Rabu, 09 Mei 2012

Martabat Tujuh


Martabat Tujuh

Ajaran wahdah al-wujud atau wujudiyyah telah berakar lama di kesultanan Buton. Ajaran tersebut dikenal sejak masa kekuasaan Sultan Dayyan Ihsan ad-Din pada perempat pertama abad ke -17. Beberapa naskah yang memuat ajaran ini telah dipelajari di daerah itu sebelum abad ke-19. Dan pada abad ke 19, ajaran ini tetap berlanjut menjadi ajaran yang dianut oleh penghuni keraton.
Munculnya paham ini dalam dunia tasawuf adalah sebagai akibat adanya pengalaman fana dan baqa’  yang terjadi bagi sufi dalam “pengembaraan” tasawufnya. Pemikiran tasawuf di Buton pada abad ke-19, rupanya mengikuti alur pemikiran ini. Hal ini diketahui melalui ajaran tasawuf Muhammad ‘Aidrus. Ia menerima paham tasawuf wujudiyyah karena ia terlebih dahulu mengakui terjadinya fana’ dan baqa’ dalam pengembaraan tasawufnya. Karena menerima paham wujudiyyah, ‘Aidrus menerima pula konsep “martabat tujuh’ yang menjadi bagian ajaran wujudiyyah dalam tasawuf  teosofis.
Konsep “martabat tujuh” adalah satu ajaran dalam tasawuf teosofis yang bertolak dari konsepsi bahwa hanya Tuhan yang satu-satunya wujud hakiki. Agar Ia dikenal, maka Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli). Penampakan diri Tuhan ini melalui tujuh tingkatan. Tujuh tingkatan inilah yang dikenal dalam kamus tasawuf Indonesia dengan “martabat tujuh”.
Martabat tujuh atau tujuh tingkatan tajalli tuhan yang dimuat dalam Undang-Undang Kesultanan Buton menyerupai konsep tujuh tahap tajalli  Tuhan yang ditulis oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Adapun ajaran “martabat tujuh” yang dipahami di Buton pada abad ke-19 adalah sebagai berikut[1] :

1.      Martabat ahadiyyah”. Yang disebut ahadiyyah adalah zat Allah semata, yang tidak diiktibarkan dengan sifat. Itulah yang disebut oleh ahli tasawuf dengan “la ta ayyun”, artinya tiada nyata akan “kenyataan-Nya”, sebab taiga sekali-kali jalan bagi akal untuk mengetahuin-Nya karena zat Allah semata-mata tidak diberi sifat dan nama (asma’).
2.      Martabat wahdah’’. Yang disebut demikian adalah sifat Allah. Dan itulah yang disebut oleh ahli tasawuf dengan “ta’ayyun awwal”, artinya “kenyataan pertama”. Disebut demikian, karena pada “kenyataan pertama” itulah permulaan akal bisa mengetahui sifat Allah, sifat salbiyyah dan  sifat wujudiyyah.
3.      Martabat wahidiyyah”. Yang disebut demikian adalah asma Allah. Dan oleh ahli tasawuf disebutnya dengan “ta’ayyun sani”, artinya “kenyataan yang kedua”. Disebut demikian, karena pada tingkatan ini Allah dapat dikenali oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya itulah menunjukkan zat-Nya.
Ketiga atau tingkat tersebut diatas adalah qadim (tidak bermula) dan baqa (kekal selamanya). Urutan keberadaannya bukan dari sisi zaman atau waktu, tetapi hanya dari sisi akal.
4.      Martabat alam arwah”. Itulah pokok permulaan segala nyawa, baik manusia, maupun bagi makhluk l;ain. Dan nyawa yang pertama dijadikan oleh Tuhan adalah nyawa nabi Muhammad saw. Oleh karenanya, ia bergelar “abu al-arwah”, artinya “bapak segala nyawa”. Seratus dua puluh ribu tujuh tahun sesudahnya barulah diciptakan roh yang lain. Dan segala sesuatu yang diciptakan sesudahnya adalah karena roh Muhammad. Sebagai mana sabda Nabi Muhammad saw., “ Khalaqtu asy-syai’ li-ajlik wa-khalaqtuka li-ajli.” (Aku menciptakan sesuatu karena kamu, dan Aku menciptakanmu karena Aku). Sebabnya ia disebut ruh  dalam bahasa Arab karena ia “pergi pulang”. Maka dalam bahasa Wolio, rih disebut dengan lipa. Kata ini juga berarti “pergi pulang”. Disebut demikian karena roh ini dating dan pergi pada jasad (badan). Jasad akan hidup jika didatangi oleh roh, dan mati jika ditinggalkan roh.
5.      martabat alam misal”. Yaitu perumpamaan segala keadaan, selain keadaaan Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan ada perumpamaannya dalam alam misal ini. Karena hanyalah sebagai perumpamaan, alam misal keadaanya halus, tidak dapat dicapai oleh pancaindera.
6.      Martabat alam ajsam”, yaitu segala kenyataan yang nyata, seperti tanah, batu, awan, air, dan segala keadaan yang dapat dibagi dan disusun. Alam ajsam ini bernama juga alam syahadah, artinya alam yang nyata, karena dapat diselidiki oleh pancaindera. Alam yang pertama dijadikan oleh Allah adalah ‘arsy dan kursi, kemudian kalam, lauh mahfuz. Sesudah itu baru tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit.’arsy, kursi,  dan tujuh lapis langit disebut “wujud aba”, sedangkan bumi disebut “wujud ummahat”. Dan ajsam yang ada dibawah langit ada tiga jenis, yaitu :beku, tidak berkembang biak, dan nabatat, artinya tubuh segala tumbuh-tumbuhan. Dari semua ajsdam, tubuh Nabi Adamlah yang pertama diciptakan diatas bumi. Karenanya, ia bergelar “abu al-basyr”. Dan badan manusia ini terbentuk dari empat anasir, yaitu tanah, air, angin dan api.
7.      Martabat alam insani”, yaitu yang disebut manusia. Alam ini disebut pula ”martabat jam’iyyat”,  artinya tingkat yang mengumpulkan segala dalil yang menunjukkan keadaan Tuhan, yaitu sifat jalal dan jamal. Pada manusia itulah berkumpul dua perumpamaan, yaitu: roh adalah perumpamaannya al-haq (Tuhan), dan badan atau tubuh adalah perumpamaannya al-kahlq (ciptaan). Dikatakan demikian karena manusia memiliki sifat dua puluh yang wajib bagi Tuhan; dank arena segala sesuatu sifat yang ada pada badan atau tubuh manusia ada pula pada alam besar. Sebagai contoh, batu pada alam besar ditamsilkan dengan tulang dan adaging pada manusia, angin pada alam besar ditamsilkan napas pada manusia. Itulah sebabnya manusia disebut dengan “alam kecil”, dan alam yang diluar manusia disebut “alam besar”. Ini berarti, segala sesuatu yang ada di ala mini ada tamsilannya pada manusia. Bahkan lebih dari itu, pada manusia ada roh sebagai tamsil Tuhan yang tidak ada pada alam besar.
 
  



[1]  Naskah yang memuat ajaran “martabat tujuh” ini dimuat dalam Undang-Undang Kesultanan Buton pada masa Sultan Muhammad ‘Aidrus Qa’im ad-Din (SBF: 179). Naskah ini ditranskripsi dan diterjemahkan oleh A. Mulku Zahari. Baca  Zahari Asrar, hlm. 2-6.

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas