Jumat, 04 Mei 2012

DAKWAH DAN AHL AL-KITAB

DAKWAH DAN AHL AL-KITAB

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah hubungan Islam – ahl al-kitab bermula dengan lahirnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Posisi beliau sebagai penyampai risalah Islam, banyak bersentuhan dengan golongan ahl al-kitab. Sejarah ini telah diwarnai oleh aneka macam corak terkadang kooperatif-konstruktif yang dilandasi oleh semangat saling pengertian, namun lebih sering menampakkan wajah dan watak saling curiga, bahkan permusuhan.[1]
Beberapa pendapat mengatakan bahwa ajaran-ajaran agama tsb turut berperan menurut penganut masing-masing untuk berperilaku curiga. Alquran misalnya, sejak awal mengatakan bahwa beberapa ajaran Isa as., telah mengalami tahrif (dirtorsi), lebih jauh Alquran mengecam doktrin trinitas dan konep “Anak Tuhan” yang berkembang dalam tradisi Kristen.[2] Sebaliknya doktrin agama Kristen jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw., menyatakan bahwa satu-satunya jalan kesalamatan dunia akhirat hanya ditawarkan oleh Yesus; Siapa tidak bersama aku, ia melawan aku dan siapa tidak berkumpul bersamaku, bercerai berai (Matius 12:13). Ajaran ini kemudian berkembang menjadi slogan extra asclesias nulla Salus (di luar gereja tak ada keselamatan).[3]
Sementara itu Islam sebagai agama yang memandang setiap penganutnya sebagai dai bagi dirinya sendiri dan orang lain, karena Islam tidak menganut adanya hierarki religius. Setiap muslim bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri di hadapan Allah. Namun demikian, karena  ajaran Islam bersifat universal dan ditujukan kepada seluruh ummat manusia, kaum muslim memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia disepanjang sejarah.
Ahl al-kitab adalah komunitas yang dikhitab oleh Alquran yang secara umum adalah kaum Nasrani dan Yahudi dan dua komunitas tersebut secara jelas diketahui mempunyai persambungan aqidah dengan kaum muslimin. Bahkan Allah sendiri menegaskan bahwa Alquran datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagian ajaran Taurat (kitab suci agama Yahudi) dan Injil (kitab suci agama Nasrani) serta mengoreksi sebagian lainnya.[4]
Ketiga komunitas itu mempunyai misi keagamaan masing-masing dan meyakini akan kebenaran ajaran-ajaran yang diembangnya sebagai agama di sisi Allah yang harus disebar luaskan di muka bumi ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasar paradigma di atas maka muncul beberapa masalah yaitu;
1.    Siapakah yang dimaksud dengan ahl al-kitab
2.    Bagaimana metode dakwah ummat Islam terhadap ahl al-kitab

C. Signifikansi

Dalam pembahasan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang dakwah dan hubungannya dengan ahl al-kitab, karena dakwah merupakan suatu keharusan yang mesti diemban oleh setiap muslim. Ia merupakan denyut nadi ummat Islam, kapan ia berhenti berdenyut mengembangkan misinya tunggulah kehancuran ummat, demikian pula sebaliknya, jika ia mampu berdenyut secara dinamis dan propesional maka nantikanlah kebangkitan ummat.
Selain itu pembahasan ini kiranya bisa memberi motivasi untuk merevitalisasikan dakwah secara proporsional dan mem-posisikan ahl al-kitab secara arif dan hikmah.

II. PENGERTIAN

A. Dakwah

Dakwah secara etimologi berasal dari asal kata al-dâl (الدال), al-‘ain (العين) dan salah satu huruf mu’tal yang bermakna; condongnya sesuatu kepadamu dengan suara atau ucapan.[5] Dakwah adalah bentuk masdar dari kata “دعا“. “دعو“ yang bermakna panggilan, seruan atau ajakan. Dakwah dalam makna itu banyak ditemukan dalam Alquran misalnya QS. Yusuf: 33 dan QS. Yunus: 25.
Sedangkan dakwah secara terminologi mempunyai beragam makna dan pendapat tentang hal itu diantaranya adalah makna dakwah menurut Departemen Agama RI dalam buku “Metodologi Dakwah kepada Suku Terasing”, yaitu Dakwah adalah setiap usaha yang mengarah untuk memperbaiki suasana kehidupan yang lebih baik dan layak, sesuai dengan kehendak dan tuntunan kebenaran.[6] Pendapat ini dapat dikatakan dakwah bukan hanya milik suatu kemunitas agama, tetapi milik semua komunitas yang ada untuk menciptakan kehidupan yang damai.
Muhammad Nasir dalam tulisannya yang berjudul “Fungsi Dakwah Islam dalam Rangka Perjuangan” memdefenisikan dakwah sebagai “usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh ummat. Konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi Amar ma’ruf nahi mungkar dengan  berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengamalannya dalam perikehidupan perseorangan. Perikehidupan berumah tangga (usrah). Perikehidupan bermasyarakat dan bernegara.[7] Defenisi ini berbeda dengan pendapat pertama, karena dalam uraian ini digambarkan dakwah sebagai seruan dan ajakan hanya ada dalam konsepsi Islam. Dan masih bersifat normatif.
 Sementara itu terdapat juga defenisi yang berbeda dari kedua pendapat di atas yaitu dakwah adalah usaha untuk merealisasikan ajaran Islam di dalam kenyataan hidup sehari-hari, baik bagi kehidupan seseorang, maupun kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan ummat manusia untuk memperoleh keridhaan Allah swt.[8] Defenisi ini lebih menekankan pada makna dakwah bi al-hâl untuk membangun krrakter tata hidup ummat manusia yang diridhai oleh Allah swt. Oleh karena itu Islam dianggap suatu nilai etika akhlak yang harus direalusasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

B. Ahl al-Kitâb

Term ini merupakan satu frase yang terdiri dari kata “ahl” dan “al-kitâb”. Kata “ahl” terdiri dari huruf “alif”, “ha” dan “lam” yang secara literal mengandung pengertian ramah, senang atau suka.[9] Kata ‘ahl” juga berarti “sukkân”, orang yang mendiami suatu tempat dan penganut suatu ajaran atau agama.[10] Kata tersebut juga digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang mempunyai hubungan yang sangat dekat seperti yang dikatakan Raghib al-Asfahani ahl al-rasul yaitu orang yang menghimpun mereka baik karena hubungan nasab maupun agama atau hal yang setara dengannya seperti profesi, etnis dan komunitas.[11] Dari beberapa makna “ahl” di atas, agaknya makan itu juga terangkum dalam kamus bahasa Indonesia. Yaitu orang yang mahir dalam suatu ilmu, kaum, keluarga, orang-orang termasuk dalam suatu golongan.[12]
Sedang kata al-kitâb berasal dari asal kata kaf, ta dan ba’ yang menunjukkan atas makna menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lain.[13] Term al-kitâb kemudian diartikan tulisan. Karena tulisan itu sendiri menunjukkan rangkaian dari beberapa huruf huruf, termasuk pula firman Allah yang diturunkan kepada rasulNya disebut al-kitâb karena ia merupakan himpunan dari beberapa lafazh.[14] Demikian pula al-kitab secara literal berarti tulisan atau yang ditulis. Karena itu, Alquran sebagai wahyu yang ditulis dalam mushaf sering pula disebut sebagai al-kitab. Akan tetapi penyebutan al-kitab dalam tulisan ini, terutama juka dikaitkan dengan kata ahl, maka yang dimaksud adalah menunjuk kepada kitab suci yang diwahyukan Allah selain Alquran yaitu taurat dan injil.
Ahl al-kitab jika diindonesiakan menjadi ahli kitab. Kata ahli dalam bahasa indonesia merujuk kepada orang yang mahir atau paham sekali dalam suatu ilmu atau kerampilan tertentu. kata ahli juga dapat merujuk kepada kaum, keluarga, sanak saudara dan orang-orang yang termasuk dalam suatu golongan tertentu. term  ahl al-kitab yang dimaksudkan lebih mengacu kepada golongan dan pengikut agama tertentu selain Islam.
 Untuk lebih mengenal ‘ahl al-kitab’ secara jelas, maka salah satu metode yang tepat untuk ditempu adalah mengkaji kitab sumber al-Qur’ân al-Karîm karena di dalamnya terdapat ayat-ayat yang membicarakan tentang ahl al-kitâb.
Term ahl al-kitâb dalam Alquran, ada yang secara jelas menunjuk kepada kepada komunitasi Yahudi dan Nasrani antara lain ditrmukan dalam QS. Ali Imran (3): 64-65. Ayat tersebut  berisikan tentang tuntunan kepada pengikut Muhammad agar menjalin hubungan yang harmonis dengan dua agama sebelumnya. Yaitu Yahudi dan Nasrani, dan larangan untuk berbantah-bantahan tentang Ibrahim, sedangkan pada term yang lain terkadang ahl al-kitâb hanya ditujukan pada Yahudi atau khusus pada Nasrani.[15]
Sementara itu, terdapat pula pendapat yang lain tentang ahl al-kitâb yang memahaminya tidak hanya sebatas pada kedua komunitas itu, tetapi mencakup pada semua agama yang memiliki kitab ajaran, baik yang Samawi maupun yang Ardhi. Tetapi pendapat ini dianggap sangat tidak berdasar, karena hanya memahami term ahl al-kitâb secara etimologi sebagai kelompok atau komunitas agama yang mempunyai kitab ajaran. Pendapat ini juga tidak sejalan dengan pemahaman Nabi saw., terhadap term ahl al-kitâb, sebab terdapat indikasi dalam sabda Nabi yang mengatakan
[16] سنو عليه سنة أهل الكتاب
Hadis ini wurud ketika Umar bin Khattab menyebut agama Majusi dan beliau mengatakan tidak mengetahui cara berbuat kepada mereka, lalu ketika itu Abd rahman bin Auf berkata saya telah mendengarkan bahwa Nabi pernah bersabda (sebagaimana yang tersebut di atas) yang artinya; Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti ahl al-kitâb. Oleh karena itu, secara batasan makna Nabi tidak memasukkan orang Majusi sebagai ahl al-kitâb.
Sementara itu, terdapat juga term-term yang sepadam dengan term ahl al-kitab yaitu al-lazina ataenahum al-kitab, al-lazina utu al-kitab, al-lazina utu nashiban min al-kitab dan al-lazina yakrauna al-kitab min kablik. Menurut Muin Salim bahwa term ahl al-kitab adalah mereka yang mempunyai keahlian dalam kitab ajaran-ajarannya atau yang biasa disebut dengan pendeta, rahib atau ulama di kalangan mereka. Sedang selain term ahl al-kitab (sebagaimana tersebut di atas) adalah mereka para pengikut kedua kelompok agama tersebut secara keseluruhan.

III. METODE DAKWAH MENGHADAPI AHL AL-KITÂB
Ada satu asumsi yang mengatakan bahwa Islam yang telah disosialisasikan pada masyarakat Barat saat ini (yang bernota bene dengan ahl al-kitab) adalah bukan Islam yang sebenarnya karena pengetahuan tentang Islam yang mereka dapatkan justru sebaliknya yang diterima seperti halnya mereka berpendapat Islam tidak mempunyai hak asasi manusia, Islam tidak menghormati wanita, Islam tidak mengakui pluralisme agama dan lain-lain yang kesemuanya itu bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya. Jika asumsi ini memang benar, maka suatu indikasi bahwa metode dakwah Islam saat ini belum berhasil ditampilkan dan ditanamkan secara benar pada seluruh masyarakat Barat.
Secara tegas Allah menyodorkan beberapa langkah teknis untuk mendakwahkan Islam dalam QS. An Nahl (16) 125, sebagai berikut:
أدع الي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن ان ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين
 Pada ayat itu dikatakan bahwa serulah manusia di jalan Allah dengan cara hikmah. Nasihat yang baik dan berdebatlah dengan cara yang baik.
Sementara itu, bila metode dakwah Islam dispesialisasikan bagi ahl al-kitab maka ketiga metode yang disebut diatas, dapat dihubungkan dengan ayat yang lain. Yang lebih spesifik memposisikan ahl al-kitab sebagai objek dakwah hal ini dapat ditemukan dalam Alquran surah al Ankabut (29) 46, sebagai berikut:
ولا تجادلوا أهل الكتاب الا بالتي هي أحسن الا الذين ظلموا منهم وقولوا أمنا بالذي أنزل الينا وأنزل اليكم والهنا والهكم واحد ونحن له مسلمون
Ayat ini menggambarkan bahwa dakwah kepada mereka harus diformat secara arif dan berusaha menghindari perbedaan dan lebih mengedepankan norma-norma ajaran agama yang bersifat unifersal.
Hal yang senada juga digambarkan oleh Alquran untuk mengajak ahl al-kitab  dalam  kalimat sawa yaitu pada QS. Ali Imran (3) 64, sebagai berikut:
قل يا أهل الكتاب تعالو الي كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد الا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فان تولو فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
Pada ayat itu jelas bahwa Allah menyeru ahl al-kitab  untuk bersama-sama sepakat menghilangkan perselisihan di antara umat Islam dengan mereka untuk menyembah Allah SWT. dan tidak mensyarikatkannya.
Dari beberapa langkah yang ditempuh dan  dicontohkan oleh Alquran untuk menyikapi ahl al-kitab, maka tidak berlebihan jika dikatakan Alquran sangat responsible terhadap ahl al-kitab sebagai suatu objek dakwah Islam yang harus ditempatkan secara proporsional, karena mereka adalah manusia-manusia yang beragama ilahiyah yang  diakui oleh Allah SWT.
Maka dari itu, berangkat dari uraian diatas, dakwah Islam terhadap ahl al-kitab bertujuan untuk mengantarkan mereka untuk kembali beriman secara murni kepada Allah SWT, dan mengaktualisasikan amal-amal yang salih[17] dan menampilkan Islam sebagai agama yang menyerukan kedamaian dan mensejahtrakan terhadap ummat manusia, sehingga asumsi mereka yang keliru dapat berubah dan disadari sepenuhnya.
Oleh karena itu,dalam menghadapi ahl al-kitab, tidak dibenarkan berlaku secara extrim dalam  menyeru mereka. Karena menurut Syekh Abd Rahman Abd Khalid, salah satu faktor kegagalan terbesar pada misi informasi risalah Islam di zaman modern ini, ialah bahwa Islam itu lebih baik dari idiologi dan propaganda yang ada saat itu, Islam lebih baik dari kapitalisme, sosialisme dan komunisme dan sebagainya[18] pendapat Syekh Abd Rahman itu memberikan sinyal, bahwa sudah saatnya ummat Islam meninggalkan metode dakwah terhadap non muslim yang menggunakan pendekatan Teologis Normatif[19] dan tiba saatnya untuk menampilkan metode dakwah yang mengedepankan pendekatan teologi dialogis dan konvergensi,[20] sehingga khasanah-khasanah dakwah Islam lebih dinamis tetap eksis dan aktual.

IV. PENUTUP

1st.        Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Dakwah adalah merupakan tanggung jawab Ummat Islam yang mesti diemban, karena mrupakan denyut nadi yang tak boleh berhenti sampai kapanpun.
2.    Ahl al-Kitab  merupakan kelompok atau komunitas agama yang memiliki ajaran-ajaran dan petunjuk berupa al-Kitab, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang batasan makna itu tetapi pendapat yang mayoritas hanya terbatas pada komunitas Yahudi dan nasrani.
3.    Metode dakwah dalam menghadapi ahl al-kitab  membutuhkan langkah yang arif dan hikmat sebagai makna yang tertuang dalam kitab suci Alquran dan tiba saatnya menampilkan dakwah Islam dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan (Multiapproach).

2nd.     Implikasi
Tumbuhnya kesadaran ummat untuk memahami ajaran Islam secara kaffah akan mengantar pada suatu kondisi dimana tugas dan tanggung jawabnya sebagai ummatan wa satan untuk mensosialisasikan Islam sebagai ajaran yang menghembuskan perdamaian kepada seluruh ummat manusia.
Dengan demikian difrensiasi agama akan menjadi wahan dan nuansa untuk mengekspresikan dakwah Islam secara dinamis dan aktual.



















KEPUSTAKAAN

Abd Khaliq, Abd.Rahman. Fusulun Min al-Siyasati Syariat Fi Da’wah Ila Allah diterjemahkan oleh Marsuni Sasaki et.all dengan judul Metode dan Strategi Dakwah Islam. Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kausat, 1996

al-Asfahani, Al-Raghib. Mu’jam Mufradat al-Afadz al-Qur’an. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Dep. P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Ibn Malik, Anas. al-Muwattha’. t.tp.: Dar al-Syaib, t.th.

Ibn Zakariyah, Abu Husain Ahmad bin Faris. Mu’jam al-Maqayis al-Lughah. Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

M. Ghalib, M. Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya. Cet.I; Jakarta: Paramadina, 1998ز

al-Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.

Nata, Abuddin. Metode Memahami Agama Islam. Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998

Shaleh, A. Rosyad. Management Dakwah Islam. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Syakir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: al-Ikhlas, 1983

Syihab, Alwi. Islam Inklusif. Cet.IV; Bandung; Mizan, 1998






[1] Penomena sejarah ini-mau tidak mau, telah mengundang aneka analisis dan teori, terutama tentang wacana “Perjanjian Madinah” yang telah dibuat oleh Nabi dengan orang-orang Yahudi Nasrani dan Majuzi.
[2] Lihat QS.al-Maidah (5):73. “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah satu dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka akan timpa siksaan yang pedih”.
[3] Alwi Syihab, Islam Inklusif (Cet.IV; Bandung; Mizan, 1998), h.124.
[4] M. Ghalib, M. Ahl al-Kitab; Makna dan Cakupannya (Cet.I; Jakarta: Paramadina, 1998), h.7.
[5] Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis al-Lughah (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 350
[6] Asmuni Syakir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1983), h. 20.
[7] A. Rosyad Shaleh, Management Dakwah Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.
[8] Ibid.
[9] A.W. al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h.49.
[10] Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah, op. cit., h. 95. Selanjutnya disebut Ibn Faris.
[11] Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Afadz al-Qur’an (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h.25.
[12] Dep. P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet.III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.11.
[13] Ibn Faris, op. cit., h. 917.
[14] Lihat QS. Al-Baqarah (2):2.
[15] Lihat QS.al-Baqarah (2):105. Ahl al-Kitâb dalam ayat itu berusaha memperdayakan ummat Islam agar kembali ke kufuran dan tidak menghendaki diturunkan kebaikan kepada kaum muslim (term ini untuk Yahudi) dan lihat pula QS. Al-Nisa (4):17. Term ahl al-kitâb pada ayat ini khusus untuk kaum nasrani, karena di dalamnya diungkapkan kecaman tentang sikap Nasrani yang terlalu melebih-lebihkan atau mengkultuskan Nabi Isa al-Masih sebagai Tuhan bagian dari Trinitas.
[16] Anas bin Malik, al-Muwattha’ (t.tp.: Dar al-Syaib, t.th.), h.87.
[17] Tujuan dakwah terhadap ahl al-kitab  ini, berangkat dari pemahaman dan interperetasi ayat dalam QS. Al Maidah (5) 69. Yaitu :
إن الذين آمنوا والذين هادوا والصابئون والنصاري من آمن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلا خوف عليهم ولاهم يحزنون

Menurut hemat penulis, ahl al-kitab yang beriman kepada Allah SWT, secara murni dan beramal shalih, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan perbuatan mereka dan tetap mendapat balasan dari sisi Tuhan yang maha pengasih dan penyayang.
[18] Syekh Abd. Rahman, op. cit., h. 53
[19] Teologis Normatif adalah upaya memahami dan meneliti sesuatu yang bertitik tolak dari doktrin-doktrin dan norma-norma yang bertolak dari satu keyakinan yang diakui kebenarannya. Lihat Abuddin Nata, Metode Memahami Agama Islam (Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.28.
[20] Teologis dialogis adalah pendekatan agama melalui dialog nilai-nilai normatif masing-masing aliran agama dan pendekatan teologis konfergensi adalah pendekatan kepada agama dengan melihat unsur-unsur persamaan untuk mencari titik temu dari masing-masing agama.

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas