Jumat, 06 Juli 2012

REVOLUSI CINA


Lanjutan Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme
Dari waktu ke waktu adalah penting untuk menarik sebuah perhitungan mengenai ide-ide kita dan posisi-posisi teoritis kita. Bagaimana setelah berlalu 50 tahun hal-hal tersebut terwujud dalam praktek? Jika ada satu kontribusi utama dari tendensi kita terhadap Marxisme, ini adalah analisis kita mengenai revolusi kolonial dan perkembangan Bonapartisme kaum proletar, dimulai dengan analisis kita mengenai revolusi Cina setelah 1945. Hal ini benar-benar kebuntuan kapitalisme di negara-negara ini dan tekanan kebutuhan massa untuk adanya sebuah jalan maju yang telah memunculkan fenomena Bonapartisme kaum proletar. Hal ini berkaitan dengan sejumlah faktor-faktor yang berlainan. Di tempat pertama, kebuntuan komplit di masyarakat di negara-negara terbelakang dan ketidakmampuan kaum borjuis kolonial untuk menunjukkan jalan maju. Kedua, ketidakmampuan dari imperialisme untuk memelihara kontrolnya dengan cara-cara lama yaitu aturan milliter-birokratik secara langsung. Ketiga, tertundanya revolusi kaum proletar di negara-negara kapitalis yang maju dan lemahnya faktor subyektif . Terakhir, adanya rezim yang amat kuat dari Bonapartisme kaum proletar di Uni Soviet.


Kemenangan USSR dalam Perang Dunia Kedua, dan menguatnya Stalinisme setelah Perang itu dengan perluasan dari Stalinisme ini ke wilayah Eropa Timur, serta kemenangan revolusi Cina, adalah keseluruhan faktor yang terkombinnasi menjadi kondisi yang mendukung perkembangan Bonapartisme kaum proletar sebagai sebuah varian konyol dari revolusi permanen yang hanya dimengerti oleh tendensi kita. (Bonapartisme kaum proletar) ini adalah fenomena yang sebelumnya sungguh tidak pernah terjadi dan tidak pernah diharapkan adanya. Tidak ada tempat dalam Marxisme klasik yang bahkan pernah mempertimbangkan sebagai suatu kemungkinan teoritis, bahwa sebuah perang kaum tani dapat memimpin terjadinya pendirian sebuah negara pekerja, bahkan negara milik pekerja yang dideformasi. Meski demikian, inilah tepatnya yang muncul di Cina, lalu menyusul di Kuba dan Vietnnam.

Kami mengkarakterisasikan revolusi Cina sebagai kejadian terbesar kedua dalam sejarah, setelah revolusi Rusia di tahun 1917. Kejadian itu mempunyai efek yang luar biasa besar dalam perkembangan selanjutnya dari revolusi di daerah-daerah jajahan. Tetapi revolusi Cina ini tidak mengambil tempatnya di atas garis klasik revolusi Rusia tahun 1917 ataupun revolusi Cina tahun 1925-27. Kelas buruh tidak memainkan peran penting apapun. Mao meraih kekuasaan di atas basis perang kaum tani yang gagah berani, sesuai tradisi Cina. Satu-satuya cara Mao bisa memenangkan perang saudara di tahun 1944-49 adalah dengan menawarkan sebuah program mengenai pembebasan sosial kepada para bala tentara petani dari Chiang Kai-Shek, yang dipersenjatai dan disokong oleh imperialisme Amerika. Tetapi para pemimpin Stalinis dari Tentara Merah kaum tani tidak memiliki perspektif mengenai hal memimpin keum buruh menuju kekuasaan sebagaimana dilakukan Lenin dan Trotsky tahun 1917. Ketika bala tentara petani Mao sampai di kota-kota, dan secara spontan kaum buruh menduduki pabrik-pabrik dan memberi lambaian selamat kepada bala tentara Mao dengan lambaian bendera merah, Mao memberikan perintah bahwa demonstrasi-demonstrasi tersebut harus ditekan dan para buruh tersebut ditembaki.

Awalnya, Mao tidak bermaksud untuk melakukan penyitaan terhadap kapitalis-kapitalis Cina. Perspektifnya untuk revolusi Cina tertuang dalam sebuah pamflet berjudul On New Democracy yang di dalamnya ia menulis bahwa revolusi sosialis adalah bukan tugas mendesak di Cina, dan satu-satunya perkembangan yang dapat diberi tempat adalah sebuah perekonomian campuran, yaitu kapitalisme. Ini adalah teori Menshevik "dua tahapan" klasik yang telah diadopsi oleh birokrasi Stalinis dan telah menggiring kekalahan revolusi di Cina tahun 1925-27. Tetapi kita memahami bahwa di bawah kondisi-kondisi kongkrit yang telah berkembang waktu itu, harusnya Mao akan terdorong untuk melakukan penyitaan kapitalisme.

Tidak hanya itu, tetapi kita jauh-jauh hari telah memprediksikan kenyataan bahwa Mao akan terpaksa putus hubungan dengan Stalin. Di awal tahun 1949 kita telah menulis : "Fakta bahwa Mao memiliki massa murni yang basisnya independen dari Tentara Merah Rusia dalam semua kemungkinan akan menyediakan basis independen untuk pertama kalinya bagi Stalinisme Cina yang akan tidak lebih lama lagi bergantung pada Moskow. Sebagaimana Tito, begitu pulalah dengan Mao, meski bagaimanapun peran Tentara Merah di Manchuria, Stalinisme Cina kini mengembangkan dasar yang independen. Sebab aspiirasi-aspirasi nasional dari massa di Cina, perjuangan tradisional melawan dominasi asing, kebutuhan ekonomi negeri, dan di atas semua itu, dasar yang kokoh dalam aparatus negara yang independen, kebahayaan mengenai munculnya seorang Tito yang baru dan perkasa di Cina merupakan satu faktor yang menimbulkan kecemasan di Moskow (...)

"Bagaimanapun, subordinasi terhadap ekonomi Cina untuk keuntungan birokrasi Rusia, dengan berbagai upaya menempatkan boneka-boneka di dalam kontrol Moskow, yang boneka-boneka ini akan sepenuhnya berporos ke Moskow &endash;dengan kata lain, penindasan nasional terhadap Cina&endash; akan menciptakan dasar yang besar sekali signifikasinya bagi perpecahan dengan Kremlin. Dengan aparatus negara yang independen dan kuat, dengan kemungkinannya melakukan manuver terhadap kaum imperialis Barat (yang akan mencari negoisasi dengan Cina untuk hal perdagangan dan mendorong perpecahan antara Peking dan Moskow), dan dengan dukungan massa Cina yang menganggapnya sebagai pemimpin yang jaya dalam melawan Kuomintang, Mao akan memiliki point-point dukugan yang kuat dalam hal melawan Moskow.

"Usaha-usaha ngotot Stalin untuk mencobakan dan mencegah perkembangan ini akan memperunyam, mempercepat dan mengintensifkan kemarahan serta konflik." (Reply to David James, dicetak kembali dalam E. Grant, The Unbroken Thread, hal. 304.)
Baris-baris ini ditulis lebih dari satu dekade sebelum pecahnya konflik Sino-Soviet, ketika birokrasi-birokrasi Cina dan Rusia terlihat sebagai konco nan tak terpisahkan.
Kemenangan laskar petani Mao di Cina terjadi akibat sejumlah faktor: kebuntuan total dan menyeluruh dari kapitalisme dan pertuantanahan di Cina, ketidakmampuan Cina melakukan intervensi sebab di pasukan tempur kaum imperialis setelah Perang Dunia kedua terdapat ketakutan akan perang, dan juga sebab daya tarik kekuatan kolosal dari nasionalisasi rencana ekonomi di Rusia Stalinis yang menunjukkan superioritasnya selama perang melawan Jerman di bawah kepamimpinan Hitler.

Fakta bahwa kaum tani digunakan untuk memikul sebuah revolusi sosial adalah sebuah perkembangan yang sepenuhnya baru dalam sejarah Cina. Cina adalah negeri yang peran kaum taninya sudah menjadi hal klasik, di mana perang ini terjadi pada interval-interval beraturan tetapi bahkan ketika perang-perang ini berjaya ini semata akibat dalam fusi elemen-elemen kepemimpinan dari laskar petani dengan kaum elit di perkotaan, akibat dari pembentukan suatu dinasti yang baru. Perang petani adalah sebuah lingkaran setan yang menjadi karakter sejarah orang Cina selama lebih dari 2.000 tahun. Tetapi di sini kita mempunyai sebuah titik balik yang fundamental. Tentara petani di bawah kepemimpinan Mao mampu menggebuk kapitalisme dan mampu menciptakan suatu masyarakat di atas imaji Moskow pimpinan Stalin. Tentu saja, tidak akan ada hal mengenai negara pekerja yang sehat sebagaimana di Rusia pada bulan November tahun 1917 telah didirikan dengan cara yang sedemikian rupa. Untuk terjadi seperti apa yang ada di Rusia itu, partisipasi aktif dan kepemimpinan kelas buruh amat diperlukan. Tetapi suatu tentara kaum tani, tanpa kepemimpinan dari kelas buruh, adalah instrumen klasik dari Bonapartisme, bukan kekuatan kaum buruh. Revolusi Cinna di tahun 1949 bermulai pada saat revolusi Rusia telah berakhir. Jadinya tidak ada masalah mengenai dewan-dewan buruh atau demokrasi milik kaum buruh. Sejak awalnya revolusi Cina adalah sebuah negara pekerja yang terdeformasi secara mengerikan. Tendensi kita menggarisbawahi bahwa pada skala dunia, satu-satunya kelas yang dapat mengadakan kemenangan bagi sosialisme adalah kaum proletariat.

Sekali Mao meraih kekuasaan dan menciptakan suatu aparatus negara di atas basis hierarki Tentara Merah dia tidak memiliki kebutuhan apapun untuk menggalang persahabatan antara dirinya sendiri dengan kaum borjuis. Dalam sebuah cara yang tipikal milik kaum Bonapartis, Mao menyamaratakan antara kelas-kelas yang berbeda. Mao bersandar kepada kaum tani dan pada bidang-bidang tertentu ia bersandar kepada kelas buruh untuk menyita hak kaum kapitalis. tetapi sekali kaum kapitalis ini telah dikalahkan, kemudian Mao mulai mengeliminir elemen apapun yang mungkin eksis dari demokrasi buruh. Fenomena ini dimungkinkan adanya adalah sepenuhnya karena kekosongan revolusi di tingkat dunia dan kebuntuan masyarakat. Mao memiliki contoh yang amat kuat dari Stalinisme di Rusia, di mana sebuah birokrasi yang kuat menggerogoti rencana perekonomian dan menarik keuntungan dari hal itu hingga iapun memutuskan untuk mengikuti model yang sama. Walau karakternya dideformasi habis-habisan, Revolusi Cina biar bagaimanapun juga tetap menyajikan satu langkah maju yang amat besar bagi ratusan juta orang yang telah diperbudak oleh imperialisme. 

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas