Jumat, 04 Mei 2012

MENATAP MASA DEPAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


MENATAP MASA DEPAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A.    PENDAHULUAN
Seorang pakar pendidikan islam  Khursyid Ahmad, berujar bahwa : melalui pendidikan manusia ditanami dan dengannya masa depan dibangun.
Pendidikan islam di Indonesia dapat didefinisikan sebagai upaya memberikan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat masyarakat Islam di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai Lembaga pendidikan mulai  dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi atau Universitas.[1]
Dalam pelaksanaan fungsinya, yaitu mensosialisasikan ajaran Islam, pendidikan islam selalu dihadapkan kepada berbagai tantangan.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam di Indonesia yang telah berlangsung selama lebih kurang empat belas abad telah mengajarkan kepada kita tentang adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang terus bertahan dan berkembang hingga saat ini dan ada pula lembaga-lembaga pendidikan Islam yang di masa lalu mencatat kemajuan dan kejayaan namun pada perkembangan selanjutnya di masa sekarang sudah tidak terdengar lagi dan ditinggalkan masyarakat.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya keadaan lembaga pendidikan Islam yang demikian itu terletak pada sejauh mana lembaga-lembaga pendidikan islam tersebut dapat mengatasi tantangan pada masanya dan merebaknya menjadi peluang.

Pemahaman yang komprehensif dan tuntas terhadap tantangan pendidikan islam yang terjadi di Indonesia, baik pada masa islam pertama kali datang ke Indonesia masa penjajahan Belanda, masa orde lama dan orde baru serta masa era informasi dan reformasi adalah penting dilakukan baik oleh praktisi perancang maupun pemikir bidang pendidikan. Alasan utamanya adalah karena sebuah konsep pendidikan harus dirumuskan, dirancang dan didesain sesuai dengan tantangan dan keadaan di mana pendidikan Islam itu dilaksanakan.
Pendidikan adalah kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Keadaannya selalu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan corak, sifat dan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tersebut[2], seluruh atas dasar ini, disepakati oleh akte pendidikan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat  atau negara tidak dapat diimpor atau di ekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. Ia harus timbul dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah pakaian yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya berdasarkan identitas, pandangan hidup serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.[3]

B.     Pembahasan
Sekurang-sekurangnya terdapat dua hal yang relevan untuk dibahas dalam makalah ini.
Pertama : sikap dalam menghadapi tantangan pada umumnya, kedua : tantangan yang dihadapi pendidikan islam di Indonesia dan upaya-upaya mengatasinya.
  1. Sikap islam dalam menghadapi tantangan pada umumnya dan pengaruhnya terhadap pendidikan.
Dari sejak kelahirannya, empat belas abad yang lalu, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW selalu terlibat dalam memecahkan berbagai tantangan dan merebaknya menjadi peluang. Upaya ini dilakukan atas dasar alasan sebagai berikut :
Pertama : Islam mengajarkan bahwa di dalam setiap tantangan (kesulitan) terdapat kemudahan (peluang), Q.S Alam Nasyrah, 94 ayat 6, 7, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan ) kerjakanlah dengan sesungguh-sungguhnya (urusan) yang lain. Orang-orang yang sering menghadapi tantangan dan merabahnya menjadi peluang itulah orang yang memperoleh keberuntungan berupa pengalaman ilmu dan keberkahan.
Kedua, Islam mengajarkan tentang perlunya sikap berbaik sangkat (positif thingking) terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, sesuatu perbuatan yang tampaknya berat dan menyakitkan, harus diyakini bahwa di dalamnya terdapat kebaikan-kebaikan bagi orang yang menghadapinya dengan jiwa yang positif. Karena tidak mungkin Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menyesengsarakan  makhluknya. Atas dasar inilah maka tantangan yang kelihatannya berat dan menyakitkan, jika disikapi secara positif ia akan memberikan kebaikan bagi dirinya.
Ketiga, Islam mengajarkan kepada penganutnya agar menjelajahi bumi (rihlah ilmiati) dalam upaya belajar dan mengambil hikmah dari perjalan umat atau peristiwa di masa lalu. Islam mengajarkan kepada ummatnya agar memperhatikan pengalaman orang-orang masa lalu sebagai tercatat dalam sejarah. Sejarah adalah cermin masa lalu untuk dijadikan pedoman bagi masa kini dan mendatang. Dari sejarah orang dapat mengambil ibarat dan memperoleh keteladanan, dan mengenal siapa dirinya. Lebih dari itu, bagi kaum Muslimin, sejarah dapat menjadi alat untuk memahami secara lebih tepat sumber-sumber Islam, khususnya al-Qur'an dan Hadis.[4] Dan dengan mempelajari sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Islam dapat diketahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran, terang benderang dan gelap gulitanya pendidikan Islam.
Keempat,  bahwa kata Islam yang berasal dari bahasa Arab, aslama tidak hanya berarti kedamaian, keselamatan, dan berserah diri kepada Allah, tetapi juga berarti berbuat kebajikan.[5] Dengan pengertian ini, maka keberadaan Islam harus dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh ummat manusia sebagai sebuah rahmat yang memberikan pemecahan terhadap permasalahan yang dihadapi.
Kelima, Nabi Muhammad SAW selaku pembawa ajaran Islam telah dinyatakan sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, dengan strategi utama diletakkan pada perbaikan akhlak masyarakat menjadi akhlak yang mulia.
Berdasarkan pada lima alasan tersebut di atas, maka sejak awal kelahirannya Islam telah terlibat ke dalam pemecahan terhadap berbagai tantangan melalui kegiatan pendidikan. Tantangan tersebut demikian berat, kompleks dan multi dimensional. Muhammad bin Abdullah diutus Allah sebagai Nabi dan Rasul tepat dalam keadan dunia laksana suatu bangunan yang sedang digoncang hebat sekali oleh gempa, sehingga semua isinya berantakan tidak berada di tempat semestinya. Ada sebagian dari tiang-tiang dan perkakasnya yang rusak dan hancur, ada yang miring dan bengkok, ada yang bergeser dari tempatnya semula pindah ke tempat lain yang tidak pantas, ada juga yang bertumpang tindih saling bertumpuk.10 Suasana kehidupan keagamaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain sebagainya yang dihadapi Nabi Muhammad pada waktu itu berada dalam keadaan chaos. Kehidupan keagamaan manusia terjerumus ke dalam perbuatan syirik, bid'ah, khurafat dan takhayyul yang berakibat pada penurunan martabat manusia, dan penjajahan manusia atas manusia lain. Kehidupan politik berada dalam kekuasaan pemerintah dan raja-raja yang diktator, otoriter, absolut dan dzalim. Keadaan ekonomi berada dalam suasana menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan, monopoli, penipuan, kapitalistik dan perbuatan licik lainnya yang berakibat pada terjadinya kesenjangan antara kaum yang kaya dengan kaum yang miskin. Sedangkan keadaan sosial ditandai oleh kehidupan yang didasarkan pada diskriminasi warna kulit, suku, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Selanjutnya dalam bidang kebudayaan suasananya ditandai oleh kebudayaan yang bercorak hedonistik, materialistik dan memuja hawa nafsu. Dan dalam bidang pendidikan ditandai oleh tidak adanya pemerataafTnak-dair kesempatan dalam memperoleh pendidikan.
Agenda utama perjuangan Nabi Muhammad SAW adalah beru-paya mengatasi tantangan yang terkait dengan bidang keagamaan, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan tersebut. Itulah sebabnya kita melihat adanya ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad yang berisikan respon terhadap berbagai masalah tersebut di atas. Dengan kata lain, kehadiran pendidikan Islam dari sejak awal berada dalam ruang yang penuh tantangan.
Melalui kegiatan pendidikan Islam berupaya memilah dan memilih warisan masa lalu yang masih relevan, sambil menambahkan dan menciptakan hal-hal yang baru sesuai dengan tuntutan zaman. Kota Mekkah dan Madinah tempat dimana buat pertama kali Islam berkembang adalah kota yang banyak mengandung tantangan dan masalah.
Tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad di Mekkah antara lain berkaitan dengan sikap keagamaan yang musyrik, sikap politik yang diktator, otoriter, absolut dan dzalim, sikap ekonomi yang materialistik. Kota Mekkah yang oleh para pedagang Hijaz dijadikan pusat perdagangan mereka telah mendorong orang-orang Mekkah menjadikan materi sebagai satu-satunya ukuran hidup dan status sosial. Jalan-jalan yang menghubungkan kota itu diletakkan di bawah pengawasan mereka. Demikian halnya sebelum datangnya Islam, sedang hebat-hebatnya peperangan antara Persi dan Romawi, pedagang-pedagang Mekkah telah mencapai kemajuan yang sangat pesat di bidang perdagangan.
              Posisi Mekkah sebagai kota perdagangan ini telah menyulut polemik mendalam antara William Montgomery Watt dengan Patricia Crone12 yang berkisar pada teori kemunculan dan kebangkitan Islam dalam hubungannya dengan posisi Mekkah sebagai kota perdagangan sebagai faktor utamanya. Menurut Watt, bahwa perdagangan Mekkah merupakan faktor yang sangat penting dan dominan dalam kemunculan dan kebangkitan Islam. Sedangan Patricia Crone menolak teori tersebut, dengan mengatakan bahwa perdagangan Mekkah bukan merupakan faktor penting untuk menjelaskan secara meyakinkan kemunculan dan kebangkitan Islam di Arabia. Menurutnya, perdagangan Mekkah, kalaupun ada itu hanya bersifat lokal dan sedikitpun tak ada yang istimewa. Menurut Cron, bahwa tidaklah diragukan bahwa terdapat rasa persatuan dan kesatuan yang kuat dalam tatanan kultur dan struktur kehidupan masyarakat di Arabia yang didasarkan pada ikatan etnis dan kultural, bukan pada ikatan ekonomis.13 Namun terlepas dari polemik tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa Mekkah adalah kota perdagangan. Sedangkan hubungannya dengan teori kebangkitan Islam di Saudi Arabia itu soal lain. Yang pasti keadaan tersebut telah memberikan tantangan kepada Nabi Muhammad dan sekaligus mencarikan cara pemecahannya secara tepat. Adanya orang Quraisy dalam hubungannya dengan perdagangan di Mekkah juga dapat ditambahkan di sini. Dalam Kamus Lisan al-Arab misalnya dikatakan bahwa suku ini dinamai suku Quraisy, karena mereka berpencaharian dagang, bukan dari pengusaha peternakan atau bercocok tanam. Quraisy dari perkataan Qarasya yang berarti mengumpulkan[6].
Selanjutnya, tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad SAW ketika terdapat di Madinah berbeda dengan tantangan yang berada di Makkah. Di Madinah Nabi Muhammad menghadapi suku bangsa, agama, warna kulit, dan kebudayaan yang beraneka ragama sebagai warisan masa lalu.
Namun demikian di balik tantangan-tantangan tersebut, Nabi Muhammad juga menjumpai potensi dasar yang dimiliki bangsa Arab tersebut, antara lain kecakapan mereka dalam menghafal sya'ir, keberanian dalam berperang, solidaritas kelompok, kepandaian mereka dalam berniaga, serta kebiasaan mereka untuk melakukan perjalanan jauh.
Tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad ketika di Mekkah menyebabkan Nabi Muhammad melakukan pembinaan keimanan, ketakwaan dan akhlak terlebih dahulu, serta mengambil langkah mundur sementara sambil menghimpun kekuatan melalui hijrah ke Madinah. Sedangkan tantangan yang dihadapi Nabi Muhammad di Madinah, diatasi dengan cara terlebih dahulu mempersatukan segenap potensj/melalui apa yang dikenal sebagai Perjanjian Madinah.
Selanjutnya ketika Islam meluas ke berbagai wilayah di luar Jazirah Arabia, ummat Islam di samping menghadapi tantangan tentang perlunya sumber daya manusia yang akan bertugas membangun wilayah tersebut, ummat Islam juga memanfaatkan berbagai warisan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya yang telah ditinggalkan bangsa sebelumnya di daearah tersebut. Daerah Syam misalnya, sebelum dikuasai oleh Islam, telah menjadi daerah pengaruh Romawi baik politik maupun budaya, kebanyakan penduduknya beragama Nasrani. Sewaktu daerah ini masuk ke pemerintahan Islam telah banyak mewarisi kebudayaan bangsa-bangsa yang pernah menguasainya. Demikian pula Mesir, pernah menjadi pusat kebudayaan purba dan pewaris kebudayaan Mesir, Yunani dan Romawi. Kota Iskandariah merupakan tempat pertemuan aliran-aliran filsafat dengan faham keagamaan, dan sebagai tempat pertemuan pendapat yang datang dari Timur dan Barat. Waktu itu Mesir selain didiami oleh penduduk aslinya juga oleh orang Yahudi dan Romawi. Contoh berikutnya Irak. Daerah ini adalah yang tertua dalam budaya dan kemakmuran, sejak 30 abad sebelum Isa telah banyak bangsa-bangsa yang berbudaya datang ke negeri ini: Babilon, Asyuria, Kaldan, Persi dan Kemudian Yunani. Bangsa-bangsa tersebut di atas mendirikan kerajaan di Irak yang mempunyai corak sendiri-sendiri, dan kebudayaan mereka bagaikan menara yang menerangi daerah-daerah sekelilingnya.
Warisan budaya yang ditinggalkan daerah-daerah tersebut telah dilihat, dianalisa dan dikaji oleh ummat Islam sesuai dengan anjuran al-Qur'an dan Hadis sebagaimana telah disinggung di atas. Warisan kebudayaan Yunani dalam bidang Ilmu pengetahuan dan filsafat, Cina dalam bidang alat-alat tulis, Romawi dalam bidang militer, Persia dalam bidang peralatan rumah tangga, India dalam bidang obat-obatan dan sebagainya telah dikaji secara dialektis berdasarkan semangat al-Qur-'an, yang kemudian menghasilkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum, kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Di kalangan ummat Islam telah lahir bukan saja sarjana yang menguasai ilmu agama seperti tafsir, hadis, fiqih, ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, melainkan juga para sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan umum seperti kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi dan lain-lain.18 Kemajuan yang dicapai dunia Islam ini pada gilirannya telah memberikan pengaruh bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa sarjana Eropa dan Barat yang jujur banyak memberikan pernyataan yang tulus bahwa kemajuan Eropa dan Barat adalah berkat kemajuan yang dicapai oleh dunia Islam. Berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam sebagaimana tersebut di atas dilakukan melalui kegiatan pendidikan yang disesuaikan dengan tantangan di mana pendidikan itu diselenggarakan. Pendidikan Islam yang diselenggarakan pada masa itu haru ditujukan untuk menjawab tantangan kebutuhan masyarakat terhadap ajaran Islam, tenaga penyiar Islam, tenaga pelaksana (pegawai) pemerintahan, dan menyalur berbagai aliran keagamaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Pada masa awal pendidikan Islam telah memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pemahaman al-Qur'an, keterampilan membaca dan menulis. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka dilaksanakan pendidikan di masjid dan kuttab. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah pula memenuhi kebutuhan masyarakat akan ilmu agama yang bermacam-macam serta ilmu pengetahuan umum. Sebagai misal, Dar al-Hikmah lebih merujuk kepada pola pendidikan failasuf dan pengikut syi'ah, al-Zawiyah dan al-Ribat adalah khas sufi, sedangkan madrasah, pada awalnya merupakan lembaga pendidikan yang didukung ulama fiqih dan hadis.[7] Khusus tentang madrasah Nidzamiah didirikan untuk menjawab tiga tantangan yaitu, Pertama, untuk berfungsi sebagai tempat menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran syi'ah. Kedua, untuk menyediakan guru-guru Suni yang cakap untuk mengajarkan mazhab sunni dan menyebarkannya ke tempat-tempat yang lain, dan ketiga untuk membentuk kelompok pekerja sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan, khususnya madrasah juga muncul untuk menjawab tantangan kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, banyak ilmu yang tidak bisa lagi sepenuhnya diajarkan di masjid. Dalam kaitan ini Ahmad Syalabi menyatakan bahwa ilmu berkembang dengan berkembangnya zaman. Pengetahuanpun lebih maju lagi yang pada gilirannya membutuhkan tempat untuk mengajarkannya secara lebih khusus berupa madrasah. Berdirinya madrasah juga dapat dikatakan sebagai konsekwensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah tempat ibadah. Untuk tidak mengganggu ketenteraman dalam beribadah di masjid, maka kegiatan pendidikan dibuatkan tempat khusus yang dikenal dengan madrasah.
Selain, masjid, suffah, zawiyah, kuttab dan madrasah terdapat pula lembaga pendidikan yang bernama Manazil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Muntadiyat, al-Hawanit, Halaqat al-Dzikr, Maristan (tempat penyembuhan dan pengobajan pada zaman keemasan Islam), al-Qushr (istana), dan al-maktabat (perpustakaan). Munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang beraneka ragam ini adalah karena perbedaan tantangan yang dihadapi pada masa itu. Namun yang paling menonjol adalah tantangan dalam bidang politik dan pemikiran. Pendidikan Islam dalam perjalanannya, sangat dipengaruhi oleh dua arus pergumulan, yaitu bidang politik dan pemikiran yang saling berkaitan. Terutama sejak awal abad ke-3 Hijrah terdapat pertentangan antar pemikiran dalam Islam semakin tajam.[8]
Demikian pula perkembangan pendidikan Islam pada abad pertengahan, khususnya dalam bidang kurikulum dan metodologi pengajarannya amat dipengaruhi oleh zaman tersebut. Sejarah mencatat, bahwa pada abad pertengahan keadaan ummat Islam amat memperhatikan segi pengetahuan agama, dan taklid. Hal ini menyebabkan kurikulum pendidikan Islam di abad pertengahan diisi oleh ilmu agama saja dengan metode hafalan yang cenderung membuat siswa pasif dan menerima apa adanya.
Dari uraian tersebut di atas, tampak jelas bahwa munculnya berbagai lembaga pendidikan berikut komponen yang ada di dalamnya seperti tujuan, kurikulum, proses belajar mengajarnya, manajemen pengelolaan, pendanaan dan lain sebagainya adalah merupakan jawaban terhadap berbagai tantangan yang dihadapi pada masanya. Dengan demikian, lembaga pendidikan adalah merupakan anak suatu zaman. Uraian tersebut di atas, juga mem peri ihatkan bahwa dari sejak kelahirannya, ajaran Islam amat erat hubungannya dengan pendidikan. Hubungan tersebut nampak bersifat simbiotik. Yaitu dari satu segi lembaga-lembaga pendidikan Islam muncul sebagai jawaban atas tantangan_tentang perlunya menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat yang beraneka ragam, dan dari sisi lain perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada gilirannya amat mempengaruhi corak pendidikan. Dan dalam sisi yang kedua inilah, corak pendidikan di suatu daerah dengan daerah lain amat berbeda-beda.

2.    Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Indonesia
Dinamika, corak, sifat dan kecenderungan pendidikan Islam di Indonesia yang sudah berlangsung sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga kini menunjukan keadaan yang amat bervariatif. Hal yang demikian terjadi karena tantangan dan peluang yang dihadapi pendidikan Islam tersebut mengalami perbedaan antara satu masa dengan masa yang lain.
Tantangan dan peluang pendidikan Islam pada masa awal kedatangan Islam, berkisar antara lain pada upaya menghadapi kuatnya pengaruh agama Hindu yang datang sebelumnya ke Indonesia, agama lokal (animisme, dinamisme dan politisme), raja-raja Hindu, serta corak ajaran Islam yang tradisional.
Tantangan yang demikian itu menyebabkan para muballigh/pendidik melakukan peng-Islaman secara bertahap dan menempuh jalan damai, khususnya dalam menglslamkan masyarakat wilayah Indonesia bagian pedalaman. Berbagai saluran untuk meng­lslamkan masyarakat seperti perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan politik digunakan. Melalui saluran politik misalnya, umat Islam berhasil menumbangkan kerajaan-kerajaan Hindu dan menggantikannya dengan kerajaan-kerajaan Iskam, seperti Kerajaan Samudera Pasai (abad ke-13 M), Kerajaan Islam Aceh Darussalam (abad ke-15 M.), Kerajaan Islam Demak (abad ke-16 M.), Kerajaan Islam Pajang (sebagai pelanjut kerajaan Demak), Kerajaan Islam Mataram (abad ke-16 M), Kerajaan Islam Cirebon (abad ke-16 M.) Kesultanan Banten (abad ke-16 M.) dan Kerajaan Islam Banjar di Kalimantan Selatan (abad ke-16 M.).
Selanjutnya untuk menghadapi tantangan sisa-sisa faham agama Hindu dan faham agama lokal, pendidikan Islam buat sementara waktu terpaksa bersikap akomodatif dan bertahap. Akibat dari pendekatan yang demikian itu, maka corak ajaran Islam yang ada di Indonesia pada waktu itu menampilkan corak Islam santri, abangan dan priyayi, walaupun secara konseptual tidak selalu sahih untuk menjelaskan kehidupan agama dan budaya masyarakat Jawa.[9]
Adapun untuk menghadapi tantangan corak ajaran Islam yang tradisional dan kehilangan vitalitasnya, pendidikan Islam tampaknya tidak merasakannya sebagai beban. Karena dunia Islam pada waktu itu berada dalam suasana taklid yakni mengikuti saja apa yang dikemukakan para ulama terdahulu. Selain itu Islam yang diajarkan bercorak fiqih dan tasawuf-pun tampaknya tidak menjadi kendala, karena masyarakat di Indonesia pada waktu itu masih bercorak agraris dan belum tersentuh pengaruh modernisasi. [10]
   Dalam keadaan demikian itulah maka pelaksanaan pendidikan Islam dalam berbagai aspeknya dilakukan secara tradisional. Tujuan pendidikan Islam pada waktu itu hanya diarahkan pada upaya menghasilkan ulama ahli agama Islam; metode pengajaran bersifat hafalan dan berpusat pada perintah guru; manajemen pengelolaannya bersifat kekeluargaan; kurikulumnya bermuatan mata pelajaran agama; buku-buku yang digunakan karangan ulama lokal, dan lembaga-lembaga pendidikan yang digunakanpun masih sederhana seperti mesjid, langgar, tajug, surau, meunasah, rangkang dan rumah guru ngaji.
Selanjutnya tantangan pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda muncul sebagai akibat dari kebijakan pemerintah Belanda yang menerapkan pendidikan yang bersifat diskriminatif yang didasarkan pada ras dan agama, dikhotomis, sekularistis dan menciptakan mental budak.
Diskriminasi pendidikan Belanda itu terlihat jelas pada klasifikasi sekolah-sekolah yang didirikannya. Pada tingkat dasar pemerintah Belanda membuka sekolah yang dibedakan menurut ras dan keturunan, seperti sekolah untuk orang Eropa (Europeesce Legere School), untuk orang keturunan Cina dan Asia Timur (Hollandsc Chinese School), untuk orang-orang Bumiputera dari kalangan ningrat (Hollandsch Inlandsche School), dan sekolah untuk orang pribumi pada umumnya (Inlandsche School).[11]
Diskriminasi Selanjutnya terlihat pada perbedaan mutu pendidikan yang diberikan kepada orang pribumi pada umumnya. Ki Hajar Dewantara misalnya mengatakan bahwa pengajaran pada zaman itu tidak dapat memberikan kepuasan pada rakyat kita. Pengajaran Gubernemen yang seolah-olah dijadikan contoh dan umumnya dianggap sebagai usaha untuk menjunjung derajat kita, ternyata tidak dapat memberikan kehidupan pada kita. Pada saat itu nasib kita semata-mata hanya untuk memberi manfaat kepada bangsa lain.[12]
Penyelenggaraan pendidikan yang diskriminatif dan merusak mental masyarakat itu juga terlihat pada sikap pemerintah Belanda yang tidak memberikan perhatian kepada masyarakat Islam sama sekali. Hal ini pada gilirannya menimbulkan pertanyaan dari kalangan penyelenggara pendidikan agama di pesantren. Untuk ini pemerintah Belanda berargumentasi dengan dalih untuk menjaga netralitas pendidikan dari pengaruh agama apapun sebagaimana secara formal tertuang dalam Konstitusi Belanda tahun 1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Akan tetapi klaim tersebut dusta belaka, karena pada saat yang sama pemerintah Belanda membangun sekolah tinggi Kristen.[13]
Di samping itu, pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan Staatsblad No. 550 yang disebut Ordonansi Guru Agama yang pada intinya membatasi jumlah guru agama yang beragama Islam dengan mengharuskan mereka mendapatkan ijazah dari pemerintah melalui Bupati (bagi mereka yang tinggal di Jawa dan Madura) atau melalui pejabat pemerintah yang lain (bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah lain). Di samping itu, peraturan baru tersebut mengharuskan siswa dari luar daerah untuk melaporkan identitas mereka kepada Bupati sebelum mereka memulai program studinya. Ordonansi guru ini dinilai ummat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam di Indonesia.
Selanjutnya corak dikhotomis pendidikan Belanda terlihat pada kebijakan yang memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Pendidikan agama diselenggarakan di pesantren-pesantren yang dikelola oleh ummat Islam. Sedangkan pendidikan umum dikelola oleh pemerintah Belanda.
Pendidikan umum yang dikelola pemerintah Belanda itu bersifat sekularistis. Pemerintah Belanda melalui lembaga pendidikan yang diciptakannya berupaya mengabaikan nilai-nilai dan adat istiadat lokal, dan menggantinya dengan adat-istiadat Eropa yang sekularistik. Usul C. Snouck Hurgronye untuk mengganti hari Jum'at dengan hari Minggu sebagai hari lubur sekolah misalnya, merupakan salah satu contoh dari upaya semacam itu. Upaya westernisasi dan sekularisasi yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia juga terlihat pada pendidikan yang diberikan kepada kalangan bangsawan. Snouck Hurgronye mendambakan kesatuan Indonesia dengan Belanda dalam suatu ikatan yang disebut Pax Neederlandica. Oleh karena itu, dalam lembaga pendidikan Belanda tersebut, bangsa Indonesia harus dituntun untuk dapat bersosialisasi dengan kebudayaan Belanda. Namun gagasan Pax Neederlandica ini tidak tercapai, bahkan justru lulusan-lulusannya menjadi orang-orang yang sangat gigih memperj-uangkan kemerdekaan.
Selanjutnya missi pendidikan Belanda yang ditujukan untuk membentuk mental budak antara lain terlihat dari missi pendidikan yang dirumuskan, yaitu menghasilkan l)orang-orang yang tidak mempunyai jiwa merdeka, 2)orang-orang yang telah mulai menunjukkan sifat-sifat individualistis dan kehilangan perasaan kemasyarakatan dan kekeluargaannya; 3)orang-orang yang mempunyai pengetahuan tanpa disertai kecakapan-kecakapan praktis dan sikap susila; 4)orang-orang yang mempunyai sikap pasif pada umumnya dan tidak memiliki inisiatif dan menyerah pada keadaan. Sebagai akibat dari kebijakan ini, maka timbulah sikap verbalisme dan intelektualisme, hanya mementingkan bahan pelajaran belaka, tidak melatih anak berfikir melalui analisa dan sintesa sehingga mereka menjadi tidak kritis dan tidak kreatif.
Dalam menghadapi tantangan yang demikian itu di kalangan ummat Islam timbul tiga kelompok sebagai berikut
Pertama, kelompok yang mengisolasi diri dan menentang kebijakan pemerintah Belanda, sambil terus mengobarkan semangat anti penjajah dan mengusirnya lewat konsep Perang Suci (Jihad fi Sabilillati) dengan menjadikan pesantren sebagai basisnya dan pengajaran agama Islam sebagai dasarnya. Terhadap sikap yang dilakukan kalangan Islam tradisional ini, pemerintah Belanda semakin memberikan tekanan dan pengawasan yang ketat.
Kedua, sikap yang mengimbangi kemajuan yang dicapai oleh pemerintah Belanda dengan cara memodernisasikan lembaga pendidikan tradisional (pesantren khususnya) menjadi madrasah. Modernisasi ini sebagiannya mengambil model pendidikan Belanda, dan sebagiannya dipengaruhi semangat modernisme yang sedang berkembang di Timur Tengah, khususnya Mesir. Di Minangkabau pada tahun 1907 misalnya, Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah Adabiyah yang merupakan transformasi lembaga pendidikan tradisional menjadi pendidikan Islam pertama di Nusantara. Sedangkan di Jawa Timur pada tahun 1905 berdiri Madrasah Mambaul Ulum yang menerapkan sistem klasikal.
Ketiga, sikap yang mengadopsi sepenuhnya model pendidikan Belanda, namun di dalamnya masih terdapat pelajaran agama. Sikap ini misalnya dilakukan oleh Muhammadiyah. Sebagai organisasi sosial Islam yang bercorak modern, Muhammaiyah bahkan tidak menyebut lembaga pendidikan yang didirikannya dengan nama madrasah, melainkan dengan nama sekolah sebagaimana halnya sekolah yang didirikan pemerintah Belanda.
            Ketiga corak dan sifat lembaga pendidikan Islam yang demikian itu hingga saat ini tampak masih ada. Penjajah Belanda bagaimanapun telah membuka mata sebagian ummat Islam untuk memajukan lembaga pendidikannya dalam rangka mengejar keterbelakangannya dalam segala bidang melalui pembaharuan lembaga pendidikannya. Melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah dimodernisir ini telah dilahirkan kader intelektual muslim yang tidak hanya menguasai agama dan menjiwainya, melainkan juga menguasai ilmu pengetahuan modern serta memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme yang menjadi modal utama bagi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi sebagian kalangan ummat Islam yang maju, tantangan yang dijumpai pada masa pemerintahan Belanda dihadapi dengan kerja keras dan merubahnya menjadi peluang yang memungkinkan mereka tampil sebagai pemimpin bangsa.
      Selanjutnya tantangan pendidikan Islam pada masa pemer­intahan Orde Lama dan Orde Baru muncul sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang bersifat politis dan kurang percaya kepada ummat Islam, serta tuntutan pembangunan dan modernisasi.
Pada masa pemerintah Orde Lama, kekuatan Nasional terpecah menjadi tiga golongan yang antara satu dan lainnya sulit dipertemukan. Ketiga golongan tersebut adalah golongan Islam yang didukung kaum santri; golongan nasionalis sekuler yang didukung kaum priyayi; dan golongan komunis yang didukung kaum abangan. Kekuatan golongan nasionalis sekuler sering mendominasi kedua golongan lainnya, bahkan sebagian dari golongan ini pernah berkolaborasi dengan golongan komunis untuk menghancurkan golongan Islam yang berakhir dengan tragedi Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia tahun 1965 (G-30 S PKI).
Selain adanya tantangan yang bersifat politis tersebut, pada era Orde Lama ini juga terdapat tantangan dalam bidang stabilitas sebagai akibat dari keadaan negara yang masih dalam proses pembentukan dan pemantapan ideologi. Dalam proses ini pemerintah seringkali melakukan eksperimen yang berakibat pada terjadinya benturan dengan golongan Islam. Dalam hal ini kita mencatat adanya demokrasi liberal yang memberikan peluang tumbuhnya banyak partai, dan demokrasi terpimpin yang mengarah pada kekuasaan pemerintah yang cenderung tidak tak terbatas.
Namun sungguhpun demikian, Soekarno secara pribadi adalah seorang Muslim modernis. la amat suka terhadap ide-ide pembaharuan dalam Islam seperti yang diperlihatkan Kemal Attaturk di Turki, Muhammad Iqbal di India, Muhammad Abduh di Mesir dan lain-lain. Menurutnya ajaran Islam yang modernis inilah yang dapat digunakan sebagai spirit untuk membangun masa depan negara Indonesia yang maju dan sejahtera Dalam salah satu kesempatan Soekarno misalnya berkata: Kita sebagai kaum pro-ijtihad atau kita sebagai kaum ant/ taqlid; kita harus siap mengadakan penyelidikan secara terus menerus agar kita selalu mendapat kemajuan, pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman... Janganlah kita tutup mata kita, tidak mau melihat bahwa di luar Indonesia kini seluruh dun/a Timur sedang asik peninjau kembali pemikiran Islam (rethingking of Islam). Yakni memakai kembali maksud-maksud Islam yang sewajarnya seperti yang terjadi di Mesir, Turki, Irak, Suriah, Iran, India dan negeri-negeri Islam lainnya?
Dengan kenyataan tantangan seperti itu, maka melalui kelompok Islam modernis yang sebagian tergabung di Departemen Agama, upaya pembaharuan pendidikan Islam, khususnya Madrasah yang telah dimulai sejak zaman akhir pemerintahan Belanda dapat dilanjutkan pada zaman era Orde Lama.
       Tantangan berikutnya datang berkisar pada soal pengakuan (legitimasi). Meskipun pemerintah sudah mengakui keberadaan Departemen Agama, namun pada sisi lain muncul pemikiran yang menghendaki agar pendidikan diurus oleh satu atap, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun berkat kegigihan kaum Muslimin, upaya ini mengalami kegagalan. Pembaharuan madrasah masih dapat dilakukan. Pemerintah masih nemberikan bantuan yang bertujuan memodernisasi madrasah. Selanjutnya pengakuan terhadap lembaga pendidikan agama-pun muncul, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 di mana belajar di madrasah yang telah mendapat pengakuan Depertemen Agama dianggap memenuhi kewajiban belajar
Sebagai respon terhadap Undang-undang tersebut, Departe­men Agama pada tahun 1963 menyelenggarakan Madrasah Wajib Belajar (MWB), yaitu lembaga pendidikan 8 tahun yang difungsikan untuk mendukung kemajuan ekonomi, industri dan transimigrasi, yang pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi madrasah pembangunan.
      Selanjutnya di zaman Orde Baru pendidikan Islam menghadapi
tantangan yang tidak jauh berbeda dengan tantangan yang dijumpai
pada zaman Orde Lama, yaitu tantangan yang bersifat politis dan
modernisasi.   
Diketahui bahwa Orde Lama berkuasa selama lebih kurang 32 tahun (tahun 1965-1998). Pada enam belas tahun pertama, hubungan sebagian ummat Islam (tradisionalis-politis) dengan pemerintah Orde Baru masih belum harmonis. Ummat Islam masih sering disebut sebagai ekstrim kanan, sebuah istilah yang mengacu kepada kelompok yang menginginkan negara didasarkan pada syari'at Islam bahkan menjadi negara Islam. Sementara itu dari kalangan ummat Islam yang tradisionalis-politis itupun cenderung anti pemerintah. Keadaan ini jelas mempersulit bagi ummat Islam pada umumnya dalam upaya meningkatkan dan memajukan pendidikan Islam.
Menghadapi kenyatan seperti itu, maka dari kalangan Islam modernis muncul gagasan untuk merubah pendekatan dan orientasi perjuangan, yaitu merubah pendekatan dari Islam yang bersifat politis, formalistis dan legalistis menjadi Islam yang bersifat kultural, substantif dan aktual. Di antara tokoh modernis Islam yang mengajukan gagasan yang demikian itu adalah Nurcholish Madjid melalui ungkapannya "Islam Yes, Partai Islam No". Gagasan Nurcholish Majid ini disambut dan dikembangkan oleh sebagian besar ummat Islam terpelajar melalui organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Upaya yang dilakukan kaum Islam modertiis ini secara perlahan tapi pasti membuahkan hasilnya, yaitu berubahnya sikap pemerintah Orde Baru pada enam belas tahun terakhir, yang semula jauh dan mencurigai ummat Islam menjadi dekat, mesra dan percaya pada ummat Islam. Istilah ekstrim kanan bagi ummat Islam sudah tidak digunakan lagi.
Namun demikian, sebagaimana pemerintah Orde Lama, pemer­intah Orde Baru-pun sebenarnya menyukai pemikiran Islam yang modernis, karena pemikiran Islam yang demikian itu amat dibutuhkan untuk menggerakkan ummat Islam agar mendukung dan terlibat dalam proses pembangunan yang dijalankan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah menghendaki sebaiknya ummat Islam tidak usah berpolitik, melainkan lebih terlibat aktif dalam membangun bangsa.
Atas dasar kenyataan ini, maka melalui kelompok Islam modernis yang tergabung di Departemen Agama, maka pada masa enam belas tahun pertama pemerintahan Orde Baru-pun dapat dilakukan upaya-upaya pembaharuan pendidikan Islam. Pada tahun 1975 misalnya, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3 Menteri), yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri. Melalui SKB ini keadaan Madrasah diakui oleh pemerintah. Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi Umum. Lulusan Madrasah Ibtidaiyah dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sebaliknya lulusan Sekolah Dasar (SD) dapat melanjutkan ke Tsanawiyah dan seterusnya. Konsekwensinya kurikulum Madrasah harus dirubah menjadi 70% mata pelajaran umum, dan 30% mata pelaiaran agama.
Peluang ummat Islam untuk memajukan pendidikannya, secara lebih leluasa terjadi pada enam belas tahun terakhir pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini tercatat sejumlah kemajuan yang memperlihatkan/kemesraan dan keberpihakan pemerintajV terhadap ummat Islamf^yaitu munculnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan Undang-undang ini, pendidikan Islam sudah masuk dalam bagian dari pendidikan nasional. Pemerintah aktif membangun masjid melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Musabaqah Tilawatil Qur'an, Pesantren Kilat, Berkembangnya Pengajian-pengajian agama di berbagai tempat, Vestival Istiqlal, Bank Muamalat Indonesia, Undang-undang Peradilan Agama, dan sebagainya.
Selanjutnya untuk mengatasi kekurangan SKB 3 Menteri tersebut di atas, maka di zaman Menteri Agama Munawir Sadzali didirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), yaitu madrasah berasrama dengan kurikulum 70% agama. Melalui madrasah ini diharapkan akan lahir bibit unggul baik di dalam maupun luar negeri dan setelah tamat dapat menjadi ulama yang handal. Periode berikutnya saat Tarmidzi Taher sebagai Menteri Agama, MAPK diubah menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Bedanya adalah jika pada MAPK hanya dilaksanakan di beberapa Madrasah Aliyah Negeri, maka MAK dapat pula dilaksanakan pada madrasah-madrasah swasta yang berminat. Setelah itu menyusul pula dibukanya Madrasah Tsanawiyah jarak jauh, sebuah konsep yang ditujukan untuk menunjang terlaksananya program wajib belajar sembilan tahun.
Namun demikian, sikap baik pemerintah Orde Baru terhadap rakyat pada umumnya dan terhadap ummat Islam pada khususnya tidak dapat membendung jatuhnya pemerintah Orde Baru yang diakibatkan oleh berbagai kebijakan politis yang dianggapnya sudah melenceng. Sistem politik pemerintahan Orde Baru yang monoloyalitas dengan titik tekan pada sentralisasi dalam seluruh aspek kehidupan: politik, ekonomi-perdagangan, pertahanan-keamanan, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya. Akibatnya saluran demokrasi menjadi tersumbat, aspirasi rakyat terkooptasi, rakyat menjadi apatis, mandul dan cenderung mengikuti budaya petunjuk dari atas. Keadaan ini memberikan peluang yang leluasa bagi sebagian pejabat yang kurang amanah untuk melakukan penyimpangan dalam segala bidang. Muncullah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), jual beli hukum, jual beli jabatan, ijazah dan lain sebagainya. Keadaan internal yang parah ini pada gilirannya tidak mampu menghadapi krisis ekonomi yang membawa negara dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Dalam keadaan demikian itulah timbul gelombang demontrasi besar-besaran yang berakhir dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru pada tanggal 12 Mei 1998,40 digantikan oleh pemerintah Orde Reformasi.
Di era reformasi saat ini tantangan yang dihadapi pendidikan Islam secara garis besar ada dua. Pertama tantangan yang berkaitan dengan penataan kembali seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan lain sebagainya menurut cara yang lebih demokratis, teransparan, berkeadilan, jujur, amanah, manusiawi dan modern, melalui konsep masyarakat madani. Dengan cara demikian, praktek korpusi, kolusi dan nepotisme (NKK) dapat dihindari. Kedua, tantangan yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi dunia yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi.
Berkaitan dengan tantangan yang pertama di atas, kita melihat bahwa sejak runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada Mei 1998 hingga saat ini, keadaan negara Indonesia dengan berbagai perangkatnya masih dalam keadaan yang tidak menentu.41 Program reformasi secara total dan menyeluruh terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara yang menandai era ini belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya. Berbagai aturan dan tatanan lama yang dipandang tidak lagi relevan mulai ditinggalkan. Sementara aturan dan tatanan baru sebagai penggantinya yang diharapkan dapat merubah keadaan yang lebih baik juga belum berhasil dirumuskan.
Upaya untuk melakukan penataan kembali berbagai aspek kehidupan tersebut antara lain dengan cara menerapkan konsep masyarakat madani. Konsep masyarakat madam" ini kemudian menjadi wacana pembicaraan para ahli untuk dilihat akar dan asal muasal tumbuhnya dan kemungkinan penerapannya.42 Dalam wacana tersebut sebagian pakar menghubungkan konsep Masyarakat Madani dengan pandangan hidup Barat,43 dan sebagian lagi mengambil contoh dari data historis masa lalu Islam (masyarakat kota Madinah bentukan Nabi) yang secara kualitatif mereka dianggap sejajar dengan masyarakat ideal hasil dari tuangan konsep Civil Society. Mereka melakukan penyetaraan untuk menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam terdapat potensi yang dapat dipakai untuk menciptakan sebuah pranata kehidu­pan sosial politik dan ekonomi sejalan dengan visi masyarakat modern.
Seiring dengan tantangan reformasi dan penerapan konsep masyarakat madani tersebut, maka berbagai produk perundangan juga mengalami perubahan. Dua di antara perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan (reformasi) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan perubahan sistem pemerintahan dari yang semula sentralistik menjadi lebih desentralisasi melalui munculnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan (Otonomi) Daerah; dan Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Berkaitan dengan tantangan reformasi tersebut, maka pendidikan Islam harus memberikan sumbangan bagi Iahirnya manusia-manusia yang dapat mewujudkan masyarakat madani. Kalangan pendidikan Islam selanjutnya ditantang untuk mem-perjuangkan nasib pendidikan Islam melalui reformasi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Islam juga harus mampu menghadapi tantangan otonomi daerah. Diketahui bahwa dalam rangka menghadapi otonomi pendidikan sebagal akibat dari implementasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut, pendidikan Islam, khususnya Madrasah menghadapi masalah yang amat krusial. Di satu sisi Madrasah sebagian besar berada di daerah, jumlahnya banyak dan keadaannya lemah, sementara dalam undang-undang tersebut masalah Madrasah menjadi tanggung jawab Departemen Agama Pusat, dan bukan urusan Departemen Pendidikan Nasional di Daerah (Kanwil Diknas). Dengan demikian, dari segi anggaran dan lainnya Madrasah harus berjuang ke pusat. Hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab antara lain dengan menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat yang dalam prakteknya menuntut kerja keras, mengingat selama ini masyarakat sudah terbiasa diberi petunjuk dari atas dan dimanjakan dengan berbagai fasilitas.
Selanjutnya berkaitan dengan tantangan yang kedua, yaitu dampak globalisasi keadaannya lebih berat lagi. Berbagai karakteristik masyarakat di era global sudah banyak dikaji para ahli.46 Intinya adalah bahwa pada era informasi tersebut terjadi revolusi teknologi, dengan meningkatkan kontrol pada materi, ruang dan waktu yang pada gilirannya dapat menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir dan sistem rujukan. Sementara itu, Daniel Bell sebagaimana dikutip Mochtar Buchori mengatakan bahwa pada abad informasi ini kehidupan akan ditandai oleh lima hal sebagai berikut.
Pertama, kehidupan masa mendatang akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecencerungan untuk saling berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Kedua kecenderungan ini sekarang sudah menjadi kenyataan di berbagai kawasan di dunia.
Kedua, bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang.
Ketiga, bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan cepatnya akan mengubah secara radikal situasi dalam pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut kecakapan baru. Karena itu kepada seluruh  pekerja perlu dilakukan re-edukasi (pendidikan ulang), atau re-training (pelatihan ulang), mengingat pendidikan dan pengetahuannya sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan kerja sekarang.
Keempat, bahwa proses industrialisasi dalam ekonomi dunia makin menuju pada penggunaan teknologi tingkat tinggi, sedangkan teknologi rendah akan diekspor dari negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih berkembang.
Kelima, bahwa di tahun-tahun mendatang sebagai akibat dari globalisasi informasi ini, akan lahir suatu gaya hidup baru yang mengandung ekses-ekses tertentu.
Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa era informasi
dan globalisasi telah menimbulkan tantangan-tantangan baru dan
sekaligus peluang bagi mereka yang dapat mengatasinya.
Dalam kaitan dengan masalah tersebut di atas, pendidikan Islam ditantang agar mampu menghasilkan lulusan yang dapat menghadapi tantangan globalisasi tersebut dan merubahnya menjadi peluang. Berkaitan dengan ini, maka berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan Islam seperti tujuan pendidikan, kurikulum, proses belajar mengajar, guru, sarana prasarana, lingkungan, evaluasi dan sebagainya, harus direvitalisasi, direvisi dan ditinjau ulang agar sesuai dengan tantangan zaman.
Dalam era globalisasi ini pendidikan Islam harus mampu melahirkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan (preparing children for life), bukan sekedar mempersiapkan anak didik untuk bekerja. Pendidikan Islam juga harus menghasilkan manusia yang berorientasi ke masa depan, bersikap progressif, mampu memililah dan memilih secara bijak, dan membuat perencanaan dengan baik. la juga harus menghasilkan anak didik yang memiliki keseimbangan antara penggunaan otak kiri dengan otak kanan, manusia yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pendidikan juga harus memberikan keseimbangan antara pendidikan jasmani dan rohani, keseimbangan antara pengetahuan alam dan pengetahuan sosial dan budaya, serta keseimbangan antara pengetahuan masa kini dan pengetahuan masa lampau.Anak didik yang dihasilkan oleh pendidikan Islam adalah bukan hanya   anak   yang   mengetahui   sesuatu   secara benar (to know) melainkan juga harus disertai dengan mengamalkannya secara benar (to do), mempengaruhi dirinya (to be) dan membangun kebersamaan hidup dengan orang lain (to life together). Pendidikan Islam harus menghasilkan manusia yang memiliki ciri-ciri: l)terbuka dan bersedia menerima hal-hal baru hasil    inovasi dan perubahan; 2 )berorientasi demokratis dan mampu memiliki pendapat yang tidak selalu sama dengan pendapat orang lain; 3) berpijak pada kenyataan, menghargai waktu,   konsisten   dan   sistematik   dalam   menyelesaikan   masalah; 4)selalu terlibat dalam perencanaan dan pengorganisasian; 5)memiliki keyakinan bahwa segalanya dapat diperhitungkan; 6)menyadari dan menghargai   pendapat   orang   lain;) rasional   dan   percaya   pada kemampuan iptek; 8) menjunjung tinggi keadilan berdasarkan prestasi, kontribusi, dan kebutuhan; dan 9) berorientasi kepada produktivitas, efektifitas dan efisiensi. Manusia yang memiliki ciri-ciri seperti itulah yang  harus dihasilkan oleh pendidikan Islam, yaitu  manusia yang penuh percaya diri (self confident) serta mampu melakukan pilihan-pilihan secara arif serta bersaing dalam era globalisasi yang kompetitif. [14]
Berkaitan  dengan  tujuan  pendidikan  Islam  tersebut, maka kurikulum dan bahan ajar-pun harus ditinjau ulang. Mochtar Buchori mengusulkan adanya bahan ajar yang terdiri dari pelajaran-pelajaran tentang kehidupan fisik, sosial dan budaya, serta pelajaran-pelajaran yang membawa anak kepada pemahaman terhadap diri sendiri. Logika yang   mendasari   strategi ini ialah   bahwa   hanya   mereka   yang memahami lingkungan fisik, sosial dan budaya, serta diri sendiri-lah yang dapat mengarungi kehidupan ini dengan baik, dalam art! mampu hidup  dan  mampu  menyumbangkan  sesuatu  kepada kehidupan. Selain itu perlu ditambahkan bahwa sebelum anak didik memilih bidang spesialisasi atau  keahlian tertentu yang sesuai dengan  bakat dan minatnya, perlu juga diberikan dasar-dasar yang utuh dan kuat tentang Dirasah Islamiyah, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Seni dan Matematika Dasar.
Selanjutnya bahan ajar yang dituangkan dalam kurikulum juga harus memiliki kesesuaian dan keterkaitan (link and mach) dengan kebutuhan lapangan kerja. Untuk kalangan dunia kerja baik dalam bidang jasa maupun perdagangan dan keahlian lainnnya harus memberikan masukan ke kalangan pendidikan, tentang keahlian apa yang sesungguhnya dibutuhkan lapangan kerja. Selanjutnya karena berbagai keahlian dan pekerjaan dalam era globalisasi ini begitu cepat dan dinamis, maka kurikulum-pun harus bersifat dinamis dan progressif. Kurikulum atau mata pelajaran yang diajarkan harus terlebih dahulu ditawarkan kepada peserta didik, sehingga benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka. Model kurikulum yang bersifat normatif perenialis, tampak sudah tidak cocok lagi untuk diterapkan di masa sekarang.
Seiring dengan adanya perubahan pada bidang tujuan dan kurikulum pendidikan tersebut di atas, maka bentuk proses belajar mengajar-pun harus pula ditinjau ulang. Model pengajaran yang hanya bertumpu pada aktifitas guru (teacher centris) harus diimbangi dengan pengajaran yang menggerakkan dan melibatkan siswa secara aktif (student centris). Filosofi dan paradigma mengajar tidak lagi didasarkan prinsip mengisi air ke dalam gelas; tetapi lebih pada prinsip menyalakan lampu, menggali potensi dan membantu melahirkan anak didik, serta menempatkan guru sebagai bidan yang membantu dan membimbing anak didik melahirkan gagasan dan produktifitasnya. Proses belajar mengajar harus diarahkan pada upaya membangun daya imajinasi dan daya kreatifitas anak didik, yaitu proses belajar mengajar yang mencerahkan dan membangunkan (inspiring teaching) anak didik.
         Lebih jauh lagi proses belajar mengajar juga harus dilakukan dan diarahkan pada (l) mengubah cara belajar dari model warisan kepada model belajar pemecahan masalah; (2)dari hafalan ke dialog (3)dari pasif ke aktif; (4)dari memiliki (to have) ke menjadi (to be)} (5) dari mekanis ke kreatif; (6)dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya ke menguasai metodologi yang kuat; (7) dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan ke memandang dan menerima ilmu sebagai yang berada dalam dimensi proses; dan (8)melihat fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, melainkan mengolah dan mengembangkan hati(moral) dan keterampilan.
Sejalan dengan pentingnya proses belajar mengajar yang inovatif dan kreatif tersebut di atas, maka berbagai metode pengajaran yang lebih melibatkan peserta didik seperti inter-active learning, participative learning, cooperative learning[15], Quantum teaching, quantum learning?5 dan sebagainya perlu diterapkan. Dengan kata lain cara belajar yang melibatkan siswa aktif ini tidak hanya menekankan pada penguasaan materi sebanyak-banyaknya, melainkan juga terhadap proses dan metodologi.
Seiring dengan perubahan paradigma pada beberapa kompo-nen pendidikan tersebut di atas, maka paradigma gurupun harus mengalami perubahan. Keadaan guru pada era globalisasi berbeda dengan keadaan guru pada era agricultural. Jika pada era agrikultural guru merupakan satu-satunya tempat untuk digugu dan ditiru, dimuliakan, dihormati dan seterusnya, maka pada era informasi sekarang ini, guru bukan satu-satunya lagi agent of information, karena masyarakat sudah memiliki banyak jaringan informasi yang dapat diakses lewat peralatan teknologi canggih
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka fungsi guru mengalami perubahan dan pengembangan. Guru dapat berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan anak didik pada sumber belajar yang dapat diakses; dinamisator yang memacu anak didik agar mengembangkan kreativitas dan imajinasinya; evaluator dan justificator yang menilai dan memberikan catatan, tambahan, pembenaran dan sebagainya terhadap hasil temuan siswa. Pengajar tidak lagi berfungsi sebagai kyai yang didatangi santri; guru yang mendatangi siswa, melainkan sebagai mitra.
Pergeseran peran dan fungsi guru seperti ini dari satu segi akan menjadi ancaman, karena guru akan kehilangan pekerjaan dan ditinggalkan muridnya. Namun pada sisi lain guru akan mendapatkan banyak sekali peluang, apabila ia dapat meningkatkan profesionalitasnya. Penghormatan kepada guru di masa sekarang bukan didasarkan pada senioritas atau do'anya yang makbul melainkan lebih didasarkan pada peran fungsionalnya dalam mengantarkan anak didik kepada tujuannya yang sesuai dengan tantangan zaman.
Tantangan pendidikan Islam selanjutnya di era globalisasi ini adalah pada bidang manajemen pendidikan. Sistem manajemen pendidikan yang didasarkan pada kekeluargaan sebagaimana pada masyarakat agraris sudah tidak cocok lagi. Dalam kaitan ini paling kurang ada tiga sistem manajemen pendidikan yang relevan untuk dipergunakan sebagai berikut.
Pertama, Total Quality Management (TQM) yang berasal dari seorang ahli statistik Amerika, Dr.W. Edward Deming. Manajemen yang telah membawa kemajuan masyarakat Jepang dalam meningkatkan produktivitasnya ini berdasarkan pada teori yang menekankan pada Customer Oriented Quality dengan melihat lebih sensitif terhadap mutu yang diperoleh melalui team work yang solid dan leadership yang handal. Dalam prakteknya, manajemen ini mengharuskan adanya penilaian (akreditasi) terhadap kinerja pendidikan.
Kedua, Benchmarking Management. Manajemen ini didasarkan pada teori bahwa untuk meningkatkan mutu produksi harus didasarkan pada standardisasi mutu yang baku, sehingga tujuan produksi menjadi jelas. Dengan demikian seluruh proses produksi mengarah kepada suatu level tertentu yang sudah dirumuskan dan disepakati sebagai sebuah model.
Ketiga, School Based Management.Manajemen ini didasarkan pada teorl bahwa proses pengambilan keputusan dan perumusan tujuan pendidikan yang selama ini dilakukan oleh otoritas birokrasi pusat harus didelegasikan kepada pelaksana di lapangan, yakni sekolah, sehingga efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Manajemen yang terakhir ini mulai diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan non-pemerintah.
Seiring dengan perubahan paradigma pada berbagai komponen pendidikan tersebut di atas, maka sarana dan prasarana pendidikan Islam-pun  harus dikembangkan. Jika selama  ini sarana  prasarana pendidikan terbatas hanya pada gedung sekolah,  papan tulis dan kapur,    maka   pada   era   globalisasi   ini   berbagai   sarana   yang memungkinkan yang berada di luar sekolah dapat diintegrasikan dan digunakan. Surat kabar, majalah, radio, televisi, musium, pameran, bengkel kerja (workshop) milik perusahaan,  mesjid  dan  berbagai sarana lainnya yang dimiliki masyarakat luas dapat digunakan sebagai sarana pendidikan dengan sistem kerjasama. Khusus mengenai sarana telekomunikasi dan informasi seperti komputer dan internet dapat digunakan. Kini tengah dirancang suatu konsep belajar jarak jauh yang dikenal     dengan     nama     tele-education,     yaitu     konsep     yang memungkinkan   seorang   guru   atau   dosen   dari jarak jauh   dapat mengajar puluhan kelas di berbagai kota di dalam maupun luar negeri dengan cara menggunakan saluran internet melalui webside sebagai station pengendalinya.

C.  Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.     Bahwa kehadiran pendidikan Islam lengkap dengan sistem kelembagaan dan komponen-komponennya adalah muncul sebagai jawaban atas tantangan di mana pendidikan Islam tersebut dilaksanakan.
2.     Sifat dan karakter pendidikan Islam yang demikian itu adalah sejalan dengan sifat ajaran Islam yang sejak kelahirannya selalu terlibat dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, dan tampil dalam dinamika warna yang amat variatif
Dalam perjalanannya selama empat belas abad, pendidikan Islam baik yang diselenggarakan di dunia Islam, maupun di Indonesia pada dasarnya menghadapi dua macam tantangan, yaitu tantangan yang datang dari luar dan tantangan yang datang dari dalam. Tantangan dari luar muncul sebagai akibat dari politik Barat dan kebijakan penjajah; sedangkan tantangan dari dalam muncul berkaitan dengan kebutuhan ummat Islam dalam menghadapi tantangan modernisasi.
3.     Dari perjalanan sejarahnya selama empat belas abad terlihat dengan jelas bahwa lembaga pendidikan yang dapat terus bertahan dan diminati masyarakat adalah lembaga pendidikan yang dapat menerima inovasi dan perubahan sesuai dengan tuntutan zaman.
4.     Ummat Islam di Indonesia walaupun dengan menggunakan pendekatan yang berlain-lainan ternyata sangat peduli terhadap kegiatan pendidikan. Berdirinya ribuan pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan Islam yang didasarkan atas inisiatif masyarakat sendiri, menunjukkan kepedulian tersebut.
5.     Secara keseluruhan nasib lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia belum menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Hal ini sebagian besar disebabkan karena berbagai kelemahan yang dimiliki internal ummat Islam sendiri


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta:Majelis Ulama Indonesia, 1991).
Amin, Ahmad, Fajar Islam,   (teg.) H. Zaini Dahlan, dari judul asli Fajr al-Islam, (Cirebon: Fak.Tarbiyah IAIN Cirebon, 1967).
Bruinessen,   Martin   Van,   Kitab   Kuning   Pesantren   dan   Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), cet. III.

Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Jakarta: Kanisius, 2001), cet. I.
Clifford, Geerzt, Santri, Abangan dan Priyayi, (Jakarta:Pustaka Jaya, 1986).
DePorter, Bobbi, at.al., Quantum Teaching, (Bandung:Mizan, 2001), cet. I.
Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, (terj.) R.Mulyadi Kartanegara, dari judul asli A History of Islamic Philosophy, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), cet. I.
Islam, R. Nurul, "Meningkatkan Kualitas Madrasah Menimbang Teori Pengajaran dan Manajemen" dalam JurnalMadrasah Vol. 5. No. 1, 2001.
Jumbulati,  al,  All,  Perbandingan Pendidikan Is/am,(3akarta:   Rineka Cipta, 1994), cet. I.
Komite    Reformasi    Pendidikan,    Reformasi   Pendidikan   Nasional, (Jakarta :Depdiknas, 2001).
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta:Pustaka AI-Husna, 1986), cet. I.
Mestoko, Sumarsono, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, (Jakarta:Balai Pustaka, 1986).
Nasution, Harun, Akaldan Wahyu, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. II.
Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan da/am A/am Indonesia Merdeka, (Jakarta: Gunung Agung, 1970), cet. I.
Rahmat, Jalaluddin,    "Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, No. 2 Tahun 1989.
Saefuddin, Didin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2002), cet. I.
Sudjana, H.D., Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif, (Bandung: Falah Production, 2001), cet. I.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1984), cet. II.


[1] Pendidikan Islam di Indonesia : Tantangan dan Peluang, Prof. DR. H. Abudin Nata, MA, Jakarta, 2003. h. 1
[2] Ali Khalil  Abu al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al - Islamiyah, fi al-Quran al – Karim, (t.t : Dar a;-Fikr al-Araby, 1980), cet I, hal. 37
[3] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung : Mizan, 1992), cet. I, hal, 175
[4] Nourouzzaman Shidiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), Cet I, hal. 3
[5] Syed Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, (terj.) Adang Affandi dari judul asli Islam: Its Concepts & History, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), cet. I, hal. 3

[6] Ahmad Amin, Fajar Islam (Terj), H. Zaini Dahlan, dari Judul asli, Fajr al-Islam, Cet, hal. 18
[7] Hasan Abd, al’Al, al – Tarbiyah Al Islamiyah fi Qrn al-Rabi’ al-Rabi al-Hijr, (Kairo : Dar al- Fikr al’Arabi, 1978) hal. 98-101
[8] Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al – Islamiyah, (Kairo : Maktabah al – Nahdadh al-Mashriyah, 1987), cet I, hal 96-115
[9] Clifford Geertz, Santri Abangan dan Priyayi, (Jakarta : Pusataka Jaya, 1986), hal. 24-26;

[11] Moh. Tauhid, Masalah Pendidikan Rakyat,  1954, hal, 8-9
[12] Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan,Yogyakarta, 1962 : 103
[13] Sumarsono Moestoko, Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, Jakarta, 123
[14] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, Cet. II, hal. 47
[15] HD, Sudjana, Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif, Bandung, 2001, hal 1-6

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas