Menjajal Komunisme dalam Kurikulum
Saya sebenarnya bertanya-tanya ketika
membuat tulisan ini. Apa motivasi dasar panitia menyodorkan tema tentang
kemungkinan idiologi komunisme dalam kurikulum pendidikan. Jangan-jangan tema
ini diangkat karena sedang terjadi ephoria isu yang dilontarkan oleh Gus Dur
itu. Atau karena sedang maraknya kajian dan terbitan perihal marxisme atau
sosialisme dengan segala derivasinya. Namun apapun dasar pemikirannya, tema ini
sangat menarik untuk didiskusikan.
Pendidikan
dan Orientasi Kelas
Berbicara tentang kurikulum tentu kita
akan berbicara tentang sistem pendidikan. Keduanya memiliki hubungan yang erat
ibarat kulit dan isi sebuah apel. Bila kita cermati, sebenarnya bukan sistem
atau klurikulum yang menjadi dasar pijakan sebuah pendidikan di sebuah
masyarakat. Sistem dan kurikulum pendidikan pada dasarnya sebuah upaya mencapai tujuan atau kepentingan
tertentu dengan cara mencetak manusia-manusia yang cerdas, terampil, dan
tangguh. Kepetingan yang mana dan milik siapa adalah sebuah pertanyaan mendasar
yang perlu dijawab untuk menentukan sebuah system pendidikan dan kurikulum
pendidikan. Pada tataran individu, ketika seseorang mengenyam pendidikan mulai
dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi tampak dia sedang mengejar
cita-citanya, atau setidaknya sedang mempersiapkan diri untuk mempersiapkan
sebuah masa depan yang cemerlang. Artinya, dia sedang mencoba memenuhi tuntutan
kepetingan individualnya.
Kehadiran dan keterlibatan dia dalam
system pendidikan, dan menerima semua kurikulum, menempatkan dirinya sendiri
dalam sebuah kepentingan yang lebih besar, dan sangat besar. Dia tidak bisa
lepas dari jeratan kepentingan tersebut. Sebuah kepentingan yang tidak terlepas
dari sebuah system ekonomi politik yang sedang berlangsung, baik secara local,
nasional, maupun internasional. Sebuah kepentingan menciptakan system, aturan
dan logika tersendiri. Kepentingan yang dimiliki dan hanya berputar pada
minoritas dominan tertentu dalam masyarakat, baik local maupun dunia.
Kepentingan itu bernama kapitalisme dengan system-sistemnya. Dan dunia
pendidikan salah satu penopang keberlangsungan kepetingan itu sendiri.
Terhadap dunia pendidikan, termasuk system
dan kurikulumnya, orang berbeda-beda memandangnya. Orang yang menganggap dia
mengjar cita-cita atau meraih masa depan yang lebih baik dengan menumpukan
orientasi hidupnya pada apa yang akan dikerjakan setelah lulus, disatu pihak,
dan sebuah kepentingan minoritas dominan yang selalu menciptakan ketergantungan
ekonomi politik guna menjaga keberlangsungan akumulasi modalnya, di lain pihak.
Disadari atau tidak secara ekonomi politik, kelompok yang pertama selalu
bergantung pada kelompok yang kedua. Ketergantungan ini kemudian melahirkan
system social kemasyarakatan yang timpang, dominatif, eksploitatif dan tidak
jarang represif. Yang terpenting dari dua hal itu bagi kita adalah untuk
kelompok yang mana pendidikan diperuntukkan. Inilah yang disebut orientasi
kelas.
Maka kita harus membedah kelas-kelas
sosial dalam masyarakat. Keberadaan sebuah kelas dalam masyarakat ditentukan
oleh posisi dan hubungan seseorang terhadap alat-alat produksi. Posisi
seseorang itu berupa memiliki atau tidak memiliki terhadap alat produksi
seperti pabrik, tanah, alat transportasi dan lainnya. Pola hubungan yang
terjadi kemudian, sebagai akibat kepemilikan pribadi, sang pemilik alat
produksinya mengeksploitasi, memeras, dan menindas para kaum mayoritas yang
tidak memiliki alat produksi. Dari posisi dan hubungan terhadap alat produksi
inilah masyarakat terbagi menjadi dua: kelas fundamental dan kelas
non-fundamental. Kelas fundamental itu sendiri masih terbagi dalam dua kelas;
penindas dan tertindas. Semantara klas non-fundamental terdiri dari copet,
lumpen, pengangguran, dan sebagainya yang tidak terkait dengan alat-alat
produksi. Dan dalam kerangka orientasi kelas inilah kemudian pendidikan
dirumuskan.
Memang
kita perlu mendapat pekerjaan untuk makan. Tidak salah kemudian ketika ada
lembaga pendidikan yang lembaga yang berorientasi untuk mencetak
sekerup-sekerup kapitalisme seperti Sekolah Kejuruan, LPK, Jurusan atau program
studi di perguruan tinggi. Yang salah kemudian adalah adanya ‘pemutusan’ yang
sengaja diciptakan bahwa perdidikan adalah sebuah usaha membebaskan manusia
dari segala kebodohan, kesploitasi dan penindasan. Pendidikan adalah hal yang
terpisah dalam kaitannya untuk menggugat kapitalisme, mempertanyakan Tuhan, dan
menguji komunisme dan segala bentuk pencarian lain secara ilmiah. Pendidikan
adalah hal yang tidak terpisahkan dengan praktek-praktek idiologi, social,
ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pendidikan dan kurikulum yang selama ini kita
enyam adalah pendidikan yang diputuskan secara sengaja dengan praktek-praktek
semacam itu. Dalam kehidupan kemahasiswaan, NKK/BKK adalah contoh kongkrit
pemutusan tersebut.
Pendidikan yang kita butuhkan bukan
pendidikan yang berhenti pada tujuan link and match semata. Tetapi
pendidikan yang juga pro rakyat, pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang
membela kepentingan rakyat yang tertindas. Sebuah pendidikan yang mampu
melahirkan cendikia yang berkepedulian social dan idiologis, seperti mahasiswa
sangat peduli dengan penindasan dan eksploitasi yang dialami kaum buruh dan
petani. Pendidikan seperti ini terlihat jelas dalam kurikulum dan
praktek-prakteknya
Perlu sebuah gerakan-gerakan kongkrit,
politis, teroganisir untuk merubah sistem pendidikan yang ada sekarang ini
secara fundamental. Kalau perubahannya hanya di seputar kurikulum, yang akan
terjadi hanya sebuah kebijakan tambal sulam dalam pendidikan. Kurikulum
hanyalah sebuah ‘akibat’ dari paradigma atau idiologi pendidikan itu sendiri.
Kurikulum hanya ‘dampak’ dari orientasi untuk kepentingan siapa pendidikan
diberikan. Sementara yang diperlukan adalah perubahan idiologi dan paradigma
pendidikan. Perubahan orientasi inilah
yang akan ‘menyambung’ kembali kurikulum dan sistem pendidikan link and
match dengan kondisi ekonomi politik yang sengaja diputus oleh kapitalis
melalui negara sebagai mitra sejatinya.
Sebuah
Tuntutan Demokrasi
Kondisi
di Indonesia saat ini, pengajaran formal tentang komunisme akan menemui banyak
kerikil mengingat masih terpasungnya demokrasi dengan TAP MPRS no. XXV/
MPRS/1966. Memang, seharusnyalah TAP tersebut dicabut karena pencabutan
tersebut merupakan sebuah tututan demokrasi.
Ada beberapa alasan kenapa kita harus
mencabut TAP itu. Pertama, dari segi perundang-undangan, TAP tersebut
melampai UUD 1945 Pasal 29 yang menyebutkan negara menjamin kebebasan bagi
warga negaranya untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Tidak
ada satupun kalimat yang mendistorsi arti kebebasan tersebut. Siapapun di
negeri ini bisa menganut ideologi dan paham apapun dan bebas mengutarakannya
kepada publik baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Dan semua kegiatan yang
berusaha membatasinya berarti menentang eksistensi Pasal 29 UUD 1945 itu.
Beberapa waktu yang lalu, kita menganggap kebijakan
Rezim Orde Baru yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap
organisasi politik dan kemasyarakatan bertentangan dengan semangat demokrasi
dan HAM yang terkandung dalam Pasal 29 itu. Bukan sekedar ideologi nasionalisme
dan sosialisme saja yang merasa terancam eksistensinya karena kebijakan ini,
tapi juga berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan yang menjadikan Islam
sebagai asas juga merasa demikian. Oleh karena itu, sepanjang pelaksanaan
kebijakan itu semua kekuatan politik dalam masyarakat bersama-sama menolaknya.
Bagaimana dengan Tap MPRS yang melarang
eksistensi PKI dan penyebaran komunisme di Indonesia? Secara esensial, telah
terjadi pelanggaran/pembatasan ideologi dan kebebasan politik bagi penganut
paham komunisme. TAP itu juga bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945. Dan karena
alasan inilah sebenarnya Soekarno tidak mau membubarkan PKI ketika dituntut
oleh KAMI. Lalu, demokrasi semacam apa yang kita inginkan? Demokrasi Terpimpin
yang dijalankan Soekarno kita anggap sebagai diktator dengan demokrasi,
kemudian kita juga menolak Demokrasi Pancasila karena membunuh demokrasi itu
sendiri. Sekarang, apakah kita menginginkan demokrasi yang berat sebelah?
Kedua,
Tap MPRS tersebut juga melanggar Deklarasi Umum HAM PBB terutama article XIX
yang menjunjung tinggi arti kemerdekaan mengemukakan pikiran dan pendapat.
Ketiga,
segi contens, alasan yang dikemukakan dalam TAP tersebut juga sama
sekali tidak benar. Alasan pembubaran dan pelarangan PKI karena melakukan
pemberontakan G30-S/PKI sebagaimana dinyatakan dalam TAP tersebut salah.
Menurut bukti-bukti yang banyak ditemukan maupun dalam penelitian sejarah yang
dilakukan para pakar tidak ditemukan unsur pemberontakan yang dilakukan PKI sebagaimana
yang dituduhkan Orde Baru. Justru yang terjadi sebaliknya, telah terjadi
manipulasi sejarah yang cukup besar dalam proses dan pelanggaran HAM serius,
membangun upaya menegakkan kekuasaan politik Orde Baru, seperti yang dinyatakan
oleh Ben Anderson maupun Amnesti Internasional. Bahkan, lebih jauh lagi bisa
dikatakan bahwa sesungguhnya peristiwa tersebut merupakan aksi kudeta yang
dilakukan oleh perwira-perwira Angkatan Darat terhadap Soekarno.
Jikapun, terjadi pemberontakan seperti
yang dilakukan oleh DI/TII dan PRRI-PERMESTA dimasa yang lalu atau GAM dan OPM
di masa sekarang maka tidak otomatis akan mempunyai dampak pada pelarangan
terhadap ideologinya maupun organisasinya. Semua orang yang terlibat dalam
pemberontakan bisa diajukan ke pengadilan untuk mengukur sejauh mana
keterlibatannya dalam pemberontakan untuk selanjutnya diganjar hukuman yang
setimpal. Kalau kita bicara ideologi, maka bisa dikatakan semua ideologi
berpotensi untuk menjadi spirit pemberontakan. Nasionalisme di Indonesia di
masanya telah menjadi energi yang menggerakkan untuk mengusir Belanda dari bumi
pertiwi. Selain di Indonesia, Islam juga menjadi spirit pemberontakan di
negara-negara Timut Tengah, bahkan terhadap sesama Islam selama bertahun-tahun.
Apakah dengan demikian maka juga akan dilarang keberadaan ideology tersebut?
Sementara itu, organisasinya bisa tetap
berdiri dan para pengikut organisasi itu–yang tidak terlibat dalam
pemberontakan—dapat meneruskan eksistensi organisasi itu. Kita tidak perlu
melarang organisasi-organisasi yang membela Orde Baru karena kejahatan yang
dilakukan oleh Orde Baru, tapi cukup dengan mengajukan orang-orang yang
terlibat secara langsung dalam proses kejahatan yang dilakukan.
Berdasarkan pada tiga hal diatas maka TAP
tersebut sebenarnya batal dengan sendirinya. Maka usaha-usaha untuk
mempertahankannya jelas bertentangan dengan demokrasi dan HAM, dan dapat diduga
kelompok tertentu memiliki motivasi ekonomi politik yang akan merugikan mereka
jika TAP tersebut dicabut.
Dimanakah Marxisme akan dikaji?
Walaupun adanya TAP MPRS itu anti
demokrasi, saat ini mengajukan dan meneriakkan usulan tersebut secara terbuka
tampak tidak taktis. Karena hal tersebut akan mendapatkan reaksi dari kalangan
sipil tertentu. Yang bisa saja nantinya akan berdampak negatif dengan timbulnya
konflik horisontal antar sipil. Kondisi yang terjadi karena, pertama, adanya
sebuah peristiwa traumatik tahun 1965-1966. Peristiwa selalu selalu menjadi
momok yang menakut dan ketakutan masyrakat selalu direproduksi terus menerus
melalui fiksi, sejarah yang diselewengkan, dan bahkan represi militeristik.
Kedua, belum adanya sejarah yang cukup proporsional, ilmiah dan objektif dalam
melihat gelapnya peristiwa 1965-1966. Sampai
saat ini pun kita menjadi bertanya-tanya benarkah pendidikan sejarah yang kita
dapat di bangku pendidikan formal adalah benar-benar sebuah sejarah bangsa ini.
Sejarah suatu bangsa seringkali adalah apa yang diinginkan oleh penguasa.
Ketiga, minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang sosialisme atau
komunisme itu sendiri. Orang seringkali menganggap bahwa komunisme menjadikan
agama sebagai musuh abadinya. Padahal yang dilawan sosialisme atau komunisme
adalah sistem atau tatanan masyarakat yang kapitalistik.
Yang
perlu kita kembangkan sekarang adalah meliberalkan bahan bacaan bagi rakyat
berkaitang tentang sejarah masyarakat Indonesia terutama berkaitan sejarah
tergelap seputar tahun ‘65-‘66. Tentu saja diikuti dengan literature tentang
komunisme atau sosialisme dengan berbagai derivasinya. Biarkan rakyat tahu dan
paham betul dengan sejarah bangsa yang terjadi, tentang Marx, Lenin, Teologi
Pembebasan, Sosialisme religius, Kiri Islam, dan bacaan yang lainnya. Setelah
rakyat paham betul tentang semua itu, barulah rakyat bersikap dan memutuskan
tentang TAP yang anti demokrasi itu. Bukankah untuk mendapatkan semua literatur
itu sangatlah mudah dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi mutakhir,
internet misalnya. Atau penerbitan buku-buku teori kiri yang kian menjamur saat
ini. Atau bukankah mahasiswa di kampus-kampus telah mulai mengkaji teori
revolusioner itu dalam merumuskan gerakannya.
Namun jangan sampai kajian tentang marxisme itu hanya
berputar-putar pada diskusi. Sebab hal demikian hanya akan melahirkan kaum
marxian atau kaum marxis legal ketika masa Lenin sedang bergerak. Yang perlu
dingat adalah ungkapan Marx bahwa teorinya adalah teori yang harus
dipraktekkan.
Gandok, 16-05-2000
Oleh
M. Ihsan Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar