Selasa, 15 Mei 2012

GLOBALISASI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA: PELUANG ATAU HAMBATAN UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN

GLOBALISASI DAN KEMISKINAN DI INDONESIA:
PELUANG ATAU HAMBATAN UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Abstrak
Tulisan ini berusaha mendiskusikan implikasi globalisasi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Globalisasi yang pada awalnya dipahami sebagai fenomena teknologi komunikatif ternyata berimplikasi ekonomi-politis. Tidak hanya integrasi dunia tetapi juga mengandung proses liberalisasi pasar dunia. Fenomena globalisasi bukanlah hal baru tetapi telah eksis sejak abad 19. Globalisasi dan liberalisasi pasar telah terjadi dan dialami Indonesia sejak pedagang Eropa melakukan kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara. Kemudian memunculkan penjajahan (kolonial) dan membawa implikasi cukup penting bagi kesejahteraan masyarakat. Peluang kerja memang terbuka karena investasi mengalir cukup deras. Namun, tanah-tanah masyarakat dikuasai oleh pengusaha asing dengan sewa jangka panjang atau dikuasai secara semena-mena. Masyarakat terusir dari tanahnya dan kehilangan alat produksi utama. Untuk mereguk keuntungan para pengusaha asing memperkerjakan masyarakat lokal dengan upah rendah. Walaupun terintegrasi dengan pasar dunia, kesejahteraan masyarakat lokal tidak berubah karena pasar sepenuhnya dikuasai para pedagang asing yang menguasai teknologi, alat komunikasi dan transportasi. Ada perubahan tetapi tidak ada implikasi bagi perbaikan kesejahteraan. Justru kemiskinan meluas.
Globalisasi yang terjadi pada abad 21 ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan globalisasi pada abad 19. Kalau dulu pasar dikuasai negara maju (kapitalis) dengan cara menduduki (dijajah) sekarang dibungkus dengan mission sacree diselimuti diplomasi politik dengan taktik lehih halus. Dibalik itu hakekat hasrat negara-negara maju berusaha menguasai dan sebagai mencari jalan (strategi) untuk melipat gandakan keuntungan tidaklah berbeda. Mungkin saja peluang-peluang usaha tercipta tetapi lebih banyak dinikmati mereka yang telah menyiapkan diri untuk berkompetisi. Tidak semua negara dan lapisan masyarakat bisa menikmati peluang yang tercipta dalam era globalisasi. Implikasi bagi penganggulangan kemiskikan tentunya tergantung pada masyarakat lokal dalam menyikapi globalisasi itu. Setidaknya masyarakat perlu mempertimbangkan menerima atau menyetujui bila globalisasi dapat menguntungkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu menolak dengan tegas bila globalisasi tidak mempunyai implikasi bagi peningkatan kesejahteraan dan menghambat penanggulangan kemiskinan.


  PENGANTAR
Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar (barang dan uang) yang di dalamnya mengandung banyak implikasi bagi kehidupan manusia. Dalam laporan World Development Report (World Bank, 1995:3 ) dilaporkan bahwa integrasi dunia dapat memicu pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan melalui effek ganda (multiplier effects) perluasan peluang kerja dan peningkatan upah riel. Bagi negara maju karena ketersediaan dukungan berbagai keunggulan, barangkali hipotesis itu dapat menjadi kenyataan. Bagi kebanyakan negara berkembang dengan berbagai macam kondisi keterbelakangan merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan pemilik modal (negara-negara maju) dan akan menimbulkan malapetaka bagi negara-negara berkembang. Masyarakat miskin yang merupakan mayoritas penduduk negara berkembang mungkin tidak dapat menikmati peluang-peluang yang tercipta dan bahkan terpaksa tersisih dan terjerembab dalam pusaran kemiskinan.
Berangkat dari pemikiran itu, tulisan ini berusaha membahas implilkasi globalisasi pada beberapa aspek kehidupan, terutama kemiskinan. Atas dasar itu kemudian diusahakan untuk menelaah apakah globalisasi dapat membuka peluang atau justru menghambat upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Bahasan dimulai dengan mendiskusikan aspek-aspek yang terkait dengan globalisasi. Berikutnya dibahas implikasi globalisasi di Indonesia yang dipusatkan pada implikasi pada ekonomi, sosial dan politik. Pada bagian akhir dibahas implikasi pada upaya penanggulangan kemiskinan.
GLOBALISASI
Globalisasi apakah ia hasil rekaan, kesepakatan atau paksaan dan terserah apa latar belakang kemunculannya, ia telah menjadi istilah populer. Ada harapan terselip padanya karena menjanjikankan peluang-peluang. Ada kala memunculkan ketakutan dan menghantui pemikiran karena khawatir akibat yang akan ditimbulkannya. Realitas menunjukkan bahwa istilah itu dengan berbagai macam penafsiran telah menjadi isu dan pembicaraan di mana-mana. Terlepas dari segala macam penafsiran globalisasi ditenggarai sebagai sebuah proses yang kompleks (Giddens, 2000: 38). Kekomplekkan ini muncul karena ia digerakkan oleh berbagai kekuatan, baik budaya, teknologi, politis maupun ekonomi. Tidak mengherankan bila kemudian ia dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Ia tidak hanya merubah kehidupan sehari-hari tetapi juga menciptakan kekuatan-kekuatan internasional baru. Bahkan disadari atau tidak, globalisasi telah mentranformasikan ruang dan waktu serta institusi-institusi, baik sosial maupun ekonomi.
Globalisasi adalah terminologi baru tetapi eksistensinya telah ada sejak lama. Gejala globalisasi telah muncul pada abad 19 sebagai rekaan demokrasi sosial gaya lama (Giddens, 2000: 32-33). Gejala itu muncul sejak petualang dan pedagang Eropah mejelajahi dunia. Era merkantilis pertengahan abad 19 dengan dukungan transportasi laut boleh dikatakan sebagai awal globalisasi abad 19. Saat itu perdagangan dan perekonomian dunia sudah terbuka dan dikuasai pedagang Eropa (negara maju). Jalur perdagangan dan pasar dunia dikuasai dan dimonopoli pedagang Eropa. Monopoli tidak hanya memalui diplomasi tetapi diusahakan melalui kekerasan (peperangan) dalam upaya menundukan dan hasrat menguasai kerajaan-kerajaan di Asia, Afrika, Amerika Latin untuk dijadikan daerah jajahan demi kepentingan perdagangan (sumber bahan mentah dan pasar). Ketika itu muncul koloni-koloni yang sudah dikuasai sehingga dengan mudah untuk dikontrol aktivitas perdagangannya. Dengan demikian keuntungan para pedagang dapat dilipat gandakan dan negara bisa mengambil keuntungan untuk membiaya pembangunan di negara asal.
Apa beda antara globalisasi abad 19 dengan abad 21 ini. Perbedaan terletak pada cara dan pendekatan yang dipakai dalam penguasaan dan dalam hal kecepatan serta cakupan. Penguasaan pasar dan perdagangan tidak lagi dengan menguasai secara fisik, seperti abad 19, tetapi melalui pendekatan dengan menggunakan instrumen politik, budaya dan teknologi. Negara-negara maju dan para pemilik modal berskala internasional tidak perlu bersusah payah dan berlama-lama diperjalanan untuk melakukan transaksi perdagangan. Melalui kerjasama kelompok dalam pasaran bersama, ekpansi pasar dapat dilakukan. Kerjasama pemasaran diorganisir dan berdasarkan kesepakatan politis dibentuk forum di sebut AFTA, NAFTA, APEC, WTO dsbnya. Melalui forum itu dilakukan perjanjian mengenai hak dan kewajiban masing-masing anggota dalam mewujudkan ekspansi dan penguasaan pasar. Negara yang mempunyai kekuatan lobi politis cenderung akan lebih diuntungkan ketimbang negara yang lobi politis lemah. Secara politis negara-negara maju yang mempunyai lobi politis lebih kuat akan banyak menguasai dan diuntungkan dengan liberalisasi ekonomi dalam era globalisasi abad ini.
Penguasaan pasar bisa juga dilakukan lewat media teknologi. Menggunakan teknologi komunikasi mutakhir negara-negara maju dengan mudah melakukan transaksi perdagangan menembus batas-batas negara dalam waktu sangat cepat dan singkat. Integrasi ekonomi menuju pada perekonomian sepenuhnya global melampoi dan tanpa ada batas-batas negara. Teknologi mempercepat proses intergrasi dan dengan sekejap mata dapat mempengaruhi masyarakat dunia di mana pun berada. Informasi dengan mudah menyebar keseluruh dunia tanpa ada yang bisa mengontrolnya. Siapa saja yang mempunyai akses dan mengusasai teknologi komunikasi mutakhir, di mana pun dia berada dengan mudah dan leluasa berinteraksi dengan dunia. Transaksi apa pun dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu bersusah payah. Dunia semakin terbuka dan dengan segala macam implikasinya. Implikasi tidak saja ekonomi dan politik tetapi juga pada hidup keseharian, seperti gaya hidup, pola makan dan seterusnya.
BEBERAPA IMPLIKASI
Implikasi globalisasi tdak sama untuk tiap negara dan masyarakat meskipun ada kecenderungan memiliki kemiripan. Letak geografis dan daya resistensi suatu negara dan masyarakat agaknya dapat mempengaruhi implikasi. Karenanya, derajad keterpengaruhan globalisasi antar negara dan masyarakat juga bisa berbeda. Tidak cukup ruang untuk mendiskusikan berbagai macam implikasi diberbagai negara dan masyarakat. Sesuai dengan fokus pembahasan maka implikasi hanya dipusatkan pada pengalaman dan realitas yang terjadi di Indonesia. Simplifikasi dan reduksi mungkin saja terjadi sehingga tidak dapat memberikan gambaran utuh menyeluruh.
1. Implikasi globalisasi abad 19
Pertama mari kita cermati implikasi globalisasi abad 19 pada kehidupan masyarakat Indonesia. Setelah petualang dan pedagang dari Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris melakukan kontak dagang dengan masyarakat Indonesia kemudian disusul dengan pedagang Belanda. Pada tahap berikutnya Belanda mengunakan armada untuk menaklukan dan menduduki sebagai upaya untuk memonopoli perdagangan. Upaya monopoli diwujudkan melalui maskapai perdagangan Belanda (VOC), tidak sama tetapi sepak terjang ada kemiripan dengan multi corporation atau perusahaan trans nasional. Monopoli perdagangan dengan kekerasan tidak hanya menyingkirkan masyarakat Indonesia tetapi juga telah mematikan berbagai macam benih aktivitas ekonomi yang sangat penting dan sekaligus mematikan bibit kewiraswastaan (Furnival, 1944: 45). Demikian juga, Masvelt (1979: 79) menyimpulkan bahwa perdagangan yang di monopoli oleh pedagang yang disponsori oleh maskapai perdagangan Belanda telah menghancurkan industri pribumi. Perdagangan bebas yang diterapkan oleh Belanda menyebabkan Indonesia kebanjiran barang-barang pruduk Eropa. Pada saat itu Indonesia hanya berfungsi sebagai penghasilan bahan mentah dan juga pasar untuk mendukung kegiatan industri di Eropa.
Untuk mendukung kepentingan perdagangan dan menggerakkan industri di Eropa, kolonial Belanda mengundang dan mengizinkan pengusaha-pengusaha, terutama pengusaha Eropa untuk menanamlkan modal mereka di Indonesia. Melalui kebijakan pertanahan (agrarian law) dengan menerapkan sistem sewa jangka panjang dan hak penguasaan yang cukup ringan dan menguntungkan pengusaha. Modal asing secara besar-besaran masuk ke Indonesia dipenghujung abad 19 di awali dengan penanam modal pengusaha Inggris di perkebunan teh (Hall, 1988: 733-735). Kemudian pengusaha Eropa dari Swiss, Belgia dan Jerman berdatangan dan menanamkan modalnya di Indonesia dalam kegiatan minyak, timah dan perkebunan. Modal Belanda sekitar 75 persen, Inggiris 13,5 per sen dan Amerika 2,5 persen. Bersamaan dengan itu pekerja asing juga masuk ke Indoensia. Diperkirakan ada sekitar 16.476 pekerja (tidak termasuk Cina, India dan Belanda) yang bekerja di perusahaan asing di berbagai daerah di Indonesia.
Tanah-tanah disewa oleh perusahaan asing untuk diusahakan sebagai lahan perkebunan tebu, kelapa sawit, coklat, karet , indigo dll. Tanaman yang diusahakan adalah tanaman untuk keperluan bahan mentah dalam upaya mendukung kegiatan industri di Eropa. Bahkan kolonial Belanda menerapkan program tanam paksa. Pribumi diharuskan menanam tanaman sesuai dengan kebutuhan pemerintah kolonial Belanda, misalnya tanaman tebu. Hasil tanam paksa harus diserahkan pada pabrik-pabrik tebu milik pengusaha kolonial Belanda dengan harga yang telah ditetapkan oleh kolonial Belanda. Menurut Hall (1988: 732) ketika itu seluruh kegiatan ekonomi di Indonesia di kuasai oleh kolonial Belanda dan pengusaha asing sedang kegiatan ekonomi pribumi dibatasi dan dipinggirkan dengan menggunakan beberapa peraturan yang membatasi wilayah arena perdagangan. Misalnya perdagangan antar pulau hanya dibolehkan bagi pedagang Eropa. Pedagang perantara pengumpul hanya diizinkan bagi pengusaha keturunan Cina. Bahkan buruh di perusahaan timah dan minyak hanya memperkerjakan pekerja dari Cina. Pribumi hanya menjadi kuli kontrak atau buruh kasar dan hanya diizinkan berdagang atau membuka industri kecil di pedesaan. Kontrol terhadap harga dan pembatasan wilayah perdagangan disertai monopoli pasar menyebabkan masyarakat lokal tidak memiliki ruang gerak dan keterbatasan peluang untuk terlibat pada aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Gambaran itu memberikan pemahaman bahwa proses liberalisasi ekonomi yang dimulai tahun 1870 itu tidak hanya meminggirkan dan menyingkirkan penduduk pribumi dari tanah dan aktivitas ekonomi tetapi membatasi pasar dengan diikuti membanjirnya produk luar negeri, terutama yang berasal dari Eropa (Booth, 1998: 372). Ketidakmampuan bersaing menyebabkan industri lokal pribumi tidak berkembang ibarat pepatah mereka layu atau mati sebelum berkembang. Dalam posisi seperti itu masyarakat lokal (pribumi) hanya dapat bekerja sebagai petani subsisten atau pekerja diperkebunan sebagai buruh atau kuli dengan upah sangat rendah yang tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan. Furnival (1944: 44) menggambarkan bahwa saat itu kondisi ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat mengerdil alias hidup serba kekurangan dalam himpitan kemiskinan.
Ditengah liberalisasi ekonomi pada tahun 1930 terjadi krisis ekonomi. Banyak pengusaha Eropa mengalami kesulitan bisnis dan bangkrut. Akibatnya, permintaan bahan mentah dari Indonesia menurun tajam. Pengusaha perkebunan di Indonesia terpukul dan mengalami goncangan. Sebagian gulung tikar dan sebagian bertahan tetapi terjadi pengurangan pekerja dan buruh. Ekonomi yang selama ini bertumpu pada kekuatan pasar Eropa mengalami stagnasi. Secara langsung ekonomi pribumi tidak mengalami pukulan yang cukup berarti tetapi berpengaruh pada kehidupan masyarakat karena ribuan pekerja terpaksa kehilangan pekerjaan. Krisis ekonomi ini telah memporakporandakan sistem ekonomi modern (kapitalis) sedang ekonomi pribumi yang sebagian besar masih subsisten mampu bertahan dengan segala macam kekurangannya. Namun, menurut catatan sejarah di beberapa daerah yang terisolir mengalami bencana kelaparan karena untuk membantu pemulihan ekonomi pemerintah Belanda di Eropa anggaran pemerintah kolonial untuk membeli persedian bahan pangan berkurang. Keuntungan ekonomi yang didapatkan para pengusaha asing tidak dirasakan rakyat pribumi karena digunakan untuk pembangunan di negeri asal (di Eropa) tetapi ketika mengalami kesulitan (krisis ekonomi) rakyat priibumi ikut merasakan akibanya. Ketidakadilan inilah yang menyebabkan rakyat pribumi tidak dapat ke luar dan tetap berkubang dalam lembah kemiskinan.
2. Implikasi globalisasi abad 21 ini
Apa implikasi globalisasi abad 21 ini. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi agar legitimasi kekuasaan rezim berkuasa tidak goyah maka penanaman modal asing dipermudah dengan bantuan berbagai kebijakan. Persyaratan untuk menanamkan modal dibuat lebih ringan dan lunak. Modal asing mengalir terus. Kegiatan industri meningkat tajam. Kerjasama (joint) pengusaha pribumi dengan pengusaha asing semakin banyak dilakukan. Kerjasama perusahaan modal asing dengan perusahaan pribumi tidak hanya dalam perdagangan tetapi juga dalam industri otomotif (Chalmers, 1996: 327-345). Apakah kerjasama itu saling menguntungkan apa tidak cukup sulit diketahui secara transparan? Yang jelas beberapa perusahaan milik non-pribumi bekerjasama dengan penguasa menjadi perusahaan raksasa (konglomerasi). Secara makro dapat dirasakan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat dan ini banyak menjadi kekaguman berbagai negara yang menanamkan modalnya di Indonesia. Ada yang menyebutnya sebagai "keajaiban Asia".
Sejalan dengan itu perusahaan-perusahaan pribumi yang tidak mampu bersaing dengan modal asing cukup banyak. Perusahaan-perusahan kecil milik pribumi banyak yang bangkrut dan gulung tikar. Angka yang bangkrut mencapai sekitar 30 persen tahun 1980-87 dan 33 persen tahun 1988-93 (lihat Tabel 1). Menurut Dawam
  TABEL 1 Tingat Ukuran Usaha yang bangkrut Tahun 1980-1993 (PER SEN)
Tingkat ukuran
Usaha
Bangkrut
1980-87 1988-93
Sangat kecil
Kecill
Menengah
Besar
Sangat besar
  1.  
  2. 31
  1.  
  2. 30
  1.  
  2. 23
  12 15
20 23
  Sumber: Mundrajad Kuncoro dan Anggito Abimayu, 1995, "Struktur dan Kinerja Industri dalam Era Deregulasi dan Globalisasi", Kelola !0 (4), hal.52
Raharjo (1984: 177) sejak modal asing masuk ke Indonesia banyak industri tradisional, terutama tekstil gulung tikar sebab tidak mampu bersaing dengan industri modern milik modal asing. Diperkirakan pada tahun 1969-1970 jumlah industri tekstil tradisional sekitar 324.000 perusahaan. Pada tahun 1976-1977 hanya tersisa sekitar 60.000 perusahaan. Berarti sekitar 60 persen tidak mampu beroperasi lagi.
Kehancuran industri kecil tidak hanya melanda industri tekstil, tetapi juga industri minuman tradisional. Banyak industri minuman tradisional bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan industri minuman modern, seperti Coca Cola, Seven Up, greensand dll. Demikian juga, industri kecil pedesaan yang memproduksi alat rumah tangga memanfaatkan bahan baku tanah dan bambu banyak gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan produk industri modern plastik. Beberapa ada yang mampu bertahan dengan melakukan diversifikasi dan meningkatkan kualitas produk, seperti yang terjadi di Kasongan, Bantul Yogyakarta. Meskipun ada yang mampu bertahan tetapi kondisi sangat memperihatinkan.
Kehancuran industri tradisonal ini juga ada kaitan dengan perubahan gaya hidup masyarakat menuju pada gaya hidup modern yang tergoda oleh bujuk rayu promosi dan iklan di media yang begitu gencar di masa globalisasi ini. Mereka yang daya beli cukup cenderung meniru gaya hidup yang sering dipromosikan di media (TV) atau iklan lewat internet. Ekpansi restoran gaya Kentuky Fried Chicken , California Fried Chicken, bermunculan bagaikan jamur dimusim hujan. Kota kecil kabupaten juga tidak luput dari ekspansi restoran itu. Globalisasi memungkinkan masyarakat kelas menengah menikmati dan meniru gaya hidup yang dapat mereka lihat dari media masa dan iklan. Berbagai macam produk baru ditawarkan dan masyarakat setiap saat dibujuk dengan berbagai macam hadiah yang cukup menarik dan menggoda. Produk-produk itu pada umumnya adalah produk industri negara maju atau modal asing yang dirancang dan di sesuaikan dengan kondisi pasar (masyarakat) setempat. Komoditas apapun telah merasuk ke dalam kehidupan keseharian masyarakat yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Kemajuan dalam teknologi dan cara promosi telah memungkin ekpansi pasar yang kelihatannya sulit untuk dielakkan.
Ekspansi pasar dan mengalirnya modal asing diikuti dengan masuknya pekerja asing ke Indonesia. Pada priode tahun 1990-1996 jumlah pekerja asing tenaga terampil meningkat dari sekitar 18.335 menjadi sekitar 64.760 pekerja (periksa Tabel 2). Tentunya ini berimplikasi pada menyempitnya peluang kerja bagi pekerja Indonesia. Di samping itu, para pekerja asing ini umumnya dibayar dengan standard gaji masing-masing negara. Gaji pekerja asing dengan pekerja Indonesia berbeda cukup jauh bisa 10 atau 15 kali lebih besar gaji pekerja asing. Implikasi yang dirasakan adalah devisa dari sektor jasa mengalami defisit. Memang difisit itu tidak semua ada kaitan dengan pekerja asing. Diperkirakan difisit negara di sektor jasa pekerja asing dan jasa profesional sekitar 5 milyar dolar US.
  TABEL 2 Jumlah Pekerja Asing Menurut Jabatan di Indonesia Tahun 1990 dan 1996
Jabatan
1990
Jumlah %
1996
Jumlah %
Manajer
3245 17,7
18463 28,5
Profesional
4820 26,2
15899 24,5
Foreman
2993 16,3
9266 14,4
Operator/tehnisi
7277 39,7
1132 32,6
Total
18335 100
64760 100
Sumber: Depnaker, 1996, Laporan Ditjen Binapenta
Memang era globalisasi ini telah membuka peluang pekerja Indonesia bekerja di luar neberi. Pada awalnya pekerja Indonesia hanya bekerja di Timur Tengah, tetapi kemudian mereka bekerja di berbagai negara. Menurut catatan Depatemen Tenaga kerja pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri tercatat 964.111 pekerja terdiri dari perempuan 628.972 dan laki-laki 335.139 pekerja. Sumbangan mereka pada devisa negara pasti ada tetapi data akurat jumlah devisa dari pekerja migran ini sulit didapatkan. Namun remitan yang dikirimkan ke kampung halaman mereka dapat memberikan sumbangan bagi perbaikan ekonomi keluarga. Meskipun masih sangat terbatas para pekerja migran dapat memberikan sumbangan bagi penanggulan kemiskinan bagi masing-masing keluarga. Tetapi ketika krisis ekonomi melanda beberapa negara para pekerja migran banyak yang kembali ke kampung halaman. Menambah beban pengangguran yang selama ini sudah cukup mengkhawatirkan.
3. Krisis ekonomi dan kemiskinan
Perubahan paling penting dengan arus globalisasi adalah diperluasnya peran pasar keuangan dunia. Lebih dari trilyunan dollar per hari dijual dalam transaksi jual beli mata uang (Giddens, 1999: 34). Pialang-pialang mata uang kaliber dunia dengan leluasa dan dalam tempo yang singkat dapat menjual dan membeli mata uang satu negara. Transaksi mata uang yang demikian cepat telah membawa implikasi bagi sistem moneter suatu negara. Memperjual belikan uang di pasar keuangan dunia menyebabkan mata uang suatu negara dapat tidak stabil dan menyebabkan negara itu mengalami goncangan sistem moneter. Sistem moneter Asia Tenggara mengalami krisis setelah terjadi permainan transaksi mata uang di pasar internasional. Mula-mula mata uang Thailand terdepriasi kemudian mata uang Indonesia yang berakibat pada munculnya krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis politik dan kemudian krisis multidimensi.
Krisis moneter yang diawali pertengahan 1997 menyebabkan sendi-sendi pereko nomian mengalami krisis dan kemudian menerpa hampir ke seluruh sektor. Sektor tergolong modern (industri, konstruksi, dan keuangan) mengalami pukulan paling berat. Sektor listrik, gas, dan air bersih serta sektor pertanian masih dapat bertahan. Mercermati data statistik pada tahun 1997 hampir semua sektor mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 1996 (lihat Tabel 3). Pada tahun 1998 semua sektor mengalami penurunan. Bahkan beberapa sektor mengalami penurunan sampai titik negatif, kecuali sektor pertanian, listrik, gas, dan air bersih. Listrik, gas dan air dapat bertahan karena dari tahun 1996 sampai tahun 1998 konsumsi listrik
TABEL 3 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Kostan 1993 Menurut Sektor Tahun 1996, 1997, Dan 1998
Sektor
1996
1997
1998
Pertanian, kehutanan, perikanan
3.14
0.72
0.38
Pertambangan dan penggalian
6.74
1.71
-3.35
Industri pengolahan
11.59
6.42
-15.59
Listrik, gas, dan air bersih
13.63
12.75
1.42
Bangunan
12.76
6.43
-37.49
Perdagangan, hotel, restoran
8.16
5.80
-20.64
Pengangkutan dan komunikasi
8.68
8.31
-11.84
Keuangan,asuransi, jasa perusahaan
6.04
6.45
-18.24
Jasa kemasyarakatan
3.40
2.54
-5.51
PDB
7.82
4.91
-13.72
PDB Tanpa Migas
8.16
5.45
-14.82
    Sumber : Biro Pusat Statistik (dikutip dalam Boediono, Ace Suryadi, dan RusmanHeriawan, 1999.
terus menaik dari 56,932 GWh menjadi 65,261 GWh. Sektor pertanian dapat bertahan tidak sampai titik negatif mungkin karena beberapa hasil pertanian di beberapa daerah mengalami kenaikan penghasilan secara tajam ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar terus melemah. Harga produk perkebunan (kelapa sawit, coklat, cengkeh, kopi, lada dll) dan perikanan (udang) yang sebagian besar di ekspor dengan patokan harga dollar merasakan kenaikan penghasilan. Selama krisis berlangsung daerah-daerah penghasil perkebunan dan perikanan kurang begitu merasakan terpaan krisis. Nilai tukar yang tidak stabil menyebabkan penghasilan masyarakat juga turut turun naik tidak menentu tergantung pada pasar.
Tidak di duga sektor-sektor tergolong modern yang selama 32 tahun orde baru berkuasa mendapat kemudahan agar menjadi andalan dalam memicu pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan tajam dan terpuruk hancur sampai pada titik negatif (minus). Bahkan banyak pengusaha meninggalkan hutang, baik luar maupun dalam negeri. Bank-bank yang dengan mudah mendapat kuncuran dana dari pemerintah melalui BLBI satu per satu mengalami kesulitan likuiditas dan meninggalkan hutang dalam jumlah yang cukup besar. Kemudian, para pekerja banyak yang di PHK dan dirumahkan.
Selain itu, industri-industri yang amat bergantung, dengan bahan baku impor tidak mampu beroperasi lagi, karena harga bahan baku eks impor naik tajam akibat nilai rupiah melemah. Bersama dengan itu ribuan usaha perdagangan menengah di beberapa kota bangkrut. Kriris politk terjadi karena kepercayaan masyarakat pada pemerintah merosot tajam. Gelombang unjuk rasa dan kerusuhan sosial terjadi di mana-mana. Kerusuhan sosial, amuk massa, menghancurkan dan membakar pusat kegiatan ekonomi terjadi. Kasus Mei di Jakarta dan kasus di Solo dll. Banyak pedagang mengalami kebangrutan dan banyak yang tidak dapat bangkit lagi karena dihancurkan dan dibakar massa ketika terjadi kerusuhan. Jutaan pekerja kehilangan pekerjaan terkena PHK ataupun terpaksa tidak dapat berusaha dan bekerja karena tempat usaha hancur diamuk massa. Kondisi ketenagakerjaan menuju pada titik yang cukup mengkhawatirkan. Jutaan angkatan kerja baru tidak dapat memasuki pasar kerja diikuti dengan tingginya angka pengangguran terbuka, setengah pengangguran dan meluasnya kemiskinan.
Krisis ekonomi dan sosial telah menghambat proses perubahan struktur ketenagakerjaan. Sebelum krisis terjadi aliran pekerja yang keluar dari sektor pertanian menuju sektor non-pertanian (industri pengolahan, konstruksi, dan jasa) mulai meningkat. Namun, selama krisis berlangsung banyak pekerja kembali lagi ke sektor pertanian. Kecenderungan ini dapat diamati dari data pekerjaan menurut lapangan pekerjaan pada tahun 1996 dan 1998 (lihat Tabel 4). Pada tahun 1996 pekerja di sektor pertanian sekitar 45,4 % dan pada tahun 1998 naik menjadi sekitar 49 %. Sebaliknya pekerja yang bekerja di sektor industri, konstruksi, perdagangan
TABEL 4 Pekerja Menurut Lapangan Usaha Tahun 1997 dan 1998
Lapangan Usaha
1996 (%)
1998 (%)
Pertanian
45.4
49.5
Industri
11.3
11.3
Konstruksi
5,5
2.5
Perdagangan
17.7
17.3
Jasa angkutan
20.1
19.4
Total %
100
100
N (Juta)
82,5
87,0
  Sumber : Susenas 1997 dan 1998
dan jasa pada tahun 1998 mengalami penurunan. Mengindikasikan banyak pekerja di sektor itu ke luar atau meninggalkan pekerjaan itu. Ada dua implikasi akibat pergeseran itu. Pertama, angka pengangguran terbuka meningkat karena banyak pekerja di sektor industri, konstruksi, perdagangan dan jasa terpaksa ke luar dan berusaha mencari kerja di sektor lain. Kedua, angka setengah pengangguran meningkat karena sebagian dari mereka masuk ke sektor pertanian dan sektor informal yang sebagian besar dikelola oleh keluarga. Mereka kerja dengan jam kerja tidak menentu serta sering tidak dibayar dan bila diupah biasanya upah rendah.
Sebelum krisis berlangsung, ketika pertumbuhan ekonomi masih sekitar 7 %, angka pengangguran terbuka total telah mencapai angka 7 % sedang angka pengangguran terbuka tenaga terdidik di perkotaan sudah mencapai angka 18,6 %. (Manning, 1997). Angka pengangguran terbuka semakin meningkat tajam dan melanda hampir seluruh lapisan masyarakat ketika gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi sebagai akibat perusahaan mengurangi produksi atau gulung tikar karena krisis moneter. Juga ada kebijakan melikuidasi bank bermasalah. Saat ini pengangguran terbuka total diperkirakan mencapai angka 17.1 % atau sekitar 15.4 juta (Johnson : 1997:39). Meskipun sebagian pekerja terkena PHK terpaksa kembali ke daerah asal (pedesaan), tetapi barangkali sebagian besar pengangguran terbuka bertahan di pusat-pusat industri (seperti Jabotabek) atau dengan segala daya untuk tetap mengadu nasib di perkotaan.
Pekerja yang terpaksa kembali ke desa tidak mustahil menambah angka setengah pengangguran karena kemungkinan mendapatkan pekerja penuh (full time) cukup sulit di perdesaan. Angka setengah pengangguran sebelum krisis sekitar 35 % dan proporsi terbesar berada di perdesaan (Johnson: 1997:35). Setelah krisis ekonomi angka setengah pengangguran diperkirakan mencapai 40 – 50 juta atau sekitar 50 %. Masalah ketenagakerjaan ini semakin runyam karena selama krisis ribuan pekerja migran yang selama ini bekerja di Malaysia dan Singapura dipulangkan ke daerah asal.
Peluang kerja sektor informal semakin tidak lagi mudah dimasuki. Persaingan semakin ketat karena pekerja kelas menengah dan para selebritis selama krisis ekonomi berusaha mengkais rezeki di sektor ini. Pekerja sektor formal yang terkena PHK atau mendapat kesulitan berusaha di sektor formal juga berusaha masuk ke sektor informal. Seperti di Jakarta dan di beberapa kota besar banyak kalangan kelas menegah, termasuk selebritis, berusaha memasuki sektor informal selama krisis. Oleh karena itu, proporsi pekerja memasuki sektor informal menaik dari sekitar 65 % pada tahun 1997 (mulai krisis) dan menjadi sekitar 68 % pada tahun 1998 (selama krisis berlangsung) (lihat Tabel 5).
TABEL5  Pekerja Menurut Status PekerjaanTahun 1997 dan 1998
Status Pekerjaan
1997 (%)
1998 (%)
Formal
35,4
31,7
Informal
64,6
68,3
Total %
100
100
N (Juta)
82,5
68,3

Ditulis Oleh:
Tadjuddin Noer Effendi

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas