Setelah 3 tahun Indonesia tanpa kemimpinan diktator Jendral
Soeharto, melalui penggulingan massa, disponsori mahasiswa yang menuntut
reformasi, ternyata masih banyak kendala menuju masyarakat Indonesia yang
demokratik. Gerakan mahasiswa saat iitu ternyata tidak kompak, sehingga GAGAL
meruntuhkan tiang-tiang penyangga kediktatoran rejim Orde Baru. Gerakan
mahasiswa ter-ilusi dengan jatuhnya Jendral Soeharto dan mengira Indonesia
sudah mencapai tahap demokratik, padahal kenyataan yang terjadi: kekuatan
penyangga dari " bangunan usang' rejim Orde Baru berhasil melakukan
konsolidasi kekuatannya dan siap untuk memukul mundur kekuatan-kekuatan yang
selama ini konsisten dengan perjuangan untuk demokratisasi. Apa saja tiang Orde
Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun di atas lumuran darah rakyat Indonesia
?
Pertama, Partai Golkar, alat untuk melegitimasi setiap
kebijakan yang telah terbukti merugikan rakyat dan bahkan menggadaikan nasib
kita generasi muda Indonesia yang saat ini masih duduk di bangku sekolah ,
menjadi buram masa depannya. Masih ingat kawan-kawan akan utang yang selama ini
di tanggung oleh rakyat indonesia? Semua karena partai Golkar sebagai partai
yang berkuasa melegitimasi kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru yang mengandalkan
hutang luar negeri, dan terbukti gagal. Utang-utang itu dipakai untuk
proyek-proyek ambisius yang tidak masuk akan untuk tingkat kemampuan ekonomi
kita, tapi dipaksakan agar memberikan gambaran bahwa Indonesia telah menjadi
negara modern. Mimpi-mimpi yang ditabur oleh rejim Orde Baru sehingga kesadaran
kita terbius oleh ' kepastian akan nasib dan masa depan anak muda Indonesia'.
Kedua, militer atau tentara. Demi terciptanya kestabilan
politik serta keamanan yang di perlukan untuk menunjangan kestabilan ekonomi
makan militer Indonesia siap sedia menumpas setiap perlawanan rakyat menentang
kediktaktoranOrde Baru. Ingat pembantaian Tanjung PRiok, DOM di Aceh dan Papua,
Marsinah, Udin, Penculikan aktivis pro-demokrasi, Penculikan seniman rakyat
Wiji Thukul sampai tragedi pembantaian 65-66 yang konon mencapai jutaan jiwa.
Bagaimana kita mau berani menghadapi masa depan Indonesia Baru dengan kepala
tegak, sedangkan masa lalu kita berlumuran darah dan para pelaku kejahatan
tersebut masih bebas berkeliaran, serta lembaga-lembaga pelaku kejahatan
kemanusiaan masih memainkan peran yang dominan saat ini. Ditambah masih adanya
pembagian komando teritorial (Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Babinsa) yang
memungkinkan militer melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap rakyat sipil.
Dwifungsi TNI/Polri memberi peluang bagi militer untuk berfungsi ganda, yaitu
fungsi pertahanan keamanan dan fungsi politik. Dari sini mungkin kira akan
gampang, terus kenapa Dwifungsi harus di cabut? Bahayanya mempertahankan
Dwifungsi adalah: karena militer mendominasi kekuatan politik sipil di parlemen
dan masuk kedalam kehidupan rakyat sipil, maka tentara yang seharusnya menjaga
pertahanan dan keamanan bangsa dari serangan luar negeri malah mengurusi unjuk
rasa buruk pabrik, atau sengketa tanah rakyat, atau malah mengurus perizinan
usaha di pasar-pasar tradisional alias mengutip pungutan gelap dana malah
mungkin membangun imperium-imperium bisnis. Keuntungan dari bisnis yang
dikelola militer digunakan untuk membiayai operasi-operasi militer seperti
menculik aktivis pro-demokrasi (Herman Hendrawan, Petrus Bima, Anugerah, Suyat,
DLL) yang sampai saat ini entah berantah keberadaannya. Bahkan bisa juga untuk
membiayai organisasi-organisasi sipil untuk menghadang gerakan demokratik. Ini
semua karena dominaso militer selama 32 tahun berkuasa memang memungkinkan
untuk menghimpun dana yang cukup besar tersebut.
Ketiga, Soehartois. Disini dimaknai sebagai
birokrat/pejabat dan konglomerat yang diuntungkan selama rejim orde baru
berkuasa yang melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masih ingatkah
kawan-kawan kasus penggelapan dana-dana pendidikan/beasiswa, atau kasus
birokrasi sekolah yang selalu mengutip uang ini-itu yang tidak jelas untuk
keperluan apa, sehingga banyak kawan-kawan yang kualitas kehidupannya buruk
terancam putus sekolah. Kaum Soehartois seperti ini harus di lenyapkan, karena
hanyalah parasit dalam masyarakat Indonesia yang demokratik.
DOSA-DOSA Orde Baru terhadap perlajar Indonesia :
1. Pengekangan terhadap
kebebasan berorganisasi/berserikat, dengan hanya membangun satu organisasi
induk di sekolah (OSIS) dan beberapa organ/kegiatan ekstra kurikuler di
bawahnya.
2. Pemberangusan terhadap
kebebasan berpikir dan nilai-nilai ilmiah demokratik.
3. Mewariskan budaya
fasis-militeris, ketentuan untuk baris berbaris/upacara bendera tanpa adanya
kebebasan untuk memilih, penyeragaman berpikir dan bersikap dengan suatu
keharusan tunduk pada otoritas yang "ditakuti".
4. Pola pembangunan ekonomi
yang salah kaprah mengakibatkan pelajar merasa tertekan oleh lingkungan,
menciptakan ruang-ruang yang tidak ramah sehingga pelajar merasa asing dengan
lingkungan sekitar, dan akhirnya banyak yang terjebak dalam bentuk konflik
horizontal : tawuran antara sesama pelajar.
5. Buruknya sarana dan
prasarana belajar sehingga mempengaruhi kualitas pendidikan. Ini akibat
minimnya anggaran pendidikan, sementara anggaran hankam selalu jadi prioritas.
Kekuatan-kekuatan penyangga Orde Baru saat ini masih ada di
sekeliling kita, bahkan telah berhasil membangun kembali kekuatannya. Buktinya,
fraksi Golkar berani muncul terang-terangan di parlemen untuk menyerang
pemerintahan Gus Dur, didukung pula oleh fraksi TNI/Porli dan reformis-reformis
gadungan di MPR/DPR. Di daerah-daerah Partai Golkar menguasai lebih dari 60%
bupati/walikota, dan masih adanya struktur komando teritorial militer jelas
sangat berbahaya seiring dengan berlakunya otonomi daerah. Akankah kita
berkorban dengan sia-sia cinta-cita Indonesia yang demokratik?? Akankah kita
percayakan kekuatan-kekuatan Orde Baru memimpin kembali, kepemimpinan yang
telah cacat sejarah dan penuh dosa-dosa terhadap rakyat Indonesia??
Ada beberapa pokok yang dapat dan harus dilakukan
kawan-kawan pelajar, untuk mencegah bangkitanya kembali kekuatan Orde Baru :
Pertama: bentuk kelompok-kelompok diskusi di sekolah, discusikan masalah aktual
yang dihadapi oleh kawan-kawan pelajar, bentuklah organisasi pelajar yang
memperjuangkan kepentingan kawan-kawan, dan bergabung dalam serikat pelajar
untuk menyatukan gerak langkah perjuangan pelajar. Karena hanya dengan
organisasilah, pelajar yang tercerai-berai dapat menjadi satu. Kedua, terlibat
aktif dalam aksi-aksi politik terhadap penolakan kekuatan orde baru. Bisa
berupa aksi massa pelajar, mendistribusikan selebaran, diskusi-diskusi, membuat
tulisan atau jurnal yang berisi gagasan serta pendangan kawan-kawan.
TOLAK PENCABUTAN
SUBSIDI PENDIDIKAN MURAH UNTUK RAKYAT, SITA ASET SUHARTO UNTUK SUBSIDI
PENDIDIKAN ADILI PARTAI GOLKAR ATAS KEJAHATAN ORDE BARU, CABUT DWIFUNGSI TNI
DENGAN PEMBUBARAN KODAM, KOREM, KODIM, KORAMIL, BABINSA!
Bahan diambil dari Media Pelajar Untuk Pembebasan keluaran
FPP (Front Pembebasan Pelajar) edisi Februari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar