Lanjutan Marxisme dan Perjuangan Melawan
Imperialisme
Perluasan bonapartisme kaum proletar
di dunia kolonial menimbulkan juga masalah lain &endash;yaitu peran kelas
buruh tani dalam revolusi. Selama seluruh periode hal ini berlangsung,
kelihatannnya analisis klasik Marxisme yang menekankan peran kepemimpinan
proletariat dalam revolusi telah dikhianati sejarah. Secara praktis setiap
tendensi lain, dengan perkeculian milik kita, menerima teori-teori model baru
mengenai perang gerilya. Kitalah satu-satunya yang menerangkan bahwa tidak ada
kelas selain kelas proletar yang dapat memimpin pendirian sebuah negara kaum
pekerja yang sehat.
Sebagaimana telah kita tekankan, dalam
tulisan-tulisan Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky, tak bisa ditemukan referensi
ataupun bahkan tanda kemungkinannya bahwa kelas petani dapat memimpin jalannya
revolusi. Alasan bagi hal itu adalah heterogenitas ekstrim kaum tani sebagai
suatu kelas. Ia terbagi atas banyak lapisan, mulai dari buruh tak bertanah
(yang benar-benar merupakan kaum proletar pedesaan) hingga petani-petani kaya
yang mempekerjakan petani lain sebagai buruh upahan. Mereka tidak memiliki
suatu kepentingan bersama dan oleh karena itu tidak dapat memainkan peran
independen dalam masyarakat. Secara historis mereka telah mendukung kelas-kelas
atau kelompok-kelompok lain di perkotaan. Satu-satunya kelas yang mampu
memimpin sebuah revolusi sosialis yang berhasil adalah kelas buruh. Ini
bukanlah karena alasan-alasan sentimental melainkan karena posisi yang
didudukinya dalam masyarakat serta karakter kolektif dari perannya dalam
produksi.
Kaum Marxis telah senantiasa memahami
perang kaum tani sebagai sebuah alat bantu bagi kaum buruh dalam perjuangan
meraih kekuasaan. Posisi tersebut pertama kali dikembangkan oleh Marx selama
revolusi Jerman di tahun 1848, saat ia ngotot bahwa revolusi Jerman hanya dapat
dimenangkan sebagai suatu edisi kedua dari Perang Buruh Tani. Dengan kata lain,
gerakan kaum buruh di kota-kota akan harus menarik massa buruh tani di
belakangnya. Penting untuk dicatat bahwa selama revolusi Rusia kaum buruh
perindustrian mewakili tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Tetapi tetap
saja kaum proletar memainkan peran pimpinan dalam revolusi Rusia, menarik
berjuta-juta massa kaum tani miskin &endash;sobat alamiah dari kaum kaum
proletar.
Kelihatannya perspektif ini telah
dipalsukan setelah terjadinya Perang Dunia Kedua ketika sejumlah perang gerilya
berakhir dengan kemenangan di Kuba, Vietnam, Angola, Mozambik, dsb. Revolusi
Kuba adalah kasus khusus yang ganjil, meskipun pada dasarnya revolusi ini
serupa dengan yang terjadi di Cina. Belum disadari sepenuhnya bahwa Castro
mulai (bergerak) sebagai seorang demokrat-borjuis. Model yang dipakainya adalah
revolusi Amerika di tahun 1776! Tetapi Mao kemudian secara orisinal mempunyai
juga prespektif bagi sebuah periode panjang perkembangan kapitalis di Cina.
Dalam kedua kasus ini logika situasi mendikte keluaran yang berbeda dengan yang
ada di pikiran pemimpin tersebut.
Setelah menggebuk negara Batista kuno
(ini bertentangan dengan nasehat Partai Komunis Kuba yang mengutuk Castro
sebagai seorang borjuis kecil petualang), Castro mendapati dirinya berada di
posisi yang sebelumnya sama sekali tidak dia lihat. Dia berusaha mengenalkan
reformasi dan menarik pajak atas perusahan-perusahaan AS, yang membalas dengan
kampanye sabotase meskipun pajak yang harus mereka bayar di Kuba lebih rendah
jumlahnya daripada yang mereka bayar di Amerika Serikat. Washington mulai
mengadakan blokade terhadap Kuba. Sebagai balasan, Castro merampas semua asset
AS di Kuba. Karena sembilan dari sepuluh bagian ekonomi dimiliki oleh
imperialisme AS, ini berarti secara praktis seluruh ekonomi dinasionalisasikan,
mereka memutuskan untuk menyempurnakannya dan menasionalisasikan sepuluh persen
yang tersisa. Dengan Moskow sebagai model di hadapannya, para pemimpin Kuba
melakukan manuver untuk mendirikan sebuah rezim kaum bonapartis porletar.
Revolusi Kuba bertindak sebagai sebuah
lampu suar bagi para buruh dan kaum tani tertindas di Amerika Tengah dan Latin.
Di beberapa negara, mereka ini berusaha mengikuti perang gerilya cara Kuba,
tapi meskipun daya tarik permukaannya dahsyat&endash;terutama bagi para
mahasiswa muda, hal ini gagal di mana-mana, dengan hasil yang amat parah.
Tendensi kita menjelaskan bahwa banyak dari kemenangan-kemenangan ini dicapai
bukan oleh perang gerilya itu sendiri melainkan oleh kaum buruh yang menggelar
pemogokan umum di kota-kota, inilah faktor menentukan itu. Itulah kasus di Kuba
dan juga di Nigeria. Kita juga menjelaskan bahwa sebuah perang gerilya, bahkan
meskipun ia berjaya, sama sekali hanya dapat membimbing ke arah sebuah negara
kaum buruh yang cacat (negara kaum proletar bonapartis). Sifat paling dasar
dari organisasi sebuah perang gerilya memang tidak membiarkan sebuah struktur
demokratik dan kurangnya partisipasi kaum buruh di sebuah kerja terorganisasi
dalam penumbanggan rezim berkuasa memiliki arti bahwa hirarki tentara gerilya
akan membentuk birokrasi bagi negara yang baru.
Oleh karena itu, sambil memberi
dukungan kritis pada gerakan-gerakan gerilya lainnya, yang terjadi sebagai
wujud perjuangan rakyat melawan penindasan, tendensi kita menegaskan tuntutan
bahwa faktor utama untuk merubah masyarakat adalah organisasi sadar kaum
pekerja. Di hampir semua negeri-negeri di mana perang gerilya berkembang, kelas
buruh sekecil-kecilnya pun jemlahnya sama besar dengan kelas buruh selama
berlangsungnya revolusi Rusia di tahun 1917, dan jauh lebih besar sebagai suatu
proporsii dari jumlah total populasi. Di bawah kepemimpinan sebuah partai
Leninis yang sejati, kaum pekerja dapat mengadakan sebuah revolusi proletar
klasik dengan cara seperti jalannya revolusi Oktober, di semua negara
terbelakang asalkan bukan yang paling terbelakang. Lebih lanjut lagi, di banyak
&endash;jikapun bukan di sebagian terbesar&endash; negara-negara ini,
mayoritas jumlah penduduk saat ini hidup di daerah-daerah urban. Dalam jumlah,
kelas buruh jauh lebih kuat daripada kasus Rusia di tahun 1917. Hanya kurangnya
faktor subyektif &endash;sebuah partai revolusioner dan
kepemimpinan&endash; yang menghalangi terjadinya revolusi proletariat
seperti itu.
Semua kelompok yang dikenal sebagai
"Trostkyist" pada saatnya mulai mempertahankan perang gerilya di
Dunia Ketiga satu-satunya cara bagi revolusi sosialisme. Bahkan mereka
bertindak terlampau jauh dengan menyatakan bahwa perang gerilya sebagai taktik
utama meski di negeri-negeri di mana kaum tani bukan merupakan bagian yang berjumlah
cukup besar dari populasi penduduk, mereka ini mengembangkan ide gila mengenai
"gerilya kota" yang membawa kehancuran atas seluruh generasi kaum
muda revolusioner di negeri-negeri seperti Argentina, Uruguay, dan lainnya.
Oportunisme organis dari para pemimpin
Partai Komunis, penerimaan mereka atas borjuasi di bawah panji-panji teori
"dua tahap", mendorong sebagian besar mahasiswa muda ke arah
adventurisme &endash;terorisme individual dan gerilyaisme&endash; dalam
pencarian mereka menemukan jalan pintas. Hal ini menyebabkan malapetaka di
Amerika Latin, di mana taktik ini menggiring terjadinya pembantaian terhadap
seluruh keturunan kader-kader muda revolusioner dan, puncaknya, ini menggiring
terjadinya mimpi buruk keditaktoran militer di Argentina dan Uruguay. Jahatnya,
yang dikenal dengan sebutan kaum Trotskyist tidak memerangi tendensi-tendensi
ini, melainkan malah membantu dan bahkan berpartisipasi di dalamnya.
Fakta-fakta ini memperlihatkan betapa jauh orang-orang ini telah terdegenerasi.
Ide-ide yang telah terdiskredit di masa prasejarah gerakan sekarang ini muncul
lagi dari peti sejarah yang berdebu, dipertontonkan sebagai sesuatu yang baru
dan orisinal. Tetapi Marxisme bangsa Rusia lahir dalam perjuangan melawan
segala bentuk terorisme dan "gerilyaisme" individual. Metode-metode
yang begitu (terorisme individual dan gerilyaisme) mestilah hanya menuntun
kepada kekalahan, bahkan jikapun sukses itu tidak dapat menuntun kepada
pendirian sebuah negara kaum pekerja yang sehat, melainkan hanya pendirian
sebuah karikatur birokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar