Sabtu, 12 Mei 2012

Raden Ajeng Kartini


Sebetulnya, hanya karena keberanian Kartini pada zamannya memperjuangkan hak perempuan dan kritik terhadap budaya feodal Jawa. Kala itu, Kartini memberontak karena ruang dan gerak perempuan di bidang pendidikan, otoritas dan kedudukannya dibatasi. Itulah yang menjadikan latar belakang Kartini ditokohkan di negeri ini.  Menengok kasus sejarah tersebut, Kartini pantas dianggap pahlawan perempuan di Indonesia. Presiden Soekarno pun menetapkan, tanggal lahir Kartini 21 April sebagai hari Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Sejak saat itu, Kartini dianggap ‘berjasa besar’ mengantar kaum perempuan Indonesia menuju gerbang kehormatan dan kebebasan. Berdasarkan sejarah itu, kaum perempuan di Indonesia beramai-ramai menggalakkan emansipasi dan menuntut hak yang sama dengan kaum laki-laki dalam segala bidan. Ketika di Indonesia muncul paham liberal yang menggalakkan pluralisme agama, yang intinya adalah kebebasan dalam segala hal, saat itulah feminisme mulai tersebar. Kaum liberal ingin menjadikan perempuan Indonesia seperti perempuan barat (Eropa dan Amerika) yang berhasil mendapatkan kebebasan dan persamaan gender secara mutlak dan ironisnya mengatas namakan ‘hak asasi manusia’.  Paham itu disambut positif oleh kaum perempuan yang tidak mau dibilang ketinggalan zaman dan sok ingin dibilang ‘perempuan modern’.   Seperti mendapat angin segar, padahal mereka tidak sadar bahkan mereka itu terjebak oleh pandangan liberal yang mengumandangkan tentang paham feminis yang berdalih membela dan memajukan kaum perempuan. Mereka meneriakkan persamaan dan penyetaraan gender atau persamaan hak kaum laki-laki dan perempuan. Aktivis gender mengangkat isu penjajahan dan penindasan perempuan. Seolah-olah perempuan terbelakang karena penindasan kaum laki-laki. Ironis lagi, banyak orang bahkan tokoh muslim yang kemudian mencari pembenaran dengan dalil ayat-ayat Alquran atau hadits.   Selama ini ada pemahaman bahwa Kartini adalah tokoh feminis di Indonesia.
Pandangan Kartini disamakan dengan emansipasi dalam pandangan liberal. Pernyataan itu salah besar.  Gagasan Kartini berbeda dengan ideologi feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender. Untuk membuktikan itu perlu membuka kumpulan surat Kartini dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.  Dalam suratnya kepada Prof Anton dan Nyonya (4 0ktober 1902),  Kartini mohon kepada mereka agar diusahakan pendidikan anak-anak perempuan.  Kartini dalam suratnya menyatakan, “Kami mohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-kali kami menginginkan anak perempuan menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan, lebih cakap melakukan kewajibannya menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”. Dari pernyataan tersebut jelas bagaimana kita mendudukkan Kartini dalam pemberdayaan perempuan. Perjuangan Kartini bukan sekali-kali ingin anak perempuan menjadi saingan laki-laki sebagaimana tuntutan kaum feminis. Tapi Kartini ingin perempuan yang berperan sebagai ibu mempersiapkan diri menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Hingga kini tuntutan emansipasi perempuan di Tanah Air tidak pas. Tuntutan kesetaraan dengan kaum laki-laki gencar disosialisasi. Apa hasil perjuangan perempuan selama ini? 
Sudah menjadi slogan bersama bahwa perempuan modern adalah wanita karier dan berpendidikan tinggi. Mereka bebas menentukan karier di berbagai bidang yang sama dengan kaum laki-laki.. Dengan kiprahnya itu tanpa disadari perempuan rela mengorbankan diri dan waktu demi eksistensinya di dunia kerja. Banyaknya kaum perempuan yang sibuk meniti karier, mereka terpaksa terikat dengan produktivitas kerja yang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Tenaganya dieksploitasi sebagaimana mesin industri, jerih payahnya hanya diukur dengan materi, sehingga mereka tidak sadar bahwa sebenarnya potensi perempuan itu diekploitasi oleh kaum laki-laki.  Kecantikan dan kelembutan perempuan menjadi komoditas bisnis yang mahal. Di sisi lain perempuan yang berpendidikan dan cukup materi menganggap bahwa karier yang ditempuhnya adalah sebuah prestise semata bukan lagi mencari prestasi. Itulah hasil kesetaraan gender yang selalu diidentikkan dengan penyamaan hak dan status laki-laki dan perempuan.  Pengertian itu justru mengorbankan peran dan hak perempuan.  Pertanyaan yang akan muncul adalah hak dan kedudukan mana yang mau disamakan? Hak perempuan mana yang telah direbut kaum laki-laki?  Kaum perempuan tidak sadar menerima kodratnya, harus ridha jika  melakukan pekerjaan rumah tangga sesuai fitrahnya sebagai perempuan, istri dan ibu yang prioritasnya adalah keluarga. Inilah zaman jahiliyah di abad modern.   Latar belakang emansipasi perempuan di Tanah Air terjadi karena pandangan tentang hakikat dan fitrah serta nasib perempuan  merasa perannya dibatasi oleh ruang dan geraknya di segala bidang,  baik di ruang domestik rumah tangga mau pun di ruang publik.Karena merasa tertindas, maka gencar tuntutan emansipasi dengan berbagai gerakan pembebasan perempuan. Mengapa terjadi demikian?  Jika kita cermati dan menengok ke belakang, hal itu terjadi karena kebodohan perempuan yang tidak banyak pengetahuan tentang hakikat, hak dan kewajibannya sebagai perempuan, ibu, istri dan anggota masyarakat. Jika ada kasus tentang hubungan perkawinan dan kaum perempuan banyak mengalami penindasan dari kaum laki-laki, maka perempuan harus dipersiapkan agar cakap dan matang dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Yang dituntut perempuan pemahaman tentang hak dan kewajiban sebagai perempuan. Itulah yang sebenarnya dituntut dan diperjuangkan oleh Kartini.


Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas