Selasa, 01 Mei 2012

Agama, Filsafat dan Ilmu

                 Agama, Filsafat dan Ilmu

                  Dalam Tahshîl al-sa'âfidah AI-Fârâbi dengan jelas menyatakan
                  pandangannya tentang sifat agama dan filsafat serta hubungan
                  antara keduanya:
                    Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau
                    memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri
                    gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan
                    pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan
                    demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari
                    pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi jika
                    gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat
                    kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan
                    pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka
                    disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang
                    terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk
                    pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika
                    pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan
                    metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat
                    mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum,
                    dan bersifat eksternal.
                  Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan
                  bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik
                  agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama.
                  Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama
                  melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi
                  Prinsip Pertama dan esensi dari prinsip-prinsip kedua
             
   nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang
                  diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan
                  puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî,
                  filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual.
                  Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi.
                  Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama
                  memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya.
                  Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan
                  citra dan lambang telah dijelaskan sebelumnya. Sifat dari
                  citra dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan lebih
                  lanjut. Menurut Al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran
                  transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau
                  dari ruang lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh,
                  pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna, seperti
                  Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit dilambangkan
                  dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah
                  dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari
                  melambangkan Tuhan, bulan melambangkan nabi, dan bintang
                  melambangkan sahabat nabi.
                  Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap
                  hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi kehormatannya
                  memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki
                  wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan
                  mengurus alam semesta. Karya-karya seni dan pertukangan
                  manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan
                  prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami.
                  Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut
                  Al-Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan
                  merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni.
                  Secara umum, menurut Al-Fârâbî, agama berusaha membawa
                  tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan
                  esensi mereka.
                  Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama
                  (millah) dan filsafat (falsafah) umumnya diidentifikasi dengan
                  mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di
                  dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini
                  diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat agama
                  Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya.
                  Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui
                  perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu
                  Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam kerangka
                  perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian:
                  kebenaran atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh
                  pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan yang
                  bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi
                  di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.
                  Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua
                  pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak
                  dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami
                  sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang
                  dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai
                  tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari
                  perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah
                  yang digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari
                  filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak
                  Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras tidak dengan
                  tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi
                  eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka
                  menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat
                  karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi
                  ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau
                  perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu.
                  Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi
                  dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas
                  religius ini.
                  Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya
                  berpendapat ada dua jenis filsafat. Jenis pertama, filsafat
                  yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan
                  eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat
                  tersebut dan kalâm, khususnya penjelasan dalam Ihshâ'
                  al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm
                  sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua,
                  filsafat esoterik yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu
                  filsafat yang hanya diperkenalkan pada mereka yang telah siap
                  secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat digambarkan
                  sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode
                  demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-yaqînî), suatu
                  metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan
                  putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat
                  adalah sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama
                  (millah), karena millah didasarkan atas metode persuasif
                  (al-iqnâ').
                  Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran
                  abadi atau kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak pada jantung
                  setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia
                  perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif
                  dijelaskan dalam abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai
                  beberapa tokoh kuno pemilik kebijaksanaan tradisional ini.
                  Al-Fârâbî menulis:
                    Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang
                    Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir,
                    dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan
                    di situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan
                    selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang terkandung
                    dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian
                    Syria, dan akhirnya Arab.
                  Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan
                  tentang kebenaran abadi ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus
                  kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut perolehan pengetahuan
                  seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah
                  pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir
                  ini adalah tidak lain pencarian dan kecintaan pada
                  kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-orang Yunani
                  juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan ini
                  memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini,
                  filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk
                  dari segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan
                  seni dari segala seni. Maksud mereka sebenarnya, tutur
                  Al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala kesenian,
                  kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan
                  kebijaksanaan yang memanfaatkan segala kebijaksanaan.
                  Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut:
                  sementara esensi dari kebijaksanaan abadi ini satu dan sama
                  dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model
                  pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi,
                  Al-Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini
                  dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut
                  filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles,
                  khususnya lagi Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk
                  pengungkapan dan penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini,
                  berupa pengungkapan dialektis atau logis. Pengetahuan tentang
                  bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui orang-orang
                  Kristen Syria.
                  Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan
                  kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi
                  tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap
                  eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber
                  dari setiap kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî
                  menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada pengetahuan
                  metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta
                  ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang
                  didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena
                  itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu
                  matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu
                  tentang masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-agama oleh
                  Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang
                  sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang
                  dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau
                  tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis
                  menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk
                  menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama
                  berbeda itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran
                  intelektual dan spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak
                  penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian,
                  terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran
                  filosofis, karena pengetahuan filosofis tentang realitas
                  sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan
                  masyarakat.
                  Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan
                  relatif satu lambang religius atas lambang lainnya, dalam
                  pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai
                  dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang
                  hendak disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang
                  yang dipakai dalam agama lainnya. renting dicatat, Al-Farabi
                  diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia
                  berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius
                  agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan.
                  Tulisnya:
                    Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam
                    keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka
                    lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang
                    baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada
                    kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal,
                    butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak
                    dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang
                    mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir
                    pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah
                    memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.
                  Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan
                  Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu
                  dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada
                  dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti
                  dikemukakan sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang
                  menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu
                  religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu
                  filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius
                  yang muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu
                  eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara
                  teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan
                  politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan mitra
                  filosofisnya.





Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas