Jumat, 06 Juli 2012

PERAN PARTAI-PARTAI KOMUNIS


Lanjutan Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme
Teori ini memainkan peran kriminal dalam perkembangan revolusi di dunia jajahan. Di Cina, Partai Komunis yang masih muda terpaksa masuk ke dalam aturan main kaum borjuis nasional, Kuomintang, yang kemudian melakukan likuidasi secara fisikal terhadap Partai Komunis tersebut, serikat-serikat buruh, dan dewan-dewan tani selama berlangsungnya revolusi Cina tahun 1925-27. Alasan mengapa revolusi Cina yag kedua mengambil bentuk berupa perang kaum tani di mana kelas buruh tetap pasif, adalah perluasan dari kehancuran kaum proletar Cina sebagai akibat kebijakan-kebijakan Stalin yang dikarakterisasikan Trotsky sebagai "sebuah karikatur jahat dari Menshevisme". Di manapun ia diterapkan dalam dunia jajahan, teori kaum Staliniss mengennai 'dua tahapan' telah menggiring terjadinya satu malapetaka menyusul malapetaka lainnya.


Di Sudan dan Irak pada tahun 1950-an dan 1960-an, Partai Komunis merupakan kekuatan massa yang mampu menghimbau adanya demostrasi sejuta orang di Baghdad dan dua juta orang di Khartoum. Daripada melanjutkan adanya kebijakan mengenai kelas independen dan memimpin para buruh dan kaum tani untuk merebut kekuasaa, mereka ini mencari aliansi dengan kaum borjuis "progresif" serta golongan-golongan "progresif" dalam jajaran militer. Yang disebut terakhir, setelah mengambil alih kekuasaan dengan dukungan penuh dari partai-partai Komunis, kemudian mulailah mengeliminasikan mereka dengan pembunuhan dan pemenjaraan anggota-anggota serta pimpinan-pimpinannya. Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan hanya sekali tetapi dua kali. Masih saja, bahkan hingga saat ini, para pemimpin Partai Komunis Sudan mempunyai suatu kebijakan tentang "Aliansi Patriotik" dengan kaum gerilya di Selatan (sekarang disokong oleh imperialisme AS) dan kaum borjuis "progresif" di Utara, untuk melawan rezim fundamentalis. Yang disebut para pemimpin Komunis ini mirip kaum Bourbon kuno yang "tidak melupakan satupun dan tidak mempelajari apa-apa". Kebijakan-kebijakan mereka adalah sebuah resep akhir bagi satu kekalahan berdarah setelah kekalahan berdarah lainnya.

Contoh paling tragis mengenai konsekuensi yang sifatnya menghancurkan dari teori dua tahapan adalah apa yang terjadi di Indonesia. Di tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia adalah kekuatan massa yang utama di negara tersebut. Itu adalah Partai Komunis terbesar di dunia di luar Blok Soviet, dengan tiga juta orang anggota, serta sepuluh juta orang berafiliasi kepada serikat-serikat pekerjanya serta organisasi-organisasi buruh taninya, dan bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengklaim adanya dukungan 40 persen tentara (termasuk jajaran perwira). Kaum Bolshevik Rusia tidak memiliki dukungan terorganisir yang sebanyak itu pada saat revolusi Oktober! PKI dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan memulai transformasi sosialis terhadap masyarakat yang akan memiliki efek luar biasa besar di seluruh dunia jajahan, menjadi rantai revolusi-revolusi di Asia. Daripada melakukan itu, para pemimpin Partai Komunis (di bawah kontrol kaum Maois Cina) malah membentuk sebuah aliansi dengan Soekarno, seorang pemimpin nasionalis borjuis yang pada saat itu mengadopsi fraseologi "kiri". Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan PKI sepenuhnya tidak siap saat kaum borjuis (di bawah instruksi langsung dari CIA) mengorganisasikan sebuah pembantaian terhadap para anggota dan simpatisannya, di mana dalam pembantaian itu sedikitnya 1,5 juta orang dijagal.

Walaupun ada segala kekalahan dan tinjauan masa lalu, kaum buruh dan petani akan mengambil jalan perjuangan dari waktu ke waktu, secara tak terelakkan. Kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia baru-baru ini merupakan indikasi nyata dari fakta ini. Kejadian-kejadian itu adalah sebuah antisipasi terhadap apa yang akan terjadi di satu per satu negara Asia. Dan ini hanyalah awal dari sebuah proses revolusioner yang akan tidak terbendung selewat periode bertahun-tahun. Jika sebuah partai Leninis murni eksis, hal ini dapat berakhir dalam sebuah revolusi proletar dalam bentuk klasik. Masalah mengenai gerilyaisme atau Bonapartisme kaum proletar tidak akan muncul. Di sini, sebagaimana biasanya selalu, faktor subyektif mutlak diperlukan. Malangnya kepemimpinan partai-partai komunis di negara-negara ini mengulang-ulang segala kesalahan lama yang sama saja, di mana hal ini telah menggiring kepada terjadinya kekalahan dan pembantaian di masa lalu. Meskipun Jepang bukan sebuah negara jajahan, hal ini tidak berarti apapun dalam hal pertumbuhan yang spektakuler dari Partai Komunis Jepang (JCP) sebagai akibat dari krisis ekonomi negara tersebut. JCP menjadi partai yang memiliki wakil terbanyak dalam dewan-dewan lokal, merupakan partai kedua terbesar dalam Majelis Metropolitan Tokyo dan koran harian JCP memiliki sirkulasi sebesar 3,2 juta.

Gelombang radikalisasi yang menyapu seluruh Asia telah juga mempengaruhi kelas buruh di Jepang. Peringatan May Day tahun ini di Jepang adalah yang terbesar sejak bertahun-tahun. Tidak kurang dari satu juta buruh ikut beerpartisipasi ari seluruh negeri berkumpul. Ini adalah contoh jelas tentang bagaimana kesadaran dapat berubah dengan kecepatan kilat saat kondisi-kondisi berubah. Tetapi sialnya kebijakan-kebijakan kepemimpinan JCP sepenuhnya berharak dari tugas-tugas nyata yang dihadapi kaum kelas buruh Jepang. Menurut Kimitoshi Morihara vice head dari departemen internasional JCP, "kami bekerja menuju pendirian sebuah pemerintahan demokratis yang mencari penyelesaian masalah-masalah ini, dalam kerangka kerja kapitalisme, di awal abad mendatang". (Wawancara dalam mingguan Greenleft Weekly No. 317). Mereka menyempurnakan teori dua tahapan Stalinis yang kuno dengan menambahkan satu tahapan ekstra! Ini adalah "perspektif untuk kemajuan sosial di Jepang : pemerintahan koalisi demokratik, revolusi demokratik, dan revolusi sosialis" (?). Hal ini makin makin membingungkan karena, sebagaimana Jepang telah menjadi kekuatan industri kedua di dunia, orang dapat membayangkan hal tersebut dapat dilakukan tanpa sebuah "revolusi demokratik". Kelihatannya alasan apapun akan diambil supaya revolusi sosialis tidak dimasukkan ke dalam agenda.

Selama berpuluh-puluh, tahun kelas buruh di negara-negara kolonial dan bekas kolonial telah menunjukkan keberaniannya yang kolosal dan potensial revolusionernya. Dari waktu ke waktu kelas ini telah bergerak untuk mengadakan transformasi revolusioner di masyarakat. Di Irak, Sudan, Iran, Chili, Argentina, India, Pakistan, dan Indonesia, kaum buruh telah menunjukkan bahwa mereka berkehendak untuk menjadi tuan dari masyarakat mereka. Jikalau mereka gagal, hal ini bukan karena mereka tidak bisa meeraih keberhasilan, melainkan karena mereka kekurangan syarat yang sangat diperlukan untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam setiap kasus, mereka membenturkan kepala mereka terhadap tembok tebal sebab partai-partai dan para pemimpin yang mereka percayai untuk memimpin mereka kepada transformasi sosialis dari masyarakat berubah menjadi rintangan-rintangan raksasa.

Guna meraih kekuasaan, tidaklah cukup bahwa kaum buruh disiapkan untuk bertempur. Bila itu masalahnya, kelas buruh telah dapat mengambil kekuasaan di seluruh negara-negara ini sejak dulu kala. Hal itu akan berlangsung mudah sebab mereka berada dalam posisi yang jauh leebih kuat daripada para buruh Rusia pada tahun 1917. Meskipun demikian mereka tidak mengambil kekuasaan. Mengapa tidak? Sebab kelas buruh membutuhkan sebuah partai dan sebuah kepemimpinan. Untuk menyangkal kenyataan hidup yang elementer ini adalah semata-mata anarkisme kekanakan. Dulu sekali Marx menjelaskan bahwa tanpa organisasi, kelas buruh adalah semata-mata bahan mentah bagi eksploitasi. Meskipun kekuatannya dalam jumlah dan peran kuncinya dalam produksi, kaum proletar tidak dapat merubah masyarakat kecuali ia menjadi sebuah kelas "ditengah-dan-untuk-dirinya sendiri" dengan kesadaran, perspektif-perspektif, dan pemahaman yang diperlukan. Untuk menunggu adanya kelas yang sepenuhnya memiliki pemahaman yang diperlukan mengenai hal (revolusi sosialis) tersebut hingga memadai untuk mengambil alih kekuasaan lalu mengubah masyarakat, ini adalah sebuah proporsi utopia yang sama saja dengan mengulur-ulur terjadinya revolusi secara tidak menentu. Adalah perlu untuk mengorganisasikan lapisan-lapisan yang paling maju dari kelas (buruh pekerja), mendidik kader, dan memasukkan kepada kader mereka perspektif-perspektif mengenai revolusi, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan juga revolusi dalam skala internasional, mengintegrasikan mereka di tengah massa pada setiap level, dan secara sabar menyiapkan gerakan saat perjuangann-perjuangan parsial dari massa terkombinasi menjadi suatu serangan revolusioner yanng menyeluruh.

Tanpa satu partai yang revolusioner, kekuatan potensial milik kaum proletar akan tetap semata begitu &endash;sebuah potensial. Hubungan antara kelas (proletar) dengan partai adalah serupa dengan hubungan antara uap dan piston box dalam mesin uap. Tetapi bahkan keberadaan-keberadaan partai tidaklah cukup unntuk memastikan adanya keberhasilan. Partai tersebut harus dipimpin oleh para laki-laki dan perempuan yang dilengkapi dengan pemahaman yang diperlukan mengenai tugas-tugas revolusi, berbagai taktik, strategi, dan perspektif, tidak hanya perspektif-perspektif nasional tetapi juga internasional. Situasi obyektif di Indonesia tahun 1964-65 tak dapat berlangsung lebih baik lagi. Massa telah mengalahkan Imperialisme Belanda. Kaum komunis memiliki dukungan mayoritas luas dari kelas pekerja dan buruh tani. Tetapi sebuah kebijakan dan perspektif yang keliru sudah cukup untuk menghadirkan kekacauan total pada revolusi. Jika revolusi Oktober membuktikan kebenaran dari revolusi permanen dalam sebuah pengertian positif, malapetaka di Indonesia menghadiahkan kepada kita sebuah bukti negatif dalam bentuknya yang paling mengerikan.

Cara yang menyimpang dan kacau balau di mana dengan cara ini revolusi di daerah kolonial telah terbentang sejak tahun 1945 adalah bukan akibat dari keterbelakangan, atau karena tertundanya revolusi sosialis di negara-negara kapitalis yang maju. Hal itu bukanlah sesuatu yang tak dapat dielakkan dan bukan pula ditentukan lebih dahuulu oleh hukum-hukum sejarah. Di atas semuanya, hal itu adalah akibat ketiadaan faktor subyektif, ketiadaan suatu partai revolusioner yang murni dan kepemimpinannya yang bisa memberikan suatu karakter serta arahan yang sepenuhnya beda terhadap revolusi. Berbicara apa adanya, tidak ada satupun yang bisa menghalangi revolusi di Cina, ini untuk contoh, dari hal memainkan peran yang sama dengan revolusi Rusia di tahun 1917, jika saja kondisinya adalah para pemimpin Komunis Cina berbuat sebagaimana Lenin dan Trotsky. Tetapi para pemimpin ala Stalinis tersebut takut terhadap gerakan independen dari kelas buruh dan melakukan apapun yang berada dalam kekuasaan mereka untuk menghalanginya. Cara konyol di mane revolusi Cina muncul di tahun 1949, sebagai satu revolusi menyimpang dalam bayang-bayang Rusia di bawah kepemimpinan Stalin, menjadikan (revolusi tersebut) memiliki sedikit saja himbauan untuk bergerak di kalangan kaum buruh di negara-negara yang maju, meskipun revolusi tersebut memberikan suatu stimulus penting terhadap revolusi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Hal yang sama persis terjadi pada rezim-rezim Bonapartisme proletar yang lainnya yang hadir setelahnya. Walaupun tak dapat disangkal mereka ini menyajikan satu langkah ke depan, mereka benar-benar sebuah penyelewengan dan sebuah titik balik dari norma revolusi kaum proletar yang didirikan oleh Lenin yang lalu menjadi kenyataan di bulan Oktober 1917. Fakta ini harus terus kita jaga dalam pikiran jika kita mau memahami signifikasi sesungguhnya dari revolusi di daerah kolonial setelah tahun 1945.

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas