BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Laju pertumbuhan organisme ditentukan oleh
faktor-faktor seperti genetik, kondisi lingkungan, musim,ketersediaan makanan ,
dari faktor-faktor lain seperti predator dan penyakit. Penelitian dengan
pendekatan genetis melalui seleksi, perbaikan teknik budidaya dan nutrisi telah
banyak dilakukan (1Fjalestad et
al., 2003). Pendekatan system endoklin untuk mengontrol pertumbuhan juga
telah dilakukan oleh beberapa peneliti (McLean and Devlin, 2000). Baru-baru ini
formulasi rekombinan hormon pertumbuhan dalam bentuk pellet implantasi yang
dapat dilepas secara perlahan-lahan juga
telah diaplikasikan (Devlin et al, 2001), yang dapat memberikan peningkatan
pertumbuhan ikan salmon yang tetap selama beberapa bulan. Akan tetapi kelemahan
metode-metode diatas seperti perbaikan genetis melalui seleksi akan membutuhkan
waktu , biaya dan tenaga yang lebih banyak. Metode pemberian hormone melalui
implantasi atau oral membutuhkan dosis yang tepat dalam waktu yang lama, serta
harus dilakukan pada setiap siklus produksi. Sebuah metode baru yang disebut
dengan istilah transgenesis yang bisa mengatasi kelemahan metode-metode yang
telah disebutkan di atas juga telah dikembangkan dalam rangka memperbaiki
karakter-karakter yang berguna bagi akuakultur, seperti peningkatan laju
pertumbuhan, perbaikan kualitas daging, dan peningkatan daya tahan ikan
terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim seperti suhu beku, dan daya tahan
terhadap penyakit.
Penelitian ikan Nila merah untuk
perbaikan laju pertumbuhan ikan nila merah dengan menggunakan teknologi
transgenesis. Ikan nila merah merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang
bernilai ekonomis tinggi, dan menjadi target species dalam program revitalisasi
perikanan budidaya yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Ikan nila merah yang
telah dibudidayakan oleh petani saat ini
merupakan hasil hibridisasi dan seleksi. Sejalan dengan waktu, laju
pertumbuhannya semakin menurun akibat persilangan yang tidak terkontrol yang dilakukan
oleh petani. Untuk mendukung program revitalisasi perikanan budidaya dalam
rangka ketahanan pangan nasional, diperlukan usaha untuk memperbaiki kecepatan
tumbuh ikan nila merah dalam jangka waktu yang cukup lama. Aplikasi teknologi transgenesis menggunakan
gen pengkode hormon pertumbuhan ikan nila merah dalam waktu relatif cepat.
Transgenesis telah berhasil
diaplikasikan untuk meningkatkan laju pertumbuhan beberapa jenis ikan budidaya,
sepeti ikan salmon (Devlin et al, 1994) dan mud loach (Nam et al, 2001) dengan
hasil yang sangat fantastis, kecepatan tumbuhnya masing-masing mencapai 10 dan
35 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang bukan transgenik.
Jenis gen yang digunakan adalah gen yang mengontrol hormone pertumbuhan (growt
hormone gene, GH). Pada ikan salmon, telah dilaporkan juga bahwa ikan
transgenik memiliki efisiensi penggunaan pakan yang yang lebih tinggi dari ikan
normal. Dengan demikian, budidaya ikan transgenik GH memiliki keuntungan dalam
hal berkurangnya waktu dalam budidaya akibat laju pertumbuhan yang tinggi, dan
meningkatnya efisiensi penggunaan pakan sehingga biaya produksi dari pakan akan
menurun yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani.
Pada awal perkembangan
teknologi transgenesis untuk ikan, konstruksi gen dengan komponen promoter dan
gen GH yang digunakan berasal dari hewan mamalia atau hewan tingkat rendah.
Penggunaan konstruksi gen tersebut tidak memberikan pengaruh peningkatan
pertumbuhan diperoleh setelah promoter dan gen GH yang digunakan diisolasi dari
ikan (konstruksi gen all-fish); ikan salmon transgenetik menggunakan promoter
methallothionein dan gen GH dari ikan salmon; ikan transgenik mud loach
menggunakan promoter β-Actin dan gen GH ikan mud loach. Ikan nila hitam juga
memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi (7 kali lipat lebih besar pada umur satu
tahun) dibandingkan dengan yang bukan transgenik (Kobayashi et al,2007).
Ikan nila merah merupakan ikan
budidaya air tawar yang menjadi target species dalam program revitalisasi
peningkatan produksi perikanan budidaya untuk ekspor dan komsumsi ikan
masyarakat yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Produksi ikan nila merah
transgenik telah dilakukan oleh Alimuddin (2007) dan Kobayasi (1999). Oleh
karena itu, Karya tulis ini akan diuraikan tentang rekayasa genetic ikan nila
merah dengan menggunakan metode transgenik dengan menggunakan konstruksi gen
all-fish yang dikontrol oleh promoter β-Actin (mBP0 dari ikan medaka jepang
(Oryzias latipes) dan dari ikan nila (tiBA) dengan gen GH (tiGH) dari ikan
nila.
1.2
Rumusan
masalah
Ikan Nila merah adalah ikan air
tawar yang banyak dibudidayakan, namun ikan ini mempunyai karakter pertumbuhan
ini yang lambat dan cepat berkembang biak. Lambatnya pertumbuhan ini disebabkan
oleh factor genetik maupun factor pakan dan lingkungan. Secara genetic,
karakter pertumbuhan bisa diperbaiki kualitasnya melalui teknik produksi ikan
Nila merah transgenic yang unggul.
Ikan Nila merah yang pertumbuhannya
cepat dapat dihasilkan dengan menambahkan copy cDNA GH dengan teknologi
transgenesis. Dalam hal ini, isolasi dan karakterisiasi cDNA GH dari ikan
target adalah langkah pertama untuk kostruksi ikan transgenik. Langkah selanjutnya adalah membuat ikan Nila
merah transgenic melalui microinjection.
BAB
II
TELAAH
PUSTAKA
2.1.
Transgenesis
Salah satu upaya mengatasi masalah-masalah
ikan adalah melalui rekayasa genetika dengan pendekatan teknologi transgenesis.
Teknologi transgenesis adalah suatu proses mengintroduksi satu atau lebih DNA
eksogenous atau DNA asing ke hewan uji dengan tujuan untuk memanipulasi
fenotipenya kearah yang lebih baik dan selanjutnya dapat ditransmisikan ke
keturunannya (Glick dan Pasternak,2003).
2.2.
Aplikasi Teknologi Transgenesis
Aplikasi
teknologi transgenesis yang telah berhasil diantaranya adalah peningkatan laju
pertumbuhan dengan mengintroduksi gen GH, seperti pada ikan salmon Pasifik
transgenic yang tumbuh 10 kali lebih cepat dari ikan normal (Devlin et al., 1994), begitu pula pada
ikan mud loachdengan kecepatan tumbuh 32 kali lebih cepat (Nam et al., 2001), dan ikan nila dengan
pertumbuhan 2 hingga 7 kali lebih cepat (Kobayasi et al., 2007). Selain itu, aplikasi lain dari teknologi
transgenesis adalah meningkatkan resistansi ikan terhadap serangan pathogen
atau penyakit. Sebagai contoh, penginjeksian plasmid yang mengkodekan glycoprotein infectious hematopoetic
necrosis virus (IHNV) menggunakan promoter Cytomegalovirus (CMV) pada salmon Atlantik, menunjukkan proteksi
yang signifikan setelah 8 minggu, dan masih tetap resisten serta menunjukkan
antibody penetral virus pada 12 minggu berikutnya (Traxler et al., 1999 dalam Alimuddin et
al., 2003). Contoh lainnya yaitu peningkatan daya tahan ikan medaka
terhadap Pseudomonas fluoroscens dan Vibrio anguillarum dengan menstransfer
gen cecropin (Sarmasik et al., 2002 dalam Alimuddin et al., 2003).
Dalam
peningkatan transgenesis, daya tahan ikan terhadap suhu dingin berhasil
ditingkatkan, bahka telah berhasil pula membuat ikan strain baru. Introduksi
gen AFP pada ikan dapat meningkatkan toleransinya terhadap suhu dingi (0oC),
dimana pemaparan pada suhu itu biasanya menyebabkan kematian ikan (Wang et al., 1995 dalam Alimuddin et al., 2003).
Sedangkan ikan strain baru yang dilaporkan oleh Gong et al. (2002) adalah ikan zebra berwarna-warni yang dapat terlihat
pada kondisi cahaya biasa. Ikan zebra berwarna-warni tersebut dibuat dengan
mengintroduksikan gen GFP ( green
fluorescent protein), YFP (yellow
fluorescent protein), dan RFP (red
fluorescent protein) pada ikan zebra
wild-type (normal).
2.3.
Metode
Mikroinjeksi
Ada beberapa teknik transper gen
dalam transgenesis diantaranya adalah mikroinjeksi, elektroforasi dan
transfeksi ( Hacket, 1993). Lebih lanjut dijelaskan bahwa teknik mikroinjeksi
merupakan teknik yang umum digunakan dalam introduksi gen pada ikan. Gen
diintroduksi ke dalam sel telur ikan yang telah dibuahi menggunakan jarum
injeksi yang sangat kecil (diameter ujung jarum sekitar 0,05-0,15 mm).
Introduksi dilakukan di bawah mikroskop dengan bantuan sebuah mikro manipulator
yang mengatur jarum suntik. Ada beberapa keuntungan mikroinjeksi menggunakan
telur ikan sebagai inang dibandingkan dengansistem lainnya, diantaranya adalah
jumlah telur ikan relative banyak dan pembuahan (fertilisasi) terjadi secara
eksternal. Halini memudahkan introduksi gen asing pengkode protein target.
Selain itu, embrio ikan dapat dipelihara dalamair tanpa suplemen, karena untuk
perkembangan embrio cukup dengan mengandalkan nutrient dari kuning telur.
Namun demikian, menurut Yoshizaki
(2001) terdapat dua masalah dalam pengplikasian teknik mikroinjeksi pada telur
ikan, yaitu identifikasi inti telur ikan yang telah dibuahi relative sulit
sekalipun dengan mikroskop karena ukurannya yang sangat kecil sedangkan
sitoplasmanya besar. Selanjutnya korion telur yang sangat keras menyebabkan
telur sulit ditembus oleh jarum mikroinjeksi. Untuk mengatasi masalah tersebut,
beberapa peneliti membuat ikan transgenik dengan cara menyuntikkan gen dengan
jumlah copy yang banyak ke dalam sitoplasma telur yang telah dibuahi sebagai
alternative penyuntikan keinti telur ( Alimuddin et al., 2003). Sedangkan
untuk mengatasi masalah koriontelur yang keras, pada ikan , korion dapat
dibuang dengan bantuan proteinase dan selanjutnya telur tersebut dapat disuntik
dengan mudah (Ueno et al., 1994 dalam Alimuddin et
al., 2003).
Salah
satu pertimbangan penting di dalam riset transgenesis adalah pemilihan primer
yang berperan dalam mengatur waktu dan lokasi dimana gen asing yang
diintroduksikan harus aktif dan menyandi gen target. Dengan demikian, primer
dapat dianalogikan seperti switch lampu
(Yazawa et al., 2005). Primer merupakan DNA dimana RNA polymerasemenempel (
bind ) dan menginisiasi transkripsi,
yaitu dengan mengarahkan RNA polymerase sehingga transkripsi terjadi pada
daerah yang spesifik (Glickdan Pasternak, 2003) umumnya promoter terletak pada
bagian upstream (terminal 5’) suatu
gen (Hacket, 1993).
Hacket
(1993) menyatakan bahwa primer ada yang bekerja pada jaringan yang spesifik (tissue-specific) dan ada pula yang dapat
bekerja pada semua jenis jaringan/ sel (ubiquitous).
Dari empat promoter yaitu complement componen C3, gelatinase B, keratin, dan
TNF (Tumor necrosis factor),
masing-masing mengatur ekspresi dari gen GFP pada ikan zebra transgenic denga
tempat yang berbeda. Konstruksi C3-GFP terekspresi pada hati, gelatinase-GFP
terekspresi pada sirip pectoral dan insang, keratin-GFP terekspresi pada epitel
kulti dan hati, sedangkan TNF-GFP terekspresi pada jantung dan kerongkongan
(Yazawa et al., 2005).
Pada
awal perkembangan transgenik pada ikan, peneliti umumnya menggunakan
primer yang diperoleh dari vertebrata
lain atau dari virus. Namun, primer
tersebut memberikan ekspresi yang rendah tau tidak menghasilkan ekspresi
gen (Chourrout et al., 1990 dalam Alimuddin et al., 2003). Hasil yang negative ini mungkin disebabkan oleh
sifat sekuens promoter yang spesifik spesies. Oleh karena itu, akhir-akhir ini
dikembangkan konstruksi gen dengan promoter dari ikan. Primer yang berhasil diisolasi dari ikan antara lain
wfl AFP dari winter flounder Pleuronectes
americanus (Shears et al., 1991 dalam Zbikowska, 2003), salmon Sockeye
MT (Methalothionine) (Devlin et al., 1993). Primer
untuk ikan medaka merupakan salah satu jenis promoter yang memiliki
aktifitas tinggi pada beberapa jenis ikan. Primer memiliki elemen-elemen
penting diantaranya yaitu AT boks yang berfungsi untuk meningkatkan
ekspresidengan stimulasi tertentu,unit CC(A/T)6GG yang biasa dikenal
dengan istilah motif CArG berperan dalam pengaturan ekspresi transgen dan TATA
boks berperan sebagai tempat menempelnya enzim RNA polymerase beserta factor
lain dan mengarahkannya sehingga proses transkripsi berlangsung pada daerah
yang benar (Takagi et al., 1994).
Promoter dapat aktif dan mengendalikan ekspresi transgen pada waktu dan tempat
yang tepat dengan adanya kerja sama antara elemen-elemen penyusun primer
tersebut. Menurut Hacket (1993) jika elemen cis-relatornya
cocok dengan elemen transregulator, maka umumnya ekspresi gen yang dikendalikan
tinggi, sebaliknya apabila tidak atau kurang sesuai maka ekspresi gen yang
dikendalikan akan rendah. Sekuens dalam promoter merupakan elemen cis,sedangkan protein atau factor-faktor
lain yang menempel pada elemen cis disebut
elemen trans (Hacket, 1993).
Primer
memiliki beberapa sifat yang terkait dengan aktifitas elemen-elemennya yaitu constitutive, ubiquitous dan housekeeping (Liu, 1990 dalam Volckaert,
1994). Constitutive bereti promoter
ini mampu aktif tanpa membutuhkan factor pemicu seperi rangsangan hormone atau
rangsangan suhu. Primer bersifat ubiquitous (terdapat di mana-mana)
artinya dapat aktif pada semua jaringan otot. Sedangkan bersifat house keeping berarti primer dapat aktif
kapan saja bila diperlukan.
Untuk
menguji aktivitas primer dibutuhkan gen
penanda agar ekspresi transgen dapat dilihat dengan lebih cepat sehingga
aktivitas primer segera diketahui.Salah satu gen penanda yang biasa digunakan
dalam riset transgenesis adalah gen GFP yaitu gen yang mengkodekan protein yang
berpendar hijau dan dapat divisualisasikan menggunakan mikroskop fluoresens
(Chou et al., 2001; Ath-thar,2007).
Keberadaan gen ini didalam sel tidak akan membahayakan sel. Keuntungan dari gen
ini adalah tidak memerlukan perlakuan khusus pada jaringan dan penambahan
substrat untuk visualisasi, dan ekspresinya dapat terdeteksi sampai ke tingkat
sel tunggal.
Umumnya
gen GFP yang digunakan yaitu EGFP yang disolasi dari ubur-ubur (Aequorea
Victoria). Akan tetapi pada tahun 2001, Felts dan kolega telah berhasil
mengisolasi gen hrGFP yang berasal dari Anthozoa (soft coral) jenis Renilia
reniformis.Lebih lanjut dilaporkan gen hrGFP mempunyai karakteristik tertentu
yang lebih unggul dari gen EGFP sebagai marker biologi, yaitu memiliki
intensitas fluoresens lebih tinggi dan lebih konsisten,memiliki tingkat
sitotoksisitas yang lebih rendah, memiliki kisaran stabilitas pH yang lebih
luas, serta lebih resisten dengan
pelarut organik,detergen,dan protease. Felts et al.(2001) menyatakan
bahwa gen hrGFP menjadi lebih ramah dengan mengubah satu atau lebih kodon yang
tidak sesuai menjadi susunan kodon yang cocok untuk sel manusia.Gen GFP hasil
modifikasi tersebut dinamakan humanized hrGFP.
BAB
III
ANALISIS
SINTESIS
3.1.
Uji
PCR embrio ikan Nila merah transgenesis
Total RNA akan diekstraksi dari 20
butir telur pada saat sekitar 10 jam setelah diinjeksi dengan konstruksi gen.
RNA akan diekstraksi menggunakan ISOGEN. Kontaminasi DNA yang ada akan
didegradasi menggunakan DNase RQ1 RNase-free ( Promega, USA ). Setelah
perlakuan phenol-chloroform dan ethanol, pellet RNA akan di larutkan dengan air
yang mengandung diethylpyrocarbonate (air-DEPC). cDNA akan disintesa dari 2-3
µg RNA total menggunakan Ready-to-go you-Prime First-Strand Beads (Amersham
Parmhacia Biotech, USA) dengan primer dT. PCR akan di lakukan dengan volume
reaksi 10 µl yang mengandung 10x buffer
Ex Taq, 1 µM DntpS, 0.25 of polymerase Ex
Taq (Takara,Japan), 1µl cDNA dan 1 jumlah siklus PCR yang digunakan adalah
22, 24 dan 28 siklus. Tingkat ekspresi gen β-Actin juga akan dianalisa sebagai
control internal kesamaan konsentrasi RNA yang digunakan dalam sintesa cDNA.
Dan µl hasil PCR akan dielektroforesis menggunakan 0.7% gel agarosa,distaining
dengan etinium bromida, dan difoto dengan kamera digital dalam kondisi disinari
dengan cahaya ultraviolet. Tingkat intensitas setiap pita DNA akan
dikuantifikasi menggunakan desintrograph (Atto Co.itd.,Japan).
3.2.
Pembuatan Konstruksi Gen GH
Untuk
Konstruksi gen GH yang digunakan para peneliti seperti Alimuddin (2007) dan
Kobayasi et al. 2007 yaitu promoter
yang di kontrol oleh prometer GH dari ikan medaka dan ikan nila. Konstruksi gen GH dengan prometer GH telah
digunakan oleh Kobayasi dari Jepang. Sementara itu konstruksi gen GH dengan
prometer all-nila dengan gen GH ikan nila telah diaplikasikan oleh Alimuddin
(2007).
3.3.
Produksi
ikan transgenik keturunan nol
Ikan nila merah transgenik keturunan pertama
(FO) akan diproduksi menggunakan metode mikroinjeksi. Dengan konsentrasi gen
yang akan digunakan, embrio yang telah disuntik akan diinkubasi dalam saringan
datar yang disimpan dalam akuarium yang diberi aerasi kuat. Larva yang telah
menetas akan dipelihara di akuarim dan diberi pakan komersial dengan ukuran yan
sesuai dengan bukaan mulut hingga fingerling. Ikan yang hidup akan diseleksi
dengan metode PCR dengan cetakan DNA genomik yang akan diekstraksi dari ikan
Nila itu sendiri. Isolasi DNA genomik akan dilakukan menggunakan DNA Purification Kit (Purege,
Minneapolis, USA) dengan prosedur sesuai manual.
Ikan
yang membawa transgen akan dipelihara di bak beton hingga matang gonad. Karena
ikan FO bersifat mosaik, maka tidak semua ikan yang membawa transgen di
siripnya juga membawa transgen dalam gonadnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan
identifikasi individu ikan yang membawa
transgen digonadnya. DNA genomik akan dieksraksi dari gonad dan digunakan untuk
proses ampilifikasi PCR. Individu ikan yang membawa transgen di gonad akan
disilangkan dengan ikan normal bukan transgen untuk membuat ikan transgenik keturunan pertama
(F1) pada tahun kedua.
3.4. Isolasi DNA GH Ikan nila
DNA GH ikan nila diisolasi menggunakan
metode PCR dengan primer yang didesain berdasarkan database yang ada di bank
gen. Reaksi PCR yang digunakan, yaitu dengan volume 10 µL yang engandung 1 µL
LA Buffer; 1 µL dNTPs mix; 1µL DNA genomik hasil pengenceran 10 kali dan
sisanya adalah air steril hasil destilasi (SDW). Amplifikasi PCR dilakukan
dengan program: 1 siklus pada suhu 94o C selama 3 menit; 5 siklus
pada suhu 94o C selama 30 detik dan 62oC selama 3 menit;
30 siklus pada suhu 94o C selama 30 detik, 58oC selama 30
detik dan 72oC selama 3 menit;serta 1 siklus pada suhu 72oC
selama 3 menit. Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan dengan
elektroforesis menggunakan gel agarosa 0,7%. Produk PCR kedua. Program PCR
kedua sama dengan yang pertama. Fragmen DNA hasil amplifikasi PCR diisolasi
dari gel menggunakan kit purifikasi DNA (MoBio Laboratories, CA, USA) sesuai
instruksi dimanualnya. Fragmen hasil purifikasi dari
gel diligasi dengan vector kloning Promega, WI, USA. Sebanyak 6.5 µL hasil
reaksi ligasi dicampur ke dalam tabung mikro berisi sel kompeten. Transformasi
dilakukan menggunakan kejutan panas pada suhu 42oC selama 45 detik.
Sekitar 2-3 menit setelah diinkubasi dalam es, ke dalam tabung mikro
ditambahkan 900 µL larutan SOC. Larutan SOC mengandung 1,2 g polypeptone; 0,3
gyeast extract; 0,035 g NaCI; 0,011 g KCI; 600 µL MgCI2 1 M; 600 µL
MgSO4 1 M dan 60 µLglucose 2M dalam 60 mL SDW. Selanjutnya inkubasi
dilakukan menggunakan shaker pada suhu 37oC selama 1 jam. Bakteri
disebar di atas cawan agarose 2xYT (1,6% polypeptone, 1% yeast extract, 0,5%
NaCI dan 1,5 % agarosa dalam SDW) yang mengandung ampisilin, IPTG dan X-gal
(disingkat menjadi 2xYT-A,I,X). Cawan agarosa berisi bakteri diinkubasi pada
suhu 37oC selam sekitar 14 jam.
Isolasi
DNA GH dilakukan menggunakan kit FlexiPrep (Amersham Biosciences NJ, USA)
dengan prosedur sesuai manual. Plasmid DNA hasil isolasi dilarutkan menggunakan
SDW sebanyak 50 µL. Setelah divorteks, tabung mikro berisi plasmid tersebut
dibiarkan selama 5 menit di suhu ruang. Kemudian dilakukan sentrifus pada suhu
ruang dengan kecepatan 13.000 rpm selama 1-2 menit. Supernatant yang terbentuk
yang berisi plasmid DNA dipindahkan ke tabung mikro yang baru. Sebanyak 2 µL
hasil isolasi plasmid digunakan untuk mengukur konsentrasinya menggunakan mesin
RNA/DNA quant. Hasil pengukuran konsentrasi DNA plasmid ditunjukkan pada Table
1. Di bawah ini:
Tabel
1. Nilai absorbansi pada 260 dan 280 nm, rasio 260/280 dan konsentrasi DNA
No. Sampel
|
Abs-260
|
Abs-280
|
Rasio 260/280
|
Konsentrasi
DNA(ng/µL)
|
4
|
0,150
|
0,092
|
1,674
|
288
|
5
|
0,139
|
0,089
|
1,599
|
264
|
7
|
0,104
|
0,074
|
1,735
|
140
|
10
|
0,179
|
0,118
|
1,565
|
340
|
Volume reaksi amplifikasi PCR
untuk sekuensing adalah sebanyak 20 µL Ready Reaction Mix; 3 µL BigDye buffer;
6,4 µL “primer” dengan konsentari 10 pmol; 300 ngDNA dan sisanya adalah SDW.
Program PCR yang digunakan yaitu 1 siklus pada suhu 96oC selama 2 menit,
dan 30 siklus dengan suhu 96oC selama 10 detik, 55oC
selama 5 detik dan 60oC selama 3 menit. Sekuensing DNA dilakukan
menggunakan mesin ABI PRISM 3100-Avant Genetic Analyzer. Analisa sekuens
menggunakan software GENETYX versi 7 dan TFBind.
Konstruksi gen GH
dimikroinjeksi ke embrio ikan zebra (Danio
rerio) fase satu sel untuk menguji aktifitas promoter tiBA ikan nila hasil
isolasi. Ikan zebra digunakan sebagai model karena telur ikan ini transparan
sehingga memudahkan pengamatan ekspresi gen GFP. Metode mikroinjeksi mengikuti
teknik Alimuddin et’al. (2005)7.
Aktifitas promoter β-aktin ikan kerapu bebek diketahui dengan cara
mengamati ekspresi gen EGFP menggunakan mikroskop fluoresens setelah larva
menetas.
Ekspresi
gen GH pada larva terlihat seperti tambalan (patchy) dan beberapa sel dengan ekspresi tinggi, sementara yang
lainnya lemah atau tidak mengekspresikan transgen. Kondisi seperti ini disebut
mosaic dan hal ini umumnya ditemukan pada embrio ikan hasil mikroinjeksi
(Maclean et al., 1996)8.
Tingkat ekspresi gen biasanya berhubungan erat dengan jumlah copy transgen yang
terdapat pada setiap sel (Rahman et al., 2000)9.
Dengan demikian variasi tingkat ekspresi gen GH antar sel dan larva diduga
merupakan akibat dari perbedaan jumlah copy transgen. Dengan menggunakan
sekuens regulator yang bersifat ubiquitous,
variasi tempat ekspresi juga telah dilaporkan pada ikan medaka (Tsai et al., 1995)10. Ekspresi
transgen akan terlihat pada semua jaringan otot ikan transgenic pada generasi
pertama dan seterusnya.
Fragmen
DNA GH ikan nila menyediakan tempat bagi ligasi fragmen promoter β-actin ikan
nila. DNA GH dibuat dengan cara sebagai berikut: (1) vector didigesti atau
dipotong dengan enzim retriksi untuk
membuang gen EGFP ; (2) vector yang mengandung fragmen GH ikan nila disambungkan dengan fragmen all-nila yang tidak memiliki gen
penyandi, menggunakan enzim ligase.
Reaksi
dan program amplifikasi PCR seperti dijelaskan sebelumnya. Hasil amplifikasi
diligasi dengan vector DNA GH. Setelah disolasi, selanjutnya DNA GH dipotong
menggunakan enzim restriksi. Selanjutnya elektroforesis hasil seleksi
dipetakan, lalu transformasikan.
3.5.
Produksi
ikan transgenic F0
Produksi ikan transgenic keturunan nol (F0),
telah di lakukan oleh Alimuddin dan Kobayasi (1999) dan Alimuddin (2007)
melalui metode mikroinjeksi. Di antara embri-embrio hasil mikroinjeksi
tersebut, yang menetas adalah sebanyak 42 butir dari 1021 embrio, sementara
yang hidup hingga saat ini adalah 35 ekor. Embrio yang berhasil menetas setelah
di mikroinjeksi dengan konstruksigen linier adalah yang dari 3 hari kegiatan
penyuntikan terakhir dengan jumlah embrio yang di mikroinjeksi sebanyak 490
embrio.
Pada awal kegiatan mikroinjeksi, embrio tidak
ada yang menetas diduga karena salah satu dari game (telur atau sperma) tidak
bagus. Untuk mengatasi masalah ini, telah di lakukan beberapa pendekatan.
Pendekatan pertama adalah perangsangan ovulasi dengan cara menyuntikkan ovaprim
0,5 ml/kg. ovaprim merupakan merek produk yang di dalamnya mengandung hormone
LHRH-a. Namun demikian, hal ini belum juga mengatasipermasalahan. Pendekatan
kedua adalah induk ikan di biarkan memijah alami dan setelah terjadi pelepasan
telur oleh induk betina sebanyak 2-3 kali pelepasan, kedua induk ikan di
tangkap dan perutnya di urut/distripping untuk mengeluarkan gametnya. Telur
dari mulut induk betina dan yang dari hasil stripping di gunakan untuk
mikroinjeksi. Dengan menggunakan cara ini; embrio berhasil menetas setelah di
mikroinjeksi. Selanjutnya embrio yang telah disuntik diinkubasi di akuarium
incubator. Sekitar 4 hari setelah
menetas larva diberi makan naupli Artemia
selama 3-4 hari pemeliharaan.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
1. Fragmen
cDNA GH ikan nila merah dapat
menyandikan 205 asam amino
2. Protein
deduksi cDNA GH ikan nila merah mempunyai domain konservatif .
3. Primer
untuk DNA GH dapat aktif pada ikan Nila merah dan mampu mengendalikan ekspresi
gen GH pada stadium embrio dan stadium larva.
4.2.
Saran
1. cDNA
GH yang telah diisolasi dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk
mengetahui struktur genom gen GH dan karakter ekspresinya pada ikan nila merah.
2. cDNA
GH dapat digunakan dalam manipulasi pertumbuhan ikan dengan modifikasi asam
nukleat pada ikan nila merah.
DAFTAR
PUSTAKA
Fjaslasted,
K.T., Moen, T.,Gomez-Raya, L.2003. Prospects for genetic technology in salmon
breeding programmes Aquac. Res., 34’397-406
McLean,
E. and Devlin, R.H. 2000. Application of biotechnology to enkhance growth of
salmonids and other fish. In: Fingerman, M., Nagabhusnam, R., Thompson,M.-F. (Eds), RecentAdvancess in Marine
Biotechnology. Science Publisher, Enfield, NH, USA, pp. 17-55.
Devlin,
R.H., Yesaki., Biagi, C.A., Donaldson,E.M.,Swanson,P.,and Chan, W.K. 1994.
Extraordinary salmon growth. Nature,
371:209-210.
Nam,
Y.K.,J.K.,Cho, H.J., Cho, K.N., Kim, C.G., and Kim, D.S. 2001. Dramatically
accelerated growth and extraordinary gigantism.’transgenic mud loach Misgunus mizolepis. Transgenic Res., 10:353-362
Kobayashi,
S.I., Alimuddin, Morita T.,Miwa M., Lu J., Endo M., Takeuchi T., and Yoshizaki
G. 2007. Transgenic Nile tilapia (Oreochromis
niloticus) over-expressing growth hormone show reduced exretion. Aquaculture, 270: 427-435.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar