Peran intelektual
dalam perancangan dan perubahan sosial telah lama menjadi bahan perdebatan,
baik di Indonesia maupun di mancanegara. Secara ringkas, bisa digambarkan bahwa
sebagian berpendapat intelektual seharusnya “berumah di atas angin”. Artinya
tugas utamanya adalah bergelut dengan teori dalam bidang yang dipelajarinya di
universitas atau lembaga-lembaga penelitian. Karena peran seperti itulah yang
memang harus dimainkannya dalam proses perubahan sosial. Biarlah para politisi,
teknolog, dan ekonom saja yang terlibat dalam perancangan dan perubahan sosial.
Sebagian lainnya berpendapat bahwa intelektual seharusnya “turun ke bumi”,
berpartisipasi langsung dalam proses perancangan dan perubahan sosial.
Perdebatan yang
kelihatan terlalu “hitam-putih” itu tampaknya kini sudah mulai dilupakan. Bukan
saja karena keduanya sama-sama benar sekaligus sama-sama salah, atau karena
masing-masingnya punya kelemahan epistemologis sekaligus saling melengkapi,
tetapi juga karena terlalu “hitam-putih” dan terlalu “steril”, sementara
kondisi-kondisi sosial dan politik yang menjadi latar belakangnya terus
berubah.
Sekedar contoh,
perdebatan itu akan sulit menjelaskan banyaknya aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) di luar universitas yang melibatkan diri dalam penelitian-penelitian
akademis, dan juga sebaliknya, makin banyaknya intelektual universitas yang
melibatkan diri dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM-LSM,
perancangan sosial dan pengambilan kebijakan. Memang ini bisa saja menjadi soal
pilihan. Tetapi jelas jauh lebih kompleks dari sekedar pilihan “berumah di atas
angin” atau “turun ke bumi”, karena melibatkan perubahan-perubahan dalam
struktur dan formasi kultural, sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat
global maupun di tingkat lokal, sehingga bukan saja akan menentukan peran
intelektual dalam perancangan dan perubahan sosial, tetapi juga menentukan arah
dan bentuk keberpihakan intelektual.
Salah satu soal
besar yang sering tidak hadir dalam perdebatan itu adalah soal masyarakat, yang
selama ini diklaim diabdi oleh kaum intelektual. Siapakah sebenarnya mereka?
Siapakah mereka yang katanya lidahnya telah disambung oleh kaum intelektual
ini?
*
* *
Pada musim dingin
1985, Gayatri Chakravorty Spivak, perempuan India, profesor di Universitas
Pittsburgh, mempublikasikan tulisannya “Can the Subaltern Speak? Speculations
on Widow-Sacrifice” (Dapatkah Subaltern Berbicara? Spekulasi-spekulasi tentang
Bunuh Diri Janda) di jurnal Wedge. Melalui studinya tentang bunuh diri
janda di India (sati), tulisan itu—yang di kemudian hari menjadi sangat
berpengaruh di kalangan intelektual pascakolonial—berbicara tentang
tendensi-tendensi kolonial dalam teori-teori pascakolonial. Spivak
mempertanyakan kembali peran intelektual pascakolonial yang sering dikatakan
bisa menyampaikan suara rakyat tertindas, suara kaum subaltern. Betulkah
demikian? Betulkah kaum subaltern bisa berbicara?
Sejenak beralih
dari tulisan Spivak itu, kita akan mengeksplorasi terlebih dulu gagasan tentang
subaltern; apa itu subaltern, darimana datangnya, dan kemudian apa pentingnya
gagasan ini bagi kita di Indonesia, saat ini.
Istilah subaltern
mula-mula digunakan oleh Antonio Gramsci buat menunjuk “kelompok inferior”,
yaitu kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni
kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan kelompok-kelompok lain yang tidak
memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik” bisa disebut sebagai kelas
subaltern. Dalam catatannya tentang sejarah Italia yang terbit 1934 (“Notes on
Italian History”) ia menyatakan bahwa sejarah seharusnya juga menulis tentang
sejarah kelas-kelas subaltern. Menurutnya sejarah kelas-kelas subaltern tak
kalah kompleksnya dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini
lebih diakui sebagai “sejarah yang resmi”. Ini bisa terjadi karena kelas-kelas
subaltern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi mereka
sendiri, dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. Hanya sebuah
“kemenangan permanen” (yaitu revolusi kelas) yang bisa memotong pola
subordinasi ini.
Ranajit Guha,
sejarawan India dari Subaltern Studies Group, kemudian mengadopsi gagasan
Gramsci itu buat mendorong penulisan kembali sejarah India. Dalam “On Some
Aspects of the Historiography of Colonial India” (1982) (Beberapa Aspek dalam
Historiografi India Kolonial), Guha mengatakan bahwa sejarah dominan tentang
nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan
kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan desa, yaitu rakyat.
Secara ringkas, yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan
elit”. Dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi
maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik
industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang
pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional
(pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang
beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).
Adopsi Guha atas
subaltern-nya Gramsci ini menarik. Karena ia memberikan kerangka yang lebih
jernih buat menganalisis soal “siapa kawan, siapa lawan” dan memaksa kita buat
memeriksa ulang dikotomi-dikotomi penindasan. Gagasan Guha menggeser
dikotomi-dikotomi “kolonial-antikolonial”, “buruh-majikan”, “sipil-militer”,
dsb. menjadi “elite-subaltern”. Perhatian kita pada penindasan yang selama ini
hanya terpusat pada “aktor-aktor luar”, kini mesti ditambah dengan perhatian
kepada “aktor-aktor dalam”. Mereka yang mengatakan dirinya antikolonial bisa
lebih bersifat kolonial dari pada mereka yang mengatakan dirinya kolonial.
Bagi kita di
Indonesia, saat ini, ilustrasinya bisa menjadi buruh bisa menindas buruh
lainnya, sipil bisa menindas sipil lainnya pula, partai yang mengaku pembela
demokrasi bisa lebih fasis ketimbang partai fasis, mereka yang mengaku pembela
kelompok-kelompok marjinal bisa pula justru menjadi penindas kelompok-kelompok
marjinal itu dst.
Gayatri Spivak,
dalam tulisannya tentang sati yang telah saya singgung di atas,
mempertegas gagasan Guha, sekaligus memberi peringatan kepada intelektual
pascakolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok
subaltern. Spivak sampai pada kesimpulan bahwa kelompok-kelompok subaltern atau
mereka yang tertindas memang tidak bisa berbicara. Karena itu seorang
intelektual tidak mungkin bisa mengklaim dan meromantisir kemampuan mereka buat
menggali dan mencari suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam ini
justru bersifat kolonial, karena ia menyamaratakan (menghomogenkan) keberagaman
kelompok-kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia merupakan sebuah “kekerasan
epistemologis” terhadap kelompok-kelompok subaltern. Relasi yang tercipta
antara intelektual dengan kelompok-kelompok subaltern itu seperti relasi
“tuan-hamba” (Graves, 1998).
Suara
kelompok-kelompok subaltern tidak akan bisa dicari, karena mereka memang tidak
bisa berbicara, karena mereka memang tidak bersuara. Intelektual datang bukan
buat mencari suara itu, melainkan harus hadir sebagai “wakil” kelompok
subaltern. Mengutip Gramsci, menurut Spivak intelektual mesti disertai
“pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam
memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen
politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan.
*
* *
Di Indonesia,
karena kegelisahan akan canpur tangan negara yang terlalu besar dan mandulnya
peran ilmuwan sosial dalam perubahan sosial, pada awal 1980-an sekelompok
aktivis LSM dan mahasiswa yang sering terlibat dalam aksi-aksi sosial lokal
mendirikan API (Asosiasi Peneliti Indonesia) dan memperkenalkan apa yang
disebut Participatory Action-oriented Research, PAR (Penelitian
Berhaluan Aksi Partisipatif).
Sosiolog Ignas Kleden
(1997) menyebutkan bahwa PAR memiliki empat kriteria. Pertama, jika
dalam penelitian empiris orang-orang yang menjadi sasaran kajian tidak
tahu-menahu dengan hasil-hasil temuan riset, maka dalam PAR orang-orang itulah
justru yang pertama-tama harus tahu dan menggunakan hasil-hasil temuan
tersebut. Kedua, orang-orang yang menjadi sasaran penelitian sosial
harus tidak diperlakukan sebagai sasaran observasi ilmiah semata, tetapi harus
dilibatkan secara aktif dalam penelitian tentang mereka itu sendiri. Ketiga,
tujuan PAR bukanlah hanya untuk menghimpun data tentang kelompok orang-orang
yang dikaji, tetapi untuk menanamkan pengertian yang lebih baik pada mereka,
serta memelihara solidaritas terhadap mereka. Ini mengangdung arti bahwa pada
analisis terakhir tujuan PAR tidaklah hanya pada meluasnya lembaga pengetahuan,
tetapi pada mendorong aksi bagi perubahan sosial. Keempat, mengingat
tujuan-tujuan khusus PAR tersebut, maka penguasaan metodologi penelitian saja
belumlah cukup, melainkan harus dilengkapi dengan suatu komitmen sosial yang
jelas.
Meski eksistensi
API kini sudah tidak jelas lagi, gagasan tentang PAR tampaknya tetap menjadi
cita-cita ilmu sosial di Indonesia. Saya tidak punya kapasitas untuk mengukur
capaian sosial hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti
universitas maupun aktivis LSM di Indonesia, tetapi banyak di antara telah
mencoba menerapkan prinsip-prinsip PAR dalam penelitian-penelitian mereka.
Tentu, ketimbang
terlalu lama bergelut dengan perdebatan “berumah di atas angin” vs. “turun ke
bumi”, ini adalah sebuah hal jauh lebih produktif bagi perubahan sosial di Indonesia.
Hanya saja, dari berbagai wacana tentang subaltern yang telah disinggung di
atas, apapun pilihan metodologi pemberdayaan kelompok-kelompok terpinggirnya,
bila tidak disertai apa yang dibilang Spivak sebagai “pesimisme intelek dan
optimisme kemauan” (skeptisisme dan sikap politis yang jelas), bila tidak
disertai kemampuan menjelaskan dan menunjuk kelompok subaltern mana yang hendak
diwakili, bila tidak disertai sebuah “kritik diri” atau kemauan untuk melihat
penindasan oleh “aktor-aktor dalam”, maka ini akan bisa dengan mudah terjerumus
ke dalam bentuk penindasan lainnya.
Campur tangan
negara dan kapitalisme global memang masih merupakan tantangan yang releven
bagi ilmu-ilmu sosial di Indonesia (dan ini masih perlu ditambah lagi dengan
tantangan dari campur tangan lembaga-lembaga donor internasional), tetapi
“kritik diri” adalah sebuah tantangan yang tak kalah penting dan tak kalah
kompleksnya.
Jika pada tahun
1970-an dan 1980-an kita sering mendengar negara “menggunakan” ilmuwan sosial
buat merancang dan menjalankan proyek-proyeknya yang membuat kelompok-kelompok
marjinal menjadi semakin marjinal, kini kita sering mendengar kelompok-kelompok
marjinal yang mengatakan bahwa mereka telah “dimanfaatkan” oleh para peneliti
atau aktivis LSM buat menurunkan dana-dana bantuan dari lembaga-lembaga donor
internasional. Dalam suatu penelitian yang menjadi bagian dari proyek
pengentasan kemiskinan misalnya, kita sering mendengar sindiran masyarakat
bahwa pada akhirnya peneliti dan aktivis LSM-lah yang akhirnya justru mentas
dari kemiskinan, sementara masyarakat sendiri tetap tinggal miskin.
Lantas siapa
sebenarnya kelompok marjinal yang mau diberdayakan itu? Suara siapakah yang
sebenarnya mau disampaikan? Dan bagaimanakah kita akan berbicara tentang peran
intelektual dalam perubahan sosial?
Itu hanyalah
sebagian dari pekerjaan rumah “kritik diri” yang harus segera dikerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar