Senin, 16 Juli 2012

KEMANDIRIAN DESA DI INDONESIA


PENDAHULUAN
Desa dan atau disebut dengan nama lain merupakan sebuah gambaran dari suatu kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan , mereka saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan relatif homogen serta banyak tergantung pada alam ( pertanian,perkebunan dan kehutanan ). Komunitas tersebut selanjutnya berkembang menjadi suatu kesatuan masyarakat Hukum yang berhak untuk menyelenggarakan dan mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan asal usul  dimana kepentingan bersama penduduk menurut hukum adat dilindungi dan dikembangkan. Ciri masyarakat hukum adat yang otonom adalah berhak mempunyai wilayah sendiri berdasarkan kesejarahan leluluhurnya dengan batas yang sah,berhak mengatur dan mengurus pemerintahan dan rumahtangganya sendiri,memberlakukan hukum adat setempat, berhak memilih dan mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri,berhak mempunyai sumber keuangan sendiri serta berhak atas tanahnya sendiri.

Dalam konteks inilah Desa menemukan identitasnya sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengurus kepentingannya sendiri yang dalam bahasa lain disebut otonomi aseli,dengan demikian Desa secara alami telah memiliki otonominya sendiri semenjak masyarakat hukum ini terbentuk,dimana otonomi yang dimilikinya bukan pemberian pihak lain.
Proses reformasi telah membawa perubahan system kekuasaan yang ada,dari otoritarianisme menuju pada kekuasaan yang Demokratis yang sangat berbeda pada masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik – otoriter,dengnan alas yuridis UU No.5 tahun 1979, era Reformasi ditandai dengan digunakannya prinsip-prinsip Demokrasi dan Desentralisasi sebagai basis kerja kekuasaan.
Perubahan Relasi itu dapat dilihat pada system pemerintahan desa dimana upaya-upaya demokratisasi dan Desentralisasi bahkan anutan Otonomi Aseli. 
Pada masa orde baru , penataan desa di landaskan pada undang-undang nomor 5 tahun 1979 yang mendefinisikan desa sebagai ‘suatu wilayah yang di tempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik indonesia’’
Jika di tinjau lebih jauh , konsepsi orde baru tersebut merupakan konsepsi desa dalam pengertian admnistratif , yaitu satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu , suatu satuan masyarakat , dan suatu satuan pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan . Dengan demikian , desa merupakan bagian dari organisasi pemerintah.
Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif ,undang – undang nomor 5 tahun 1979 juga telah melakukan perubahan terhadap struktur desa , yaitu:
1.      Penyeragaman struktur pemerintahan desa . Ini merupakan strategi orde baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.
2.      Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah pemerintah nasional menempatkan pemerintah desa sebagai rantai terakhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintahan yang sentralistik . Ini menjadikan desa hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
3.      Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada kepala desa.
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama orde baru atas desa yaitu pertama mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara , dan kedua , menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat . Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu di kaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser kearah pengertian desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan ketatanegaraan atau satuan administratif pemerintahan. Dengan kata lain , kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin lama makin terkikis karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional.otonomi aseli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.
DEMOKRASI DAN OTONOMI DESA MASA KINI HARUS DIREBUT.
Pada era reformasi , melalui undang – undang nomor 22 tahun 1999 terutama pasal 93 sampai dengan 111,mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom.desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom , dalam hal ini terlihat dari pertama , adanya keinginan untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah . Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang di hormati mempunyai hak asal usul ,dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat.dengan kata lain Desa merupakan salah satu dari ruang negara. kedua memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan badan perwakilan desa {BPD} atau dengan nama lain sebagai lembaga legeslatif.
Selain semangat otonom yang tinggi , undang – undang nomor 22 tahun 1999 juga telah merubah struktur desa  , antara lain:
1.      Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa.
2.      Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan badan perwakilan desa.
3.      Pembentukan struktur pemerintah desa baru ( formulasi ) yang terdiri atas pemerintah desa dan lembaga yudikatif Desa ( Mahkamah adat desa )
4.      Pembentukan Lembaga adat Desa sebagai peradilan Desa .
5.      Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa ( dalam orde baru kepala Desa sebagai  penguasa tunggal ).
Jika ditinjau secara umum apa yang telah dilakukan pemerintah pada era reformasi berkaitan dengan regulasi –regulasi yang dibuat bagi desa,telah membawa angin segar atas harapan akan adanya otonom desa. Harapan bagi terbukanya ruang – ruang pelaksanaan otonomi dan demokratisasi di tingkatan desa telah di pupuk.
Namun demikian , undang-undang nomor 22 tahun 1999 masih juga menyisakan persoalan – persoalan yang berkaitan dengan otonomi di tingkat desa. Pada beberapa pasal dalam undang- undang tersebut justru menimbulkan keraguan atas kesungguhan pemerintah untuk benar-benar memberikan otonomi kepada desa . Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa:
1.      Desa masih di buat tergantung pada dinamika pembentukan kebijakan kabupaten sebagai akibat tarik menarik ( lihat pasal 111 ayat a,b ) .
2.      Desa masih harus melakukan tugas pembantuan dari pemerintah pusat , pemerintah propinsi dan kabupaten ( terjadi perbedaan persepsi antara bantuan secara fungsi administratif  dan bagian secara hak – ps.107 ayat b. ) .
3.      Pemerintah desa masih di tempatkan sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan.
4.      Keluarnya keputusan menteri dalam negeri nomor 64 tahun 1999 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa dan pada realitasnya diikuti oleh berbagai Produk Peraturan Daerah Kabupaten yang masih mengatur ruang negara yang ada di Desa sementara Keppres menyusul kemudian.
Dengan demikian Otonomi desa sebagaimana di konsepkan dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi yang berasal dari ‘’niat baik’’ negara. Karena sifatnya pemberian , maka adanya pasal-pasal yang kontradiktif merupakan hal yang lumrah. Hadirnya undang – undang nomor 22 tahun 1999 lebih di dasarkan atas usaha untuk meredam potensi disintegrasi bangsa di bandingkan sebagai usaha yang tulus dari negara untuk mengembalikan otonomi kepada desa , menjadikan otonomi desa yang di konsepkan dalam undang-undang tersebut bukanlah otonomi sebagaimana konsep aslinya , yaitu desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berdasarkan asal usul dan adat istiadat.
        Adanya harapan serta kekhawatiran tersebut perlu terus di cermati. Sebagai salah satu jalan keluarnya adalah secara terus menerus diadakan ‘’perjuangan ‘’ untuk merebut otonomi oleh masyarakat desa terhadap negara dengan melakukan perubahan dan “menjemput bola” , karena jika hanya mengandalkan ‘’niat baik ‘’ dari negara untuk memberikan otonomi kepada desa akan sangat membahayakan bagi kelangsungan otonomi desa sendiri. Kemungkinan kembalinya otoritarianisme bukanlah sebuah hal yang yang mustahil terjadi, apabila proses desentralisasi dan demokrasi  hanya disandarkan pada niat baik negara maka sebenarnya kita sedang diliputi utopia karena kekuasaan ibaratnya adalah anggur yang memabukkan bagi mereka yang meminumnya .mereka yang telah menikmati kekuasaan akan senantiasa menambah lagi kekuasaannya . Itulah sebabnya mengapa demokrasi dan otonom harus diperjuangkan dan harus direbut. logika otonomi itu sudah kita balik bukan dari atas lagi tapi memang harus dari bawah yang keatas.

VISI DESA
Sejak diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 pada tahun 2000 banyak hal yang telah dilakukan di Desa  baik perubahan secara mendasar yaitu meletakkan sendi-sendi berdemokrasi,partisipatif,transparan dan akuntabilitas dalam rangka mewujudkan tatanan pemerintah yang bersih dan berwibawa ( Clean and Good Governance ).
Oleh karena kebijakan pemerintah Desa  yang dibangun atas dasar kebersamaan dan perubahan  cara pandang maka tidak semudah membalikkan tangan apalagi cara pandang system pemerintahan yang otoriter dengan kekuatan sepenuhnya kepada Kepala Desa yang disebut penguasa tunggal pada rezim orde Baru telah berurat akar lebih dari 32 tahun.
Keran Demokrasi yang dikembangkan yaitu demokrasi ala Desa dimana sifat-sifat keakraban,gotong royong,rembuk Desa turut menyemarakkan demokrasi di Desa namun tetap beralaskan pada rambu-rambu Demokrasi ala Desa yang sedikit mengalami pergeseran menuju pada kesetaraan,rasional dan aspiratif dalam arti lain boleh berbeda pendapat namun pendapat yang masuk akal dan untuk kepentingan orang banyak ( masyarakat ).
Suatu kasus di Desa Bentek Kecamatan Gangga Lombok Barat ( Desa penulis ini ) Desa dibangun dengan merombak system pemerintahan  dengan  Visi dan Misi  : Membangun tatanan masyarakat yang Demokratis, Partisipatif ,Transparan , Beradat , Akuntabilitas dan Menghormati Keberagamaan.
Memberdayakan masyarakat Desa menuju paradigma pembangunan seutuhnya sesuai dengan prinsip – prinsip otonomi aseli.
Patut kita pertanyakan apakah ada suatu perubahan yang signifikan terhadap proses pembangunan dengan paradigma reformasi ? Untuk menjawab semua pertanyaan ini kita dapat mengkaji secara cermat tentang perubahan-perubahan yang diupayakan melalui berbagai terobosan dengan melihat masa lalu Desa dengan masa sekarang.
Disadari bahwa untuk merubah cara pandang masyarakat,membangun demokrasi,transparan dan akuntabilitas tidaklah semudah membalikkan tangnan akan tetapi proses untuk menuju sebuah perubahan tidak ada lagi pilihan lain kecuali kita harus berani untuk “berhijrah”  dengan melewati berbagai rintangan dan hambatan dengan kesabaran dan kesadaran diri bahwa kita para pemikir di Desa ini dituntut untuk membangun sebuah desa yang ideal dalam perspektif  UU No. 22 tahun 1999, Desa ideal disamping ada fungsi-fungsi pembagian/kewenangan kekuasaan ada persoalan yang beersifat tritorial dan bersifat fungsional, Jika hukum setempat di Desa itu bisa dilihat pada prakteknya ada sistem demokrasi langsung , mengakui hukum yang lebih luas karena ada kesadaran bahwa kita memiliki hak kelola sepenuhnya maka itulah yang kita sebut otonomi aseli, otonomi aseli ini berorientasi pada kemandirian kapital, otonomi setempat itu bisa berupa kesatuan masyarakat hukum adat atau komunitas lokal atau kedua-duanya campuran . Jika fungsi-fungsi itu dan sistem itu menghasilkan kesadaran bahwa tak seluruh kemampuan kelola itu diakuasai di wilayah kelola dan penduduknya yang ada disana atau internal yang ada, artinya ada kewenangan-kewenangan diluar kelayakan wilayah kelolan dan penduduknya maka itulah yang   yang dikelola oleh Kabupaten.
Disadarai bahwa untuk membangun Desa ini tidaklah cukup dengan berdiam diri dan berkutat pada pekerjaan rutin di Kantor namun dibituhkan suatu wawsan dan membangun sebuah jaringan kerjasama stake holders dari berbagai unsur lembaga baik formal maupun informal diluar Desa ini lebih-lebih yang berkaitan dengan Kebijakan yang mengatur tentang Desa.
Kesejarahan masa lalu adalah sebagai para meter untuk dapat mengukur sejauh mana perubahan telah kita lakukan untuk itu dalam tulisan ini membuka cakrawala pandang dengan melihat indikator-indikator dari sebuah proses tahapan pembangunan yang  dianalisa secara ilmiah dan empiris agar kita tidak terjebak pada penilaian yang bersifat skeptis dan ego centries serta individualistic.

KESIMPULAN DAN SARAN.

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan kondisi rill mengenai gambaran umum tentang Desa  yang telah di uraikan dimuka maka beberapa kesimpulan yang diambil, :

1.      Penguatan institusi local ternyata harta warisan yang turun temurun tidak lekang oleh zaman dan merupakan kearifan local pengetahuan masyarakat yang perlu di dorong dan di berikan ruang gerak untuk mengatur dirinya sendiri. 
2.      Ternyata masyarakat Desa dengan hukum adatnya dan nilai – nilai yang selama ini dianggap ketinggalan zaman ternyata masih signifikan dan mampu menerima perubahan { transpormatif } terhadap nilai-nilai dalam system kepemerintahan. 
3.      Produk hukum dan pelaksanaannya mengacu pada hukum adat {kesepakatan} dan hukum positif yang dijalankan secara rasional dan operopesional. 
4.      Perlu peningkatan kwalitas pelayanan dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat . 
5.      Sedang dalam proses melakukan perubahan-perubahan dengan formulasi dan mengartikulasikan kebijakan dalam Pemerintahan Desa yang didasarkan atau azas-azas :Keanekaragaman, Partisipasi, Otonomi Aseli, Demokrasi dan Pemberdayaan Masyarakat  sesuai dengan asal - usul ,Prakarsa dan Kondisi social budaya masyarakat setempat dengan kemampuannya sendiri. 
6.      Pemerintahan Desa  mengakui keberadaan institusi adat sebagai norma-norma ,nilai-nilai hukum adat dengan melembagakannya dalam bentuk Majelis Krama Adat Desa sebagai mahkamah adat penegakan hukum adat yang di sebut peradilan adat yang berpungsi sebagai lembaga yudikatif Desa  
7.      Masih terbatasnya dana bantuan pemerintah Kabupaten,propinsi dan pemerintah pusat dalam membiayayai pembangunan di Desa karena belum adanya kebijakan atau produk hukum  yang mengatur perimabngan keuangan Desa dan Kabupaten.

B. SARAN – SARAN

1.            Kebijakan  otonomi Daerah harus memiliki pra kondisi dimana terjadi pengakuan terhadap hak politik masyarakat daerah untuk menentukan bentuk hubungan pusat dan daerah termasuk Desa , untuk itu Pemerintah Kabupaten dan Pusat segera mengambil langkah kebijakan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Desa dalam bentuk hukum yang nyata sebagai komitmen untuk mengakui otonomi asli.
2.            Tidak perlu pemerintah terlalu jauh mengintervensi hak – hak dan kewenangan masyarakat Desa tetapi wajib mengakuinya berdasarkan adat - istiadat dan asal – usulnya.
3.            Para pengambil kebijakan agar pelaksanaan otonomi daerah mampu memperkuat posisi tawar daerah-daerah {termasuk Desa di dalamnya} berhadapan dengan pemerintah pusat serta memperkuat posisi masyarakat daerah berhadapan dengan pemerintahnya sendiri.
4.            Diperlukan untuk menterjemahkan pengetahuan-pengetahuan tentang mekanisme partisipatori kepada kekuasaan yang memungkinkan masyarakat terlibat secara efektif dalam dunia publik dan mengikis paradigma lama tentang proyek-proyek pembangunan dengan partisipasi social yang relatif terbatas dan menuju terbentuknya aliansi, persekutuan ,serikat dan persatuan rakyat peduli.
5.            Dalam memberikan pengakuan terhadap Otonomi asli di Desa diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten dalam kebijakan publiknya berupa Peraturan Daerah {Perda} mengatur secara umum dan teknis oprasional dengan tidak menyentuh hal-hal yang bersifat substansial {nilai-nilai} kehidupan masyarakat Desa.
6.            Pemerintah Kabupaten dalam membuat kebijakan {regulasi} berupa Peraturan Daerah menyangkut Desa hendaknya dibuat sedemikian rupa untuk pengaturan mengenai Desa dengan memperlihatkan aspirasi dan artikulasi masyarakat dengan dukungan agregasi partai politik sehingga aspirasi masyarakat Desa dapat ditampung sehingga tidak menimbulkan kontra produksi {penolakan }oleh mayarakat Desa.
7.            Dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa maka pemerintah Kabupaten dan Pusat sesegera mungkin membuat undang – undang yang mengatur pertimbangan keuangan Desa dan Kabupaten. 

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas