Desa dan atau disebut dengan nama lain merupakan sebuah
gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat
tinggal dalam suatu lingkungan , mereka saling mengenal dengan baik dan corak
kehidupan relatif homogen serta banyak tergantung pada alam (
pertanian,perkebunan dan kehutanan ). Komunitas tersebut selanjutnya berkembang
menjadi suatu kesatuan masyarakat Hukum yang berhak untuk menyelenggarakan dan
mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan asal usul dimana kepentingan
bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan. Ciri
masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri
berdasarkan kesejarahan leluluhurnya dengan batas yang sah,berhak mengatur dan
mengurus pemerintahan dan rumahtangganya sendiri,memberlakukan hukum adat
setempat, berhak memilih dan mengangkat kepala daerahnya atau majelis
pemerintahan sendiri,berhak mempunyai sumber keuangan sendiri serta berhak atas
tanahnya sendiri.
Dalam konteks inilah Desa menemukan identitasnya sebagai
sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurus
kepentingannya sendiri yang dalam bahasa lain disebut otonomi aseli,dengan
demikian Desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak
masyarakat hukum ini terbentuk,dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian
pihak lain.
Proses reformasi telah membawa perubahan system kekuasaan
yang ada,dari otoritarianisme menuju pada kekuasaan yang Demokratis yang sangat
berbeda pada masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik –
otoriter,dengnan alas yuridis UU No.5 tahun 1979, era Reformasi ditandai dengan
digunakannya prinsip-prinsip Demokrasi dan Desentralisasi sebagai basis kerja
kekuasaan.
Perubahan Relasi itu dapat dilihat pada system pemerintahan
desa dimana upaya-upaya demokratisasi dan Desentralisasi bahkan anutan Otonomi
Aseli.
Pada masa orde baru , penataan desa di landaskan pada
undang-undang nomor 5 tahun 1979 yang mendefinisikan desa sebagai ‘suatu
wilayah yang di tempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik indonesia’’
Jika di tinjau lebih jauh , konsepsi orde baru tersebut merupakan
konsepsi desa dalam pengertian admnistratif , yaitu satuan
ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu , suatu satuan masyarakat , dan
suatu satuan pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan .
Dengan demikian , desa merupakan bagian dari organisasi pemerintah.
Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif ,undang – undang
nomor 5 tahun 1979 juga telah melakukan perubahan terhadap struktur desa ,
yaitu:
1.
Penyeragaman struktur pemerintahan
desa . Ini merupakan strategi orde baru untuk memberikan legitimasi dalam hal
kontrol negara terhadap desa.
2.
Pengintegrasian struktur
pemerintah desa pada pemerintah pemerintah nasional menempatkan pemerintah desa
sebagai rantai terakhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintahan yang
sentralistik . Ini menjadikan desa hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah
pusat.
3.
Penghapusan lembaga perwakilan
desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada kepala desa.
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama orde
baru atas desa yaitu pertama mengarahkan pengertian desa pada
sudut administrasi negara , dan kedua , menempatkan desa sebagai
alat dari pemerintah pusat . Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang
sebelumnya selalu di kaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat
hukum adat tertentu bergeser kearah pengertian desa yang dikaitkan dengan
kedudukannya sebagai satuan ketatanegaraan atau satuan administratif
pemerintahan. Dengan kata lain , kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang otonom makin lama makin terkikis karena menjadi subsistem terbawah
dari birokrasi pemerintahan nasional.otonomi aseli desa tidak bisa lagi
dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari
negara.
DEMOKRASI DAN
OTONOMI DESA MASA KINI HARUS DIREBUT.
Pada era reformasi , melalui undang – undang nomor 22 tahun
1999 terutama pasal 93 sampai dengan 111,mengandung semangat mengakhiri
sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom.desa dikembalikan
statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom , dalam hal ini
terlihat dari pertama , adanya keinginan untuk mendudukkan
kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah . Diakui dalam sistem
pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang di hormati mempunyai hak
asal usul ,dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat.dengan kata lain
Desa merupakan salah satu dari ruang negara. kedua memulihkan
demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan badan perwakilan
desa {BPD} atau dengan nama lain sebagai lembaga legeslatif.
Selain
semangat otonom yang tinggi , undang – undang nomor 22 tahun 1999 juga telah
merubah struktur desa , antara lain:
1.
Penghapusan penyeragaman struktur
pemerintahan desa.
2.
Pembentukan struktur pemerintahan
desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan badan perwakilan desa.
3.
Pembentukan struktur pemerintah
desa baru ( formulasi ) yang terdiri atas pemerintah desa dan lembaga yudikatif
Desa ( Mahkamah adat desa )
4.
Pembentukan Lembaga adat Desa
sebagai peradilan Desa .
5.
Pembentukan lembaga perwakilan di
tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa
( dalam orde baru kepala Desa sebagai penguasa tunggal ).
Jika ditinjau secara umum apa yang telah dilakukan
pemerintah pada era reformasi berkaitan dengan regulasi –regulasi yang dibuat
bagi desa,telah membawa angin segar atas harapan akan adanya
otonom desa. Harapan bagi terbukanya ruang – ruang pelaksanaan otonomi dan
demokratisasi di tingkatan desa telah di pupuk.
Namun
demikian , undang-undang nomor 22 tahun 1999 masih juga menyisakan persoalan –
persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal
dalam undang- undang tersebut justru menimbulkan keraguan atas kesungguhan
pemerintah untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa . Hal ini terlihat
dari kenyataan bahwa:
1.
Desa masih di buat tergantung pada
dinamika pembentukan kebijakan kabupaten sebagai akibat tarik menarik ( lihat
pasal 111 ayat a,b ) .
2.
Desa masih harus melakukan tugas
pembantuan dari pemerintah pusat , pemerintah propinsi dan kabupaten ( terjadi
perbedaan persepsi antara bantuan secara fungsi administratif dan bagian
secara hak – ps.107 ayat b. ) .
3.
Pemerintah desa masih di tempatkan
sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan.
4.
Keluarnya keputusan menteri dalam
negeri nomor 64 tahun 1999 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa dan
pada realitasnya diikuti oleh berbagai Produk Peraturan Daerah Kabupaten yang
masih mengatur ruang negara yang ada di Desa sementara Keppres menyusul
kemudian.
Dengan demikian Otonomi desa sebagaimana di
konsepkan dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi yang berasal
dari ‘’niat baik’’ negara. Karena sifatnya pemberian , maka adanya pasal-pasal yang kontradiktif
merupakan hal yang lumrah. Hadirnya undang – undang nomor 22 tahun 1999 lebih
di dasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegrasi bangsa di bandingkan
sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan otonomi kepada desa ,
menjadikan otonomi desa yang di konsepkan dalam undang-undang tersebut bukanlah
otonomi sebagaimana konsep aslinya , yaitu desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri
berdasarkan asal usul dan adat istiadat.
Adanya harapan serta kekhawatiran tersebut perlu terus di cermati. Sebagai
salah satu jalan keluarnya adalah secara terus menerus diadakan ‘’perjuangan
‘’ untuk merebut otonomi oleh masyarakat desa terhadap negara dengan melakukan
perubahan dan “menjemput bola” , karena jika hanya mengandalkan ‘’niat baik
‘’ dari negara untuk memberikan otonomi kepada desa akan sangat membahayakan
bagi kelangsungan otonomi desa sendiri. Kemungkinan kembalinya otoritarianisme
bukanlah sebuah hal yang yang mustahil terjadi, apabila proses desentralisasi
dan demokrasi hanya disandarkan pada niat baik negara maka sebenarnya
kita sedang diliputi utopia karena kekuasaan ibaratnya adalah anggur yang memabukkan
bagi mereka yang meminumnya .mereka yang telah menikmati kekuasaan akan
senantiasa menambah lagi kekuasaannya . Itulah sebabnya mengapa demokrasi dan
otonom harus diperjuangkan dan harus direbut. logika otonomi itu sudah kita
balik bukan dari atas lagi tapi memang harus dari bawah yang keatas.
VISI DESA
Sejak diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 pada tahun 2000
banyak hal yang telah dilakukan di Desa baik perubahan secara mendasar
yaitu meletakkan sendi-sendi berdemokrasi,partisipatif,transparan dan akuntabilitas
dalam rangka mewujudkan tatanan pemerintah yang bersih dan berwibawa ( Clean
and Good Governance ).
Oleh karena kebijakan pemerintah Desa yang dibangun
atas dasar kebersamaan dan perubahan cara pandang maka tidak semudah
membalikkan tangan apalagi cara pandang system pemerintahan yang otoriter
dengan kekuatan sepenuhnya kepada Kepala Desa yang disebut penguasa tunggal
pada rezim orde Baru telah berurat akar lebih dari 32 tahun.
Keran Demokrasi yang dikembangkan yaitu demokrasi ala Desa
dimana sifat-sifat keakraban,gotong royong,rembuk Desa turut menyemarakkan
demokrasi di Desa namun tetap beralaskan pada rambu-rambu Demokrasi ala Desa
yang sedikit mengalami pergeseran menuju pada kesetaraan,rasional dan aspiratif
dalam arti lain boleh berbeda pendapat namun pendapat yang masuk akal dan untuk
kepentingan orang banyak ( masyarakat ).
Suatu kasus di Desa Bentek Kecamatan Gangga Lombok Barat (
Desa penulis ini ) Desa dibangun dengan merombak system pemerintahan
dengan Visi dan Misi : Membangun tatanan masyarakat yang
Demokratis, Partisipatif ,Transparan , Beradat , Akuntabilitas dan Menghormati
Keberagamaan.
Memberdayakan masyarakat Desa menuju paradigma pembangunan
seutuhnya sesuai dengan prinsip – prinsip otonomi aseli.
Patut kita pertanyakan apakah ada suatu perubahan
yang signifikan terhadap proses pembangunan dengan paradigma reformasi ? Untuk
menjawab semua pertanyaan ini kita dapat mengkaji secara cermat tentang
perubahan-perubahan yang diupayakan melalui berbagai terobosan dengan melihat masa
lalu Desa dengan masa sekarang.
Disadari bahwa untuk merubah cara pandang
masyarakat,membangun demokrasi,transparan dan akuntabilitas tidaklah semudah
membalikkan tangnan akan tetapi proses untuk menuju sebuah perubahan tidak ada
lagi pilihan lain kecuali kita harus berani untuk “berhijrah” dengan
melewati berbagai rintangan dan hambatan dengan kesabaran dan kesadaran diri
bahwa kita para pemikir di Desa ini dituntut untuk membangun sebuah desa
yang ideal dalam perspektif UU No. 22 tahun 1999, Desa ideal
disamping ada fungsi-fungsi pembagian/kewenangan kekuasaan ada persoalan yang
beersifat tritorial dan bersifat fungsional, Jika
hukum setempat di Desa itu bisa dilihat pada prakteknya ada sistem demokrasi
langsung , mengakui hukum yang lebih luas karena ada kesadaran bahwa kita
memiliki hak kelola sepenuhnya maka itulah yang kita sebut otonomi aseli,
otonomi aseli ini berorientasi pada kemandirian kapital, otonomi setempat itu
bisa berupa kesatuan masyarakat hukum adat atau komunitas lokal atau kedua-duanya
campuran . Jika fungsi-fungsi itu dan sistem itu menghasilkan kesadaran bahwa
tak seluruh kemampuan kelola itu diakuasai di wilayah kelola dan penduduknya
yang ada disana atau internal yang ada, artinya ada kewenangan-kewenangan
diluar kelayakan wilayah kelolan dan penduduknya maka itulah yang
yang dikelola oleh Kabupaten.
Disadarai bahwa untuk membangun Desa ini tidaklah cukup
dengan berdiam diri dan berkutat pada pekerjaan rutin di Kantor namun
dibituhkan suatu wawsan dan membangun sebuah jaringan kerjasama stake holders
dari berbagai unsur lembaga baik formal maupun informal diluar Desa ini
lebih-lebih yang berkaitan dengan Kebijakan yang mengatur tentang Desa.
Kesejarahan
masa lalu adalah sebagai para meter untuk dapat mengukur sejauh mana perubahan
telah kita lakukan untuk itu dalam tulisan ini membuka cakrawala pandang dengan
melihat indikator-indikator dari sebuah proses tahapan pembangunan yang
dianalisa secara ilmiah dan empiris agar kita tidak terjebak pada penilaian
yang bersifat skeptis dan ego centries serta individualistic.
KESIMPULAN DAN SARAN.
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan dan kondisi rill mengenai gambaran umum tentang Desa yang
telah di uraikan dimuka maka beberapa kesimpulan yang diambil, :
1. Penguatan
institusi local ternyata harta warisan yang turun temurun tidak lekang oleh
zaman dan merupakan kearifan local pengetahuan masyarakat yang perlu di dorong
dan di berikan ruang gerak untuk mengatur dirinya sendiri.
2. Ternyata
masyarakat Desa dengan hukum adatnya dan nilai – nilai yang selama ini dianggap
ketinggalan zaman ternyata masih signifikan dan mampu menerima perubahan {
transpormatif } terhadap nilai-nilai dalam system kepemerintahan.
3. Produk
hukum dan pelaksanaannya mengacu pada hukum adat {kesepakatan} dan hukum
positif yang dijalankan secara rasional dan operopesional.
4. Perlu
peningkatan kwalitas pelayanan dan pemerintahan yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat .
5. Sedang
dalam proses melakukan perubahan-perubahan dengan formulasi dan
mengartikulasikan kebijakan dalam Pemerintahan Desa yang didasarkan atau
azas-azas :Keanekaragaman, Partisipasi, Otonomi Aseli, Demokrasi dan
Pemberdayaan Masyarakat sesuai dengan asal - usul ,Prakarsa dan Kondisi
social budaya masyarakat setempat dengan kemampuannya sendiri.
6. Pemerintahan
Desa mengakui keberadaan institusi adat sebagai norma-norma ,nilai-nilai
hukum adat dengan melembagakannya dalam bentuk Majelis Krama Adat Desa sebagai
mahkamah adat penegakan hukum adat yang di sebut peradilan adat yang berpungsi
sebagai lembaga yudikatif Desa
7. Masih
terbatasnya dana bantuan pemerintah Kabupaten,propinsi dan pemerintah pusat
dalam membiayayai pembangunan di Desa karena belum adanya kebijakan atau produk
hukum yang mengatur perimabngan keuangan Desa dan Kabupaten.
B. SARAN – SARAN
1.
Kebijakan otonomi Daerah
harus memiliki pra kondisi dimana terjadi pengakuan terhadap hak politik
masyarakat daerah untuk menentukan bentuk hubungan pusat dan daerah termasuk
Desa , untuk itu Pemerintah Kabupaten dan Pusat segera mengambil langkah
kebijakan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Desa dalam bentuk hukum
yang nyata sebagai komitmen untuk mengakui otonomi asli.
2.
Tidak perlu pemerintah terlalu
jauh mengintervensi hak – hak dan kewenangan masyarakat Desa tetapi wajib
mengakuinya berdasarkan adat - istiadat dan asal – usulnya.
3.
Para pengambil kebijakan agar
pelaksanaan otonomi daerah mampu memperkuat posisi tawar daerah-daerah
{termasuk Desa di dalamnya} berhadapan dengan pemerintah pusat serta memperkuat
posisi masyarakat daerah berhadapan dengan pemerintahnya sendiri.
4.
Diperlukan untuk menterjemahkan
pengetahuan-pengetahuan tentang mekanisme partisipatori kepada kekuasaan yang
memungkinkan masyarakat terlibat secara efektif dalam dunia publik dan mengikis
paradigma lama tentang proyek-proyek pembangunan dengan partisipasi social yang
relatif terbatas dan menuju terbentuknya aliansi, persekutuan ,serikat dan
persatuan rakyat peduli.
5.
Dalam memberikan pengakuan
terhadap Otonomi asli di Desa diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten dalam
kebijakan publiknya berupa Peraturan Daerah {Perda} mengatur secara umum dan
teknis oprasional dengan tidak menyentuh hal-hal yang bersifat substansial
{nilai-nilai} kehidupan masyarakat Desa.
6.
Pemerintah Kabupaten dalam membuat
kebijakan {regulasi} berupa Peraturan Daerah menyangkut Desa hendaknya dibuat
sedemikian rupa untuk pengaturan mengenai Desa dengan memperlihatkan aspirasi
dan artikulasi masyarakat dengan dukungan agregasi partai politik sehingga
aspirasi masyarakat Desa dapat ditampung sehingga tidak menimbulkan kontra
produksi {penolakan }oleh mayarakat Desa.
7.
Dalam rangka pemberdayaan
masyarakat Desa maka pemerintah Kabupaten dan Pusat sesegera mungkin membuat
undang – undang yang mengatur pertimbangan keuangan Desa dan Kabupaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar