imperialis pernah berusaha agar kontradiksi antar daerah atau suku bermutasi menjadi kontradiksi pokok di Indonesia, hingga bangsa kita dapat dipecah belah dan tetap mereka kuasai. Arti praktisnya ialah, bahwa kita harus mengenal baik keadaan atau syarat-syarat yang dibutuhkan oleh suatu kontradiksi hingga dapat bermutasi menempati kedudukan sebagai kontradiksi pokok. Hanya dengan demikian kita baru dapat mendorong/mempercepat atau sebaliknya mencegah/menghambat terjadinya mutasi itu. Hanya dengan mengetahui dengan jelas dan tepat syarat-syarat yang diperlukan telor ayam untuk mendapat menetas menjadi anak ayam, maka manusia dapat menciptakan mesin penetas.
g. Kedudukan dua segi dalam suatu kontradiksi
Dua segi yang berkontradiksi itu tentu berbeda kualitasnya. di antaranya pasti akan ada yang mewakili kekuatan lama, yang tak mempunyai hari depan, dan segi lainnya mewakili kekuatan baru atau yang sedang tumbuh. Kedudukan mereka dalam proses perkembangan adalah tidak sama pula. Segi lama yang nampak besar dan kuat pada awal perkembangan kontradiksi itu menempati kedudukan yang menguasai dan yang memimpin. Sebaliknya segi yang baru yang semula nampak masih kecil dan lemah, berkedudukan sebagai yang dikuasai dan yang dipimpin. Tapi dalam perkembangan selanjutnya segi baru itu berkembang besar dan makin kuat. sedang segi lama makin lemah dan makin lapuk sehingga suatu saat segi baru yang berkedudukan dipimpin berkembang dan bermutasi menjadi yang memimpin. Ini berarti arah perkembangan kontradiksi itu mengalami perubahan. Kalau tadinya ke kanan misalnya, sekarang ke kiri. Lebih lanjut, segi baru yang tadinya dikuasai sekarang bermutasi ke tempat yang menguasai. Dengan perkataan lain, terjadi perubahan kwalitatip, hal yang lama berubah menjadi yang baru.
Arti praktis dari pengertian itu adalah kita harus selalu berusaha mengenal sebaik-baiknya segi-segi yang berkontradiksi. Baik kualitasnya, maupun kedudukan atau posisinya dalam proses perkembangannya. Jadi kalau kita mau mengalahkan musuh-musuh rakyat yang tertindas, kita harus mempelajari mendalam mengenai segi-segi dan keadaan musuh dan posisinya, dan dari pihak kita sendiri. Di samping itu, bagi kita yang menginginkan perubahan dan pembebasan, harus selalu berorientasi pada kekuatan-kekuatan yang sedang tumbuh, yang mempunyai hari depan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi perkembangannya, agar kita membantu mempercepat pertumbuhannya.
h. Kesatuannya relatif, pertentangannya mutlak
Apabila kita memperhatikan dua segi dalam suatu kontradiksi maka kita dapat melihat, bahwa dua segi itu sejak dari awal sampai akhir proses perkembangannya selalu bertentangan satu sama lainnya, selalu dalam perjuangan mengenyahkan lawannya tanpa syarat. Artinya pertentangan dua segi itu adalah mutlak, tak peduli dalam keadaan bagaimanapun juga. Kesatuannya bisa terjadi karena kedua segi itu berbeda kualitasnya, dan menempati kedudukan yang berbeda pula dalam kesatuan itu, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Dan hal ini dikatakan bersifat sementara karena dalam perkembangannya kedua segi itu akan terjadi mutasi, yang semula dikuasai akan menguasai, sehingga terjadi perubahan kwalitatip, kesatuan yang lama diganti dengan kesatuan yang baru. Pengertian ini berarti, sikap kompromi dengan musuh itu relatif sementara (taktis), sedangkan perjuangan melawan musuh itu mutlak (strategis), tetap berlangsung terus, bervariasi dalam bentuk dan bidangnya.
Dalam kontradiksi hal ini mempunyai dua pengertian: Pertama, menurut wataknya ada yang antagonistik, misalnya kaum buruh dan kaum kapitalis, buruh tani lawan tuan-tuan feodal, yang langsung berlawanan kepentingannya. Ada pula kontradiksi yang non-antagonistik.
Kedua, menurut bentuknya perjuangan dari kedua segi yang berkontradiksi ada yang bersifat antagonistik dan ada yang non-antagonistik. Yang dimaksud dengan perjuangan yang non-antagonistik itu adalah perjuangan yang terbuka dan dengan kekerasan. Misalnya perjuangan kaum buruh melawan majikan selama masih dalam bentuk pernyataan protes dan berunding di meja perundingan, atau bahkan merupakan pemogokkan dengan tata tertib, masih dapat digolongkan dalam bentuk perjuangan yang non-antagonistik. Tetapi kalau sudah terjadi pengambil alihan pabrik atau penindas dan dari majikan dengan kekerasan sehingga terjadi perkelahian, maka perjuangan tersebut disebut perjuangan yang antagonistik. Kontradiksi yang menurut wataknya antagonis belum tentu harus sudah mengambil bentuk perjuangan yang antagonistik, dapat juga masih mengambil bentuk perjuangan yang non antagonistik. Misalnya kontradiksi antara rakyat dan musuh-musuh rakyat, menurut watak-nya adalah antagonistik. Namun bentuk perjuangannya dalam proses perkembangan masih bisa bersifat non-antagnistik misalnya aksi-aksi reform. jadi tidak mutlak sudah harus angkat senjata atau dengan kekerasan. Semua tergantung pada kondisi dan situasi serta syarat-syarat kongkrit yang ada. Akan tetapi pada tingkat terakhir di tingkat perkembangannya, pada pokoknya secara mutlak mengambil perjuangan antagonistik. Karena tidak ada penguasa yang rela menyerahkan kekuasaannya dengan suka rela, malah mereka akan mempertahankan dengan kekerasan.
Pengertian ini mengingatkan kita supaya kita pada satu pilihan memperkuat persatuan kita dengan kelompok progresif lainnya dengan menciptakan dan mempertahankan syarat-syarat yang diperlukan. Di pihak lain kita harus berusaha supaya musuh terus terpencil dari sekutunya dan memperlemah persatuan mereka.
Di samping itu kita harus melihat dengan cermat, bahwa pada keadaan yang bagaimana kita akan mengambil bentuk perjuangan yang antagonistik atau non-antagonistik dalam menghadapi musuh. 

3. Hukum umum dialektika ke dua: Perubahan kuantitatif ke perubahan kwalitatif
Hukum umum dialektika yang kedua ini menyatakan, bahwa proses perkembangan dunia material atau dunia kenyataan objektip terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah perubahan kuantitatif yang berlangsung secara perlahan, berangsur atau evolusioner. Kemudian meningkat ketahap kedua, yaitu perubahan kualitatif yang berlangsung dengan cepat, mendadak dalam bentuk lompatan dari satu keadaan ke keadaan lain, atau revolusioner. Perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif merupakan dua macam bentuk dasar dari segala perubahan. Segala perubahan yang terjadi dalam dunia kenyataan objektif itu kalau bukan dalam bentuk perubahan kuantitatif, maka dalam bentuk kualitatif.
a. Pengertian tentang kuantitas
adalah jumlah dalam arti seluas-luasnya tidak terbatas mengenai ruang (banyak-sedikit, besar-kecil, panjang-pendek, tebal-tipis) dan waktu (lama-sebentar, cepat-lambat) saja tapi juga mengenai pikiran dan perasaan (tinggi-rendahnya kesadaraan politik, kuat-lemahnya keyakinan atau kepercayaan, dalam-dang-kalnya pengetahuan, besar-kecilnya minat atau pengetahuan) sebagai contoh:
Kuantitas-kuantitas tertentu yang dimiliki seorang juara bulu tangkis, selain kuat keadaan fisiknya, stamina, cepatnya gerak, pengalaman bertanding dan latihan dll. Demikian pula bagi seorang kader revolusioner, selain ketentuan-ketentuan formal dalam konstitusi organisasi, seperti umur dan masa calon anggota, maka yang terpenting lainnya ialah kesadaran kelas dan kesadaran politik, yang hal itu terbentuk dari aktivitasnya dalam keterlibatan dalam perjuangan massa rakyat pekerja, dan semangat juangnya yang tinggi. Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa kuantitas dan kualitas itu tak dapat dipisahkan satu sama lain, kuantitas tertentu membentuk kualitas tertentu pula.
b. Pengertian tentang kualitas
adalah ciri yang membedakan hal yang satu dengan yang lain. Kita dapat membedakan minyak dari air, demikian juga kita dapat membedakan antara kaum buruh dan kaum tani, antara desa dan kota, karena kualitas mereka berbeda satu dan lainnya. Telah dinyatakan, bahwa kuantitas-kuantitas tertentu yang dimiliki oleh sesuatu hal membentuk dan menunjukkan kualitas tertentu dalam sesuatu hal itu. misalnya, antara ormas kaum buruh dan partai politik kelas buruh, mempunyai ketentuan susunan intern yang berlainan, antara lain adalah keterikatan para anggota dari organisasi massa kaum buruh itu berdasarkan terutama pada kepentingan sosial ekonominya, sedangkan dalam partai buruh, sangat berdasarkan pada cita-cita politiknya. Ketentuan susunan intern mereka secara praktis dinyatakan selengkapnya dalam anggaran dasar organisasi mereka masing-masing dan aktivitas mereka sehari-hari dalam mewujudkan program mereka masing-masing. Jelas kiranya bahwa kualitas yang mencirikan sesuatu hal itu adalah pernyataan dari ketentuan susunan internnya.
c. Perubahan kuantitatif
Perubahan kuantitatif seperti telah dikemukakan berlangsung secara perlahan-lahan dan tidak menyolok. selama dalam proses perubahan kuantitatif tersebut, kualitasnya nampak tidak berubah. Keadaan itu disebut kemantapan relatip kualitas.
Keadaan kemantapan relatip kualitas tersebut mempunyai batas tertentu. Bila perubahan kuantitatif melampaui batas itu maka rusaklah kemantapan relatip kualitas itu yang berarti kualitasnya mengalami perubahan. Misal, seceret air dibawah tekanan udara biasa, apabila penambahan suhunya tidak melampaui batas 100 derajat celcius, cirinya sebagai cairan masih dapat dipertahankan, tapi bila perubahan suhu melampaui batas itu, maka kualitas cairan mengalami perubahan menjadi uap. Demikian pula perkembangan rakyat revolusioner bila melampaui batas tertentu, akan menjadi suatu revolusi sosial, hingga kualitas masyarakat lama akan disingkirkan oleh masyarakat baru. Oleh karena itu dalam proses perubahan kuantitatif, kualitas nampaknya tidak mengalami perubahan apa-apa, maka seakan-akan perubahan kuantitatif itu tak ada hubungannya dengan kualitas. Dari uraian singkat di atas kita dapat melihat bahwa perubahan kuantitatif adalah persiapan untuk perubahan kualitatif, atau dengan kata lain, bahwa perubahan kualitatif menyelesaikan atau mengakhiri perubahan kuantitatif yang sedang berlangsung, dan menimbulkan atau melahirkan perubahan-perubahan kuantitatif yang baru.
Hal yang sangat sederhana ini perlu ditandaskan karena ada sebagian orang hanya mau mengakui perubahan kuantitatif saja tetapi tidak mengakui adanya perubahan kualitatif. Mereka berpendapat di dunia ini tak ada perubahan yang melahirkan hal yang baru, karena menurut mereka anak ayam itu sejak semula telah berada di dalam telur hanya saja masih terlalu kecil dan tersembunyi di dalam telur hingga tak dapat kita lihat. Kemudian setelah mengalami perubahan kuantitatif, ia tumbuh semakin besar hingga pada saat ia mampu memecahkan kulit dinding telur yang melindunginya dan menampakkan dirinya di dunia ini. Demikian juga kata mereka, bahwa penindasan dan penghisapan oleh manusia atas manusia sudah ada sejak adanya manusia di bumi ini. Kalau semula penindasan dan penghisapan itu dilakukan dengan cara primitif, sederhana, terbuka dan tidak intensif, tepi setelah mengalami perubahan-perubahan kuantitatif maka penghisapan mengambil bentuk yang terselubung, halus dan makin intensif.
Pandangan metafisik (non-dialektis) semacam ini dapat menyesatkan kita. Dia merupakann basis filosofis kesalahan-kesalahan reformis di dalam bidang politik, hingga membuat orang merasa puas dengan hanya perubahan-perubahan reformis atau perbaikkan tambal sulam rakyat pekerja, tanpa menghendaki adanya pembebasan rakyat pekerja dari penghisapan manusia lainnya, tidak menghendaki adanya perubahan revolusioner untuk mengubah sistim masyarakat penindasan. Sudah tentu pandangan filosofis semacam ini menguntungkan dan dipelukan oleh kelas-kelas penghisap dalam mempertahankan kekuasaan dan penghisapannya. Padahal, satu abad yang lalu Hegel telah mengemukakan dengan tepat, bahwa peralihan dari alam yang tak berperasaan ke alam berperasaan, dari alam an-organik ke alam kehidupan organik, merupakan lompatan keadaan yang baru sama sekali.
Pernyataan Hegel ini bukanlah spekulatif, melainkan berdasarkan pada hasil-hasil pengembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Masyarakat komune primitif waktu itu belum mengenal penghisapan manusia oleh manusia dan masyarakat penghisapan ini baru lahir setelah komune primitif ini mengalami keruntuhannya, di mana kerja seseorang dengan alat-alat kerja yang relatif lebih maju dapat menghasilkan hasil lebih, sehingga memungkinkan terjadinya penghisapan atas manusia oleh manusia dan melahirkan sistim pemilikan budak.
Dengan memiliki pengertian, bahwa perubahan-perubahan kuantitatif menyiapkan suatu perubahan kualitatif yang revolusioner, maka kita tak akan mudah terjebak oleh teori-teori seperti: kapitalisme kerakyatan, negara kapitalis yang berorientasi sosialis, perkembangan kapitalisme ke sosialisme secara damai, memperjuangkan masyarakat industri yang non-kapitalis dan non-sosialis dan sebagainya, yang dijajakan oleh teoritikus-teoritikus borjuis dan revisionis.
Sebagaimana selalu diingatkan oleh pejuang-pejuang besar revolusi, bahwa kelas penghisap yang berkuasa tak akan pernah dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya, bahwa rakyat tertindas harus melakukan perjuangan revolusioner untuk membebaskan dirinya.
d. Perubahan kualitatif
Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya bahwa perubahan kualitatif itu terjadi secara mendadak, cepat dalam bentuk lompatan dari satu keadaan ke satu keadaan lainnya. Sedikit mengulangi tentang telur ayam selama dalam proses perubahan kualitatif dalam masa pengeraman, cirinya yang berbentuk telur itu nampak tepat tak berubah, masih tetap bertahan, atau masih dalam kemantapan relatif. Tetapi begitu perubahan kuantitatif melampaui batas relatif kualitasnya, terjadilah perubahan kualitatif dengan mendadak. Perubahan kuantitatif yang berlangsung dalam telur itu segera berhenti atau terputus, kemantapan relatif kualitasnya sebagai telur tak dapat dipertahankan lagi dan lenyap seketika itu juga. Sebagai gantinya muncullah anak ayam yang ciri atau kualitasnya berlainan dengan telur tadi. Demikianlah kita melihat perubahan dari telur ke anak ayam itu merupakan suatu lompatan yang disebut keterputusan kesinambungan. Artinya terputusnya keadaan kesinambungan perubahan kuantitatif atau kemantapan relatif kualitasnya. Mengenai perubahan kualitatif ini, Engels di dalam bukunya "Dialektika alam" mengemukan bahwa "kimia boleh dikatakan ilmu tentang perubahan kualitatif yang terjadi dalam benda sebagai akibat perubahan kuantitatif komposisinya. Contohnya oksigen atau zat asam apabila molekul itu terdiri dari 3 atom dan bukan 2 sebagaimana biasanya maka kita mendapatkan ozon yaitu suatu benda yang dalam hal bau dan reaksi kimianya sangat berlainan dengan zat asam biasa. "
Kelanjutannya, oleh karena perubahan kualitatif itu terjadi secara mendadak, merupakan lompatan dari suatu lompatan keadaan ke keadaan lainnya, atau terputus sama sekali kesinambungannya dengan keadaan sebelumnya, maka ada sementara orang mengira bahwa perubahan kualitatif itu terlepas dari perubahan kuantitatif, tak ada hubungan sama sekali dengan kuantitas atau perubahan kuantitatif. Mereka tak mau mengeakui perubahan kuantitatif, dan hanya mengakui perubahan kualitatif saja. Meletusnya gunung krakatau satu abad yang lampau hingga gunung tenggelam ke dasar laut, menurut mereka, merupakan perubahan kualitatif yang mendadak tanpa melalui perubahan kuantitatif. Demikian juga mereka menganggap, misalnya meletusnya revolusi '45 terjadi secara mendadak dalam momentum yang kebetulan, sama sekali tak ada hubungannya dengan perubahan-perubahan kuantitatif sebelumnya, yang berupa gerakan massa rakyat. Katanya lagi, ibarat meletusnya sebuah petasan, yang hanya dengan menyulut sumbunya saja (maksudnya, cukup dengan agitasi atau menghasut massa rakyat)
Pandangan ini juga suatu jenis metafisik, yang dapat menyesatkan kita dengan melakukan kesalahan-kesalahan avonturis di bidang politik, misalnya kendak menyelesaikan suatu revolusi sosial dengan kudeta militer atau avonturisme militer. Padahal pejuang-pejuang besar revolusi, selalu mengingatkan kita bahwa revolusi adalah urusan dan karya rakyat, merupakan puncak dari perjuangan rakyat untuk membebaskan dirinya. Rakyat pekerja tak akan dapat dibebaskan oleh siapapun, kecuali oleh perjuangan mereka sendiri. Kesadaran politik dan organisasional pada rakyat sangat menentukan sebuah revolusi rakyat.
Telah diketahui, bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam kuantitas dengan sendirinya menimbulkan perubahan juga dalam kualitas. Sebagai contoh, air yang dipanasi sehingga suhunya meningkat, perubahan kuantitatif ini dengan sendirinya menimbulkan perubahan dalam kualitas atau cirinya. Sebagaimana dapat kita saksikan, misalnya gerak molukel makin cepat, daya kohesi antar molukel makin longgar, hingga kita dapat membedakan air panas dan air dingin. Akan tetapi perubahan semacam ini tidak termasuk dalam pengertian perubahan kualitatif.
(selesai bagian pertama)
Ditulis ulang oleh: JALAN TERANG -INDONESIA)

Materialisme Dialektika (9)
Berbarengan dengan cara pandang materialis dan pengetahuan ilmiah bergerak maju dan menjadi penting pada waktu kebangkitan kapitalisme (abad 17 dan 18) materialisme mengambil bentuk materialisme mekanis. Yakni, bahwa alam dan masyarakat dilihat sebagai sebuah mesin raksasa di mana bagian-bagiannnya bekerja secara mekanis. Pandangan ini memudahkan orang memahami bagian-bagian dari sesuatu hal dan bagaimana mereka "bekerja", tetapi hal ini tidak mampu menjelaskan asal-usul dan perkembangan sesuatu hal.
Namun demikian, akibat perkembangan masyarakat yg cepat pada saat itu, perubahan sesuatu hal tidak bisa diabaikan begitu saja. Ilmu Alam pada jamannya Marx dan Engels membuat lompatan besar dalam memahami perkembangan, memahami perubahan dan transformasi dalam tubuh alam. satu contoh kunci soal ini adalah teori Evolusi Darwin, yang memperlihatkan bagaimana bentuk-bentuk kehidupan bergerak, berubah secara kualitatif sepanjang beberapa tahun. Ilmu Alam kemudian mulai menggunakan konsep dialektika (paling kurag secara implisit), menegaskan kembali perkembangan, kontradiksi dan transformasi dalam memahami materi dan kehidupan. Seperti yg ditulis oleh Engels,
"Alam adalah batu uji dialektika, dan harus dikatakan bahwa ilmu pengetahuan modern sudah melampaui ujian ini dengan bahan-bahan yng sangat kaya dan melimpah, dan dengan demikian memperlihatkan bahwa pada bagian yg menentukan alam bekerja secara dialektik..." (Anti-Duhring) MD (10)
Namun demikian, perubahan dan perkembangan bukan saja konsep yang penting ntuk memahami alam, tetapi konsep-konsep ini secara sadar bisa diterapkan atas seluruh area kenyataan, khususnya, pekrmbangan masyarakat. Marx dan Engels mewarisi periode kamjuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan dari filsafat dialektik hegel (yang secara berat dipengaruhi oleh idelisme) dan merumuskan pandangan dialektika materislis secara sistematik.
Prinsip dialektika dijabarkan dari analisa bagaimana dunia sebenarnya berkembang; jadi bukan sekadar jatuh dari pikiran orang. Jadi dialektika bukanlah skema yg dipaksakan atas kenyataan, tapi ia merupakan seperangkat prinsip-prinsip ilmiah untuk memudahkan orang memahami kompleksitas perubahan dan perkembangan.
Metode dialektika hanya dapat dipahami dalam pertentangannya dengan cara pandang metafisik. berikut ini diringkaskan ciri-ciri pokok dialektika dan melawankannya dengan cara pandang metafisik.
(1) Inter-koneksi atau saling hubungan
Dunia merupakan kesatuan, keseluruhan yg saling berhubngan di mana semua hal saling berkaitan dan bergantung. Sebaliknya, metafisika melihat bahwa dunia sebagai kumpulan hal yg berdikari, independent, terpisah.
Seorang MD dan metafisika, seabagai misal akan mengambil pendekatan yg berbeda dalam memahami seorang individu. Seorang metafisika akan bertanya apa yg dipirkan orang itu, apa aktivitas mereka, bagaimana penampilannya, apa yg mereka sukai dan apa yang tidak disukai, dan seterusnya. tetapi seorang MD akan berusaha memahmi orang tersebut dengan memeriksa hubungannya dengan orang lain dan dunia sekitarnya dan memperlihatkan pengalaman orang tersebut sebagai bagian dari keluarga tertentu, kelas tertentu, ras dan masyarakat tertentu.
Arti penting pendekatan yg berbeda-beda ini adalah bahwa jika metode MD memudahkan menemukan mengapa sesuatu itu dengan menganalisa konteks darimana mereka muncul dan saling hubungan dengan sesuatu yg lain; sementara itu seorang pendekatan metafisika hanya menjelaskannya pada tingkat menggambarkan sesuatu sebatas dari dirinya sendiri.
(2) Materi
Materi selalu dan terus-menerus dalam gerak. Dunia ini ada dalam keadaan gerak dari dia ada, berkembang, berubah dan lenyap. Metafisika memandang bahwa dunia ada dalam keadaan diam, segala sesuatu statik, diam, tetap dan tak berubah.
Jadi MD dan metafisika memiliki pandangan yg berlawanan mengenai kapitalisme yg permanen. Perbedan ini jelas menunjukkan pendirian konsevatif metafisika dan pendirian revolusioner dari dialektika. Pendekatan metafisika secara implisit mempertahankan bahwa "tak ada sesuatu pun yang berubah di dunia ini" dan "ini adalah dunia yg terbaik dari semua kemungkinan yg ada" dalam pandangannya atas kapitalisme sebagai sistem yg permanen. Ini semua menyatakan bahwa pemilikan pribadi dan persaingan bebas sebagai kebal-nilai (tak dapat dibantah), dan bahwa nilai-nilai ini berasal dari kualitas sifat manusia seperti persaingan, ketamakan dsb. MD mempunyai pandangan yang panjang dan obyektif atas bentangan sejarah dan mengakui bahwa kapitalisme tidak selalu ada, dan bahwa ia telah mendominasi dunia selama ratusan tahun, dan selanjutnya ia dalam proses digantikan oleh sosialisme. Tidak ada satupun sistem sosial yg permanen, apa yang tetap adalah perkembangan dan transformasi masyarakat secara terus menerus.
(3) Kontradiksi
Kontradiksi internallah yg secara mendasar menentukan pertumbuhan dan perkmbangannya. faktor-faktor ekternal dan kekuatan-kekuatan luar meletakkan kondisi material bagi sesuatu hingga ia berkembang, tetapi tidak menentukan watak mendasar sesuatu, dan bukan merupakan penyebab pokok geraknya.
Menegaskan kontradiksi internal sebagai dasar perkembangannya berarti melihat sesuatu sebagai "persatuan dari aspek-aspek yg berlawanan" di mana keduanya saling berlawanan dan bersatu, dan pertarungan adalah sumber dari gerak sesuatu. Jadi kapitalisme terdiri dari kesatuan dari hal-hal yg berlawanan, yakni kaum borjuis dan kelas pekerja. Di bawah kapitalisme, dua kelas ini adalah tergantung satu sama lain, yaitu memiliki kepentingan yang berlawanan dan karena itu terlibat dalam perjuangan kelas yg terus-menerus. Pertarungan antara kelas dalam masyarakat kapitalis ini yang menyebabkan perkembangan dan transformasinya.
Hanya dengan memahami persatuan dan perjuangan dari aspek-aspek internal yang saling berlawanan ini barulah kita bisa paham mengapa sesuatu terus berubah.
Ini akan jadi jelas jika kita kontraskan dengan metafisika yang melihat sesuatu sebagai kesatuan dalam dirinya sendiri dan menjelaskan terjadinya perubahan sebagai akibat faktor-faktor luar. Misalnya, kaum borjuis menggunakan metafisika untuk menjelaskan revolusi di dunia tertindas sebagai akibat "Iblis kekaisaran Soviet", atau akibat campur tangan luar komunis subversif. Tentu saja, ini adalah penolakan menyeluruh atas kontradiksi internal dalam masyarakat-masyarakat tersebut yg menyebabkan revolusi.
(4) Kuantitas ke dalam kualitas
Sesuatu (barang atau peristiwa) berkembang melalui perubahan secara kuantitatif yg pada umumnya bertahap dan secara halus; dan secara kualitatif berubah secara sekonyong-konyong yang merubah menjadi sesuatu yang baru. Perubahan kualitatif merupakan hasil akumulasi/penumpukkan perubahan kuantitatif dan membawa perkembangan progresif dari sesuatu yang lama/tua menjadi baru, dan dari sederhana menjadi kompleks.
Metafisika, pada tingkat tertentu mengakui perubahan, hanya melihat perubahan kuantitatif di mana sesuatu tumbuh menjadi lebih besar, lebih kecil, lebih kuat, lebih lemah dsb, dan masa lalu mengulangi dirinya sendiri. pandangan metafisika menolak perubahan kualitatif yang merubah sesuatu dan mendorong maju menjadi sesuatu yang baru.
Perubahan dialektik yang bergerak dari kuantitas ke kualitas niscaya terjadi dalam banyak bidang. Esai Stalin menyebutkan hal ini, termasuk contoh yg menyolok mata adalah evolusi. melewati adaptasi dan perkembangan selama ratusan tahun, spesies awal berubah secara kualitatif menjadi spesies baru, homo sapiens atau manusia. Dalam kehidupan sehari-hari dari perubahan kuantitas ke kualitas, contohnya adalah bagaimana air, secara bertahap berubah menjadi lebih panas atau lebih dingin (perubahan kuantitas) berubah menjadi uap atai es (berubahan secara kualitas).
Dan dalam soal masyarakat juga terdapat jurang perbedaan yang memisahkan pandanagan metafisika yg konservatif dengan pandanagn dialektika yg revolusioner mengenai bagaimana dunia berubah. Sudah tentu, dalam dunia sosial perubahan terjadi tidak secara otomatis sifatnya, sebagaimana terjadi dalam alam. Perubahan sosial disebabkan oleh rakyat melalui aksi dan saling aksi. Jadi, pandangan rakyat yg menentukan apa jenis perubahan dan bagaimana dilakukan, dibentuk oleh kondisi sosial mereka dan kedudukan kelasnya.
Cara pandang metafisika kelas berkuasa perubahan revolusioner dan kualitatif dalam perubahan masyarakat dan berpendirian bahwa perubahan secara bertahap, gradual, perubahan kuantitaif lah yang diperlukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan masyarakat kapitalis sekarang ini.
Pandangan MD dari kelas pekerja, di pihak lain, memandang perubahan kualitatif, revolusioner sebagai puncak perjuangan untuk mengembangkan medan memajukan masyarakat. Kehendak revolusi bukan untuk menyempurnakan kapitalisme, melainkan untuk menggantikannya dengan sosialisme. MD (16)
Relevansi pertarungan antara Dilektika dan Metafisika dengan Perjuangan kelas
Contoh-contoh sebelumnya sudah menggambarkan bagaimana pandangan metafisika atas masyarakat mewakili kepentingan kaum borjuis. Hal ini tidak mengejutkan karena keinginannya (dan juga kelas-kelas berkuasa sebelumnya) untuk mamamerkan kepentingan kelasnya sebagai permanen dan tak berubah. Kelas borjuis tak pernah henti-hentinya menganjurkan cara berpikir metafisika kepada kelas pekerja, sebagai usaha untuk membuktikan bahwa sistem kapitalis berharga dan permanen dan menyingkirkan adanya pertentangan kelas.
Cara berpikir metafisika juga menyusup ke dalam gerakan revolusioner sendiri, dalam bentuk pikiran yang menganjurkan jalan damai, reformis dan evolusioner dari kapitalisme ke sosialisme. Mereka ini gagal dan tidak mengakui bahwa revolusi sosialis sebagai perubahan kualitatif bagi masyarakat kapitalis.
Bagi kelas pekerja, dialektika merupakan alat penting untukmemahami mengapa dunia seperti sekarang ini, menganlisanya bagaimana ia berubah dan mengerti bagaimana rakyat yang sadar bisa merubahnya.
KESIMPULAN
Sebelum pendirian MD oleh Marx, bentuk materialis yang ada adalah pandangan yang mekanis, non-dialektika, dan Hegel, seorang dialektikus, menganjurkan versi idealis dari dialektika. Kaum filsuf tidak mampu mengembangkan materislisme yang konsisiten dan meneyeluruh karena pada analisa akhir, mereka menerima pandangan borjuis yang ada. Mereka tidak sudi melihat secara lengkap, termasuk privelese kelas, hak milik perorangan dan ketimpangan sosial sebagai faktor bagi perubahan sosial.
Marx dan Engels akhirnya berhasil mengembangkan sintesis materialisme dan dialektika sebab mereka mendasarkan filsafatnya pada aspirasi revolusioner dan cara pandang kelas pekerja. kelas pekerja memiliki kepentingan dalam memahami masyarakat sebagaimana adanya "tanpa terkecuali" dan sebuah kelas untuk perubahan, termasuk perubahan revolusioner, dapat menjadi kekuatan pembebas.
MD adalah filsafat revolusioner kelas pekerja. Ia memberikan arah umum bagi dunia dan peranan manusia dan menyediakan seperangkat prinsip-prinsip ilmiah untuk menjawab masalah-masalah politik dan parktis; namun demikian ia menyediakan kerangka yang pasti untuk memperoleh jawaban. Juga MD merupakan dasar-dasar dari semua teori Marxis dan pandangan khusus terhadap sejarah, ekonomi dan politik.
Studi kita yg singkat sudah meletakkan garis besar MD, arti petingnya filsafat Marxis dalam memahami dunia, perjuangan kelas dan kerja politik di mana kita terlibat. Untuk bisa paham sepenuhnya sudah tentu harus dilanjutkan dalam proses yang akan terus berjalan, dan mendalaminya dalam studi dan praktek.
Ringkasan MD
Idealisme dan materialisme menjawab masalah hubungan antara dunia ide dan dunia material. Dua cara pandang filsafat ini muncul untuk menjawab yang manakah yang lebih utama dan menentukan.
A. Idealisme:
1.        Ide-ide, spirit sebagai kenyataan pokok/prinsip.
2.        Ide-ide dan spirit membentuk dan menentukan dunia material.
3.        Dunia ini penuh berisi segala sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh manusia dan ilmu pengetahuan.
B. Materialisme
1.    Dunia material adalah kenyataan pokok.
2.    Dunia material adalah sumber ide-ide.
3.    Dunia material ini dapat dijelaskan dan dipahami melalui pengalaman manusia dan ilmu pengetahuan.
Metafisika dan Dialektika keduanya berkaitan dan menjawab masalah perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam alam dan masyarakat.
A. Metafisika
1.      Fenomena atau gejala dilihat secara terpisah
2.      Keadaan alamiah adalah statik, diam.
3.      Segala sesuatu bersatu dalam dirinya sendiri dan perubahan disebabkan oleh faktor-faktor luar.
4.      Hanya ada perubahan kuantitatif.
B. Dialektika
1.      Fenomena dilihat dalam salinghubugannya dan salingketergantungannya.
2.      Keadaan alamiah sesuatu hal adalah terus-menerus berubah.
3.      Kontradiksi ada secara internal dalam suatu hal dan perubahan pada dasarnya akibat faktor-faktor internal ini.
4.      Ada perubahan kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan terjadi dari sederhana ke rumit, dari rendah ke tinggi.
POINT-POINT DISKUSI MD
1.        Ringkaskan perbedaan antara materialisme dan idealisme. bagaimana agama dan bentuk idealisme lain memainkan peran reaksioner dalam masyarakat, membela status quo dan cara pandang kelas berkuasa. bagaimana materialisme mengabdi kepentingan kelas pekerja?
2.        Jelaskan perbedaan antara pandangan metafisika dan dialektis terhadap perkembangan dan perubahan. Tunjukkan bagaimana sifat/ciri dialektika?
3.        Marxisme berpendirian bahwa dialektika tidak saja menjelaskan alam, tetapi juga masyarakat. Pilihlah fenomena sosial (misalnya rasisme (?)). Apakah pandangan metafisika atas hal ini? Dan bagaimanakah pandangan dialektika?
4.        Dengan menggunakan metode dialektika, coba bahas dan diskusikan sebuah contoh bagaimana materialisme dialektika bekerja dalam kerja politik anda. bagaimana materialisme dialektika menyingkap hakekat aneka fenomena?
5.        Akhirnya, jelaskan bagaimana filsafat Marxis berwatak ilmiah dan partisan (memihak kepentingan kelas pekerja)?


PRAKTEK DAN KEBENARAN

Kehidupan dan perkembangan progresif masyarakat, di mana gambaran esensialitasnya telah didiskusikan dalam bab yang sebelumnya, hanya memungkinkan dengan memperbesar kontrol manusia atas alam dan penetrasinya ke dalam semua rahasianya. Pepatah bijak mengatakan, bahwa pengetahuanlah teman terbaik. Pengetahuan manusia menjamin dominasi manusia atas elemen-elemen alam. Pengakuan dan pengembangan pengetahuan merupakan proses di mana manusia mengamati realitas yang ada di sekitarnya. Doktrin dan esensi pengetahuan, serta struktur dan hukum proses kognitif disebut teori pengetahuan atau epistemologi.
1. Aspek Kedua dari Persoalan Fundamental Filsafat
             Persoalan fundamental dari filsafat, yaitu hubungan pemikiran ke keberadaan, dari kesadaran ke materi, sebagaimana yang sudah saya kemukakan, memiliki aspek kedua sebagai tambahan dari aspek pertama (Mana yang lebih utama: materi atau kesadaran?). Aspek kedua ini lebih memperhatikan pada persoalan apakah pemikiran kita mampu mengenal dunia nyata, dan apakah kita mampu secara tepat merefleksikan di luar realitas yang ada dalam pikiran kita, tentang realitas tersebut. Para filsuf menyebutnya sebagai persoalan identitas pikiran dan keberadaan.
            Sebagian besar filsuf telah memberikan jawaban afirmatif pada persoalan di muka. Mereka disebut agnostis. Filsuf Jerman, Kant misalnya, memperkenalkan dunia nyata di luar manusia, namun mempertahankan bahwa hal itu, secara prinsipil tidak dapat diketahui, selama seperti yang dikatakannya, terdapat hambatan atau jurang yang tidak dapat dilewati di antara fenomena ("sesuatu menurut kita"; Ding-fur-uns) dan esensi ("sesuatu itu sendiri"; Ding-an-sich). Segera setelah manusia membuat segala pembenaran mengenai "sesuatu itu sendiri", Kant menyatakan, maka pemikiran manusia berhadapan dengan kontradiksi yang tidak terpecahkan, atau antinomi, sehingga mengkhianati ketidakmampuannya yang dinyatakan. Kant meyakini bahwa sebuah transisi dari fenomena menuju pada sesuatu itu sendiri hanya memungkinkan melalui kejujuran.
Representasi dari skeptisisme filsafat, khususnya yang terdapat dalam pemikiran seorang filsuf Inggris di abad ke 18, David Hume, juga agnostis. Mereka menolak kemungkinan mengetahui realitas, dengan menyatakan bahwa, kesemuanya meragukan apakah sesuatu yang berada di luar kita, di luar perasaan kita juga. Untuk mendukung pemikirannya, kaum skeptis berargumen bahwa penilaian yang beralawanan dapat diungkapkan tentang sesuatu dan obyek yang sama, bahwa manusia hanya bersepakat dengan sensasinya sendiri, dan tidak mengetahui dari mana kerangka persepsinya datang, dll.
Para pendukung irasionalisme --Nietzsche, Bergson (1859-1941), dll--mengadopsi satu pijakan yang terlalu agnostisisme. Mereka mempertahankan pendapat bahwa dunia tidak mampu dipahami, karena ketiadaan regularitasnya. Keberadaan adalah sebuah aliran berbagai kejadian yang tidak beraturan, sebuah evolusi kreatif, yang tidak logis, sementara pemikiran menghasilkan logika. Logika bersesuaian dengan keteraturan, dengan sebab dan akibat, sementara alam nyata, seperti yang didesakkan kaum irasionalis, tidak memiliki itu. Oleh karenanya, tidaklah mungkin untuk memasuki pengetahuan dunia yang logis. Kaum agnostis justru menekankan bahwa dalam prinsip, pikiran tidak dapat diidentifikasi dengan kenyataan.
Agnostisisme disebarluaskan dalam filsafat idealis borjuis modern. Hal ini menjadi jelas, khususnya dalam Kongres Filsafat se-Dunia ke 16. Beberapa laporan yang disampaikan dalam kongres itu, memperkuat tesis bahwa faktor irasionalitas adalah primordial bagi manusia, bahwa "ilmu pengetahuan tidak dapat berpikir". Oleh karenanya harus dilengkapi dengan sebuah doktrin agama tentang keberadaan, dsb. Secara konseptual, agnostisisme merupakan satu filsafat yang reaksioner. Secara sosial hal ini mengekspresikan ideologi klas penghisap yang berusaha memisahkan manusia yang bekerja dari tindakan mengetahui realitas yang ada. Agnostisisme membelenggu aktivitas dan inisiatif kreatif manusia. Selama, jika dunia tidak mampu dipahami dan pengetahuan tidak mampu menemukan hukum-hukum perkembangan masyarakat, maka manusia tidak dapat secara sadar merubah dan mentransformasi realitas.
Agnostisisme bertentangan dengan banyak representasi yang menonjol dari filsafat pra-Marxian, baik itu kaum idealis maupun kaum materialis. Mereka berargumen untuk kemampuan diketahuinya dunia. Namun kaum idealis dan kaum materialis secara mendasar berpegang atas pendapat yang berbeda tentang hal ini. Kaum idealis beranggapan bahwa keberadaan yang sesungguhnya adalah dengan bentuk ideal alamiahnya, seperti diketahui pikiran. Sehingga mereka mengidentifikasi keberadaan dan pikiran sebagai sebuah proses dengan mana semangat mengerti dengan sendirinya. Kaum idealis obyektif, salah satunya Plato, menyatakan bahwa manusia mengetahui kebenaran melalui "rekoleksi". Untuk tujuan ini, Plato percaya bahwa, manusia harus menyingkirkan semua yang jasmaniah, sensual dan harus menutup mata dan telinganya, dan menarik kembali ke dalam observasi diri untuk mencoba "mengingat" apakah jiwa abadinya diduga telah mengalami dalam dunia ide yang sesungguhnya.
Beberapa pandangan yang sama tentang pengetahuan ditemukan dalam doktrin kaum idealis, dari sekolah Vedanta (abad 4 S.M.). Menurut pandangan ini, hanya terdapat satu obyek murni, yaitu Brahman. Hal ini hanya dapat diketahui melalui latihan yang teratur. dengan mengenyampingkan semua yang duniawi, secara teratur meningkatkan kemampuan mengendalikan jiwa, menekan emosi, mengendalikan hawa nafsu dan melatih kesabaran, konsentrasi, serta kualitas yang lainnya, maka kaum Yogis membangkitkan dalam diri mereka, harapan yang meluap-luap untuk membebaskan pikiran mereka sendiri. Akibatnya, seperti yang dipikirkan kaum idealis India, adalah kelahiran pengetahuan yang sempurna. Dengan demikian pengetahuan tentang Brahman membebaskan semua dosa.
Dalam pemikiran Hegel satu jawaban afirmatif pada persoalan tentang identitas pikiran dan keberadaan juga sudah jelas: dalam dunia nyata kita mengetahui secara tepat isinya yang mampu dimengerti, sejauh mana realitas itu sendiri mampu dipikirkan. Dalam analisis akhir pengetahuan adalah sebuah proses kesadaran diri dari Ide Absolut.
Oleh karenanya bagi kaum idealis, ketika mereka memberikan satu jawaban yang positif untuk aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat, maka "pengetahuan murni" adalah sekedar yang Absolut, Idea, Brahman, dan sebagainya, sehingga kritisismenya terhadap agnostisisme tidak konsisten. Kenyataannya idealisme dan agnostisisme berhubungan satu dengan yang lainnya. Agnostisisme hanya bisa benar-benar dihajar telak melalui sudut pandang filsafat materialis.
Bagi paham idealisme pikiran dan keberadaan itu identik, karena keberadaan itu sendiri diinterpretasi sebagai sesuatu yang ideal. Namun bagi materialisme, jawaban untuk aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat berangkat dari prinsip refleksi. Pikiran itu identik dengan kenyataan hanya dalam kerangka bahwa pikiran merefleksikan kenyataan. Sebagaimana refleksinya, maka pikiran adalah sekunder bagi keberadaan, bagi materi. Identitas untuk pikiran dan keberadaan oleh karenanya hanya dapat dipertautkan dalam kerangka epistemologis, misalnya, pada tataran kemampuan diketahuinya dunia. Salah seorang materialis Perancis di abad ke 18, Feuerbach dan para filsuf lainnya, menegaskan keyakinan mereka tentang kekuasaan dari intelek dan emosi manusia. Namun teori pengetahuan dari paham materialisme pra-Marxian dibatasi oleh karakter kontemplatifnya. Kaum materialis pra Marxian kurang mampu memahami sepenuhnya kualitas aktif dari pemikiran manusia. Bagi mereka, manusia ditakdirkan hanya untuk sebuah persepsi yang pasif di luar berbagai pengaruh. Lebih jauh lagi, mereka hanya mengambil satu individu yang terisolasi sebagai subyek pengetahuan dan tanpa memperhatikan alam sosio-historis dari kesadaran manusia. Keberagaman proses merefleksikan realitas diinterpretasi sepihak oleh mereka, dengan cara yang amat ekstrem, seperti sesuatu yang segera, langsung dan seolah-olah reproduksi cermin dari esensi obyek dalam kesadaran manusia. Kesemua cacat ini dapat diasalkan pada satu yang utama, yaitu pemikiran materialis pra Marxian, sebagaimana juga pemikiran idealis, yang gagal untuk memahami peran yang menentukan dari praktek sosio-historis dalam proses pengetahuan.
2. Peran Determinan Praktek dalam Pengetahuan
Para filsuf pra Marxian biasanya mempertentangkan pengetahuan dengan aktivitas material dan tindakan sosial manusia. Mereka memperlakukan pengetahuan sebagai satu penyelidikan subyektif untuk kebenaran, sebagai sekedar produk keingintahuan yang sama sekali tidak dikondisikan oleh satu persyaratan aktual pun. Biasanya, problem untuk kemampuan diketahuinya dunia ditangani dalam teori. Dan walaupun para teoritisi memproduksi beberapa argumen yang cukup meyakinkan untuk melawan agnostisisme, namun selanjutnya tidak pernah benar-benar disingkirkan. Kenyataannya adalah bahwa pengetahuan bukanlah sebuah semangat yang murni, persyaratan intelektual dari manusia. Secara tak terhindarkan, hal ini terikat dalam akarnya yang terdapat dalam aktivitas material obyektif manusia, terikat dengan praktek. Dan dalam praktek-lah agnostisisme disingkirkan sama sekali.
Manusia pertama kali berhubungan dengan dunia dalam kerangka praktis, dengan mentransformasikan dunia secara aktif, untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Hanya melalui interaksi material dengan alam mereka dapat membentuk sikap teoritis terhadap alam. Dalam merubah sebuah bahan untuk memproduksi obyek atau alat tertentu, manusia harus memilah-milahkan jenis-jenis batu, kayu, logam yang khusus, dll, di awal tahap sejarahnya. Sehingga realitas diketahui, dan pengetahuan tentangnya diperoleh dalam proses kerja langsung. Konsekuensinya, pengetahuan lahir dari praktek dan berkembang atas dasar praktek. "Pijakan dari kehidupan, yaitu praktek, harus menjadi yang pertama dan fundamental dalam teori pengetahuan", demikian tulis Lenin. Persyaratan untuk praktek sosial selalu menjadi basis, kekuatan pendorong, dan sumber pengembangan pengetahuan. Kebutuhan untuk mengukur luas tanah, menentukan kapasitas tong air, memperhitungkan waktu, perhitungan dagang, dll, telah merangsang pengembangan pengetahuan matematis. Kebutuhan untuk membangun rumah, kanal, waduk, kapal, dan sarana transportasi lainnya, untuk memproduksi peralatan untuk mengangkat sesuatu dan untuk kegunaan lainnya, senjata, dll., telah merangsang pengembangan untuk mekanika.
Pada saat ini pula, persyaratan praktis menentukan perkembangan pengetahuan ilmiah. Hal ini terjadi dalam matematika, sebuah ilmu pengetahuan yang menampilkan kecenderungan yang nyata untuk meningkatkan gagasan-gagasannya melalui logika di dalamnya sendiri. Kebutuhan untuk memindahkan informasi melalui saluran komunikasi telah muncul, misalnya, untuk sebuah ilmu pengetahuan yang baru, teori informasi. Dengan memunculkannya atas dasar praktis, teori ini sendiri dipengaruhi beberapa bidang matematika klasik, seperti teori fungsi, teori kemungkinan dll. Produksi industrial modern dan perancangan struktur-struktur yang baru, geodesi, manajemen ekonomi dsb., meminta sejumlah perhitungan, komputer elektronik diciptakan untuk memenuhi kebutuhan praktis ini. Penggunaan komputer menghasilkan banyak kecenderungan baru dalam penelitian matematis, seperti memprogram komputasi dan beberapa problem bagi komputer, teori automata, teori algoritma dsb.
Praktek bukan hanya pijakan awal dan basis bagi pengetahuan, namun juga merupakan tujuannya. Manusia mengetahui hukum alam dalam rangka menaklukkannya dan merubahnya untuk bisa melayaninya. Pengetahuan tentang hukum-hukum sosial diperlukan baginya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian historis sehubungan dengan kepentingan massa pekerja.
Lalu konsep praktek apa yang dipahami oleh dialektika materialisme? Pertanyaan ini penting karena begitu banyak filsuf idealis menggunakan istilah "praktek" atau "pengalaman" untuk mengkaburkan esensi dari doktrin-doktrin mereka. Kaum idealis subyektif menginterpretasi praktek sebagai pengalaman manusia yang menyentuh perasaan. Bagi mereka, sesuatu hanya muncul dalam pengalaman subyek, dan pengalaman hanyalah jumlah keseluruhan dari berbagai sensasi, satu kompleksitas elemen dalam kesdaran diri manusia. Sejenis dengan pandangan ini adalah pandangan dari para filsuf pragmatis borjuis modern. Menurut Pragmatisme, praktek adalah organisasi, melalui satu usaha dari keinginan dan perhatian, dari aliran kesadaran yang tidak beraturan, serta perasaan dan emosi manusia. Perubahan mengambil tempat dalam "praktek" yang bukan dalam fakta, atau dalam dunia fisik nyata, namun dalam diri subyek itu sendiri. Pragmatisme sebagai bagian khusus dari idealisme subyektif, menterjemahkan aspek aktif dalam pemikiran manusia sebagai yang obyektif, yang mana sama dengan idealisme secara umum.
Sebuah konsep ilmiah tentang praktek merupakan hasil dari sebuah solusi materialis terhadap persoalan filsafat yang fundamental. Sesuatu tidaklah diciptakan dalam pengalaman manusia, namun diketahui melalui merefleksikan realitas dalam praktek. Praktek memiliki satu karakter yang konkret, historis; aktivitas manusia yang bertujuan, yang memiliki obyek-material, yang terlibat dalam perubahan dunia obyektif yang eksis di luar kesadarannya. Tindakan praktis berbeda dari tindakan spiritual atau tindakan pikiran (operasi logis, fantasi, doa-doa, dsb) yang dalam hal ini menganggap a) kontak manusia dengan obyek alam, masyarakat, atau bentuk-bentuk hubungan tertentu manusia; b) pengeluaran sejumlah energi fisik tertentu, seiring dengan energi mental; c) pengkoordinasian rencana tindakan sesuai dengan esensi dan kekayaan dunia,alam atau masyarakat yang diubah dalam bidang tindakan ini.
Dengan demikian di atas segalanya, praktek membentuk aktivitas produksi material manusia, yang merupakan aspek utama dan menentukan dari aktivitas manusia secara umum. Apa yang termasuk di dalamnya adalah kerja manusia dalam industri, pertanian, transportasi, komunikasi, dan lingkup produksi material lainnya. Bentuk praktek yang mendasar ini termasuk di dalamnya adalah praktek sosial, seperti tindakan manusia dalam merubah atau mempertahankan hubungan sosial yang ada: perjuangan klas, tindakan revolusioner massa rakyat, gerakan pembebasan nasional, transformasi sosialis masyarakat, dan pembangunan komunisme, perjuangan untuk perdamaian, serta koeksistensi damai dengan negara-negara yang sistem sosialnya berbeda. Lepas dari bentuk dasar praktek ini, tindakan praktis manusia diungkapkan dalam bentuk-bentuk yang spesifik, dalam berbagai lingkup aktivitas. Dalam ilmu pengetahuan, misalnya, sebagai lawan dari pengetahuan teoritis, tindakan praktis meliputi eksperimen, observasi astronomis atau observasi lainnya, penyelidikan geografis dan geologis. Aktivitas praktis juga merupakan karakteristik dari obat-obatan, karya artistik dan kehidupan sehari-hari.
Hasil dari seluruh tindakan ini, pada basis mana merupakan aktivitas manusia dalam produksi material, dan yang membuat perubahan dalam bidang sejarah, disebut sebagai praktek sosio-historis. Sementara mengadopsi pijakan kehidupan, yaitu praktek, dialektika materialisme menawarkan satu pemahaman baru yang fundamental mengenai esensi dari proses kognitif.
3. Esensi Epistemologi Marxis
            Materialisme pra-Marxian, seperti yang sudah dikemukakan, bersifat kontekmplatif. Pemikiran tersebut melihat pengetahuan manusia sebagai refleksi pasif dari obyek dan proses-proses yang muncul di seputar dunia. Materialisme dialektika, di lain pihak memperlakukan pengetahuan sebagai satu komponen yang diperlukan dalam proses sosio-historis untuk menaklukkan alam dan meningkatkan hubungan diantara manusia. Subyek dari pengetahuan kita bukanlah alam dalam arti yang sepenuhnya, atau dalam artian "bahan mentah", melainkan seperti alam yang ditransformasi melalui praktek, manusia mampu mengetahui fenomena yang berada di laur aktivitas langsungnya. Kognisi di sini harus dipahami sebagai sesuatu yang aktif secara dominan, proses dinamis. Kognisi bukanlah sekedar persoalan alam yang mempengaruhi manusia, yang mengkontemplasi secara pasif, namun dari satu subyek yang bertindak praktis, dan menggunakan kekuatan-kekuatan elemen alam secara sadar dan bertujuan, dan dalam orientasi obyeknya, proses material, memperkenalkan struktur dan hukum alam. Lebih jauh lagi, adalah esensial untuk mencatat bahwa kognisi tidak membatasi diri pada aktivitas koginitif individu, namun merupakan hasil dari kombinasi berbagai usaha dari seluruh umat manusia. Praktek historis, secara konstan diperkaya, sebagai basis untuk pertumbuhan dan perluasan pengetahuan kita mengenai dunia obyektif dari alam dan manusia, dan tingkat di mana pengetahuan kita berkaitan dengan esensi aktual dunia.
Sejarah ilmu pengetahuan dan keseluruhan pengalaman sejarah manusia secara tidak terbantahkan telah membuktikan bahwa terdapat begitu banyak hal yang tidak diketahui, namun tidak ada satu pun yang tidak bisa dipahami dalam dunia. Fisika modern terus menghasilkan struktur materi yang amat halus untuk penerangan, dan kekuatan atom yang dilepaskan melalui kerja ini ditujukan untuk melayani manusia. Pengetahuan kita tentang alam semesta telah diperluas melalui pengembangan radioastronomi dan penelitian ruang angkasa. Biologi telah diselidiki begitu dalam hingga ke mekanisme keturunan dan pengetahuan tentang proses genetis, yang memiliki efek praktis dalam penemuan bibit-bibit unggul, beberapa terobosan dalam memerangi penyakit, dll. Hukum umum di jaman modern, tentang proses revolusioner dunia yang ditemukan oleh teori Marxist-Leninis, membantu mempercepat perubahan progresif dalam dunia.
Dengan demikian, dialektika materialisme, yang berdasar atas pengalaman praktis dari aktivitas kognitif manusia, memberikan satu jawaban afirmatif terhadap aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat.lenin mengungkapkan esensi dari epistemologi dialektika materialisme sbb: "1) Sesuatu itu ada lepas dari kesadaran kita, lepas dari sensasi kita, di luar kita... 2) Secara tegas tidak ada perbedaan yang prinsip diantara fenomena dankenyataan itu sendiri, dan tidak akan terjadi perbedaan apapun. Satu-satunya perbedaan adalah antara apa yang diketahui dan belum diketahui... 3) Dalam teori pengetahuan, sebagaimana dalam ilmu pengetahuan lainnya, kita harus berpikir secara dialektis, yaitu bahwa kita tidak harus memperhatikan pengetahuan kita sebagai yang terbaik dan baku, namun harus menentukan bagaimana pengetahuan muncul dari kegelapan, bagaimana kekurangannya, dan ketidak pastian pengetahuan menjadi lebih lengkap dan lebih pasti.
Pengetahuan manusia diperluas dan diperdalam sepanjang waktu dalam proses kognisi. Pengetahuan merupakan komponen terpenting dari kesadaran yang berada bersama emosi manusia dan sikap-sikapnya terhadap realitas. Hal ini jelas diperlukan dan tidak dapat dihindarkan lagi berkaitan dengan bahasa sebagaiinstrumen hubungan antar manusia. Pengetahuan adalah sebuah refleksi dari kepemilikan esensial dari, dan keterkaitan diantara obyek dan hukum alamnya. Pengetahuan dapat berbeda dalam isinya, pengetahuan dapat menyimpang (khayalan, kesalahan, falsifikasi), ketidak absahan (dugaan, hipotesa), atau kebenaran. Manusia selalu berusaha menghadirkan pengetahuan yang benar. Sebagaimana pepatah lama berkata, 'Pengetahuan adalah harta yang terbesar, yang tidak dapat diambil begitu saja, yang tiada habisnya dan nilai di luarnya" adalah benar pada saat ini.
4. Apakah Kebenaran Itu?
Manusia telah lama sekali memikirkan persoalan ini. Apalagi persoalan ini selalu menjadi pusat perdebatan filosofis. Satu pemahaman tentang apakah kebenaran, tidak dapat dipisahkan dari solusi untuk persoalan mendasar dari filsafat. Solusi dialektika materialisme terhadap problem kebenaran berdasar atas teori refleksi dan berbeda dari berbagai konsepsi idealis. Solusi ini berbeda juga dari interpretasi kebenaran yang diberikan oleh metafisika, materialisme kontemplatif.
Para pendukung idealisme obyektif menginterpretasi kebenaran sebagai sebuah atribut dari kenyataan ideal --semangat, ide atau Tuhan. Misalnya, menurut teori pengetahuannya Plato, sebagai rekoleksi jiwa dari sebuah dunia ide, maka kebenaran adalah sesuatu yang supernatural, lepas dari esensi ideal yang ada; "kebenaran itu sendiri" adalah sebuah dunia ide, dan pengetahuan manusia hanya benar sesuai dengan jiwa yang berada bersama dengan dunia ide "lainnya". Menurut filsafat Vedanta, relaitas yang sesungguhnya benar adalah semangat absolut, Jiwa Tertinggi (Brahman). Pengetahuan tentang dunia fenomena sesaat (Maya) oleh karenanya tidak dapat menjadi benar. Hanya kelengkapan Brahman yang merupakan pengetahuan yang benar. Untuk pemikiran idealis obyektif Hegel, kebenaran adalah 'ide' dalam segala keutuhan definisi dan konkretisitasnya; pemikiran itu menjadi pengetahuan dalam lingkup pikiran yang murni (reine Denken)
Dengan demikian idealisme obyektif mempertimbangkan kebenaran tanpa memperhatikan refleksi dari dunia yang mengambil bagian dalam kesadaran manusia. Pemikiran ini melihat kebenaran tidak sebagai sebuah bagian dari pengetahuan manusia dalam hubungannya dengan sebuah obyek, namun sebagai sebuah kualitas inheren dari ide yang abadi, menembus batas waktu. Sebagai lawan dari pandangan yang idealistik ini, dialektika materialisme mengasumsikan bahwa dunia dan alam itu sendiri, bisa benar maupun salah. Karakteristik dari kebenaran itu hanya merujuk pada pengetahuan kita mengenai sesuatu yang lebih dari pada sesuatu itu sendiri.
Kaum idealis subyektif juga tidak tepat menginterpretasi problem kebenaran. Dalam menolak bahwa dunia luar itu eksis lepas dari manusia, mereka mengabaikan setiap isi obyektif dalam pengetahuan kita dan kebenaran yang berkait secara eksklusif dengan keberadaan dari kesadaran tanpa memperhatikan dari mana realitas direfleksikan. ada beragam konsep subyektivis tentang kebenaran. Diantaranya melihat kebenaran sebenar seperti apa yang bermakna secara umum, misalnya, yaitu yang sesuai dengan opini mayoritas. Yang lainnya melihat kebenaran dengan apa yang dipikirkan dalam gaya yang sederhana atau dalam gaya ekonomis. Sementara lainnya tetap mempertimbangkan sebagaimana juga kesepakatan dengan penilaian lain dalam satu sistem pernyataan yang ada. Dan terdapat satu interpretasi tentang kebenaran sebagaimana yang berguna. Kesemua interpretasi ini secara karakteristik menolak eksistensi dari kebenaran obyektif.
            Di sini kebenaran dari penilaian secara menyeluruh ditentukan oleh subyek dan bergantung padanya. Misalnya, mayoritas orang-orang bisa menganut kepercayaan yang sama, namun kemudian tidak menjadi benar oleh karena mayoritas itu. Dengan kata lain, penyederhanaan tidak dapat diangkat pada satu kriteria kebenaran. Lebih mudah untuk meyakini tentang sebuah atom yang tidak terbagi daripada mampu terbagi dan memiliki satu struktur yang kompleks, namun pandangan yang pertama dalam penjelasan ilmu pengetahuan modern. Lebih jauh lagi, seseorang dapat mengimajinasikan dengan baik sebuah sistem proposisi, di mana setiap proposisi akan bersesuaian satu dengan yang lain dan tidak akan bertentangan, namun tidak menampung satu kebenaran pun ddan adalah sebuah konstruksi logis yang arbitrer. Sebagaimana tesis yang menyatakan bahwa apa yang berguna adalah yang benar (sebuah konsepsi yang didukung oleh filsafat pragmatisme borjuis), maka subyektivisme itu sendiri ada, karena secara langsung pertanyaan siapa yang mengambil untung dan siapa yang diuntungkan dari satu penilaian yang khusus. Adalah mudah untuk membuktikan pijakan pragmatisme, misalnya, 'kebenaran' dari setiap takhayul atau mistisisme, adalah sejauh mana digunakan bagi klas-klas yang reaksioner.
5. Kebenaran Obyektif
Pemikiran idealis subyektif dan obyektif keduanya melihat kebenaran sebagai sebuah bagian internal dari kesadaran. Namun menurut dialektika materialisme, pengetahuan adalah refleksi dari realitas dalam proses transformasi praktisnya oleh manusia. Pengetahuan yang merefleksikan dengan benar oleh karenaya menjadi benar. Refleksi terhadap realitas yang didistorsi, di lain pihak memunculkan kesalahan-kesalahan, misalnya, menjadi pengetahuan yang tidak benar. Kebenaran adalah pikiran yang berkaitan dengan realitas. Ini artinya bahwa pengetahuan kita mengandung satu isi yang tidak bergantung pada subyek, tidak juga inidividu maupun manusia. Dengan demikian kebenaran selalu obyektif.
Pengenalan terhadap kualitas obyektif dari kebenaran mengungkapkan solusi materialis untuk aspek kedua dari persoalan fundamental filsafat: gagasan konsep dan teori kita hanya benar sejauh kesemuanya itu memiliki satu kandunganyang tidak bergantung atas kesadaran. Kebenaran dari pandangan partikular ditentukan oleh keberadaan hukum-hukum alama dari realitas obyektif yang direfleksikan, yang lebih daripada harapan atau opini subyektif manusia. Misalnya sudah berapa kali pula para ideolog borjuis menyatakan bahwa ajaran Marxis tentang perjuangan klas tidak berlaku, meskipun demikian tidak menghalanginya untuk menjadi satu kebenaran obyektif. Sementara masyarakat kapitalis modern ditandai juga oleh sebuah antagonisme kepentingan klas yang ditentukan oleh dominasi atas kepemilikan pribadi dan eksploitas manusia.
Pemikiran materialis pra-Marxian juga mengenal obyektivitas kebenaran. Pada saat yang sama, mereka melihat kebenaran secara metafisis dalam berargumen bahwa kandungannya menutupi secara sempurna realitas yang direfleksikan. Tidak seperti materialisme yang usang, filsafat Marxis-Leninis memperhatingan kebenaran sebagai satu proses yang memperdalam refleksi, yang dimediasi oleh praktek sosio historis, yang lebih dari seperti satu kali tindakan yang sarat dengan keterkaitan antara pikiran dan realitas obyektif. Artinya, pertama, bahwa obyek pengetahuan yang sesungguhnya bukanlah dunia obyektif itu sendiri, namun realitas yang dimediasikan oleh praktek, melalui aktivitas material manusia. Kedua, sejauh mana praktek manusia itu sendiri merubah dan potensialitas kognitif subyek meningkat, kebenaran obyektif tidak muncul sebagai yang utuh, ide yang lengkap (pernyataan, teori, dll), namun sebagai sebuah proses dialektis perubahan dan perkembangan pengetahuan, yang merefleksikan dunia obyektif.
6. Kebenaran Relatif dan Kebenaran Absolut
Diskusi yang sedang berjalan ini mendorong kita untuk mengangkat problem mengenai hubungan diantara kebenaran relatif dan absolut. Apabila kebenaran obyektif itu eksis, lalu bagaimana hal itu bisa diketahui? Dapatkah gagasan manusia mengungkapkan kebenaran obyektif secara langsung, menyeluruh, bebas dan mutlak, atau hanya kira-kira dan relatif? Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa dalam epistemologi ilmiah, persoalan yang diangkat bukanlah pada eksistensi dari tiga bentuk kebenaran (obyektif, relatif dan absolut), namun lebih pada hubungan diantara yang absolut dan yang relatif dalam salah satu atau beberapa kebenaran obyektif yang sama. Doktrin dialektika materialis tentang hubungan diantara kebenaran absolut dan relatif, mempertautkan beberapa aspek pengetahuan sebagaimana kebenarannya dan kemampuan diubahnya. Bagi pemikiran metafisis kualitas yang demikian ini tidak sesuai.
Filsafat pra Marxian menempatkan kebenaran dari satu pijakan yang begitu dogmatis. Dogmatisme filosofis adalah sebuah penolakan terhadap segala elemen relativitas dalam kebenaran. Bagi pemikiran dogmatis, kebenaran yang sesungguhnya adalah yang absolut, kokoh, lengkap, dan baku. Sekali ditetapkan, kebenaran selanjutnya tak bisa diubah. Kebenaran dan kesalahan ditempatkan sebagaiyang bertentangan secara diametris, secara lengkap dipisahkan satu dengan yang lainnya. apabila dalam perkembangannya ketidaktepatan atau bahkan kesalahan ditemukan dalam pengetahuan, maka ahli metafisis menyatakan bahwa pengetahuan tersebut sesat dan tidak benar. Dogmatisme menghukum ilmu pengetahuan pada stagnasi dan biasanya membawa pada satu penolakan terhadap pengetahuan yang lebih jauh tentang dunia obyektif. Pada saat ini, perlakuan dogmatis terhadap kebenaran lebih bersifat khusus, misalnya pada berbagai doktrin idalis religius yang mengangkat pernyataan-pernyataan teologis ke dalam pengetahuan yang tak terbantahkan pada satu tatanan yang lebih tinggi daripada pengetahuan ilmiah.
Relativisme epistemolgis adalah pandangan sepihak yang metafisis. pemikiran relativis, mengabaikan momen stabilitas dalam pergerakan. Dalam teoripengetahuan, hal ini berarti bahwa mereka menolak setiap elemen absolut dalam kebenaran dan hanya mengenal kualitas relatifnya. Lebih jauh lagi mereka menginterpretasi karakter relatif dan fleksibel dari pengetahuan sebagai subyektivitasnya, yang mana berarti bahwa mereka menolak baik itu kebenaran obyektif maupun kebenaran absolut. Hal inilangsung membawanya pada agnostisisme. Suatu pendekatan relativis mendasari pandangan mengenai problem kebenaran yang diangkat oleh kaum positivis modern dan khususnya oleh kaum konvensionalis. Pemikiran konvensionalis ini memperhatikan setiap proposisi ilmiah dari hukum sebagai produk dari satu kesepakatan arbitrer diantara para ilmuwan, sehingga mencabut signifikansi ilmu pengetahuan obeyktif dan menunjukkan ketidakbenaran dari prinsip-prinsipnya.
Para pendukung dari pluralisme tersebut di muka, juga mengadopsi pijakan relativisme filosofis. Pluralisme dalam epistemologi mencakup ajaran subyektivis tentang multiplisitas kebenaran. Kaum pluralis menyatakan bahwa materialisme dan idealisme, ilmu pengetahuan dan agama, gagasan sosialis dan borjuis dsb, itu semua sama benarnya. Namun sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak memberikan jawaban yang berbeda secara fundamental pada salah satu maupun problem yang sama yang sudah dipecahkan. Hanya terdapat satu kebenaran ilmiah. Di saat yang sama, pandangan yang sesat dan salah dari satu problem partikular, bisa bervariasi secara meluas.
Berlawanan dengan dogmatisme dan relativisme, dialektika materialisme mengenal satu kesatuan dan pertentangan dari elemen-elemen relatif dan absolut dalam pengetahuan yang sesungguhnya. Lalu apa yang dimaksud dengan kebenaran relatif? Itu adalah pengetahuan yang secara tidak utuh dan hampir merefleksikan dunia obyektif. Pada setiap tahap praktek sosio-historis, pengetahuan manusia adalah relatif dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Namun relativitas kebenaran tidak hanya diterapkan pada pengetahuan manusia yang dikombinasikan dengan satu tahap khusus dalam perkembangan masyarakat, tapi juga sebuah kualitas dari setiap kebenaran obyektif yang dipertimbangkan secara terpisah --teori ilmiah, proposisi baku dsb. Dalam hal ini apa yang termasuk dalam relativitas kebenaran menjadi tidak akurat, dalam keterbatasan historis akan pengetahuan kita tentang fenomena spesifik, kenyataan, keterkaitan diantara fenomena dan kenyataan, dsb. Setiap kebenaran (mis., teori ilmiah partikular) adalah relatif dalam kerangka bahwa itu, pertama, tidak memberikan pengetahuan yang lengkap dan utuh pada area yang dipelajari oleh teori tsb. Yang kedua, kebenaran (dalam contoh kita, teori ilmiah) menggabungkan beberapa elemen pengetahuan (mis., konsep, proposisi dan hipotesa) yang akan diubah, diperkaya dan digantikan oleh sesuatu yang baru. Pada saat yang sama, kebenaran relatif, bukan kesalahan, memiliki kandungan obyektif pada satu perluasan tertentu menandakan satu keterkaitan diantara pikiran dan realitas. Oleh karenanya, kebenaran relatif juga memiliki sesuatu yang absolut.
Apakah yang dipahami oleh dialektika materialisme mengenai kebenaran absolut? Kadang-kadang terjadi bahwa kebenaran absolut ditempatkan sebagai pengetahuan yang lengkap, utuh secara menyeluruh ditempatkan bersama dengan obyek yang diperhatikan. Namun karena ruang dan waktunya tidak berbatas, dan secara konstan berkembang dan berubah, pengetahuan tentangnya tidak pernah lengkap. Sebuah konsepsi serupa mengenai alam absolut dari pengetahuan manusia oleh karenanya harus disingkirkan, dan kemudian bahwa kebenaran absolut harus didiskusikan dalam kerangka yang berbeda, seperti koinsidensi maksimal dari pengetahuan dengan obyek dalam beberapa bagian yang terbatas, seperti sebuah pengetahuan yang lengkap dari aspek dan keberadaan yang terpisah. Kemutlakkan dalam kebenaran adalah yang mana lahir dari praktik dan tidak dapat begitu saja dirubah di masa yang akan datang. Pengetahuan yang lama tidak seluruhnya disingkirkan dalam proses kognitif sepanjang perkembangannya, namun tercakup dalam beberapa bentuk atau lainnya berada dalam sistem pengetahuan yang baru. Inilah akumulasi yang berkelanjutan dari pengetahuan obyektif yang dihasilkan oleh konsep kebenaran absolut. Setiap kebenaran relatif mengandung satu elemen "bibit" dari kebenaran absolut. Pergerakan menuju kebenaran absolut diungkapkan dalam pertumbuhan pengetahuan. Menurut Lenin, "Pemikiran manusia.. secara alamiah mampu menghasilkan, dan membuat hasil, kebenaran absolut, yang mana keseluruhan kebenaran relatif terkandung di dalamnya. Setiap tahap dalam perkembangan ilmu pengetahuan menambahkan bibit-bibit baru pada keseluruhan kebenaran absolut, namun batas-batas kebenaran dari setiap proposisi ilmiah adalah relatif, yang meluas, menciut seiring dengan pertumbuhan pengetahuan V.I. Lenin, "Materialisme dan Kritisisme-Empiris", Kumpulan Tulisan, Vol. 14, p.135.
Sebagai contohnya, adalah bagaimana pengetahuan kita tentang elemen-elemen kimia dan keberadaannya disempurnakan. Konsepsi mengenai atom dan molekul ditetapkan dalam kimia pada pertengahan kedua abad ke 19. Konsepsi tentang atom mendasari penemuan hukum-hukum fundamental yang memperhatikan formasi substansi kompleks kimiawi dari berbagai elemen. Lebih dari 60 elemen kimiawi telah dipelajari, keberadaannya digambarkan, dan bobot atomisnya sedikit banyak secara tepat diukur. Pelopor dari pengetahuan kita tentang elemen-elemen kimiawi, secara luar biasa dikembangkan ketika seorang ilmuwan Rusia Dmitri Mendeleyev menemukan hukum periodik elemen-nya. Penemuan obyektifnya, kaitan yang teratur diantara elemen-elemen kimiawi memungkinkannya untuk memprediksi keberadaan dari beberapa elemen yang belum diketahui dan menggambarkan sifat-sifatnya dengan ketepatan yang luar biasa. Untuk menandakan elemen-elemen yang telah diprediksikannya, Mendeleyev menggunakan bahasa Sanskrit. Dia menggunakan awalan equa (satu) dan dvi (dua) untuk menamakan sebuah elemen yang belum diketahui dalam sistemnya, yang berada satu atau dua baris di bawah elemen yang diketahui dan harus dimiripkan. Dalam bukunya yang berjudul Natural System of Elements (1870) dia menandakan elemen-elemen yang diprediksikan dengan menggunakan garis bawah tebal. Equaboron menyerupai boron, equaaluminium menyerupai aluminium, equasilikon menyerupai silikon, dan dvimangaan menyerupai mangaan. Istilah modern untuk elemen-elemen tsb adalah scandium, gallium, germanium dan rhenium.
Penemuan Mendeleyev, seperti setiap kebenaran ilmiah, merupakan satu kesatuan dari yang relatif dan absolut dalam pengetahuan. "Bibit" dari kebenaran absolut adalah indikasinya tentang keterkaitan diantara sifat-sifat elemen dan bobot atomisnya, periodisitas dari sifat-sifatnya, eksistensi dari elemen-elemen yang belum diketahui,dsb. Pada saat yang sama, terdapat juga kebenaran relatifnya. Karena ada pengetahuan yang tidak memadai mengenai alasan-alasan untuk ketergantungan dari sifat-sifat elemen pada bobot atomisnya dan untuk periodisitas dari sifat-sifat elemen, sementara beberapa elemen kimiawi beserta isotop-isotopnya belumlah dipelajari.
Ilmu fisika dan kimia modern pada saat ini secara esensial telah memperdalam pengetahuan kita mengenai elemen-elemen kimiawi. Pemikiran untuk periodisitas elemen telah ditemukan. Tenaga nuklir yang lebih daripada bobot atomis merupakan parameter dasar dari sebuah atom. perputaran periodek untuk gambaran yang sama dalam sifat-sifat elemen berasal dari periodisitas dalam struktur kutub-kutub elektronik. Elemen-elemen Transuranik yang tidak ada dalam tabel Mendeleyev dan tidak ada secara alamiah di bumi, dihasilkan dalam kondisi laboratorium. Pada saat ini sudah diketahui 105 elemen. Pengetahuan kita mengenai dunai atomis terus berlanjut, sebagaimana seluruh bibit dari kebenaran absolut. Dan pergerakan menuju pengetahuan absolut ini adalah tanpa akhir, karena materi tidak terbatas, dan setiap tahap dari praktek sosio-historis terbatas. 

7. Tidak Ada Kebenaran Abstrak, Kebenaran selalu Konkret
Walaupun kebenaran obyektif, dengan kesatuannya yang terdiri dari aspek relatif dan absolut, adalah sebuah proses, hal itu juga sebuah hasil pemikiran yang konkret historis. Tidak ada kebenaran abstrak, kebenaran selalu konkret. Inilah tesis yang paling penting dari Marxisme-Leninisme. Apakah artinya?
Ini berarti bahwa di atas segalanya bahwa setiap pernyataan yang benar secara historis ditentukan. Pernyataan itu memiliki isis yang inheren, nyata dan konkret. Kebenaran hanya mempertahankan kualitasnya dalam kondisi yang ditetapkan di mana terdapat satu keterkaitan diantara pikiran dan realitas. Setiap kebenaran harus diperhatikan sebagai yang relatif pada kondisi yang spesifik. Dalam kondisi yang lain kebenaran bisa menajdi sebuah kesalahan.
Kenyataan konkret dari kebenaran berarti bahwa pengetahuan kita tentang obyek dan fenomena di luar dunia haruslah sebuah kesatuan dari multiformitas, lebih dari sebuah refleksi dari satu aspek darinya. Setiapobeyk dari realitas material memiliki seperangkat sifat-sifat dan keterkaitan obyek yang lain; lebih jauh lagi, hal tidak hanya memiliki kualitas umum namun juga memiliki kualitas uniknya.
Kualitas konkret dari kebenaran adalah kepentingan yang luar biasa dalam praktek perjuangan revolusioner. Sebagaimana yang diterapkan pada pemahaman tentang hukum-hukum yang mengatur transisi menuju sosialisme, kualitas konkret di sini merupakan pengetahuan tentang bagaiman yang umum diungkapkan dalam kekhususan dan bagaimana yang khusus itu sendiri memperdalam dan memperkaya dialektika kehidupan yang nyata. Konkretisitas kebenaran adalah sebuah kondisi yang teramat penting dalam pendekatan kreatif pada tindakan revolusioner. Hal ini ditekankan lagi dalam Dokumen Utama Pertemuan Internasional Partai Buruh dan Partai Komunis: "Setiap Partai, dibimbing oleh prinsip-prinsip Marxisme Leninisme dan disesuaikan dengan kondisi konkret nasional, yang sepenuh bebas mengelaborasi kebjakannya sendiri, menentukan arah, bentuk dan metode perjuangan, dan dengan bergantung atas situasi tersebut, memilih jalan damai atau kekerasan dalam transisi menuju sosialisme, dan juga bentuk-bentuk dan metode pembangunan sosialisme di negara masing-masing".
8. Praktek adalah Kriteria Kebenaran
Alam konkret dari kebenaran memberikan lebih banyak kenyataan dari perang yang menentukan dalam praktek sosio-historis. Praktek bukan hanya merupakan basis dari proses kognitif, namun juga kriteria yang menentukan dari pengetahuan yang sesungguhnya. Bagaimana kita memisahkan kebenaran dari kesalahan dalam pengetahuan kita? Sesungguhnya, "arus kebenaran bergerak melalui saluran-saluran kesalahannya". Para filsuf idealis mencari kriteria kebenaran hanya dalam lingkup ideal, di dalam kesadaran kita: di dalam kejernihan intuitif dari pikiran, dalam ketidak-kontradiktifannya, di dalam koordinasi dan makna umum dari proposisi dll. Namun tidak mungkin untuk menemukan kriteria (ukuran) kebenaran yang tepat di dalam pikiran atau perasaan itu sendiri. "secara intuitif jelas" dan terjadi, misalnya, bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi. Namun menurut doktrin Kopernikan, kebenaran ilmiah adalah berbeda, misalnya, bumi beserta planet lainnya berputar mengelilingi matahari. Hal ini telah dibuktikan melalui observasi astronomis dan eksperimen-eksperimen dalam fisika.
Tidak seperti idealisme, dialektika materialisme mengasumsikan bahwa persepsi, ide, pandangan, teori kita merupakan refleksi, bayangan dari yang menyimpang melalui praktek. "Manusia harus membuktikan kebenaran, misalnya realitas dan kekuasaan, keduniawian dari pemikirannya dalam praktek", demikian menurut Marx. "Perdebatan mengenai realitas dan non realitas dari pemikiran yang dipisahkan dari praktek adalah sebuah persoalan yang benar-benar skolastis!". Praktek adalah kriteria kebenaran karena hal itu yang mendasari pengetahuan tentang realitas dan karena hasil dari proses kognitif direalisasikan dalam aktivitas material, obyektif manusia. Praktek adalah satu-satunya kriteria obyektif dari kebenaran sejauh hal itu merepresentasikan bukan hanya mental manusia, namun juga keterkaitan manusia yang ada secara obyektif dengandunia alam dan sosial yang melingkupi diri manusia.
Dalam tindakanpraktisnya, manusia mempersiapkan tujuan-tujuan tertentu bagi dirinya sendiri yang mengungkapkan konsepsinya tentang realitas dan pengetahuannya. Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah dipersiapkannya, membuktikan kebenaran dari pengetahuan ini. Sebagai contohnya, penemuan dan penggunaan mesin uap dalam industri merupakan bukti praktis dari kebenaranobyektif dalam pengetahuan ilmiah sehubungan dengan hukum-hukum yang mengatur konversi panas menjadi gerakan mekanis. Bibit unggul dan varitas gandum yang baru, keberhasilan dalam rekayasa genetika dan prestasi medis dalam menangani penyakit keturunan --kesemuanya menegaskan validitas dari pengetahuan biologi modern mengenai hukum keturunan. Kemenangan sosialisme di Rusia, dalam praktek menegaskan bahwa Lenin benar adanya dalam menyimpulkan bahwa memungkinkan untuk mempengaruhi transisi menuju sosialisme di satu negara di bawah kondisi meningkatnya kesenjangan ekonomi dan perkembangan politik kapitalisme pada tahap monopoli.
Sementara kita memahami arti penting dari praktek sebagai kriteria kebenaran, kita pun harus memahami kekontradiktifannya; kriteria ini absolut dan relatif. Kriteria ini absolut sejauh tidak terdapat kriteria lain yang mana dapat menetapkan kebenaran ataupun kesalahan dari hasil-hasil pemikiran manusia. Kriteria ini juga absolut karena praktek dapat membuktikan kebenaran absolut. Ketika pengetahuan dilahirkan melalui praktek adalah benar bukan hanya secara obyektif, namun dalam batas-batas tertentu juga secara absolut, dan tidak mengikuti perubahan yang ada dalam batas-batas ini. Pada saat yang bersamaan, kriteria ini juga relatif. Hal ini diungkapkan, pertama-tama, yaitu dalam satu tindakan praktek yang partikular, terisolasi, jelas tidak memadai untuk membuktikan secara tepat kebenaran maupun ketidak benaran dari sebagain pengetahuan yang partikular. Yang kedua, praktek dibatasi oleh tahap perkembangan historis yang spesifik dari sarana-sarana industrial, teknis dan eksperimental untuk mempengaruhi obyek pada satu titik dalam waktu. Aktivitas manusia secara berkelanjutan berkembang dalam segala bentuknya. Oleh karenanya praktek, sebagai kriteria kebenaran, harus dipertimbangkan, sebagaimana proses kognisi sebagai satu keseluruhan, dalam satu latar sejarah --sehubungan dengan tingkat produksi tertentu, eksperimentasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan sehubungan dengan hubungan sosial dan tindakan sosial manusia yang relevan.
Keberlanjutan perkembangan praktek mencegah pengetahuan kita berubah menjadi dogma yang baku dan kaku. Pada saat yang sama, kenyataan absolut dari praktek sebagai kriteria kebenaran memungkinkannya untuk membedakan pengetahuan yang benar secara obyektif, dari penyimpangan, kesalahan dan fantasi tanpa dasar.
Selanjutnya, kita dapat mulai mempelajari dialektika proses kognisi.


Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas