Dalam menelaah proses-proses yang
timbul dalam revolusi di daerah kolonial pada periode setelah perang dunia
kedua, sebagai basis titik awal kita mengambil teori revolusi permanen dari
Trotsky yang, sebagaimana sudah kita lihat, telah secara brilian
terkonfirmasikan oleh sejarah. Tetapi dalam praktek, teori-teori tidak perlu
dikerjakan dalam cara yang murni dan tersuling secara kimiawi. Bisa terdapat
segala macam varian-varian pembelokan, distorsi-distorsi dan beberapa titik
balik dari berbagai norma tadi. Hal ini dapat dilihat dalam segala cara.
Periode klasik revolusi
demokratik-borjuis dimulai dua atau bahkan tiga ratus tahun yang lalu dengan
terjadinya revolusi di Belanda, Inggris, dan Perancis. Marx mengambil revolusi
Perancis tahun 1789-93 sebagai modelnya untuk revolusi demokratik borjuis dalam
pengertian politis (sementara Inggris menyajikan model ekonomi). Tetapi
senantiasa ada perkecualian terhadap norma-norma klasik. Sebagai contohnya
Jerman, di mana tugas-tugas dasar dari revolusi demokratik-borjuis diadakan
dengan cara ganjil, yaitu dari jajaran atas oleh kaum negarawan Junker lama di
bawah pimpinan Bismarc. Tentu saja, terdapat banyak kontradiksi dan elemen yang
tertinggal dari feodalisme yang baru kemudian berhasil dibersihkan dengan
revolusi November 1918 &endash;sebuah revolusi kaum proletar yang kalah, di
mana di dalamnya kaum buruh menyingkirkan bentuk negara yang lama dan kemudian
para pemimpin Sosial Demokratik menyerahkan kekuasaan di tangannya kepada kaum
borjuis. Serupa juga di Jepang yang merupakan negara feodal kuno yang memulai
proses revolusi demokratik-borjuis pada 1860-an. Di bawah tekanan
kekuatan-kekuatan eksternal, proses tersebut terselesaikan hanya oleh
pendudukan kekuatan Amerika setelah 1945, yang dilakukan sebagai usaha untuk
menghalang-halangi terjadinya revolusi di Jepang.
Fenomena bonapartisme kaum proletar
memiliki hubungan terhadap teori revolusi permanen serupa dengan sebagaimana
proses yang mengambil tempat di Jerman dan di Jepang berhubungan dengan norma
klasik revolusi demokratik-borjuis, yaitu sebagai penyimpangan-penyimpangan
yang muncul dari suatu jalan historis dari berbagai keadaan. Fenomena ini hanya
dapat dimengerti terjadinya atas dasar kebuntuan komplit dari
masyarakat-masyarakat tersebut (di mana terjadi bonapartisme proletar) dan
kekosongan adanya revolusi di Dunia barat. Massa di negara-negara kolonial
tidak dapat lebih lama lagi menunggu. Itu adalah penjelasan yang fundamental.
Tetapi kita juga harus memasukkan ke dalam pertimbangan kita mengenai
kepelikan-kepelikan yang spesifik dari negara-negara kolonial dan bekas
jajahan, yang membuat negara-negara ini berbeda dari negara-negara yang maju
akibat kapitalisme, dan oleh karena itu mengijinkan varian-varian rumit
tertentu untuk terjadi, di mana varian-varian ini sebelumnya tidak dilihat oleh
kaum klasik penganut Marxisme. Kami mengajukan tulisan ini secara khusus dalam
hubungannnya dengan negara.
Marxisme akan menjadi urusan yang
sangat sederhana jika ia semata-mata cuma suatu masalah mengenai belajar di
luar kepala soal formula-formula elementer yang diambil dari teks-teks klasik
dan mengaplikasikan semua ini dalam suatu cara yang mekanis dan tanpa
dipikirkan, lalu menerapkannya pada setiap jenis situasi. Metode dialektik
menuntut bahwa kita mulai dari sebuah pertimbangan obyektif dari fenomena yang
terjadi, membawa setiap kasus ke dalam kebenarannya dan melakukan peninjauan
terhadapnya dari segala sudut pandang. Sebuah analisis yang serius mengenai
negara-negara kolonial dan bekas kolonial membukakan adanya perbedaan-perbedaan
besar antara negara-nagara ini dengan jenis negara yang ada dalam bangsa-bangsa
kapitalis yang maju, serta perbedaan-perbedaan dengan negara-negara yang
menyajikan model dasar bagi karya-karya klasik Engels dan Lenin. Negara-negara
(jajahan dan bekas jajahan) ini telah diciptakan dan disempurnakan oleh kaum
borjuis sebagai perangkat bagi aturan-aturannya. Pada setiap level,
negara-negara ini dikelola oleh wakil-wakil setia yang dibentuk dan dilatih
oleh kaum borjuis untuk melayani kepentingan-kepentingannya. Di atas semua
itulah negara-negara industri maju dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan
produktif. Tetapi, negara-negara yang baru dibentuk di wilayah-wilayah tadi
sepenuhnya beda dengan negara-negara yang telah diciptakan dan dikembangkan
selama bergenerasi lamanya oleh kaum Borjuis di dunia Barat. Di tempat-tempat
seperti Syria atau Burma masyarakat ini berada dalam sebuah kebuntuan, tidak
dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif dan sepenuhnya berada dalam
kekisruhan.
Ini adalah satu dalil elementer
mengenai Marxisme, bahwa negara bukanlah sebuah kekuatan independen. Ia harus
merefleksikan kepentingan dari sebuah grup atau kelas di tengah masyarakat.
Dalam masa-masa normal negara merefleksikan posisi kelas berkuasa. Tetapi dalam
periode krisis dan ketidakstabilan sosial, pemerintah dan tentara terpecah dan
bercerai-berai dalam sejumlah faksi. Negara-negara yang telah diciptakan di
atas basis penolakan terhadap imperialisme, meskipen karakternya borjuis,
amatlah lemah. Di negeri-negeri ini &endash;Burma Syria, Angola, Mozambik,
Ethiopia, Somalia, Afghanistan, dan negara-negara lain yang mengacu pada
Bonapartisme kaum proletar&emdash; negara tunduk kepada berbagai kudeta dan
krisis terus-menerus. Dengan adanya kebuntuan rezim sepenuhnya dan kekosongan
adanya revolusi di dunia Barat, serta contoh yang diperlihatkan Stalinisme, di
mana pada tahap ini negeri-negeri tadi sedang membangun kekuatan-kekuatan
produktif, menjadi sebuah kekuatan yang sangat menarik minat bagi
lapisan-lapisan tertentu di tengah aparatus negara.
Mengambil Cina yang terdorong oleh
daya tarik Stalinisme sebagai contoh mengenai satu langkah maju bukan hanya
terjadi di tengah massa yang terdiri dari kaum tani miskin di negara-negara
yang dulunya berupa negara jajahan, tetapi juga terjadi pada bagian-bagian di
jajaran aparatus negara di negeri-negeri tadi. Sejumlah negara-negara yang
berada dalam situasi kolaps dan ancaman disintegrasi, bergerak dalam arahan
menuju bonapartisme kaum proletar. Jajaran para pejabat bersandar pada kelas
buruh dan kaum tani untuk mengadakan sebuah revolusi, untuk menumbangkan
kapitalisme dan pertuantanahan. Mereka melihat Stalinisme sebagai sebuah rezim
yang membawa masyarakat ke arah maju tetapi pada saat yang bersamaan
memperbolehkan golongan birokratik mempunyai hak-hak istimewa dan menjalankan
masyarakat. Ini adalah proses yang terjadi terutama di negara-negara kolonial
yang paling terbelakang seperti Ethiopia, Angola, Afghanistan, dll; di mana
kaum proletar adalah (dan masih) merupakan kelas yang sangat lemah atau bahkan
hampir tidak eksis.
Faktor penting lain dalam pergerakan
menuju bonapartisme kaum proletar di seluruh negara-negara ini adalah
terjadinya tendensi di seluruh dunia atas hal statisasi. Fenomena ini sudah
diibahas oleh Engels, yang lebih merujuk "serbuan perekonomian kaum
sosialis", dan kemudian oleh Lenin yang menggambarkan hal itu sebagai
monopoli kapitalisme negara. Fakta bahwa kepemilikan pribadi atas alat-alat
produksi telah mencapai limitasinya diekspresikan oleh kenyataan bahwa di semua
negara-negara kapitalis sebagian besar perekonomian berada di tangan negara
meskipun, tentu saja, elemen-elemen kunci, yaitu sektor-sektor yang paling
menguntungkan, tetap berada di bawah penguasaan swasta. Sektor yang dikuasai
negara tidak memainkan peran independen melainkan diadakan hanya sebagai
perpanjangan tangan sektor swasta, bertugas menyediakan kepada kaum kapitalis:
baja murah, listrik murah, batu bara murah, dll.
Proses yang sama berlangsung di dunia
ketiga, tidak semata di dalam rezim-rezim bonapartisme kaum proletar tetapi
bahkan terjadi di negara-negara borjuis yang relatif lebih berkembang seperti
Argentina, Meksiko, India, dll. Banyak pemimpin borjuis dari negara ini
menyatakan diri sebagai "sosialis" (seperti Nasser di Mesir, Nyrere
di Tannzania, Nehru di India dan Nkrumah di Ghana) dan melakukan nasionalisasi
pada sebagian besar perekonomian. Dalam kasus-kasus sebagaimana terjadi di
Syria, Ethiopia, dan yang lainnya, sebagian dari lapisan pejabat sebenarnya
mengadakan proses menuju sebuah konklusi, bersandar kepada kelas buruh untuk
melakukan penyitaan sepenuhnya terhadap borjuasi. Mereka mendirikan rezim di
bawah bayang-bayang Moskow dan Beijing di mana di dalamnya kapitalisme
dienyahkan tetapi kaum buruh ditaklukkan kepada sebuah tirani baru dalam bentuk
rezim totalitarian dengan partai tunggal yang birokratis. Tentu saja,
rezim-rezim yang demikian tidak mempunyai satupun ciri sosialisme atau bahkan
ciri sebuah negara buruh yang sehat. Dalam setiap kasus di mana tugas-tugas
historis dari satu kelas telah diadakan dengan cara yang didistorsi oleh kelas
yang lain, selalu saja ada harga yang harus dibayar. Kami menjelaskan bahwa
untuk melakukan kemajuan dalam arah sosialisme, sebuah revolusi baru akan
diperlukan. Bukan sebuah revolusi sosial untuk membangun relasi-relasi
kepemilikan yang baru (sebab hal ini sudah dilakukan), melainkan sebuah
revolusi politis melawan kasta birokratik yang berkuasa dengan tujuan untuk
mendirikan sebuah rezim demokrasi kaum buruh yang murni. Bagaimanapun juga,
penghapusan kapitalisme dan pertuantanahan di negara-negara ini
mempresentasikan adanya satu langkah maju dan sebuah guncangan melawan imperialisme
dan, yang demikian ini, disambut baik oleh kaum Marxis.
Dalam sebagian besar, jika tidak dalam
semua kasus, Moskow dan Beijing tidak memainkan peran apapun. Lebih sering
daripada tidak berperan apapun, mereka dilawan untuk menumbangkan kapitalisme
dan mereka ini melakukan apa saja yang mereka bisa untuk menghalanginya. Partai
Komunis Kuba mendukung Batista untuk melawan Castro. Belakangan birokrasi Rusia
dan Kuba memberikan tekanan terhadap kaum sandinista untuk tidak melakukan
pengambilalihan terhadap kapitalisme di Nikaragua. Tentu saja di manapun proses
begitu terjadi, mereka (kaum birokrat itu) mengambil keuntungan darinya untuk
memperkuat posisi mereka dalam berhadap-hadapan dengan imperialisme AS. Inilah
juga kasus di Afghanistan, di mana para pejabat militer Stalinis mengadakan
revolusi dari atas, tanpa referensi apapun ke Moskow. Birokrasi Rusia memiliki
hubungan yang amat baik dengan rezim borjuis Doud di Kabul, dan bahkan siap
mengorbankan Partai Komunis kepada rezim tersebut. Tetapi sekali revolusi
merupakan sebuah kenyataan, mereka harus menerimanya.
Kaum Imperialis merespon revolusi di
Afghanistan dengan mempersenjatai dan membiayai kelompok-kelompok bandit dan
gelandangan yang diupah untuk mengadakan perang melawan rezim yang baru. Jikalau
yang disebut terakhir ini mengikuti kebijakan-kebijakan yang sama sebagaimana
yang dilakukan kaum Bolshevik, mendasari diri mereka pada massa dalam
perjuangan melawan imperialisme dan reaksi, bisa jadi mereka menang walaupun
harus diingat bahwa dalam kondisi yang amat luar biasa terbelakang begitu
bahkan sebuah negara buruh yang sehat akan menghadapi begitu banyak kesukaran.
Adalah sangat perlu untuk memulainya secara bertahap dan dengan kehati-hatian
yang sungguh, terutama pada permasalahan agama. Tetapi usaha untuk
menyelinapkan perubahan masyarakat dari atas, dalam sebuah karakter birokratis
yang terkontrol habis-habisan, terdorong oleh invasi Rusia dan pembersihan yang
luar biasa besar serta lain-lain cara yang dihasilkannya, telah dengan fatal memperlemah
revolusi saat berhadapan dengan jagal-jagal kekuatan kontra-revolusioner yang
disokong oleh Amerika dan Pakistan.
Sebuah proses serupa terjadi di
Afrika, di mana kaum imperialis memperlengkapi pemerintah di Afrika selatan
untuk menumbangkan rezim-rezim kaum Bonapartis proletar di Angola dan
Mozambique. Sebagaimana di Afghanistan mereka mempersenjatai dan membiayai
tentara bayaran yang kejam serta para bandit. Apa yang terjadi bukanlah
perjuangan politis melainkan semata-mata mobilisasi "kekuatan-kekuatan
hitam" untuk membunuh, membakar, memperkosa, dan melakukan penjarahan.
Imperialisme tidak dapat mentoleransi keberadaan bahkan negara-negara buruh
yang terdeformasi di jantung Afrika, sebab hal itu akan menjadi contoh bagi
Afrika Selatan. Daripada melihat hal tersebut terjadi, kaum imperialis lebih
suka membenamkan Angola, Mozambik, dan Afghanistan ke dalam abad kegelapan.
APAKAH REZIM-REZIM BONAPARTISME PROLETAR YANG BARU BISA MUNGKIN?
Mendasari diri kita pada analisis ini, apa yang menjadi kemungkinan bagi formasi rezim-rezim Bonapartisme proletar baru? Untuk menjawab masalah ini perlu memulainya dari perspektif-perspektif dunia secara menyeluruh. Tendensi seluruh dunia terhadap intervensi negara dalam bidang perekonomian telah berbalik setelah kemerosotan tahun 1974 dan berbelok menjadi lawannya, terutama sejak proses swastanisasi dimulai oleh Tacther di tahun 1980-an. Hal ini merefleksikan kebuntuan kapitalisme pada skala dunia serta kebangkrutan dari model kuno Keynesianisme. Negara-negara kolonial secara luas telah dipaksa, melalui diktean dari IMF dan Bank Dunia, untuk "membuka" pasar mereka dan melakukan swastanisasi terhadap industri-industri nasional. Ini sungguh sebuah penjarahan terhadap negara-negara itu. Hal ini akan memiliki konsekuensi-konsekuensi berjangka panjang di periode yang akan datang. Mereka menciptakan sebuah bahasa yang baru keseluruhnya ("perampingan", "liberalisasi","pembukaan pasar", "perekonomian bebas", dll.) untuk menjadi bungkus yang menutupi apa yang sebenar-benarnya merupakan destruksi habis-haabisan terhadap kekuatan-kekuatan produktif dan pekerjaan. Ini mengingatkan orang pada "Bahasabaru dalam novel George Orwell, 1984, di mana Kementrian Kekayaan mengurusi pemiskinan, Kementrian Perdamaian adalah Kementrian Perang, dan Kementrian Cinta Kasih adalah polisi rahasia.
Para advokat "pasar bebas" telah dengan baik sekali melupakan bahwa kapitalisme sesungguhnya berkembang berdasarkan basis benteng tarif yang tinggi. Di fase awal kapitalsme Inggris, kapitalisme bernaung di belakang benteng perdagangan biaya tinggi untuk mempertahankan industri-industri nasionalnya sendiri yang masih kintis-kinyis. Hanya ketika industrinya telah menjadi kuat maka kaum borjuis Inggris menjadi semacam advokat yang amat bernafsu mengenai "prinsip" perdagangan bebas. Ini sama persis dengan Perancis, Jerman, Amerika, Jepang, dan semua lainnya yang sekarang memohon-mohon adanya nilai perdagangan bebas kepada bangsa-bangsa di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tetapi proses ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru. Golongan-golongan aparatus negara dan kaum borjuis nasional (di wilayah-wilayah tadi) melihat bagaimana hal ini memotong bagian kue mereka dan juga merasa ketakutan terhadap adanya ledakan massa. Hal ini menggiring beberapa dari mereka untuk melawan imperialisme (sekurang-kurangnya dalam perkataan), akibat ketakutan akan kehilangan posisi mereka &endash;bahkan juga kehilangan kepala mereka sendiri.
Inilah kasusnya dengan junta Nigeria yang menentang beberapa rencana swastanisasi dari IMF. Golongan berkuasa dalam PRI di Meksiko juga mulai meributkan "neo-liberalisme" sebab mereka melihat bagaimana hal ini mengikis basis tradisional mereka atas kontrol birokratik di masyarakat. Bahkan diktator Zaire, Mobutu, menentang swastanisasi di hari-hari akhirnya berkuasa &endash;sebuah kebijakan yang secara jelas bukanlah didikte oleh keinginan apapun untuk mengurangi pergolakan di tengah penduduk, melainkan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadinya sendiri. Sebagai sebuah akibat dari krisis di Asia Tenggara kita sudah melihat perkembangan kaum proteksionis, sikap-sikap Anti-Barat di beberapa negara ini. Inilah kasusnya dengan Korea Selatan dan bahkan pada bagiannya, Soeharto yang di hari-hari terakhirnya, seperti Mobutu, berselisih dengan IMF. Hal yang sama juga berlaku pada semagogi "anti-imperialis" yang dilancarkan Mahathir di Malaysia. Semua ini bukanlah kebetulan. Sejak terjadinya kolaps di Asia, kaum imperialis bergerak gesit untuk membeli properti harga tawar yang anjlok dan memaksa ekonomi bangsa-bangsa Asia untuk menerima ketergantungan yang jauh lebih menghinakan mereka dari sebelum-sebelumnya. Semua tadi semata-mata adalah indikasi mengenai kenyataan bahwa eksploitasi yang keji terhadap negara-negara yang dulunya jajahan, melalui IMF dan Bank Dunia, sekarang tengah menyiapkan satu pukulan balik yang masif dalam melawan kebijakan-kebijakan swastanisasi, "globalisasi", dan seterusnya. Bahkan di dunia Barat kita dapat melihat berbagai permulaan gerakan massa melawan swastanisasi dan pemotongan anggaran di negeri-negeri Welfare. Di periode berikutnya kita akan melihat sebuah gelombang masif bergerak di arahan yang bertentangan (dengan kapitalisme dan imperialisme) terutama dengan datangnya kemerosotan ekonomi dunia.
Adalah perlu untuk memiliki sebuah pemahaman dialektis mengenai proses, tidak semata menerima "fakta jadi" sebagai sesuatu yang ajeg buat selamanya. Sesunguhnya empirisme kaum borjuis dan para perancang strateginya lah yang membutakan mereka terhadap proses yang sebenarnya dan menahan mereka untuk terus-terusan menapaki sepanjang jalanan yang tak bisa ditawar-tawar menggiring mereka pada malapetaka. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, mereka memprovokasi massa di Asia &endash;dan seluruh negeri-negeri bekas jajahan&endash; hingga ke limit daya tahan mereka menanggung penderitaan. Pada satu titik yang pasti, seluruh proses yang telah kita saksikan selama dekade terakhir akan buyar dan arusnya berbalik arah. Oleh karena itu kita dapat menutup uraian soal tadi, bahwa di periode yang akan datang, sebab kebuntuan kaum imperialis di negeri-negeri jajahan, pukulan balik melawan swastanisasi dan kebutuhan-krbutuhan mendesak massa di negeri-negeri ini, kita akan menyaksikan berbagai gerakan baru dalam arahan bonapartisme kaum proletar. Hal itu terutama akan menjadi kejadiannya di negeri yang paling lemah di antara negeri-negeri tadi. Hasil dari proses restorasi kaum kapitalis di Rusia dan Cina dalam satu dan lain cara, tentu saja, akan memiliki akibat yang luar biasa besar dalam perkembangan ini. Tapi itu soal terpisah. Cukup buat mengatakan bahwa, dalam masa kemerosotan yang amat dalam pada skala dunia, rencana-rencana restorasi kapitalis di negeri-negeri ini akan dengan tak terelakkan lagi terhumbalang membalik ke dalam panci peleburan. Sepenuhnya mungkin bahwa kandidat pertama bagi reversi ke beberapa bentuk bonapartisme proletar adalah Rusia sendiri. Perspektif itu bergantung pada seluruh kejadian yang berkembang di Rusia dan juga di dalam skala dunia. Kita harus bersiap untuk segala macam kerja sama yang apik, sambil terus berjuang demi kekuatan pekerja, supaya kita tidak terkaget-kaget oleh adanya berbagai kejadian.
APAKAH REZIM-REZIM BONAPARTISME PROLETAR YANG BARU BISA MUNGKIN?
Mendasari diri kita pada analisis ini, apa yang menjadi kemungkinan bagi formasi rezim-rezim Bonapartisme proletar baru? Untuk menjawab masalah ini perlu memulainya dari perspektif-perspektif dunia secara menyeluruh. Tendensi seluruh dunia terhadap intervensi negara dalam bidang perekonomian telah berbalik setelah kemerosotan tahun 1974 dan berbelok menjadi lawannya, terutama sejak proses swastanisasi dimulai oleh Tacther di tahun 1980-an. Hal ini merefleksikan kebuntuan kapitalisme pada skala dunia serta kebangkrutan dari model kuno Keynesianisme. Negara-negara kolonial secara luas telah dipaksa, melalui diktean dari IMF dan Bank Dunia, untuk "membuka" pasar mereka dan melakukan swastanisasi terhadap industri-industri nasional. Ini sungguh sebuah penjarahan terhadap negara-negara itu. Hal ini akan memiliki konsekuensi-konsekuensi berjangka panjang di periode yang akan datang. Mereka menciptakan sebuah bahasa yang baru keseluruhnya ("perampingan", "liberalisasi","pembukaan pasar", "perekonomian bebas", dll.) untuk menjadi bungkus yang menutupi apa yang sebenar-benarnya merupakan destruksi habis-haabisan terhadap kekuatan-kekuatan produktif dan pekerjaan. Ini mengingatkan orang pada "Bahasabaru dalam novel George Orwell, 1984, di mana Kementrian Kekayaan mengurusi pemiskinan, Kementrian Perdamaian adalah Kementrian Perang, dan Kementrian Cinta Kasih adalah polisi rahasia.
Para advokat "pasar bebas" telah dengan baik sekali melupakan bahwa kapitalisme sesungguhnya berkembang berdasarkan basis benteng tarif yang tinggi. Di fase awal kapitalsme Inggris, kapitalisme bernaung di belakang benteng perdagangan biaya tinggi untuk mempertahankan industri-industri nasionalnya sendiri yang masih kintis-kinyis. Hanya ketika industrinya telah menjadi kuat maka kaum borjuis Inggris menjadi semacam advokat yang amat bernafsu mengenai "prinsip" perdagangan bebas. Ini sama persis dengan Perancis, Jerman, Amerika, Jepang, dan semua lainnya yang sekarang memohon-mohon adanya nilai perdagangan bebas kepada bangsa-bangsa di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tetapi proses ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru. Golongan-golongan aparatus negara dan kaum borjuis nasional (di wilayah-wilayah tadi) melihat bagaimana hal ini memotong bagian kue mereka dan juga merasa ketakutan terhadap adanya ledakan massa. Hal ini menggiring beberapa dari mereka untuk melawan imperialisme (sekurang-kurangnya dalam perkataan), akibat ketakutan akan kehilangan posisi mereka &endash;bahkan juga kehilangan kepala mereka sendiri.
Inilah kasusnya dengan junta Nigeria yang menentang beberapa rencana swastanisasi dari IMF. Golongan berkuasa dalam PRI di Meksiko juga mulai meributkan "neo-liberalisme" sebab mereka melihat bagaimana hal ini mengikis basis tradisional mereka atas kontrol birokratik di masyarakat. Bahkan diktator Zaire, Mobutu, menentang swastanisasi di hari-hari akhirnya berkuasa &endash;sebuah kebijakan yang secara jelas bukanlah didikte oleh keinginan apapun untuk mengurangi pergolakan di tengah penduduk, melainkan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadinya sendiri. Sebagai sebuah akibat dari krisis di Asia Tenggara kita sudah melihat perkembangan kaum proteksionis, sikap-sikap Anti-Barat di beberapa negara ini. Inilah kasusnya dengan Korea Selatan dan bahkan pada bagiannya, Soeharto yang di hari-hari terakhirnya, seperti Mobutu, berselisih dengan IMF. Hal yang sama juga berlaku pada semagogi "anti-imperialis" yang dilancarkan Mahathir di Malaysia. Semua ini bukanlah kebetulan. Sejak terjadinya kolaps di Asia, kaum imperialis bergerak gesit untuk membeli properti harga tawar yang anjlok dan memaksa ekonomi bangsa-bangsa Asia untuk menerima ketergantungan yang jauh lebih menghinakan mereka dari sebelum-sebelumnya. Semua tadi semata-mata adalah indikasi mengenai kenyataan bahwa eksploitasi yang keji terhadap negara-negara yang dulunya jajahan, melalui IMF dan Bank Dunia, sekarang tengah menyiapkan satu pukulan balik yang masif dalam melawan kebijakan-kebijakan swastanisasi, "globalisasi", dan seterusnya. Bahkan di dunia Barat kita dapat melihat berbagai permulaan gerakan massa melawan swastanisasi dan pemotongan anggaran di negeri-negeri Welfare. Di periode berikutnya kita akan melihat sebuah gelombang masif bergerak di arahan yang bertentangan (dengan kapitalisme dan imperialisme) terutama dengan datangnya kemerosotan ekonomi dunia.
Adalah perlu untuk memiliki sebuah pemahaman dialektis mengenai proses, tidak semata menerima "fakta jadi" sebagai sesuatu yang ajeg buat selamanya. Sesunguhnya empirisme kaum borjuis dan para perancang strateginya lah yang membutakan mereka terhadap proses yang sebenarnya dan menahan mereka untuk terus-terusan menapaki sepanjang jalanan yang tak bisa ditawar-tawar menggiring mereka pada malapetaka. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, mereka memprovokasi massa di Asia &endash;dan seluruh negeri-negeri bekas jajahan&endash; hingga ke limit daya tahan mereka menanggung penderitaan. Pada satu titik yang pasti, seluruh proses yang telah kita saksikan selama dekade terakhir akan buyar dan arusnya berbalik arah. Oleh karena itu kita dapat menutup uraian soal tadi, bahwa di periode yang akan datang, sebab kebuntuan kaum imperialis di negeri-negeri jajahan, pukulan balik melawan swastanisasi dan kebutuhan-krbutuhan mendesak massa di negeri-negeri ini, kita akan menyaksikan berbagai gerakan baru dalam arahan bonapartisme kaum proletar. Hal itu terutama akan menjadi kejadiannya di negeri yang paling lemah di antara negeri-negeri tadi. Hasil dari proses restorasi kaum kapitalis di Rusia dan Cina dalam satu dan lain cara, tentu saja, akan memiliki akibat yang luar biasa besar dalam perkembangan ini. Tapi itu soal terpisah. Cukup buat mengatakan bahwa, dalam masa kemerosotan yang amat dalam pada skala dunia, rencana-rencana restorasi kapitalis di negeri-negeri ini akan dengan tak terelakkan lagi terhumbalang membalik ke dalam panci peleburan. Sepenuhnya mungkin bahwa kandidat pertama bagi reversi ke beberapa bentuk bonapartisme proletar adalah Rusia sendiri. Perspektif itu bergantung pada seluruh kejadian yang berkembang di Rusia dan juga di dalam skala dunia. Kita harus bersiap untuk segala macam kerja sama yang apik, sambil terus berjuang demi kekuatan pekerja, supaya kita tidak terkaget-kaget oleh adanya berbagai kejadian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar