Jumat, 06 Juli 2012

BONAPARTISME KAUM PROLETAR



Lanjutan Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme
Dalam menelaah proses-proses yang timbul dalam revolusi di daerah kolonial pada periode setelah perang dunia kedua, sebagai basis titik awal kita mengambil teori revolusi permanen dari Trotsky yang, sebagaimana sudah kita lihat, telah secara brilian terkonfirmasikan oleh sejarah. Tetapi dalam praktek, teori-teori tidak perlu dikerjakan dalam cara yang murni dan tersuling secara kimiawi. Bisa terdapat segala macam varian-varian pembelokan, distorsi-distorsi dan beberapa titik balik dari berbagai norma tadi. Hal ini dapat dilihat dalam segala cara.
Periode klasik revolusi demokratik-borjuis dimulai dua atau bahkan tiga ratus tahun yang lalu dengan terjadinya revolusi di Belanda, Inggris, dan Perancis. Marx mengambil revolusi Perancis tahun 1789-93 sebagai modelnya untuk revolusi demokratik borjuis dalam pengertian politis (sementara Inggris menyajikan model ekonomi). Tetapi senantiasa ada perkecualian terhadap norma-norma klasik. Sebagai contohnya Jerman, di mana tugas-tugas dasar dari revolusi demokratik-borjuis diadakan dengan cara ganjil, yaitu dari jajaran atas oleh kaum negarawan Junker lama di bawah pimpinan Bismarc. Tentu saja, terdapat banyak kontradiksi dan elemen yang tertinggal dari feodalisme yang baru kemudian berhasil dibersihkan dengan revolusi November 1918 &endash;sebuah revolusi kaum proletar yang kalah, di mana di dalamnya kaum buruh menyingkirkan bentuk negara yang lama dan kemudian para pemimpin Sosial Demokratik menyerahkan kekuasaan di tangannya kepada kaum borjuis. Serupa juga di Jepang yang merupakan negara feodal kuno yang memulai proses revolusi demokratik-borjuis pada 1860-an. Di bawah tekanan kekuatan-kekuatan eksternal, proses tersebut terselesaikan hanya oleh pendudukan kekuatan Amerika setelah 1945, yang dilakukan sebagai usaha untuk menghalang-halangi terjadinya revolusi di Jepang.


Fenomena bonapartisme kaum proletar memiliki hubungan terhadap teori revolusi permanen serupa dengan sebagaimana proses yang mengambil tempat di Jerman dan di Jepang berhubungan dengan norma klasik revolusi demokratik-borjuis, yaitu sebagai penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari suatu jalan historis dari berbagai keadaan. Fenomena ini hanya dapat dimengerti terjadinya atas dasar kebuntuan komplit dari masyarakat-masyarakat tersebut (di mana terjadi bonapartisme proletar) dan kekosongan adanya revolusi di Dunia barat. Massa di negara-negara kolonial tidak dapat lebih lama lagi menunggu. Itu adalah penjelasan yang fundamental. Tetapi kita juga harus memasukkan ke dalam pertimbangan kita mengenai kepelikan-kepelikan yang spesifik dari negara-negara kolonial dan bekas jajahan, yang membuat negara-negara ini berbeda dari negara-negara yang maju akibat kapitalisme, dan oleh karena itu mengijinkan varian-varian rumit tertentu untuk terjadi, di mana varian-varian ini sebelumnya tidak dilihat oleh kaum klasik penganut Marxisme. Kami mengajukan tulisan ini secara khusus dalam hubungannnya dengan negara.

Marxisme akan menjadi urusan yang sangat sederhana jika ia semata-mata cuma suatu masalah mengenai belajar di luar kepala soal formula-formula elementer yang diambil dari teks-teks klasik dan mengaplikasikan semua ini dalam suatu cara yang mekanis dan tanpa dipikirkan, lalu menerapkannya pada setiap jenis situasi. Metode dialektik menuntut bahwa kita mulai dari sebuah pertimbangan obyektif dari fenomena yang terjadi, membawa setiap kasus ke dalam kebenarannya dan melakukan peninjauan terhadapnya dari segala sudut pandang. Sebuah analisis yang serius mengenai negara-negara kolonial dan bekas kolonial membukakan adanya perbedaan-perbedaan besar antara negara-nagara ini dengan jenis negara yang ada dalam bangsa-bangsa kapitalis yang maju, serta perbedaan-perbedaan dengan negara-negara yang menyajikan model dasar bagi karya-karya klasik Engels dan Lenin. Negara-negara (jajahan dan bekas jajahan) ini telah diciptakan dan disempurnakan oleh kaum borjuis sebagai perangkat bagi aturan-aturannya. Pada setiap level, negara-negara ini dikelola oleh wakil-wakil setia yang dibentuk dan dilatih oleh kaum borjuis untuk melayani kepentingan-kepentingannya. Di atas semua itulah negara-negara industri maju dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif. Tetapi, negara-negara yang baru dibentuk di wilayah-wilayah tadi sepenuhnya beda dengan negara-negara yang telah diciptakan dan dikembangkan selama bergenerasi lamanya oleh kaum Borjuis di dunia Barat. Di tempat-tempat seperti Syria atau Burma masyarakat ini berada dalam sebuah kebuntuan, tidak dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif dan sepenuhnya berada dalam kekisruhan.

Ini adalah satu dalil elementer mengenai Marxisme, bahwa negara bukanlah sebuah kekuatan independen. Ia harus merefleksikan kepentingan dari sebuah grup atau kelas di tengah masyarakat. Dalam masa-masa normal negara merefleksikan posisi kelas berkuasa. Tetapi dalam periode krisis dan ketidakstabilan sosial, pemerintah dan tentara terpecah dan bercerai-berai dalam sejumlah faksi. Negara-negara yang telah diciptakan di atas basis penolakan terhadap imperialisme, meskipen karakternya borjuis, amatlah lemah. Di negeri-negeri ini &endash;Burma Syria, Angola, Mozambik, Ethiopia, Somalia, Afghanistan, dan negara-negara lain yang mengacu pada Bonapartisme kaum proletar&emdash; negara tunduk kepada berbagai kudeta dan krisis terus-menerus. Dengan adanya kebuntuan rezim sepenuhnya dan kekosongan adanya revolusi di dunia Barat, serta contoh yang diperlihatkan Stalinisme, di mana pada tahap ini negeri-negeri tadi sedang membangun kekuatan-kekuatan produktif, menjadi sebuah kekuatan yang sangat menarik minat bagi lapisan-lapisan tertentu di tengah aparatus negara.
Mengambil Cina yang terdorong oleh daya tarik Stalinisme sebagai contoh mengenai satu langkah maju bukan hanya terjadi di tengah massa yang terdiri dari kaum tani miskin di negara-negara yang dulunya berupa negara jajahan, tetapi juga terjadi pada bagian-bagian di jajaran aparatus negara di negeri-negeri tadi. Sejumlah negara-negara yang berada dalam situasi kolaps dan ancaman disintegrasi, bergerak dalam arahan menuju bonapartisme kaum proletar. Jajaran para pejabat bersandar pada kelas buruh dan kaum tani untuk mengadakan sebuah revolusi, untuk menumbangkan kapitalisme dan pertuantanahan. Mereka melihat Stalinisme sebagai sebuah rezim yang membawa masyarakat ke arah maju tetapi pada saat yang bersamaan memperbolehkan golongan birokratik mempunyai hak-hak istimewa dan menjalankan masyarakat. Ini adalah proses yang terjadi terutama di negara-negara kolonial yang paling terbelakang seperti Ethiopia, Angola, Afghanistan, dll; di mana kaum proletar adalah (dan masih) merupakan kelas yang sangat lemah atau bahkan hampir tidak eksis.

Faktor penting lain dalam pergerakan menuju bonapartisme kaum proletar di seluruh negara-negara ini adalah terjadinya tendensi di seluruh dunia atas hal statisasi. Fenomena ini sudah diibahas oleh Engels, yang lebih merujuk "serbuan perekonomian kaum sosialis", dan kemudian oleh Lenin yang menggambarkan hal itu sebagai monopoli kapitalisme negara. Fakta bahwa kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi telah mencapai limitasinya diekspresikan oleh kenyataan bahwa di semua negara-negara kapitalis sebagian besar perekonomian berada di tangan negara meskipun, tentu saja, elemen-elemen kunci, yaitu sektor-sektor yang paling menguntungkan, tetap berada di bawah penguasaan swasta. Sektor yang dikuasai negara tidak memainkan peran independen melainkan diadakan hanya sebagai perpanjangan tangan sektor swasta, bertugas menyediakan kepada kaum kapitalis: baja murah, listrik murah, batu bara murah, dll.

Proses yang sama berlangsung di dunia ketiga, tidak semata di dalam rezim-rezim bonapartisme kaum proletar tetapi bahkan terjadi di negara-negara borjuis yang relatif lebih berkembang seperti Argentina, Meksiko, India, dll. Banyak pemimpin borjuis dari negara ini menyatakan diri sebagai "sosialis" (seperti Nasser di Mesir, Nyrere di Tannzania, Nehru di India dan Nkrumah di Ghana) dan melakukan nasionalisasi pada sebagian besar perekonomian. Dalam kasus-kasus sebagaimana terjadi di Syria, Ethiopia, dan yang lainnya, sebagian dari lapisan pejabat sebenarnya mengadakan proses menuju sebuah konklusi, bersandar kepada kelas buruh untuk melakukan penyitaan sepenuhnya terhadap borjuasi. Mereka mendirikan rezim di bawah bayang-bayang Moskow dan Beijing di mana di dalamnya kapitalisme dienyahkan tetapi kaum buruh ditaklukkan kepada sebuah tirani baru dalam bentuk rezim totalitarian dengan partai tunggal yang birokratis. Tentu saja, rezim-rezim yang demikian tidak mempunyai satupun ciri sosialisme atau bahkan ciri sebuah negara buruh yang sehat. Dalam setiap kasus di mana tugas-tugas historis dari satu kelas telah diadakan dengan cara yang didistorsi oleh kelas yang lain, selalu saja ada harga yang harus dibayar. Kami menjelaskan bahwa untuk melakukan kemajuan dalam arah sosialisme, sebuah revolusi baru akan diperlukan. Bukan sebuah revolusi sosial untuk membangun relasi-relasi kepemilikan yang baru (sebab hal ini sudah dilakukan), melainkan sebuah revolusi politis melawan kasta birokratik yang berkuasa dengan tujuan untuk mendirikan sebuah rezim demokrasi kaum buruh yang murni. Bagaimanapun juga, penghapusan kapitalisme dan pertuantanahan di negara-negara ini mempresentasikan adanya satu langkah maju dan sebuah guncangan melawan imperialisme dan, yang demikian ini, disambut baik oleh kaum Marxis.

Dalam sebagian besar, jika tidak dalam semua kasus, Moskow dan Beijing tidak memainkan peran apapun. Lebih sering daripada tidak berperan apapun, mereka dilawan untuk menumbangkan kapitalisme dan mereka ini melakukan apa saja yang mereka bisa untuk menghalanginya. Partai Komunis Kuba mendukung Batista untuk melawan Castro. Belakangan birokrasi Rusia dan Kuba memberikan tekanan terhadap kaum sandinista untuk tidak melakukan pengambilalihan terhadap kapitalisme di Nikaragua. Tentu saja di manapun proses begitu terjadi, mereka (kaum birokrat itu) mengambil keuntungan darinya untuk memperkuat posisi mereka dalam berhadap-hadapan dengan imperialisme AS. Inilah juga kasus di Afghanistan, di mana para pejabat militer Stalinis mengadakan revolusi dari atas, tanpa referensi apapun ke Moskow. Birokrasi Rusia memiliki hubungan yang amat baik dengan rezim borjuis Doud di Kabul, dan bahkan siap mengorbankan Partai Komunis kepada rezim tersebut. Tetapi sekali revolusi merupakan sebuah kenyataan, mereka harus menerimanya.

Kaum Imperialis merespon revolusi di Afghanistan dengan mempersenjatai dan membiayai kelompok-kelompok bandit dan gelandangan yang diupah untuk mengadakan perang melawan rezim yang baru. Jikalau yang disebut terakhir ini mengikuti kebijakan-kebijakan yang sama sebagaimana yang dilakukan kaum Bolshevik, mendasari diri mereka pada massa dalam perjuangan melawan imperialisme dan reaksi, bisa jadi mereka menang walaupun harus diingat bahwa dalam kondisi yang amat luar biasa terbelakang begitu bahkan sebuah negara buruh yang sehat akan menghadapi begitu banyak kesukaran. Adalah sangat perlu untuk memulainya secara bertahap dan dengan kehati-hatian yang sungguh, terutama pada permasalahan agama. Tetapi usaha untuk menyelinapkan perubahan masyarakat dari atas, dalam sebuah karakter birokratis yang terkontrol habis-habisan, terdorong oleh invasi Rusia dan pembersihan yang luar biasa besar serta lain-lain cara yang dihasilkannya, telah dengan fatal memperlemah revolusi saat berhadapan dengan jagal-jagal kekuatan kontra-revolusioner yang disokong oleh Amerika dan Pakistan.

Sebuah proses serupa terjadi di Afrika, di mana kaum imperialis memperlengkapi pemerintah di Afrika selatan untuk menumbangkan rezim-rezim kaum Bonapartis proletar di Angola dan Mozambique. Sebagaimana di Afghanistan mereka mempersenjatai dan membiayai tentara bayaran yang kejam serta para bandit. Apa yang terjadi bukanlah perjuangan politis melainkan semata-mata mobilisasi "kekuatan-kekuatan hitam" untuk membunuh, membakar, memperkosa, dan melakukan penjarahan. Imperialisme tidak dapat mentoleransi keberadaan bahkan negara-negara buruh yang terdeformasi di jantung Afrika, sebab hal itu akan menjadi contoh bagi Afrika Selatan. Daripada melihat hal tersebut terjadi, kaum imperialis lebih suka membenamkan Angola, Mozambik, dan Afghanistan ke dalam abad kegelapan.



APAKAH REZIM-REZIM BONAPARTISME PROLETAR YANG BARU BISA MUNGKIN?
Mendasari diri kita pada analisis ini, apa yang menjadi kemungkinan bagi formasi rezim-rezim Bonapartisme proletar baru? Untuk menjawab masalah ini perlu memulainya dari perspektif-perspektif dunia secara menyeluruh. Tendensi seluruh dunia terhadap intervensi negara dalam bidang perekonomian telah berbalik setelah kemerosotan tahun 1974 dan berbelok menjadi lawannya, terutama sejak proses swastanisasi dimulai oleh Tacther di tahun 1980-an. Hal ini merefleksikan kebuntuan kapitalisme pada skala dunia serta kebangkrutan dari model kuno Keynesianisme. Negara-negara kolonial secara luas telah dipaksa, melalui diktean dari IMF dan Bank Dunia, untuk "membuka" pasar mereka dan melakukan swastanisasi terhadap industri-industri nasional. Ini sungguh sebuah penjarahan terhadap negara-negara itu. Hal ini akan memiliki konsekuensi-konsekuensi berjangka panjang di periode yang akan datang. Mereka menciptakan sebuah bahasa yang baru keseluruhnya ("perampingan", "liberalisasi","pembukaan pasar", "perekonomian bebas", dll.) untuk menjadi bungkus yang menutupi apa yang sebenar-benarnya merupakan destruksi habis-haabisan terhadap kekuatan-kekuatan produktif dan pekerjaan. Ini mengingatkan orang pada "Bahasabaru dalam novel George Orwell, 1984, di mana Kementrian Kekayaan mengurusi pemiskinan, Kementrian Perdamaian adalah Kementrian Perang, dan Kementrian Cinta Kasih adalah polisi rahasia.


Para advokat "pasar bebas" telah dengan baik sekali melupakan bahwa kapitalisme sesungguhnya berkembang berdasarkan basis benteng tarif yang tinggi. Di fase awal kapitalsme Inggris, kapitalisme bernaung di belakang benteng perdagangan biaya tinggi untuk mempertahankan industri-industri nasionalnya sendiri yang masih kintis-kinyis. Hanya ketika industrinya telah menjadi kuat maka kaum borjuis Inggris menjadi semacam advokat yang amat bernafsu mengenai "prinsip" perdagangan bebas. Ini sama persis dengan Perancis, Jerman, Amerika, Jepang, dan semua lainnya yang sekarang memohon-mohon adanya nilai perdagangan bebas kepada bangsa-bangsa di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tetapi proses ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru. Golongan-golongan aparatus negara dan kaum borjuis nasional (di wilayah-wilayah tadi) melihat bagaimana hal ini memotong bagian kue mereka dan juga merasa ketakutan terhadap adanya ledakan massa. Hal ini menggiring beberapa dari mereka untuk melawan imperialisme (sekurang-kurangnya dalam perkataan), akibat ketakutan akan kehilangan posisi mereka &endash;bahkan juga kehilangan kepala mereka sendiri.


Inilah kasusnya dengan junta Nigeria yang menentang beberapa rencana swastanisasi dari IMF. Golongan berkuasa dalam PRI di Meksiko juga mulai meributkan "neo-liberalisme" sebab mereka melihat bagaimana hal ini mengikis basis tradisional mereka atas kontrol birokratik di masyarakat. Bahkan diktator Zaire, Mobutu, menentang swastanisasi di hari-hari akhirnya berkuasa &endash;sebuah kebijakan yang secara jelas bukanlah didikte oleh keinginan apapun untuk mengurangi pergolakan di tengah penduduk, melainkan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadinya sendiri. Sebagai sebuah akibat dari krisis di Asia Tenggara kita sudah melihat perkembangan kaum proteksionis, sikap-sikap Anti-Barat di beberapa negara ini. Inilah kasusnya dengan Korea Selatan dan bahkan pada bagiannya, Soeharto yang di hari-hari terakhirnya, seperti Mobutu, berselisih dengan IMF. Hal yang sama juga berlaku pada semagogi "anti-imperialis" yang dilancarkan Mahathir di Malaysia. Semua ini bukanlah kebetulan. Sejak terjadinya kolaps di Asia, kaum imperialis bergerak gesit untuk membeli properti harga tawar yang anjlok dan memaksa ekonomi bangsa-bangsa Asia untuk menerima ketergantungan yang jauh lebih menghinakan mereka dari sebelum-sebelumnya. Semua tadi semata-mata adalah indikasi mengenai kenyataan bahwa eksploitasi yang keji terhadap negara-negara yang dulunya jajahan, melalui IMF dan Bank Dunia, sekarang tengah menyiapkan satu pukulan balik yang masif dalam melawan kebijakan-kebijakan swastanisasi, "globalisasi", dan seterusnya. Bahkan di dunia Barat kita dapat melihat berbagai permulaan gerakan massa melawan swastanisasi dan pemotongan anggaran di negeri-negeri Welfare. Di periode berikutnya kita akan melihat sebuah gelombang masif bergerak di arahan yang bertentangan (dengan kapitalisme dan imperialisme) terutama dengan datangnya kemerosotan ekonomi dunia.
Adalah perlu untuk memiliki sebuah pemahaman dialektis mengenai proses, tidak semata menerima "fakta jadi" sebagai sesuatu yang ajeg buat selamanya. Sesunguhnya empirisme kaum borjuis dan para perancang strateginya lah yang membutakan mereka terhadap proses yang sebenarnya dan menahan mereka untuk terus-terusan menapaki sepanjang jalanan yang tak bisa ditawar-tawar menggiring mereka pada malapetaka. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, mereka memprovokasi massa di Asia &endash;dan seluruh negeri-negeri bekas jajahan&endash; hingga ke limit daya tahan mereka menanggung penderitaan. Pada satu titik yang pasti, seluruh proses yang telah kita saksikan selama dekade terakhir akan buyar dan arusnya berbalik arah. Oleh karena itu kita dapat menutup uraian soal tadi, bahwa di periode yang akan datang, sebab kebuntuan kaum imperialis di negeri-negeri jajahan, pukulan balik melawan swastanisasi dan kebutuhan-krbutuhan mendesak massa di negeri-negeri ini, kita akan menyaksikan berbagai gerakan baru dalam arahan bonapartisme kaum proletar. Hal itu terutama akan menjadi kejadiannya di negeri yang paling lemah di antara negeri-negeri tadi. Hasil dari proses restorasi kaum kapitalis di Rusia dan Cina dalam satu dan lain cara, tentu saja, akan memiliki akibat yang luar biasa besar dalam perkembangan ini. Tapi itu soal terpisah. Cukup buat mengatakan bahwa, dalam masa kemerosotan yang amat dalam pada skala dunia, rencana-rencana restorasi kapitalis di negeri-negeri ini akan dengan tak terelakkan lagi terhumbalang membalik ke dalam panci peleburan. Sepenuhnya mungkin bahwa kandidat pertama bagi reversi ke beberapa bentuk bonapartisme proletar adalah Rusia sendiri. Perspektif itu bergantung pada seluruh kejadian yang berkembang di Rusia dan juga di dalam skala dunia. Kita harus bersiap untuk segala macam kerja sama yang apik, sambil terus berjuang demi kekuatan pekerja, supaya kita tidak terkaget-kaget oleh adanya berbagai kejadian.

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas