Selasa, 31 Juli 2012

Dalam Ruang Pribadi Penonton: Romantisme dan Ekonomi Politik Sinteron Indonesia

Oleh Nuraini Juliastuti
Televisi memang telah jadi perhatian studi-studi kebudayaan sejak lama, dan menurut saya memang tidak ada media lain yang menyamai televisi dalam hal besarnya volume teks-teks budaya populer yang dihasilkan. Rasanya, televisi selalu mampu melahirkan bagian-bagian baru yang menarik untuk diamati dan dianalisa, mulai dari siaran berita, iklan televisi, sinetron, film televisi, talk show, kuis-kuis, acara musik, dan sebagainya. Dengan demikian televisi juga merupakan ruang eksperimen yang menarik bagi para ilmuwan sosial untuk mencobakan berbagai macam metode dan teori sebagai pisau dan alat-alat untuk menganalisa persoalan kebudayaan. Karenanya, banyak hal yang harus dipahami dari televisi. Mulai dari teks, hubungan antara teks dan penonton, aspek ekonomi-politik yang melingkupinya, hubungan televisi dengan aspek-aspek lain diluarnya, sampai pola makna budaya yang ada dalam televisi. Tulisan ini akan melakukan analisa terhadap sinetron sebagai bagian dari dunia televisi.

Memang benar bahwa tulisan-tulisan yang beredar selama ini tentang sinetron seperti selalu memberi kita bayangan gelap akan kehidupan sinetron—buruknya mutu penulis naskah sinetron, rendahnya etos kerja para pekerja sinetron mulai dari pemain, sutradara sampai pekerja-pekerja teknis yang ada disitu, ketiadaan festival atau wadah untuk mengukur mutu sinetron-sinetron yang beredar, ketiadaan kritikus sinetron yang baik, sampai penghargaan yang rendah pada diri penonton, dan sebagainya, dan karenanya percakapan tentang sinetron menjadi membosankan dan tidak menyenangkan karena kita seolah-olah sudah mengetahui semua hal-hal buruk tentangnya. Tetapi bukankah memang sebuah tulisan tidak berniat untuk memberikan sebuah penilaian final tentang sesuatu hal?
Yang saya lakukan dalam tulisan kali ini adalah memberikan penajaman pada aspek resepsi penonton dan aspek ekonomi-politik dari sinetron indonesia. Penonton menempati posisi penting dalam pembacaan suatu fenomena kebudayaan. Sayangnya mereka sering luput dari perhatian publik, termasuk oleh para peneliti kebudayaan. Proses pembacaan penonton sebuah pameran, sebuah film, sebuah sinetron, apa yang mempengaruhi interpretasi mereka dan bentuk komunikasi seperti apa yang sebetulnya sedang terjadi antara seniman dan penonton, antara sutradara/penulis naskah dan penonton, seharusnya bisa menjadi tema yang menarik untuk diteliti. Selain dimensi resepsi penonton, dimensi lain yang juga terlupakan adalah dimensi ekonomi-politik. Hal ini dilakukan mengingat dalam sebuah sirkuit kebudayaan yang berjalan, tidak hanya terdapat aspek produksi dan konsumsi, tetapi terdapat aspek-aspek lain seperti aspek distribusi, regulasi, representasi dan pembentukan identitas, yang semuanya saling berhubungan erat.
Dunia Romantis dan Ekonomi Politik Sinetron
Saat ini terdapat sekitar 55 buah sinetron yang sedang diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia. Jika dideskripsikan lebih jauh, berbagai macam sinetron yang beredar di televisi tersebut mewakili beberapa karakter utama yaitu: karakter cerita yang terbuka dan karakter cerita yang terpusat pada tema hubungan interpersonal pemainnya. Dalam karakter yang pertama, rangkaian episode-episode sinetron berjalan mengalir begitu saja. Setiap episode menampilkan jalinan cerita yang berbeda. Tidak ada persoalan-persoalan tertentu yang dicoba untuk dipecahkan dari awal episode sampai seri episode sinetron ini berakhir. Sedangkan dalam karakter yang kedua, cerita sinetron terpusat pada hubungan pribadi manusia: pertikaian keluarga, jatuh cinta, pernikahan, perpecahan, perselingkuhan, balas dendam, dan sebagainya. Poin yang menarik adalah dari bermacam-macam sinetron yang diputar tersebut, 80% diantaranya berujung pangkal pada persoalan cinta dan segenap romantismenya. Setiap kita melihat sinetron, ada hawa romantisme kuat yang berhembus disitu.
Bahkan sinetron-sinetron yang berbasis cerita misteri dan aksi laga yang sedang banyak digemari penonton seperti Misteri Gunung Merapi (Indosiar, Minggu, 19.30 WIB), Dendam Nyi Pelet (Indosiar, Senin, 18.00 WIB), Misteri Nini Pelet (SCTV, Senin, 19.30 WIB), juga Angling Darma (Indosiar, Rabu, 19.30 WIB) dan Prahara Prabu Siliwangi (SCTV, Selasa, 19.30 WIB) sebenarnya juga berpangkal pada persoalan cinta kasih yang romantis. Dendam Nyi Pelet misalnya bercerita tentang seorang gadis yang dendam pada semua laki-laki karena pemuda pujaannya ternyata mempunyai kekasih lain. Maka ia berguru, menguasai ilmu hitam, dan berubah menjadi Nyi Pelet yang selalu siap menyebar maut bagi para pemuda yang ditemuinya. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya demokratisasi wacana dalam sinetron Indonesia itu tidak ada. Yang ada justru keseragaman wacana karena semua isu ditarik dalam persoalan cinta..
Lantas apakah sinetron merupakan sebuah karya seni atau kerajinan tangan? Jawaban untuk pertanyaan yang sederhana tersebut ternyata tidak sederhana. Karena yang terjadi dalam dunia posmodern, seperti yang pernah diungkapkan oleh Mike Featherstone (1991, 1995), adalah kekaburan batas-batas antara seni, kebudayaan, dan iklan atau dunia bisnis yang berujung pada estetikasi umum kehidupan sehari-hari. Karya seni tampak seperti bukan karya seni, sementara hal-hal yang tampak dalam kehidupan sehari-hari tampak begitu indah dan estetis.
Analisis ekonomi-politik termasuk sisi produksi dan distribusi di dalamnya selama ini diabaikan. Analisis budaya lebih memusatkan perhatiannya pada analisis tekstual. Menurut Kellner (1997), analisis ekonomi-politik perlu lebih ditekankan mengingat kenyataan bahwa kebudayaan selalu berada dalam satu bidang bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusi-institusi sosial, media massa dan dimensi-dimensi lain dari realitas sosial.  Kenyataan lain yang harus dihadapi adalah bahwa kebudayaan selalu diproduksi dalam hubungan dominasi dan subordinasi. Analisis yang meletakkan kebudayaan dalam sistem produksi dan distribusi dapat membantu menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang membatasi produksi suatu artefak kebudayaan, wacana-wacana apa saja yang sedang dominan berlangsung dalam masyarakat saat itu, juga pengaruh aspek politik pada saat artefak kebudayaan tersebut didistribusikan. Sebenarnya, analisis ekonomi-politik juga harus mempertimbangkan persfektif-persfektif lain dalam menganalisis sesuatu. Perspektif-perspektif lain tersebut bisa berupa persfektif gender, ras, etnisitas, kelas, atau nasionalisme. Semakin kaya perpektif yang dipakai untuk menganalisa, maka hasil analisa akan semakin bagus. Mengingat sinetron merupakan sebuah fenomena yang kompleks maka keberagaman persfektif mutlak diperlukan.
Rumah produksi (production house), sutradara, pemain, naskah, pembuat naskah, industri musik, iklan, stasiun televisi, dan penonton adalah aspek-aspek yang terdapat dalam sinetron dan terentang dari proses produksi sampai konsumsi. Mungkin masih teringat saat TVRI merayakan ulang tahunnya pada tanggal 20-26 Agustus 1999 yang lalu. Waktu itu TVRI menayangkan acara Sepekan Sinetron HUT TVRI. Sinetron-sinetron yang diputar dalam acara tersebut antara lain: Orang Kaya Baru dari Teater KOMA, Wagiyem, Karsih dan Karsiman, serta Merobek Angan-Angan. Munculnya Teater KOMA di TVRI sangat menarik mengingat di masa lalu Teater KOMA sempat dilarang tampil di TVRI karena naskah-naskah yang dimainkannya dinilai berbahaya bagi keamanan dan stabilitas negara. Tema-tema naskah-naskah sinetron lain yang tampil juga berkisar pada persoalan politik seperti perjuangan seorang aktivis LSM, persoalan korupsi, tahanan Pulau Buru serta demonstrasi mahasiswa. Sinetron-sinetron ini tidak akan mungkin ditayangkan dengan bebas sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi di Indonesia. Fenomena ini juga menunjukkan perubahan sikap politik TVRI karena dulu TVRI sangat dikenal sebagai corong utama orde baru.  
Pemilihan sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi juga penting untuk dicermati mengingat stasiun televisi mempunyai kriteria dan standar-standar tertentu yang ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut meliputi ide cerita, siapa yang membuat naskah, siapa sutradaranya, siapa saja artis-artis yang dilibatkan. Semua itu adalah nilai-nilai utama dari sinetron yang menentukan apakah sebuah sinetron layak jual atau tidak. Selain persoalan-persoalan diatas, hal lain yang harus diperhitungkan adalah kecocokan antara cerita, jumlah slot tayang yang direncanakan, dengan harga yang ditetapkan.
Saat produksi sinetron berjalan, aspek-aspek yang mempengaruhinya juga semakin banyak. Misalnya, jika rating sebuah sinetron naik, dan jumlah iklan yang masuk juga semakin tinggi, sementara rangkaian episodenya sudah hampir habis, maka sutradara dan penulis naskah dipaksa untuk melipatgandakan  jumlah episode dan melakukan pengembangan cerita yang kadangkala menyimpang dari ide cerita awal. Bahkan seringkali terjadi pengembangan cerita tersebut dilakukan tanpa perencanaan khusus, dan dilakukan langsung di tempat pengambilan gambar berlangsung. Hal seperti ini biasanya terjadi pada sinetron-sinetron yang jumlahnya sudah mencapai ratusan episode. Sinetron yang banyak digemari seperti Si Doel Anak Sekolahan bahkan dapat semakin terdongkrak popularitasnya karena karakter sejumlah tokohnya laris dipinjam untuk memerankan iklan-iklan produk dan iklan layanan masyarakat.
Persoalan lain yang menarik dicermati dalam dunia sinetron adalah hubungan antara sinetron dengan industri musik. Lagu-lagu Indonesia populer dan laris dibeli kasetnya oleh para penggemar kini tidak hanya bisa dinikmati di radio-radio atau dalam acara-acara musik di televisi, melainkan bisa kita dengarkan juga dalam tayangan sinetron sebagai lagu tema sinetron. Kita mengenal ciri-ciri sinetron Cerita Cinta (Indosiar, Senin, 20.30 WIB) dari lagu-lagu yang dilantunkan oleh grup musik Dewa.  Kita juga mengenal ciri-ciri sinetron Lupus Millenia (Indosiar, Kamis, 19.30) dan sinetron Cinta Pertama (Indosiar, Kamis, 20.00 WIB) lewat lagu-lagu dari kelompok Sheila On 7. Tidak hanya itu. Hampir semua sinetron yang diputar di televisi sekarang pasti menampilkan satu atau dua lagu Indonesia yang sedang populer. Fenomena ini mirip seperti yang terjadi dalam dunia film. Dulu ketika lagu-lagu Whitney Houston menjadi soundtrack film The Bodyguard, orang jadi bertanya-tanya apakah ketenaran lagu itu yg mendongkrak popularitas film tersebut, atau sebaliknya, film yang dibintangi aktor terkenal Kevin Costner itulah yang menyebabkan banyak orang mencari-cari dan membeli kaset lagu Whitney Houston. Tentunya hubungan yang signifikan antara rating sinetron dengan popularitas sebuah lagu ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Kode Dominan, Negosiasi, dan Oposisi
Penonton tidak pernah menjadi pihak yang pasif dalam membaca sebuah fenomena kebudayaan. Hal ini disebabkan karena makna yang dikeluarkan oleh sinetron tidak pernah langsung diterima begitu saja oleh penonton. Sebaliknya, penonton melakukan kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya, penonton juga melakukan modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai dengan keinginannya. Maka, penonton adalah pihak yang aktif, dan proses konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif.
Televisi merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka itu analisis televisi—termasuk juga sinetron—tidak hanya harus dilekatkan dengan persoalan makna dan interpretasi melainkan harus juga dihubungkan dengan ritme rutinitas kehidupan sehari-hari. Menonton televisi biasanya dilakukan di ruang keluarga, atau di tempat tidur. Dari ruang-ruang pribadi ini, menarik untuk mengamati bagaimana penonton melakukan ritual-ritual tertentu sebelum mulai menonton sinetron kesayangannya, misalnya mereka akan menyiapkan makanan kecil sebagai teman menonton, dan memanggil teman-teman atau saudara, mengingatkan bahwa sinetron kesayangan mereka sebentar lagi akan diputar.
Saya pernah mengamati 4 orang penghuni kos puteri yang menonton sinetron Cerita Cinta bersama-sama. Mereka menonton di dalam kamar salah satu anak kos yang kebetulan mempunyai pesawat televisi. Sepanjang menonton, mereka asyik berkomentar tentang Mini, Dewa, Nadia, Miko, dan Miranda. Mereka ikut gembira dan bersyukur karena Igo dan Miranda jadi menikah. Salah satu dari mereka jengkel dengan Mini yang sakit leukimia dan berubah menjadi orang yang cengeng. Mereka juga ribut berkomentar ketika Miranda dan Dewa yang pernah berpacaran bertemu secara kebetulan di sebuah restoran. Dari ilustrasi ini tampak bahwa berdiskusi tentang sinetron lebih penting dari menonton sinetron itu sendiri. Selain berdiskusi, hal-hal yang juga dilakukan adalah memperkirakan seperti apa kira-kira jalan kisah selanjutnya dan kadang-kadang juga berharap semoga jalan ceritanya berjalan persis seperti yang mereka inginkan.
Dalam menerima pesan-pesan, penonton sering menempatkan diri dalam posisi yang berbeda-beda sesuai dengan kode-kode pembacaan yang mereka jalankan. Stuart Hall (1981) mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh sinetron. Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara dalam kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya. Pada pembacaan yang mengikuti kode dominan, penonton akan senang ketika akhirnya Andri, tokoh lesbian dalam Cerita Cinta yang diperankan oleh Dhea Ananda, akhirnya berpacaran dengan Rangga dan tidak jadi berpacaran dengan Nadia. Kode dominasi disini berarti bahwa penonton sepakat dengan nilai-nilai yang ditampilkan dalam sinetron ini bahwa homoseksualitas bukan hal yang bagus. Bahwa perempuan seharusnya memang berpasangan dengan laki-laki, bukan dengan sesama perempuan, dan maka itu Andri memang lebih baik jika berpacaran dengan Rangga.
Akhirnya, penggunaan multiperspektif yang kaya dalam analisis kebudayaan seperti yang dilakukan pada sinetron ini tidak hanya dapat meningkatkan mutu analisis itu sendiri, tapi mungkin juga bisa digunakan sebagai jalan untuk menuju masyarakat yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik.
Versi pendek tulisan ini dimuat di Bernas, 25 Februari 2001
Dalam Ruang Pribadi Penonton:
Romantisme dan Ekonomi Politik Sinteron Indonesia

Oleh Nuraini Juliastuti
Televisi memang telah jadi perhatian studi-studi kebudayaan sejak lama, dan menurut saya memang tidak ada media lain yang menyamai televisi dalam hal besarnya volume teks-teks budaya populer yang dihasilkan. Rasanya, televisi selalu mampu melahirkan bagian-bagian baru yang menarik untuk diamati dan dianalisa, mulai dari siaran berita, iklan televisi, sinetron, film televisi, talk show, kuis-kuis, acara musik, dan sebagainya. Dengan demikian televisi juga merupakan ruang eksperimen yang menarik bagi para ilmuwan sosial untuk mencobakan berbagai macam metode dan teori sebagai pisau dan alat-alat untuk menganalisa persoalan kebudayaan. Karenanya, banyak hal yang harus dipahami dari televisi. Mulai dari teks, hubungan antara teks dan penonton, aspek ekonomi-politik yang melingkupinya, hubungan televisi dengan aspek-aspek lain diluarnya, sampai pola makna budaya yang ada dalam televisi. Tulisan ini akan melakukan analisa terhadap sinetron sebagai bagian dari dunia televisi.
Memang benar bahwa tulisan-tulisan yang beredar selama ini tentang sinetron seperti selalu memberi kita bayangan gelap akan kehidupan sinetron—buruknya mutu penulis naskah sinetron, rendahnya etos kerja para pekerja sinetron mulai dari pemain, sutradara sampai pekerja-pekerja teknis yang ada disitu, ketiadaan festival atau wadah untuk mengukur mutu sinetron-sinetron yang beredar, ketiadaan kritikus sinetron yang baik, sampai penghargaan yang rendah pada diri penonton, dan sebagainya, dan karenanya percakapan tentang sinetron menjadi membosankan dan tidak menyenangkan karena kita seolah-olah sudah mengetahui semua hal-hal buruk tentangnya. Tetapi bukankah memang sebuah tulisan tidak berniat untuk memberikan sebuah penilaian final tentang sesuatu hal?
Yang saya lakukan dalam tulisan kali ini adalah memberikan penajaman pada aspek resepsi penonton dan aspek ekonomi-politik dari sinetron indonesia. Penonton menempati posisi penting dalam pembacaan suatu fenomena kebudayaan. Sayangnya mereka sering luput dari perhatian publik, termasuk oleh para peneliti kebudayaan. Proses pembacaan penonton sebuah pameran, sebuah film, sebuah sinetron, apa yang mempengaruhi interpretasi mereka dan bentuk komunikasi seperti apa yang sebetulnya sedang terjadi antara seniman dan penonton, antara sutradara/penulis naskah dan penonton, seharusnya bisa menjadi tema yang menarik untuk diteliti. Selain dimensi resepsi penonton, dimensi lain yang juga terlupakan adalah dimensi ekonomi-politik. Hal ini dilakukan mengingat dalam sebuah sirkuit kebudayaan yang berjalan, tidak hanya terdapat aspek produksi dan konsumsi, tetapi terdapat aspek-aspek lain seperti aspek distribusi, regulasi, representasi dan pembentukan identitas, yang semuanya saling berhubungan erat.
Dunia Romantis dan Ekonomi Politik Sinetron
Saat ini terdapat sekitar 55 buah sinetron yang sedang diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia. Jika dideskripsikan lebih jauh, berbagai macam sinetron yang beredar di televisi tersebut mewakili beberapa karakter utama yaitu: karakter cerita yang terbuka dan karakter cerita yang terpusat pada tema hubungan interpersonal pemainnya. Dalam karakter yang pertama, rangkaian episode-episode sinetron berjalan mengalir begitu saja. Setiap episode menampilkan jalinan cerita yang berbeda. Tidak ada persoalan-persoalan tertentu yang dicoba untuk dipecahkan dari awal episode sampai seri episode sinetron ini berakhir. Sedangkan dalam karakter yang kedua, cerita sinetron terpusat pada hubungan pribadi manusia: pertikaian keluarga, jatuh cinta, pernikahan, perpecahan, perselingkuhan, balas dendam, dan sebagainya. Poin yang menarik adalah dari bermacam-macam sinetron yang diputar tersebut, 80% diantaranya berujung pangkal pada persoalan cinta dan segenap romantismenya. Setiap kita melihat sinetron, ada hawa romantisme kuat yang berhembus disitu.
Bahkan sinetron-sinetron yang berbasis cerita misteri dan aksi laga yang sedang banyak digemari penonton seperti Misteri Gunung Merapi (Indosiar, Minggu, 19.30 WIB), Dendam Nyi Pelet (Indosiar, Senin, 18.00 WIB), Misteri Nini Pelet (SCTV, Senin, 19.30 WIB), juga Angling Darma (Indosiar, Rabu, 19.30 WIB) dan Prahara Prabu Siliwangi (SCTV, Selasa, 19.30 WIB) sebenarnya juga berpangkal pada persoalan cinta kasih yang romantis. Dendam Nyi Pelet misalnya bercerita tentang seorang gadis yang dendam pada semua laki-laki karena pemuda pujaannya ternyata mempunyai kekasih lain. Maka ia berguru, menguasai ilmu hitam, dan berubah menjadi Nyi Pelet yang selalu siap menyebar maut bagi para pemuda yang ditemuinya. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya demokratisasi wacana dalam sinetron Indonesia itu tidak ada. Yang ada justru keseragaman wacana karena semua isu ditarik dalam persoalan cinta..
Lantas apakah sinetron merupakan sebuah karya seni atau kerajinan tangan? Jawaban untuk pertanyaan yang sederhana tersebut ternyata tidak sederhana. Karena yang terjadi dalam dunia posmodern, seperti yang pernah diungkapkan oleh Mike Featherstone (1991, 1995), adalah kekaburan batas-batas antara seni, kebudayaan, dan iklan atau dunia bisnis yang berujung pada estetikasi umum kehidupan sehari-hari. Karya seni tampak seperti bukan karya seni, sementara hal-hal yang tampak dalam kehidupan sehari-hari tampak begitu indah dan estetis.
Analisis ekonomi-politik termasuk sisi produksi dan distribusi di dalamnya selama ini diabaikan. Analisis budaya lebih memusatkan perhatiannya pada analisis tekstual. Menurut Kellner (1997), analisis ekonomi-politik perlu lebih ditekankan mengingat kenyataan bahwa kebudayaan selalu berada dalam satu bidang bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusi-institusi sosial, media massa dan dimensi-dimensi lain dari realitas sosial.  Kenyataan lain yang harus dihadapi adalah bahwa kebudayaan selalu diproduksi dalam hubungan dominasi dan subordinasi. Analisis yang meletakkan kebudayaan dalam sistem produksi dan distribusi dapat membantu menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang membatasi produksi suatu artefak kebudayaan, wacana-wacana apa saja yang sedang dominan berlangsung dalam masyarakat saat itu, juga pengaruh aspek politik pada saat artefak kebudayaan tersebut didistribusikan. Sebenarnya, analisis ekonomi-politik juga harus mempertimbangkan persfektif-persfektif lain dalam menganalisis sesuatu. Perspektif-perspektif lain tersebut bisa berupa persfektif gender, ras, etnisitas, kelas, atau nasionalisme. Semakin kaya perpektif yang dipakai untuk menganalisa, maka hasil analisa akan semakin bagus. Mengingat sinetron merupakan sebuah fenomena yang kompleks maka keberagaman persfektif mutlak diperlukan.
Rumah produksi (production house), sutradara, pemain, naskah, pembuat naskah, industri musik, iklan, stasiun televisi, dan penonton adalah aspek-aspek yang terdapat dalam sinetron dan terentang dari proses produksi sampai konsumsi. Mungkin masih teringat saat TVRI merayakan ulang tahunnya pada tanggal 20-26 Agustus 1999 yang lalu. Waktu itu TVRI menayangkan acara Sepekan Sinetron HUT TVRI. Sinetron-sinetron yang diputar dalam acara tersebut antara lain: Orang Kaya Baru dari Teater KOMA, Wagiyem, Karsih dan Karsiman, serta Merobek Angan-Angan. Munculnya Teater KOMA di TVRI sangat menarik mengingat di masa lalu Teater KOMA sempat dilarang tampil di TVRI karena naskah-naskah yang dimainkannya dinilai berbahaya bagi keamanan dan stabilitas negara. Tema-tema naskah-naskah sinetron lain yang tampil juga berkisar pada persoalan politik seperti perjuangan seorang aktivis LSM, persoalan korupsi, tahanan Pulau Buru serta demonstrasi mahasiswa. Sinetron-sinetron ini tidak akan mungkin ditayangkan dengan bebas sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi di Indonesia. Fenomena ini juga menunjukkan perubahan sikap politik TVRI karena dulu TVRI sangat dikenal sebagai corong utama orde baru.  
Pemilihan sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi juga penting untuk dicermati mengingat stasiun televisi mempunyai kriteria dan standar-standar tertentu yang ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut meliputi ide cerita, siapa yang membuat naskah, siapa sutradaranya, siapa saja artis-artis yang dilibatkan. Semua itu adalah nilai-nilai utama dari sinetron yang menentukan apakah sebuah sinetron layak jual atau tidak. Selain persoalan-persoalan diatas, hal lain yang harus diperhitungkan adalah kecocokan antara cerita, jumlah slot tayang yang direncanakan, dengan harga yang ditetapkan.
Saat produksi sinetron berjalan, aspek-aspek yang mempengaruhinya juga semakin banyak. Misalnya, jika rating sebuah sinetron naik, dan jumlah iklan yang masuk juga semakin tinggi, sementara rangkaian episodenya sudah hampir habis, maka sutradara dan penulis naskah dipaksa untuk melipatgandakan  jumlah episode dan melakukan pengembangan cerita yang kadangkala menyimpang dari ide cerita awal. Bahkan seringkali terjadi pengembangan cerita tersebut dilakukan tanpa perencanaan khusus, dan dilakukan langsung di tempat pengambilan gambar berlangsung. Hal seperti ini biasanya terjadi pada sinetron-sinetron yang jumlahnya sudah mencapai ratusan episode. Sinetron yang banyak digemari seperti Si Doel Anak Sekolahan bahkan dapat semakin terdongkrak popularitasnya karena karakter sejumlah tokohnya laris dipinjam untuk memerankan iklan-iklan produk dan iklan layanan masyarakat.
Persoalan lain yang menarik dicermati dalam dunia sinetron adalah hubungan antara sinetron dengan industri musik. Lagu-lagu Indonesia populer dan laris dibeli kasetnya oleh para penggemar kini tidak hanya bisa dinikmati di radio-radio atau dalam acara-acara musik di televisi, melainkan bisa kita dengarkan juga dalam tayangan sinetron sebagai lagu tema sinetron. Kita mengenal ciri-ciri sinetron Cerita Cinta (Indosiar, Senin, 20.30 WIB) dari lagu-lagu yang dilantunkan oleh grup musik Dewa.  Kita juga mengenal ciri-ciri sinetron Lupus Millenia (Indosiar, Kamis, 19.30) dan sinetron Cinta Pertama (Indosiar, Kamis, 20.00 WIB) lewat lagu-lagu dari kelompok Sheila On 7. Tidak hanya itu. Hampir semua sinetron yang diputar di televisi sekarang pasti menampilkan satu atau dua lagu Indonesia yang sedang populer. Fenomena ini mirip seperti yang terjadi dalam dunia film. Dulu ketika lagu-lagu Whitney Houston menjadi soundtrack film The Bodyguard, orang jadi bertanya-tanya apakah ketenaran lagu itu yg mendongkrak popularitas film tersebut, atau sebaliknya, film yang dibintangi aktor terkenal Kevin Costner itulah yang menyebabkan banyak orang mencari-cari dan membeli kaset lagu Whitney Houston. Tentunya hubungan yang signifikan antara rating sinetron dengan popularitas sebuah lagu ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Kode Dominan, Negosiasi, dan Oposisi
Penonton tidak pernah menjadi pihak yang pasif dalam membaca sebuah fenomena kebudayaan. Hal ini disebabkan karena makna yang dikeluarkan oleh sinetron tidak pernah langsung diterima begitu saja oleh penonton. Sebaliknya, penonton melakukan kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya, penonton juga melakukan modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai dengan keinginannya. Maka, penonton adalah pihak yang aktif, dan proses konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif.
Televisi merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka itu analisis televisi—termasuk juga sinetron—tidak hanya harus dilekatkan dengan persoalan makna dan interpretasi melainkan harus juga dihubungkan dengan ritme rutinitas kehidupan sehari-hari. Menonton televisi biasanya dilakukan di ruang keluarga, atau di tempat tidur. Dari ruang-ruang pribadi ini, menarik untuk mengamati bagaimana penonton melakukan ritual-ritual tertentu sebelum mulai menonton sinetron kesayangannya, misalnya mereka akan menyiapkan makanan kecil sebagai teman menonton, dan memanggil teman-teman atau saudara, mengingatkan bahwa sinetron kesayangan mereka sebentar lagi akan diputar.
Saya pernah mengamati 4 orang penghuni kos puteri yang menonton sinetron Cerita Cinta bersama-sama. Mereka menonton di dalam kamar salah satu anak kos yang kebetulan mempunyai pesawat televisi. Sepanjang menonton, mereka asyik berkomentar tentang Mini, Dewa, Nadia, Miko, dan Miranda. Mereka ikut gembira dan bersyukur karena Igo dan Miranda jadi menikah. Salah satu dari mereka jengkel dengan Mini yang sakit leukimia dan berubah menjadi orang yang cengeng. Mereka juga ribut berkomentar ketika Miranda dan Dewa yang pernah berpacaran bertemu secara kebetulan di sebuah restoran. Dari ilustrasi ini tampak bahwa berdiskusi tentang sinetron lebih penting dari menonton sinetron itu sendiri. Selain berdiskusi, hal-hal yang juga dilakukan adalah memperkirakan seperti apa kira-kira jalan kisah selanjutnya dan kadang-kadang juga berharap semoga jalan ceritanya berjalan persis seperti yang mereka inginkan.
Dalam menerima pesan-pesan, penonton sering menempatkan diri dalam posisi yang berbeda-beda sesuai dengan kode-kode pembacaan yang mereka jalankan. Stuart Hall (1981) mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh sinetron. Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara dalam kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya. Pada pembacaan yang mengikuti kode dominan, penonton akan senang ketika akhirnya Andri, tokoh lesbian dalam Cerita Cinta yang diperankan oleh Dhea Ananda, akhirnya berpacaran dengan Rangga dan tidak jadi berpacaran dengan Nadia. Kode dominasi disini berarti bahwa penonton sepakat dengan nilai-nilai yang ditampilkan dalam sinetron ini bahwa homoseksualitas bukan hal yang bagus. Bahwa perempuan seharusnya memang berpasangan dengan laki-laki, bukan dengan sesama perempuan, dan maka itu Andri memang lebih baik jika berpacaran dengan Rangga.
Akhirnya, penggunaan multiperspektif yang kaya dalam analisis kebudayaan seperti yang dilakukan pada sinetron ini tidak hanya dapat meningkatkan mutu analisis itu sendiri, tapi mungkin juga bisa digunakan sebagai jalan untuk menuju masyarakat yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik.
Versi pendek tulisan ini dimuat di Bernas, 25 Februari 2001

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas