Lanjutan Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme
Eksploitasi berlebihan terhadap Dunia
Ketiga, yang makin intensif setelah keruntuhan Stalinisme, mempunyai arti
terjadinya perpindahan kekayaan dari negara-negara ini ke peti penyimpanan uang
milik perusahan-perusahaan multinasional raksasa dan bank-bank. Hal ini dapat
terlihat pada beban hutang yang telah mencapai proporsi yang bahkan sebelum
pertemuan G-8 di Birmingham (Mei 1998) telah ada beberapa pembicaraan mengenai
inisiatif keringanan pinjaman bagi beberapa negara termiskin. Di akhir
pertemuan itu tidak ada satupun inisiatif disetujui. Bank Dunia
&endash;tanpa membicarakan pengembalian hutang yang sebenarnya, juga telah
memulai sebuah program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang bertujuan
untuk memotong beban hutang 41 negara yang membelanjakan lebih dari 20 persen
pendapatan ekspor mereka untuk pembayaran bunga hutang.
Semua rencana ini tidaklah lahir dari
niat baik dan kemurahan hati para eksekutif Bank Dunia dan IMF. Ada tiga alasan
utama untuk hal ini. Yang paling pertama adalah sangat tidak mungkin bahwa
negara-negara ini akan pernah mampu membayar hutang mereka. Oleh karena itu,
mereka (IMF dan Bank Dunia) telah memutuskan untuk mengenali realita dan
membuat pemerintahan-pemerintahan dunia Barat mengembalikan apa yang
dipinjamnya dari bank-bank penyandang dana dengan uang para pembayar pajak.
Dalam cara ini bank tidak pernah kalah. Tujuan utama dari inisiatif-inisiatif
keringanan hutang ini adalah, di satu sisi, untuk memaastikan bahwa para bankir
memperoleh kembali uang mereka, dan di sisi lain, untuk mengangkat
negara-negara yang banyak hutang ini ke suatu posisi di mana mereka bisa
meminta lebih banyak pinjaman! Kedua, jumlah hutang yang dipinjam oleh
negara-negara penghutang terbesar ini, sebagai sebuah persentase dari total
pinjaman negara-negara yang dulunya negara-negara jajahan, adalah sangat kecil.
Dan yang ketiga, rencana-rencana keringanan tadi datang bersama-sama dengan
banyak sekali syarat-syarat terkait. Negara-negara yang terlibat harus
melaksanakan "rekomendasi-rekomendasi" (yaitu, perintah) dari IMF.
Rencana Penyesuaian Struktural (SAPs,
Structural Adjustment Plans) IMF yang terkenal sekarang telah berjalan cukup
lama hingga dapat mengetahui apa konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu
contoh, Zambia adalah sebuah negara yang relatif berkembang dengan
sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, pelayanan pendidikan, serta sebuah
infrastruktur modern yang dibangun terutama di atas basis pendapatan dari
pertambangan tembaga. Sepuluh tahun pelaksanaan "penyesuaian
struktural" menggiring angka harapan hidup jatuh dari 54,4 tahun di tahun
1991 menjadi 42,6 tahun di tahun 1997. Angka melek huruf berkurang, dan sebagai
akibat langsung dari naiknya biaya rumah sakit sekarang tercatat 203 kematian
bayi per 1.000 kelahiran dibandingkan 125 di tahun 1991. Akses mendapatkan air
bersih juga berkurang, dan 98,1 persen jumlah penduduk hidup atas 2 USD per
hari atau malah kurang. Hutang negara mewakili 225 persen GDP (Gross Domestic
Product). Oleh karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bahwa baru-baru ini
terjadi kerusuhan pangan di Zambia &endash; juga di negara-negara yang lain,
seperti Zimbabwe dan Tanzania.
Beban hutang negara-negara termiskin
di dunia menghabiskan 94 persen pendapatan ekonomi per tahun mereka. Untuk
negara-negara yang termasuk dalam program HIPC gambaran ini berkisar 125
persen. Dibandingkan pendapatan hasil ekspor, persentase hutang telah mencapai
tingkat yang belum pernah terdengar: Somalia 3.671 persen, Guinea-Bissau 3.509
persen, Sudan 2.131 persen, Mozambik 1.411 persen, Ethiopia 1.377 persen,
Rwanda 1.374 persen, Burundi 1.131 persen. Dan jauh dari membaik, situasi
secara nyata malah makin memburuk. Tahun 1980 total jumlah hutang dari
negara-negara belum berkembang adalah 600 miliar USD. Di tahun 1990 jumlah itu
naik hingga 1,4 triliun USD dan tahun 1997 jumlah itu secara mengagetkan
menjadi 2,17 triliun USD. Adalah penting untuk mencatat bahwa dalam periode
1990-97, ketika jumlah hutang total naik 770 miliar US dollar, negara-negara
ini sebenarnya telah membayar 1,83 triliun US dollar hanya untuk bunga hutang.
Sebuah gambaran yang lebih bersifat skandal licik akan muncul jika kita
membandingkan pembayaran bunga hutang dengan bantuan yang diterima
negara-negara ini, yaitu untuk satu dollar yang mereka terima dalam bantuan,
mereka membayarkan kembali 11 dollar untuk bunga hutang.
Akibat-akibat situasi ini jelas.
Situasi di seluruh Afrika Sub-Sahara adalah mimpi buruk. Menurut The Economis
(6/6/98), "Hampir setengah dari 760 juta orang yang di benua ini 'amat
sangat miskin', bertahan hidup, diungkapkan oleh ADB (Bank Pembangunan Afrika),
atas kurang dari 1 dollar per hari. Walaupun terdapat tanda-tanda yang
membesarkan hati dalam beberapa bagian benua, rata-rata pertumbuhan GDP nyata
turun di tahun 1997 menjadi 3,7 persen dari 5 persen di tahun sebelumnya.
Kesembuhan Afrika masih rapuh dan tatap sama rentan dengan sebelumnya terhadap
harga-harga komoditas dan iklim ekonomi yang memburuk. Globalisasi perdagangan
dunia... dapat menekan ekonomi benua ini jauh melampaui margin batasnya.
Menurut Bank Dunia Afrika hanya menarik minat 1,5 persen investasi langsung milik
penanam modal asing di tahun 1996. Penerima bantuan terbesar, memperoleh 32
persen dari jumlah total, adalah Nigeria yang, terpisah dari fakta mempunyai
persediaan minyak bumi, tidak mereformasi ekonominya dalam cara di mana minyak
bumi dikatakan oleh Bank Dunia sebagai essensial untuk menarik investasi
asing." Meningkatnya tingkat pemiskinan dari penduduk di sebagian besar
dunia kolonial telah memberikan kenaikan tajam pada meningkatnya jumlah
kriminalitas, pasar gelap, dan "ekonomi informal". Dalam beberapa
kasus, pasar gelap mewakilkan jumlah yang lebih besar dalam bidang ekonomi
dibandingkan pasar resmi dan pasar gelap ini merembes ke semua bidang aparatus
negara. Mereka mencoba melindungi kepentingan mereka dalam arena politik
melalui kekuatan-kekuatan kaum fundamentalis dan "populis". Semua ini
adalah kekuatan-kekuatan ekonomi yang dahsyat yang dalam banyak kasus memiliki
kepentingan-kepentingan yang lalu menimbulkan konflik dengan
kepentingan-kepentigan imperialisme. Jadi, di semua tingkatan, pembusukan
kapitalisme merusak apa yang menjadi hal paling dasar bagi eksistensi umat
manusiia di dua per tiga planet. Sebagaimana Lenin ingatkan, perpanjangan
eksistensi kapitalisme menandai "horor tanpa akhir".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar