Lanjutan Marxisme dan Perjuangan Melawan
Imperialisme
Teori ini memainkan peran kriminal
dalam perkembangan revolusi di dunia jajahan. Di Cina, Partai Komunis yang
masih muda terpaksa masuk ke dalam aturan main kaum borjuis nasional,
Kuomintang, yang kemudian melakukan likuidasi secara fisikal terhadap Partai
Komunis tersebut, serikat-serikat buruh, dan dewan-dewan tani selama
berlangsungnya revolusi Cina tahun 1925-27. Alasan mengapa revolusi Cina yag
kedua mengambil bentuk berupa perang kaum tani di mana kelas buruh tetap pasif,
adalah perluasan dari kehancuran kaum proletar Cina sebagai akibat
kebijakan-kebijakan Stalin yang dikarakterisasikan Trotsky sebagai "sebuah
karikatur jahat dari Menshevisme". Di manapun ia diterapkan dalam dunia
jajahan, teori kaum Staliniss mengennai 'dua tahapan' telah menggiring
terjadinya satu malapetaka menyusul malapetaka lainnya.
Di Sudan dan Irak pada tahun 1950-an
dan 1960-an, Partai Komunis merupakan kekuatan massa yang mampu menghimbau
adanya demostrasi sejuta orang di Baghdad dan dua juta orang di Khartoum. Daripada
melanjutkan adanya kebijakan mengenai kelas independen dan memimpin para buruh
dan kaum tani untuk merebut kekuasaa, mereka ini mencari aliansi dengan kaum
borjuis "progresif" serta golongan-golongan "progresif"
dalam jajaran militer. Yang disebut terakhir, setelah mengambil alih kekuasaan
dengan dukungan penuh dari partai-partai Komunis, kemudian mulailah
mengeliminasikan mereka dengan pembunuhan dan pemenjaraan anggota-anggota serta
pimpinan-pimpinannya. Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan hanya sekali
tetapi dua kali. Masih saja, bahkan hingga saat ini, para pemimpin Partai
Komunis Sudan mempunyai suatu kebijakan tentang "Aliansi Patriotik"
dengan kaum gerilya di Selatan (sekarang disokong oleh imperialisme AS) dan
kaum borjuis "progresif" di Utara, untuk melawan rezim fundamentalis.
Yang disebut para pemimpin Komunis ini mirip kaum Bourbon kuno yang "tidak
melupakan satupun dan tidak mempelajari apa-apa". Kebijakan-kebijakan
mereka adalah sebuah resep akhir bagi satu kekalahan berdarah setelah kekalahan
berdarah lainnya.
Contoh paling tragis mengenai
konsekuensi yang sifatnya menghancurkan dari teori dua tahapan adalah apa yang
terjadi di Indonesia. Di tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia adalah kekuatan
massa yang utama di negara tersebut. Itu adalah Partai Komunis terbesar di
dunia di luar Blok Soviet, dengan tiga juta orang anggota, serta sepuluh juta
orang berafiliasi kepada serikat-serikat pekerjanya serta organisasi-organisasi
buruh taninya, dan bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengklaim adanya
dukungan 40 persen tentara (termasuk jajaran perwira). Kaum Bolshevik Rusia
tidak memiliki dukungan terorganisir yang sebanyak itu pada saat revolusi
Oktober! PKI dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan memulai
transformasi sosialis terhadap masyarakat yang akan memiliki efek luar biasa
besar di seluruh dunia jajahan, menjadi rantai revolusi-revolusi di Asia.
Daripada melakukan itu, para pemimpin Partai Komunis (di bawah kontrol kaum
Maois Cina) malah membentuk sebuah aliansi dengan Soekarno, seorang pemimpin
nasionalis borjuis yang pada saat itu mengadopsi fraseologi "kiri".
Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan PKI sepenuhnya tidak siap saat kaum
borjuis (di bawah instruksi langsung dari CIA) mengorganisasikan sebuah pembantaian
terhadap para anggota dan simpatisannya, di mana dalam pembantaian itu
sedikitnya 1,5 juta orang dijagal.
Walaupun ada segala kekalahan dan
tinjauan masa lalu, kaum buruh dan petani akan mengambil jalan perjuangan dari
waktu ke waktu, secara tak terelakkan. Kejadian-kejadian yang terjadi di
Indonesia baru-baru ini merupakan indikasi nyata dari fakta ini.
Kejadian-kejadian itu adalah sebuah antisipasi terhadap apa yang akan terjadi
di satu per satu negara Asia. Dan ini hanyalah awal dari sebuah proses revolusioner
yang akan tidak terbendung selewat periode bertahun-tahun. Jika sebuah partai
Leninis murni eksis, hal ini dapat berakhir dalam sebuah revolusi proletar
dalam bentuk klasik. Masalah mengenai gerilyaisme atau Bonapartisme kaum
proletar tidak akan muncul. Di sini, sebagaimana biasanya selalu, faktor
subyektif mutlak diperlukan. Malangnya kepemimpinan partai-partai komunis di
negara-negara ini mengulang-ulang segala kesalahan lama yang sama saja, di mana
hal ini telah menggiring kepada terjadinya kekalahan dan pembantaian di masa
lalu. Meskipun Jepang bukan sebuah negara jajahan, hal ini tidak berarti apapun
dalam hal pertumbuhan yang spektakuler dari Partai Komunis Jepang (JCP) sebagai
akibat dari krisis ekonomi negara tersebut. JCP menjadi partai yang memiliki
wakil terbanyak dalam dewan-dewan lokal, merupakan partai kedua terbesar dalam
Majelis Metropolitan Tokyo dan koran harian JCP memiliki sirkulasi sebesar 3,2
juta.
Gelombang radikalisasi yang menyapu
seluruh Asia telah juga mempengaruhi kelas buruh di Jepang. Peringatan May Day
tahun ini di Jepang adalah yang terbesar sejak bertahun-tahun. Tidak kurang
dari satu juta buruh ikut beerpartisipasi ari seluruh negeri berkumpul. Ini
adalah contoh jelas tentang bagaimana kesadaran dapat berubah dengan kecepatan
kilat saat kondisi-kondisi berubah. Tetapi sialnya kebijakan-kebijakan
kepemimpinan JCP sepenuhnya berharak dari tugas-tugas nyata yang dihadapi kaum
kelas buruh Jepang. Menurut Kimitoshi Morihara vice head dari departemen
internasional JCP, "kami bekerja menuju pendirian sebuah pemerintahan
demokratis yang mencari penyelesaian masalah-masalah ini, dalam kerangka kerja
kapitalisme, di awal abad mendatang". (Wawancara dalam mingguan Greenleft
Weekly No. 317). Mereka menyempurnakan teori dua tahapan Stalinis yang kuno
dengan menambahkan satu tahapan ekstra! Ini adalah "perspektif untuk
kemajuan sosial di Jepang : pemerintahan koalisi demokratik, revolusi
demokratik, dan revolusi sosialis" (?). Hal ini makin makin membingungkan
karena, sebagaimana Jepang telah menjadi kekuatan industri kedua di dunia,
orang dapat membayangkan hal tersebut dapat dilakukan tanpa sebuah
"revolusi demokratik". Kelihatannya alasan apapun akan diambil supaya
revolusi sosialis tidak dimasukkan ke dalam agenda.
Selama berpuluh-puluh, tahun kelas
buruh di negara-negara kolonial dan bekas kolonial telah menunjukkan
keberaniannya yang kolosal dan potensial revolusionernya. Dari waktu ke waktu
kelas ini telah bergerak untuk mengadakan transformasi revolusioner di
masyarakat. Di Irak, Sudan, Iran, Chili, Argentina, India, Pakistan, dan
Indonesia, kaum buruh telah menunjukkan bahwa mereka berkehendak untuk menjadi
tuan dari masyarakat mereka. Jikalau mereka gagal, hal ini bukan karena mereka
tidak bisa meeraih keberhasilan, melainkan karena mereka kekurangan syarat yang
sangat diperlukan untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam setiap kasus, mereka
membenturkan kepala mereka terhadap tembok tebal sebab partai-partai dan para
pemimpin yang mereka percayai untuk memimpin mereka kepada transformasi
sosialis dari masyarakat berubah menjadi rintangan-rintangan raksasa.
Guna meraih kekuasaan, tidaklah cukup
bahwa kaum buruh disiapkan untuk bertempur. Bila itu masalahnya, kelas buruh
telah dapat mengambil kekuasaan di seluruh negara-negara ini sejak dulu kala.
Hal itu akan berlangsung mudah sebab mereka berada dalam posisi yang jauh
leebih kuat daripada para buruh Rusia pada tahun 1917. Meskipun demikian mereka
tidak mengambil kekuasaan. Mengapa tidak? Sebab kelas buruh membutuhkan sebuah
partai dan sebuah kepemimpinan. Untuk menyangkal kenyataan hidup yang elementer
ini adalah semata-mata anarkisme kekanakan. Dulu sekali Marx menjelaskan bahwa
tanpa organisasi, kelas buruh adalah semata-mata bahan mentah bagi eksploitasi.
Meskipun kekuatannya dalam jumlah dan peran kuncinya dalam produksi, kaum
proletar tidak dapat merubah masyarakat kecuali ia menjadi sebuah kelas
"ditengah-dan-untuk-dirinya sendiri" dengan kesadaran,
perspektif-perspektif, dan pemahaman yang diperlukan. Untuk menunggu adanya
kelas yang sepenuhnya memiliki pemahaman yang diperlukan mengenai hal (revolusi
sosialis) tersebut hingga memadai untuk mengambil alih kekuasaan lalu mengubah
masyarakat, ini adalah sebuah proporsi utopia yang sama saja dengan
mengulur-ulur terjadinya revolusi secara tidak menentu. Adalah perlu untuk
mengorganisasikan lapisan-lapisan yang paling maju dari kelas (buruh pekerja),
mendidik kader, dan memasukkan kepada kader mereka perspektif-perspektif
mengenai revolusi, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan juga revolusi
dalam skala internasional, mengintegrasikan mereka di tengah massa pada setiap
level, dan secara sabar menyiapkan gerakan saat perjuangann-perjuangan parsial
dari massa terkombinasi menjadi suatu serangan revolusioner yanng menyeluruh.
Tanpa satu partai yang revolusioner,
kekuatan potensial milik kaum proletar akan tetap semata begitu
&endash;sebuah potensial. Hubungan antara kelas (proletar) dengan partai
adalah serupa dengan hubungan antara uap dan piston box dalam mesin uap. Tetapi
bahkan keberadaan-keberadaan partai tidaklah cukup unntuk memastikan adanya
keberhasilan. Partai tersebut harus dipimpin oleh para laki-laki dan perempuan
yang dilengkapi dengan pemahaman yang diperlukan mengenai tugas-tugas revolusi,
berbagai taktik, strategi, dan perspektif, tidak hanya perspektif-perspektif
nasional tetapi juga internasional. Situasi obyektif di Indonesia tahun 1964-65
tak dapat berlangsung lebih baik lagi. Massa telah mengalahkan Imperialisme
Belanda. Kaum komunis memiliki dukungan mayoritas luas dari kelas pekerja dan
buruh tani. Tetapi sebuah kebijakan dan perspektif yang keliru sudah cukup
untuk menghadirkan kekacauan total pada revolusi. Jika revolusi Oktober
membuktikan kebenaran dari revolusi permanen dalam sebuah pengertian positif,
malapetaka di Indonesia menghadiahkan kepada kita sebuah bukti negatif dalam
bentuknya yang paling mengerikan.
Cara yang menyimpang dan kacau balau
di mana dengan cara ini revolusi di daerah kolonial telah terbentang sejak
tahun 1945 adalah bukan akibat dari keterbelakangan, atau karena tertundanya
revolusi sosialis di negara-negara kapitalis yang maju. Hal itu bukanlah
sesuatu yang tak dapat dielakkan dan bukan pula ditentukan lebih dahuulu oleh
hukum-hukum sejarah. Di atas semuanya, hal itu adalah akibat ketiadaan faktor
subyektif, ketiadaan suatu partai revolusioner yang murni dan kepemimpinannya
yang bisa memberikan suatu karakter serta arahan yang sepenuhnya beda terhadap
revolusi. Berbicara apa adanya, tidak ada satupun yang bisa menghalangi
revolusi di Cina, ini untuk contoh, dari hal memainkan peran yang sama dengan
revolusi Rusia di tahun 1917, jika saja kondisinya adalah para pemimpin Komunis
Cina berbuat sebagaimana Lenin dan Trotsky. Tetapi para pemimpin ala Stalinis
tersebut takut terhadap gerakan independen dari kelas buruh dan melakukan
apapun yang berada dalam kekuasaan mereka untuk menghalanginya. Cara konyol di
mane revolusi Cina muncul di tahun 1949, sebagai satu revolusi menyimpang dalam
bayang-bayang Rusia di bawah kepemimpinan Stalin, menjadikan (revolusi
tersebut) memiliki sedikit saja himbauan untuk bergerak di kalangan kaum buruh
di negara-negara yang maju, meskipun revolusi tersebut memberikan suatu
stimulus penting terhadap revolusi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Hal yang
sama persis terjadi pada rezim-rezim Bonapartisme proletar yang lainnya yang
hadir setelahnya. Walaupun tak dapat disangkal mereka ini menyajikan satu
langkah ke depan, mereka benar-benar sebuah penyelewengan dan sebuah titik
balik dari norma revolusi kaum proletar yang didirikan oleh Lenin yang lalu
menjadi kenyataan di bulan Oktober 1917. Fakta ini harus terus kita jaga dalam
pikiran jika kita mau memahami signifikasi sesungguhnya dari revolusi di daerah
kolonial setelah tahun 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar