Televisi memang
telah jadi perhatian studi-studi kebudayaan sejak lama, dan menurut saya memang
tidak ada media lain yang menyamai televisi dalam hal besarnya volume teks-teks
budaya populer yang dihasilkan. Rasanya, televisi selalu mampu melahirkan
bagian-bagian baru yang menarik untuk diamati dan dianalisa, mulai dari siaran
berita, iklan televisi, sinetron, film televisi, talk show, kuis-kuis,
acara musik, dan sebagainya. Dengan demikian televisi juga merupakan ruang
eksperimen yang menarik bagi para ilmuwan sosial untuk mencobakan berbagai
macam metode dan teori sebagai pisau dan alat-alat untuk menganalisa persoalan
kebudayaan. Karenanya, banyak hal yang harus dipahami dari televisi. Mulai dari
teks, hubungan antara teks dan penonton, aspek ekonomi-politik yang
melingkupinya, hubungan televisi dengan aspek-aspek lain diluarnya, sampai pola
makna budaya yang ada dalam televisi. Tulisan ini akan melakukan analisa
terhadap sinetron sebagai bagian dari dunia televisi.
Memang
benar bahwa tulisan-tulisan yang beredar selama ini tentang sinetron seperti
selalu memberi kita bayangan gelap akan kehidupan sinetron—buruknya mutu
penulis naskah sinetron, rendahnya etos kerja para pekerja sinetron mulai dari
pemain, sutradara sampai pekerja-pekerja teknis yang ada disitu, ketiadaan
festival atau wadah untuk mengukur mutu sinetron-sinetron yang beredar,
ketiadaan kritikus sinetron yang baik, sampai penghargaan yang rendah pada diri
penonton, dan sebagainya, dan karenanya percakapan tentang sinetron menjadi
membosankan dan tidak menyenangkan karena kita seolah-olah sudah mengetahui
semua hal-hal buruk tentangnya. Tetapi bukankah memang sebuah tulisan tidak
berniat untuk memberikan sebuah penilaian final tentang sesuatu hal?
Yang saya
lakukan dalam tulisan kali ini adalah memberikan penajaman pada aspek resepsi
penonton dan aspek ekonomi-politik dari sinetron indonesia. Penonton menempati
posisi penting dalam pembacaan suatu fenomena kebudayaan. Sayangnya mereka
sering luput dari perhatian publik, termasuk oleh para peneliti kebudayaan.
Proses pembacaan penonton sebuah pameran, sebuah film, sebuah sinetron, apa
yang mempengaruhi interpretasi mereka dan bentuk komunikasi seperti apa yang
sebetulnya sedang terjadi antara seniman dan penonton, antara sutradara/penulis
naskah dan penonton, seharusnya bisa menjadi tema yang menarik untuk diteliti.
Selain dimensi resepsi penonton, dimensi lain yang juga terlupakan adalah dimensi
ekonomi-politik. Hal ini dilakukan mengingat dalam sebuah sirkuit kebudayaan
yang berjalan, tidak hanya terdapat aspek produksi dan konsumsi, tetapi
terdapat aspek-aspek lain seperti aspek distribusi, regulasi, representasi dan
pembentukan identitas, yang semuanya saling berhubungan erat.
Dunia
Romantis dan Ekonomi Politik Sinetron
Saat ini
terdapat sekitar 55 buah sinetron yang sedang diputar di stasiun-stasiun
televisi swasta di Indonesia. Jika dideskripsikan lebih jauh, berbagai macam
sinetron yang beredar di televisi tersebut mewakili beberapa karakter utama
yaitu: karakter cerita yang terbuka dan karakter cerita yang terpusat pada tema
hubungan interpersonal pemainnya. Dalam karakter yang pertama, rangkaian
episode-episode sinetron berjalan mengalir begitu saja. Setiap episode
menampilkan jalinan cerita yang berbeda. Tidak ada persoalan-persoalan tertentu
yang dicoba untuk dipecahkan dari awal episode sampai seri episode sinetron ini
berakhir. Sedangkan dalam karakter yang kedua, cerita sinetron terpusat pada
hubungan pribadi manusia: pertikaian keluarga, jatuh cinta, pernikahan,
perpecahan, perselingkuhan, balas dendam, dan sebagainya. Poin yang menarik
adalah dari bermacam-macam sinetron yang diputar tersebut, 80% diantaranya
berujung pangkal pada persoalan cinta dan segenap romantismenya. Setiap kita
melihat sinetron, ada hawa romantisme kuat yang berhembus disitu.
Bahkan
sinetron-sinetron yang berbasis cerita misteri dan aksi laga yang sedang banyak
digemari penonton seperti Misteri Gunung Merapi (Indosiar, Minggu, 19.30 WIB),
Dendam Nyi Pelet (Indosiar, Senin, 18.00 WIB), Misteri Nini Pelet (SCTV, Senin,
19.30 WIB), juga Angling Darma (Indosiar, Rabu, 19.30 WIB) dan Prahara Prabu
Siliwangi (SCTV, Selasa, 19.30 WIB) sebenarnya juga berpangkal pada persoalan
cinta kasih yang romantis. Dendam Nyi Pelet misalnya bercerita tentang seorang
gadis yang dendam pada semua laki-laki karena pemuda pujaannya ternyata
mempunyai kekasih lain. Maka ia berguru, menguasai ilmu hitam, dan berubah
menjadi Nyi Pelet yang selalu siap menyebar maut bagi para pemuda yang
ditemuinya. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya demokratisasi wacana dalam
sinetron Indonesia itu tidak ada. Yang ada justru keseragaman wacana karena
semua isu ditarik dalam persoalan cinta..
Lantas apakah
sinetron merupakan sebuah karya seni atau kerajinan tangan? Jawaban untuk
pertanyaan yang sederhana tersebut ternyata tidak sederhana. Karena yang
terjadi dalam dunia posmodern, seperti yang pernah diungkapkan oleh Mike
Featherstone (1991, 1995), adalah kekaburan batas-batas antara seni,
kebudayaan, dan iklan atau dunia bisnis yang berujung pada estetikasi umum
kehidupan sehari-hari. Karya seni tampak seperti bukan karya seni, sementara
hal-hal yang tampak dalam kehidupan sehari-hari tampak begitu indah dan
estetis.
Analisis
ekonomi-politik termasuk sisi produksi dan distribusi di dalamnya selama ini
diabaikan. Analisis budaya lebih memusatkan perhatiannya pada analisis
tekstual. Menurut Kellner (1997), analisis ekonomi-politik perlu lebih
ditekankan mengingat kenyataan bahwa kebudayaan selalu berada dalam satu bidang
bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusi-institusi sosial,
media massa dan dimensi-dimensi lain dari realitas sosial. Kenyataan lain
yang harus dihadapi adalah bahwa kebudayaan selalu diproduksi dalam hubungan
dominasi dan subordinasi. Analisis yang meletakkan kebudayaan dalam sistem
produksi dan distribusi dapat membantu menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang
membatasi produksi suatu artefak kebudayaan, wacana-wacana apa saja yang sedang
dominan berlangsung dalam masyarakat saat itu, juga pengaruh aspek politik pada
saat artefak kebudayaan tersebut didistribusikan. Sebenarnya, analisis
ekonomi-politik juga harus mempertimbangkan persfektif-persfektif lain dalam
menganalisis sesuatu. Perspektif-perspektif lain tersebut bisa berupa
persfektif gender, ras, etnisitas, kelas, atau nasionalisme. Semakin kaya
perpektif yang dipakai untuk menganalisa, maka hasil analisa akan semakin
bagus. Mengingat sinetron merupakan sebuah fenomena yang kompleks maka
keberagaman persfektif mutlak diperlukan.
Rumah
produksi (production house), sutradara, pemain, naskah, pembuat naskah,
industri musik, iklan, stasiun televisi, dan penonton adalah aspek-aspek yang
terdapat dalam sinetron dan terentang dari proses produksi sampai konsumsi.
Mungkin masih teringat saat TVRI merayakan ulang tahunnya pada tanggal 20-26
Agustus 1999 yang lalu. Waktu itu TVRI menayangkan acara Sepekan Sinetron
HUT TVRI. Sinetron-sinetron yang diputar dalam acara tersebut antara lain: Orang
Kaya Baru dari Teater KOMA, Wagiyem, Karsih dan Karsiman,
serta Merobek Angan-Angan. Munculnya Teater KOMA di TVRI sangat menarik
mengingat di masa lalu Teater KOMA sempat dilarang tampil di TVRI karena
naskah-naskah yang dimainkannya dinilai berbahaya bagi keamanan dan stabilitas
negara. Tema-tema naskah-naskah sinetron lain yang tampil juga berkisar pada
persoalan politik seperti perjuangan seorang aktivis LSM, persoalan korupsi,
tahanan Pulau Buru serta demonstrasi mahasiswa. Sinetron-sinetron ini tidak
akan mungkin ditayangkan dengan bebas sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi di
Indonesia. Fenomena ini juga menunjukkan perubahan sikap politik TVRI karena
dulu TVRI sangat dikenal sebagai corong utama orde baru.
Pemilihan
sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi juga penting
untuk dicermati mengingat stasiun televisi mempunyai kriteria dan
standar-standar tertentu yang ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut meliputi
ide cerita, siapa yang membuat naskah, siapa sutradaranya, siapa saja
artis-artis yang dilibatkan. Semua itu adalah nilai-nilai utama dari sinetron
yang menentukan apakah sebuah sinetron layak jual atau tidak. Selain
persoalan-persoalan diatas, hal lain yang harus diperhitungkan adalah kecocokan
antara cerita, jumlah slot tayang yang direncanakan, dengan harga yang
ditetapkan.
Saat
produksi sinetron berjalan, aspek-aspek yang mempengaruhinya juga semakin
banyak. Misalnya, jika rating sebuah sinetron naik, dan jumlah iklan yang masuk
juga semakin tinggi, sementara rangkaian episodenya sudah hampir habis, maka
sutradara dan penulis naskah dipaksa untuk melipatgandakan jumlah episode
dan melakukan pengembangan cerita yang kadangkala menyimpang dari ide cerita
awal. Bahkan seringkali terjadi pengembangan cerita tersebut dilakukan tanpa
perencanaan khusus, dan dilakukan langsung di tempat pengambilan gambar
berlangsung. Hal seperti ini biasanya terjadi pada sinetron-sinetron yang
jumlahnya sudah mencapai ratusan episode. Sinetron yang banyak digemari seperti
Si Doel Anak Sekolahan bahkan dapat semakin terdongkrak popularitasnya
karena karakter sejumlah tokohnya laris dipinjam untuk memerankan iklan-iklan
produk dan iklan layanan masyarakat.
Persoalan
lain yang menarik dicermati dalam dunia sinetron adalah hubungan antara
sinetron dengan industri musik. Lagu-lagu Indonesia populer dan laris dibeli
kasetnya oleh para penggemar kini tidak hanya bisa dinikmati di radio-radio
atau dalam acara-acara musik di televisi, melainkan bisa kita dengarkan juga
dalam tayangan sinetron sebagai lagu tema sinetron. Kita mengenal ciri-ciri
sinetron Cerita Cinta (Indosiar, Senin, 20.30 WIB) dari lagu-lagu yang
dilantunkan oleh grup musik Dewa. Kita juga mengenal ciri-ciri sinetron Lupus
Millenia (Indosiar, Kamis, 19.30) dan sinetron Cinta Pertama (Indosiar,
Kamis, 20.00 WIB) lewat lagu-lagu dari kelompok Sheila On 7. Tidak hanya itu.
Hampir semua sinetron yang diputar di televisi sekarang pasti menampilkan satu
atau dua lagu Indonesia yang sedang populer. Fenomena ini mirip seperti yang
terjadi dalam dunia film. Dulu ketika lagu-lagu Whitney Houston menjadi soundtrack
film The Bodyguard, orang jadi bertanya-tanya apakah ketenaran lagu itu
yg mendongkrak popularitas film tersebut, atau sebaliknya, film yang dibintangi
aktor terkenal Kevin Costner itulah yang menyebabkan banyak orang mencari-cari
dan membeli kaset lagu Whitney Houston. Tentunya hubungan yang signifikan
antara rating sinetron dengan popularitas sebuah lagu ini menarik untuk dikaji
lebih lanjut.
Kode
Dominan, Negosiasi, dan Oposisi
Penonton
tidak pernah menjadi pihak yang pasif dalam membaca sebuah fenomena kebudayaan.
Hal ini disebabkan karena makna yang dikeluarkan oleh sinetron tidak pernah
langsung diterima begitu saja oleh penonton. Sebaliknya, penonton melakukan
kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya,
penonton juga melakukan modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai
dengan keinginannya. Maka, penonton adalah pihak yang aktif, dan proses
konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif.
Televisi
merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka itu analisis
televisi—termasuk juga sinetron—tidak hanya harus dilekatkan dengan persoalan
makna dan interpretasi melainkan harus juga dihubungkan dengan ritme rutinitas
kehidupan sehari-hari. Menonton televisi biasanya dilakukan di ruang keluarga,
atau di tempat tidur. Dari ruang-ruang pribadi ini, menarik untuk mengamati
bagaimana penonton melakukan ritual-ritual tertentu sebelum mulai menonton sinetron
kesayangannya, misalnya mereka akan menyiapkan makanan kecil sebagai teman
menonton, dan memanggil teman-teman atau saudara, mengingatkan bahwa sinetron
kesayangan mereka sebentar lagi akan diputar.
Saya
pernah mengamati 4 orang penghuni kos puteri yang menonton sinetron Cerita
Cinta bersama-sama. Mereka menonton di dalam kamar salah satu anak kos yang
kebetulan mempunyai pesawat televisi. Sepanjang menonton, mereka asyik
berkomentar tentang Mini, Dewa, Nadia, Miko, dan Miranda. Mereka ikut gembira
dan bersyukur karena Igo dan Miranda jadi menikah. Salah satu dari mereka
jengkel dengan Mini yang sakit leukimia dan berubah menjadi orang yang cengeng.
Mereka juga ribut berkomentar ketika Miranda dan Dewa yang pernah berpacaran
bertemu secara kebetulan di sebuah restoran. Dari ilustrasi ini tampak bahwa
berdiskusi tentang sinetron lebih penting dari menonton sinetron itu sendiri.
Selain berdiskusi, hal-hal yang juga dilakukan adalah memperkirakan seperti apa
kira-kira jalan kisah selanjutnya dan kadang-kadang juga berharap semoga jalan
ceritanya berjalan persis seperti yang mereka inginkan.
Dalam
menerima pesan-pesan, penonton sering menempatkan diri dalam posisi yang
berbeda-beda sesuai dengan kode-kode pembacaan yang mereka jalankan. Stuart
Hall (1981) mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant
code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan,
penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh sinetron. Dalam kode
negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi
mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya,
sementara dalam kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan
menolaknya. Pada pembacaan yang mengikuti kode dominan, penonton akan senang ketika
akhirnya Andri, tokoh lesbian dalam Cerita Cinta yang diperankan oleh
Dhea Ananda, akhirnya berpacaran dengan Rangga dan tidak jadi berpacaran dengan
Nadia. Kode dominasi disini berarti bahwa penonton sepakat dengan nilai-nilai
yang ditampilkan dalam sinetron ini bahwa homoseksualitas bukan hal yang bagus.
Bahwa perempuan seharusnya memang berpasangan dengan laki-laki, bukan dengan
sesama perempuan, dan maka itu Andri memang lebih baik jika berpacaran dengan
Rangga.
Akhirnya,
penggunaan multiperspektif yang kaya dalam analisis kebudayaan seperti yang
dilakukan pada sinetron ini tidak hanya dapat meningkatkan mutu analisis itu
sendiri, tapi mungkin juga bisa digunakan sebagai jalan untuk menuju masyarakat
yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik.
Versi
pendek tulisan ini dimuat di Bernas, 25 Februari 2001
Dalam
Ruang Pribadi Penonton:
Romantisme dan Ekonomi Politik Sinteron Indonesia
Oleh Nuraini Juliastuti
Romantisme dan Ekonomi Politik Sinteron Indonesia
Oleh Nuraini Juliastuti

Memang
benar bahwa tulisan-tulisan yang beredar selama ini tentang sinetron seperti
selalu memberi kita bayangan gelap akan kehidupan sinetron—buruknya mutu
penulis naskah sinetron, rendahnya etos kerja para pekerja sinetron mulai dari
pemain, sutradara sampai pekerja-pekerja teknis yang ada disitu, ketiadaan
festival atau wadah untuk mengukur mutu sinetron-sinetron yang beredar, ketiadaan
kritikus sinetron yang baik, sampai penghargaan yang rendah pada diri penonton,
dan sebagainya, dan karenanya percakapan tentang sinetron menjadi membosankan
dan tidak menyenangkan karena kita seolah-olah sudah mengetahui semua hal-hal
buruk tentangnya. Tetapi bukankah memang sebuah tulisan tidak berniat untuk
memberikan sebuah penilaian final tentang sesuatu hal?
Yang saya
lakukan dalam tulisan kali ini adalah memberikan penajaman pada aspek resepsi
penonton dan aspek ekonomi-politik dari sinetron indonesia. Penonton menempati
posisi penting dalam pembacaan suatu fenomena kebudayaan. Sayangnya mereka
sering luput dari perhatian publik, termasuk oleh para peneliti kebudayaan.
Proses pembacaan penonton sebuah pameran, sebuah film, sebuah sinetron, apa
yang mempengaruhi interpretasi mereka dan bentuk komunikasi seperti apa yang
sebetulnya sedang terjadi antara seniman dan penonton, antara sutradara/penulis
naskah dan penonton, seharusnya bisa menjadi tema yang menarik untuk diteliti.
Selain dimensi resepsi penonton, dimensi lain yang juga terlupakan adalah
dimensi ekonomi-politik. Hal ini dilakukan mengingat dalam sebuah sirkuit
kebudayaan yang berjalan, tidak hanya terdapat aspek produksi dan konsumsi,
tetapi terdapat aspek-aspek lain seperti aspek distribusi, regulasi,
representasi dan pembentukan identitas, yang semuanya saling berhubungan erat.
Dunia
Romantis dan Ekonomi Politik Sinetron
Saat ini
terdapat sekitar 55 buah sinetron yang sedang diputar di stasiun-stasiun
televisi swasta di Indonesia. Jika dideskripsikan lebih jauh, berbagai macam
sinetron yang beredar di televisi tersebut mewakili beberapa karakter utama
yaitu: karakter cerita yang terbuka dan karakter cerita yang terpusat pada tema
hubungan interpersonal pemainnya. Dalam karakter yang pertama, rangkaian
episode-episode sinetron berjalan mengalir begitu saja. Setiap episode
menampilkan jalinan cerita yang berbeda. Tidak ada persoalan-persoalan tertentu
yang dicoba untuk dipecahkan dari awal episode sampai seri episode sinetron ini
berakhir. Sedangkan dalam karakter yang kedua, cerita sinetron terpusat pada
hubungan pribadi manusia: pertikaian keluarga, jatuh cinta, pernikahan,
perpecahan, perselingkuhan, balas dendam, dan sebagainya. Poin yang menarik
adalah dari bermacam-macam sinetron yang diputar tersebut, 80% diantaranya
berujung pangkal pada persoalan cinta dan segenap romantismenya. Setiap kita
melihat sinetron, ada hawa romantisme kuat yang berhembus disitu.
Bahkan
sinetron-sinetron yang berbasis cerita misteri dan aksi laga yang sedang banyak
digemari penonton seperti Misteri Gunung Merapi (Indosiar, Minggu, 19.30 WIB),
Dendam Nyi Pelet (Indosiar, Senin, 18.00 WIB), Misteri Nini Pelet (SCTV, Senin,
19.30 WIB), juga Angling Darma (Indosiar, Rabu, 19.30 WIB) dan Prahara Prabu
Siliwangi (SCTV, Selasa, 19.30 WIB) sebenarnya juga berpangkal pada persoalan
cinta kasih yang romantis. Dendam Nyi Pelet misalnya bercerita tentang seorang
gadis yang dendam pada semua laki-laki karena pemuda pujaannya ternyata
mempunyai kekasih lain. Maka ia berguru, menguasai ilmu hitam, dan berubah
menjadi Nyi Pelet yang selalu siap menyebar maut bagi para pemuda yang
ditemuinya. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya demokratisasi wacana dalam
sinetron Indonesia itu tidak ada. Yang ada justru keseragaman wacana karena
semua isu ditarik dalam persoalan cinta..
Lantas
apakah sinetron merupakan sebuah karya seni atau kerajinan tangan? Jawaban
untuk pertanyaan yang sederhana tersebut ternyata tidak sederhana. Karena yang
terjadi dalam dunia posmodern, seperti yang pernah diungkapkan oleh Mike
Featherstone (1991, 1995), adalah kekaburan batas-batas antara seni,
kebudayaan, dan iklan atau dunia bisnis yang berujung pada estetikasi umum
kehidupan sehari-hari. Karya seni tampak seperti bukan karya seni, sementara
hal-hal yang tampak dalam kehidupan sehari-hari tampak begitu indah dan
estetis.
Analisis
ekonomi-politik termasuk sisi produksi dan distribusi di dalamnya selama ini
diabaikan. Analisis budaya lebih memusatkan perhatiannya pada analisis
tekstual. Menurut Kellner (1997), analisis ekonomi-politik perlu lebih
ditekankan mengingat kenyataan bahwa kebudayaan selalu berada dalam satu bidang
bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusi-institusi sosial,
media massa dan dimensi-dimensi lain dari realitas sosial. Kenyataan lain
yang harus dihadapi adalah bahwa kebudayaan selalu diproduksi dalam hubungan
dominasi dan subordinasi. Analisis yang meletakkan kebudayaan dalam sistem
produksi dan distribusi dapat membantu menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang
membatasi produksi suatu artefak kebudayaan, wacana-wacana apa saja yang sedang
dominan berlangsung dalam masyarakat saat itu, juga pengaruh aspek politik pada
saat artefak kebudayaan tersebut didistribusikan. Sebenarnya, analisis
ekonomi-politik juga harus mempertimbangkan persfektif-persfektif lain dalam
menganalisis sesuatu. Perspektif-perspektif lain tersebut bisa berupa
persfektif gender, ras, etnisitas, kelas, atau nasionalisme. Semakin kaya
perpektif yang dipakai untuk menganalisa, maka hasil analisa akan semakin
bagus. Mengingat sinetron merupakan sebuah fenomena yang kompleks maka
keberagaman persfektif mutlak diperlukan.
Rumah
produksi (production house), sutradara, pemain, naskah, pembuat naskah,
industri musik, iklan, stasiun televisi, dan penonton adalah aspek-aspek yang
terdapat dalam sinetron dan terentang dari proses produksi sampai konsumsi.
Mungkin masih teringat saat TVRI merayakan ulang tahunnya pada tanggal 20-26
Agustus 1999 yang lalu. Waktu itu TVRI menayangkan acara Sepekan Sinetron
HUT TVRI. Sinetron-sinetron yang diputar dalam acara tersebut antara lain: Orang
Kaya Baru dari Teater KOMA, Wagiyem, Karsih dan Karsiman,
serta Merobek Angan-Angan. Munculnya Teater KOMA di TVRI sangat menarik
mengingat di masa lalu Teater KOMA sempat dilarang tampil di TVRI karena
naskah-naskah yang dimainkannya dinilai berbahaya bagi keamanan dan stabilitas
negara. Tema-tema naskah-naskah sinetron lain yang tampil juga berkisar pada
persoalan politik seperti perjuangan seorang aktivis LSM, persoalan korupsi,
tahanan Pulau Buru serta demonstrasi mahasiswa. Sinetron-sinetron ini tidak
akan mungkin ditayangkan dengan bebas sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi di
Indonesia. Fenomena ini juga menunjukkan perubahan sikap politik TVRI karena
dulu TVRI sangat dikenal sebagai corong utama orde baru.
Pemilihan
sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi juga penting
untuk dicermati mengingat stasiun televisi mempunyai kriteria dan
standar-standar tertentu yang ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut meliputi
ide cerita, siapa yang membuat naskah, siapa sutradaranya, siapa saja
artis-artis yang dilibatkan. Semua itu adalah nilai-nilai utama dari sinetron
yang menentukan apakah sebuah sinetron layak jual atau tidak. Selain
persoalan-persoalan diatas, hal lain yang harus diperhitungkan adalah kecocokan
antara cerita, jumlah slot tayang yang direncanakan, dengan harga yang
ditetapkan.
Saat
produksi sinetron berjalan, aspek-aspek yang mempengaruhinya juga semakin
banyak. Misalnya, jika rating sebuah sinetron naik, dan jumlah iklan yang masuk
juga semakin tinggi, sementara rangkaian episodenya sudah hampir habis, maka
sutradara dan penulis naskah dipaksa untuk melipatgandakan jumlah episode
dan melakukan pengembangan cerita yang kadangkala menyimpang dari ide cerita
awal. Bahkan seringkali terjadi pengembangan cerita tersebut dilakukan tanpa
perencanaan khusus, dan dilakukan langsung di tempat pengambilan gambar
berlangsung. Hal seperti ini biasanya terjadi pada sinetron-sinetron yang
jumlahnya sudah mencapai ratusan episode. Sinetron yang banyak digemari seperti
Si Doel Anak Sekolahan bahkan dapat semakin terdongkrak popularitasnya
karena karakter sejumlah tokohnya laris dipinjam untuk memerankan iklan-iklan
produk dan iklan layanan masyarakat.
Persoalan
lain yang menarik dicermati dalam dunia sinetron adalah hubungan antara
sinetron dengan industri musik. Lagu-lagu
Indonesia
populer dan laris dibeli kasetnya oleh para penggemar kini tidak hanya bisa
dinikmati di radio-radio atau dalam acara-acara musik di televisi, melainkan
bisa kita dengarkan juga dalam tayangan sinetron sebagai lagu tema sinetron.
Kita mengenal ciri-ciri sinetron Cerita Cinta (Indosiar, Senin, 20.30
WIB) dari lagu-lagu yang dilantunkan oleh grup musik Dewa. Kita juga
mengenal ciri-ciri sinetron Lupus Millenia (Indosiar, Kamis, 19.30) dan
sinetron Cinta Pertama (Indosiar, Kamis, 20.00 WIB) lewat lagu-lagu dari
kelompok Sheila On 7. Tidak hanya itu. Hampir semua sinetron yang diputar di
televisi sekarang pasti menampilkan satu atau dua lagu Indonesia yang
sedang populer. Fenomena ini mirip seperti yang terjadi dalam dunia film. Dulu
ketika lagu-lagu Whitney Houston menjadi soundtrack film The
Bodyguard, orang jadi bertanya-tanya apakah ketenaran lagu itu yg
mendongkrak popularitas film tersebut, atau sebaliknya, film yang dibintangi
aktor terkenal Kevin Costner itulah yang menyebabkan banyak orang mencari-cari
dan membeli kaset lagu Whitney Houston. Tentunya hubungan yang signifikan
antara rating sinetron dengan popularitas sebuah lagu ini menarik untuk dikaji
lebih lanjut.
Kode
Dominan, Negosiasi, dan Oposisi
Penonton
tidak pernah menjadi pihak yang pasif dalam membaca sebuah fenomena kebudayaan.
Hal ini disebabkan karena makna yang dikeluarkan oleh sinetron tidak pernah
langsung diterima begitu saja oleh penonton. Sebaliknya, penonton melakukan
kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya,
penonton juga melakukan modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai
dengan keinginannya. Maka, penonton adalah pihak yang aktif, dan proses
konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif.
Televisi
merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka itu analisis
televisi—termasuk juga sinetron—tidak hanya harus dilekatkan dengan persoalan
makna dan interpretasi melainkan harus juga dihubungkan dengan ritme rutinitas
kehidupan sehari-hari. Menonton televisi biasanya dilakukan di ruang keluarga,
atau di tempat tidur. Dari ruang-ruang pribadi ini, menarik untuk mengamati
bagaimana penonton melakukan ritual-ritual tertentu sebelum mulai menonton
sinetron kesayangannya, misalnya mereka akan menyiapkan makanan kecil sebagai
teman menonton, dan memanggil teman-teman atau saudara, mengingatkan bahwa
sinetron kesayangan mereka sebentar lagi akan diputar.
Saya
pernah mengamati 4 orang penghuni kos puteri yang menonton sinetron Cerita
Cinta bersama-sama. Mereka menonton di dalam kamar salah satu anak kos yang
kebetulan mempunyai pesawat televisi. Sepanjang menonton, mereka asyik
berkomentar tentang Mini, Dewa, Nadia, Miko, dan Miranda. Mereka ikut gembira
dan bersyukur karena Igo dan Miranda jadi menikah. Salah satu dari mereka
jengkel dengan Mini yang sakit leukimia dan berubah menjadi orang yang cengeng.
Mereka juga ribut berkomentar ketika Miranda dan Dewa yang pernah berpacaran
bertemu secara kebetulan di sebuah restoran. Dari ilustrasi ini tampak bahwa
berdiskusi tentang sinetron lebih penting dari menonton sinetron itu sendiri.
Selain berdiskusi, hal-hal yang juga dilakukan adalah memperkirakan seperti apa
kira-kira jalan kisah selanjutnya dan kadang-kadang juga berharap semoga jalan
ceritanya berjalan persis seperti yang mereka inginkan.
Dalam
menerima pesan-pesan, penonton sering menempatkan diri dalam posisi yang
berbeda-beda sesuai dengan kode-kode pembacaan yang mereka jalankan. Stuart
Hall (1981) mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant
code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan,
penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh sinetron. Dalam kode
negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi
mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya,
sementara dalam kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan
menolaknya. Pada pembacaan yang mengikuti kode dominan, penonton akan senang
ketika akhirnya Andri, tokoh lesbian dalam Cerita Cinta yang diperankan
oleh Dhea Ananda, akhirnya berpacaran dengan Rangga dan tidak jadi berpacaran
dengan Nadia. Kode dominasi disini berarti bahwa penonton sepakat dengan
nilai-nilai yang ditampilkan dalam sinetron ini bahwa homoseksualitas bukan hal
yang bagus. Bahwa perempuan seharusnya memang berpasangan dengan laki-laki,
bukan dengan sesama perempuan, dan maka itu Andri memang lebih baik jika berpacaran
dengan Rangga.
Akhirnya,
penggunaan multiperspektif yang kaya dalam analisis kebudayaan seperti yang
dilakukan pada sinetron ini tidak hanya dapat meningkatkan mutu analisis itu
sendiri, tapi mungkin juga bisa digunakan sebagai jalan untuk menuju masyarakat
yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik.
Versi
pendek tulisan ini dimuat di Bernas, 25 Februari 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar