Senin, 01 Oktober 2012

Menjajal Komunisme dalam Kurikulum

Menjajal Komunisme dalam Kurikulum

Saya sebenarnya bertanya-tanya ketika membuat tulisan ini. Apa motivasi dasar panitia menyodorkan tema tentang kemungkinan idiologi komunisme dalam kurikulum pendidikan. Jangan-jangan tema ini diangkat karena sedang terjadi ephoria isu yang dilontarkan oleh Gus Dur itu. Atau karena sedang maraknya kajian dan terbitan perihal marxisme atau sosialisme dengan segala derivasinya. Namun apapun dasar pemikirannya, tema ini sangat menarik untuk didiskusikan.

Pendidikan dan Orientasi Kelas

Berbicara tentang kurikulum tentu kita akan berbicara tentang sistem pendidikan. Keduanya memiliki hubungan yang erat ibarat kulit dan isi sebuah apel. Bila kita cermati, sebenarnya bukan sistem atau klurikulum yang menjadi dasar pijakan sebuah pendidikan di sebuah masyarakat. Sistem dan kurikulum pendidikan pada dasarnya  sebuah upaya mencapai tujuan atau kepentingan tertentu dengan cara mencetak manusia-manusia yang cerdas, terampil, dan tangguh. Kepetingan yang mana dan milik siapa adalah sebuah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab untuk menentukan sebuah system pendidikan dan kurikulum pendidikan. Pada tataran individu, ketika seseorang mengenyam pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi tampak dia sedang mengejar cita-citanya, atau setidaknya sedang mempersiapkan diri untuk mempersiapkan sebuah masa depan yang cemerlang. Artinya, dia sedang mencoba memenuhi tuntutan kepetingan individualnya.
Kehadiran dan keterlibatan dia dalam system pendidikan, dan menerima semua kurikulum, menempatkan dirinya sendiri dalam sebuah kepentingan yang lebih besar, dan sangat besar. Dia tidak bisa lepas dari jeratan kepentingan tersebut. Sebuah kepentingan yang tidak terlepas dari sebuah system ekonomi politik yang sedang berlangsung, baik secara local, nasional, maupun internasional. Sebuah kepentingan menciptakan system, aturan dan logika tersendiri. Kepentingan yang dimiliki dan hanya berputar pada minoritas dominan tertentu dalam masyarakat, baik local maupun dunia. Kepentingan itu bernama kapitalisme dengan system-sistemnya. Dan dunia pendidikan salah satu penopang keberlangsungan kepetingan itu sendiri.
Terhadap dunia pendidikan, termasuk system dan kurikulumnya, orang berbeda-beda memandangnya. Orang yang menganggap dia mengjar cita-cita atau meraih masa depan yang lebih baik dengan menumpukan orientasi hidupnya pada apa yang akan dikerjakan setelah lulus, disatu pihak, dan sebuah kepentingan minoritas dominan yang selalu menciptakan ketergantungan ekonomi politik guna menjaga keberlangsungan akumulasi modalnya, di lain pihak. Disadari atau tidak secara ekonomi politik, kelompok yang pertama selalu bergantung pada kelompok yang kedua. Ketergantungan ini kemudian melahirkan system social kemasyarakatan yang timpang, dominatif, eksploitatif dan tidak jarang represif. Yang terpenting dari dua hal itu bagi kita adalah untuk kelompok yang mana pendidikan diperuntukkan. Inilah yang disebut orientasi kelas.
Maka kita harus membedah kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Keberadaan sebuah kelas dalam masyarakat ditentukan oleh posisi dan hubungan seseorang terhadap alat-alat produksi. Posisi seseorang itu berupa memiliki atau tidak memiliki terhadap alat produksi seperti pabrik, tanah, alat transportasi dan lainnya. Pola hubungan yang terjadi kemudian, sebagai akibat kepemilikan pribadi, sang pemilik alat produksinya mengeksploitasi, memeras, dan menindas para kaum mayoritas yang tidak memiliki alat produksi. Dari posisi dan hubungan terhadap alat produksi inilah masyarakat terbagi menjadi dua: kelas fundamental dan kelas non-fundamental. Kelas fundamental itu sendiri masih terbagi dalam dua kelas; penindas dan tertindas. Semantara klas non-fundamental terdiri dari copet, lumpen, pengangguran, dan sebagainya yang tidak terkait dengan alat-alat produksi. Dan dalam kerangka orientasi kelas inilah kemudian pendidikan dirumuskan.
Memang kita perlu mendapat pekerjaan untuk makan. Tidak salah kemudian ketika ada lembaga pendidikan yang lembaga yang berorientasi untuk mencetak sekerup-sekerup kapitalisme seperti Sekolah Kejuruan, LPK, Jurusan atau program studi di perguruan tinggi. Yang salah kemudian adalah adanya ‘pemutusan’ yang sengaja diciptakan bahwa perdidikan adalah sebuah usaha membebaskan manusia dari segala kebodohan, kesploitasi dan penindasan. Pendidikan adalah hal yang terpisah dalam kaitannya untuk menggugat kapitalisme, mempertanyakan Tuhan, dan menguji komunisme dan segala bentuk pencarian lain secara ilmiah. Pendidikan adalah hal yang tidak terpisahkan dengan praktek-praktek idiologi, social, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pendidikan dan kurikulum yang selama ini kita enyam adalah pendidikan yang diputuskan secara sengaja dengan praktek-praktek semacam itu. Dalam kehidupan kemahasiswaan, NKK/BKK adalah contoh kongkrit pemutusan tersebut.
Pendidikan yang kita butuhkan bukan pendidikan yang berhenti pada tujuan link and match semata. Tetapi pendidikan yang juga pro rakyat, pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membela kepentingan rakyat yang tertindas. Sebuah pendidikan yang mampu melahirkan cendikia yang berkepedulian social dan idiologis, seperti mahasiswa sangat peduli dengan penindasan dan eksploitasi yang dialami kaum buruh dan petani. Pendidikan seperti ini terlihat jelas dalam kurikulum dan praktek-prakteknya
Perlu sebuah gerakan-gerakan kongkrit, politis, teroganisir untuk merubah sistem pendidikan yang ada sekarang ini secara fundamental. Kalau perubahannya hanya di seputar kurikulum, yang akan terjadi hanya sebuah kebijakan tambal sulam dalam pendidikan. Kurikulum hanyalah sebuah ‘akibat’ dari paradigma atau idiologi pendidikan itu sendiri. Kurikulum hanya ‘dampak’ dari orientasi untuk kepentingan siapa pendidikan diberikan. Sementara yang diperlukan adalah perubahan idiologi dan paradigma pendidikan.  Perubahan orientasi inilah yang akan ‘menyambung’ kembali kurikulum dan sistem pendidikan link and match dengan kondisi ekonomi politik yang sengaja diputus oleh kapitalis melalui negara sebagai mitra sejatinya.

Sebuah Tuntutan Demokrasi
Kondisi di Indonesia saat ini, pengajaran formal tentang komunisme akan menemui banyak kerikil mengingat masih terpasungnya demokrasi dengan TAP MPRS no. XXV/ MPRS/1966. Memang, seharusnyalah TAP tersebut dicabut karena pencabutan tersebut merupakan sebuah tututan demokrasi.
Ada beberapa alasan kenapa kita harus mencabut TAP itu. Pertama, dari segi perundang-undangan, TAP tersebut melampai UUD 1945 Pasal 29 yang menyebutkan negara menjamin kebebasan bagi warga negaranya untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Tidak ada satupun kalimat yang mendistorsi arti kebebasan tersebut. Siapapun di negeri ini bisa menganut ideologi dan paham apapun dan bebas mengutarakannya kepada publik baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Dan semua kegiatan yang berusaha membatasinya berarti menentang eksistensi Pasal 29 UUD 1945 itu.
Beberapa waktu yang lalu, kita menganggap kebijakan Rezim Orde Baru yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi setiap organisasi politik dan kemasyarakatan bertentangan dengan semangat demokrasi dan HAM yang terkandung dalam Pasal 29 itu. Bukan sekedar ideologi nasionalisme dan sosialisme saja yang merasa terancam eksistensinya karena kebijakan ini, tapi juga berbagai organisasi politik dan kemasyarakatan yang menjadikan Islam sebagai asas juga merasa demikian. Oleh karena itu, sepanjang pelaksanaan kebijakan itu semua kekuatan politik dalam masyarakat bersama-sama menolaknya.
Bagaimana dengan Tap MPRS yang melarang eksistensi PKI dan penyebaran komunisme di Indonesia? Secara esensial, telah terjadi pelanggaran/pembatasan ideologi dan kebebasan politik bagi penganut paham komunisme. TAP itu juga bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945. Dan karena alasan inilah sebenarnya Soekarno tidak mau membubarkan PKI ketika dituntut oleh KAMI. Lalu, demokrasi semacam apa yang kita inginkan? Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Soekarno kita anggap sebagai diktator dengan demokrasi, kemudian kita juga menolak Demokrasi Pancasila karena membunuh demokrasi itu sendiri. Sekarang, apakah kita menginginkan demokrasi yang berat sebelah?
Kedua, Tap MPRS tersebut juga melanggar Deklarasi Umum HAM PBB terutama article XIX yang menjunjung tinggi arti kemerdekaan mengemukakan pikiran dan pendapat.
Ketiga, segi contens, alasan yang dikemukakan dalam TAP tersebut juga sama sekali tidak benar. Alasan pembubaran dan pelarangan PKI karena melakukan pemberontakan G30-S/PKI sebagaimana dinyatakan dalam TAP tersebut salah. Menurut bukti-bukti yang banyak ditemukan maupun dalam penelitian sejarah yang dilakukan para pakar tidak ditemukan unsur pemberontakan yang dilakukan PKI sebagaimana yang dituduhkan Orde Baru. Justru yang terjadi sebaliknya, telah terjadi manipulasi sejarah yang cukup besar dalam proses dan pelanggaran HAM serius, membangun upaya menegakkan kekuasaan politik Orde Baru, seperti yang dinyatakan oleh Ben Anderson maupun Amnesti Internasional. Bahkan, lebih jauh lagi bisa dikatakan bahwa sesungguhnya peristiwa tersebut merupakan aksi kudeta yang dilakukan oleh perwira-perwira Angkatan Darat terhadap Soekarno.
Jikapun, terjadi pemberontakan seperti yang dilakukan oleh DI/TII dan PRRI-PERMESTA dimasa yang lalu atau GAM dan OPM di masa sekarang maka tidak otomatis akan mempunyai dampak pada pelarangan terhadap ideologinya maupun organisasinya. Semua orang yang terlibat dalam pemberontakan bisa diajukan ke pengadilan untuk mengukur sejauh mana keterlibatannya dalam pemberontakan untuk selanjutnya diganjar hukuman yang setimpal. Kalau kita bicara ideologi, maka bisa dikatakan semua ideologi berpotensi untuk menjadi spirit pemberontakan. Nasionalisme di Indonesia di masanya telah menjadi energi yang menggerakkan untuk mengusir Belanda dari bumi pertiwi. Selain di Indonesia, Islam juga menjadi spirit pemberontakan di negara-negara Timut Tengah, bahkan terhadap sesama Islam selama bertahun-tahun. Apakah dengan demikian maka juga akan dilarang keberadaan ideology tersebut?
Sementara itu, organisasinya bisa tetap berdiri dan para pengikut organisasi itu–yang tidak terlibat dalam pemberontakan—dapat meneruskan eksistensi organisasi itu. Kita tidak perlu melarang organisasi-organisasi yang membela Orde Baru karena kejahatan yang dilakukan oleh Orde Baru, tapi cukup dengan mengajukan orang-orang yang terlibat secara langsung dalam proses kejahatan yang dilakukan.
Berdasarkan pada tiga hal diatas maka TAP tersebut sebenarnya batal dengan sendirinya. Maka usaha-usaha untuk mempertahankannya jelas bertentangan dengan demokrasi dan HAM, dan dapat diduga kelompok tertentu memiliki motivasi ekonomi politik yang akan merugikan mereka jika TAP tersebut dicabut.

Dimanakah Marxisme akan dikaji?

Walaupun adanya TAP MPRS itu anti demokrasi, saat ini mengajukan dan meneriakkan usulan tersebut secara terbuka tampak tidak taktis. Karena hal tersebut akan mendapatkan reaksi dari kalangan sipil tertentu. Yang bisa saja nantinya akan berdampak negatif dengan timbulnya konflik horisontal antar sipil. Kondisi yang terjadi karena, pertama, adanya sebuah peristiwa traumatik tahun 1965-1966. Peristiwa selalu selalu menjadi momok yang menakut dan ketakutan masyrakat selalu direproduksi terus menerus melalui fiksi, sejarah yang diselewengkan, dan bahkan represi militeristik. Kedua, belum adanya sejarah yang cukup proporsional, ilmiah dan objektif dalam melihat gelapnya peristiwa 1965-1966. Sampai saat ini pun kita menjadi bertanya-tanya benarkah pendidikan sejarah yang kita dapat di bangku pendidikan formal adalah benar-benar sebuah sejarah bangsa ini. Sejarah suatu bangsa seringkali adalah apa yang diinginkan oleh penguasa. Ketiga, minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang sosialisme atau komunisme itu sendiri. Orang seringkali menganggap bahwa komunisme menjadikan agama sebagai musuh abadinya. Padahal yang dilawan sosialisme atau komunisme adalah sistem atau tatanan masyarakat yang kapitalistik.
Yang perlu kita kembangkan sekarang adalah meliberalkan bahan bacaan bagi rakyat berkaitang tentang sejarah masyarakat Indonesia terutama berkaitan sejarah tergelap seputar tahun ‘65-‘66. Tentu saja diikuti dengan literature tentang komunisme atau sosialisme dengan berbagai derivasinya. Biarkan rakyat tahu dan paham betul dengan sejarah bangsa yang terjadi, tentang Marx, Lenin, Teologi Pembebasan, Sosialisme religius, Kiri Islam, dan bacaan yang lainnya. Setelah rakyat paham betul tentang semua itu, barulah rakyat bersikap dan memutuskan tentang TAP yang anti demokrasi itu. Bukankah untuk mendapatkan semua literatur itu sangatlah mudah dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi mutakhir, internet misalnya. Atau penerbitan buku-buku teori kiri yang kian menjamur saat ini. Atau bukankah mahasiswa di kampus-kampus telah mulai mengkaji teori revolusioner itu dalam merumuskan gerakannya.
Namun jangan sampai kajian tentang marxisme itu hanya berputar-putar pada diskusi. Sebab hal demikian hanya akan melahirkan kaum marxian atau kaum marxis legal ketika masa Lenin sedang bergerak. Yang perlu dingat adalah ungkapan Marx bahwa teorinya adalah teori yang harus dipraktekkan.

Gandok, 16-05-2000

Oleh M. Ihsan Abdullah




[1] Disampaikan dalam diskusi ‘Idiologi Komunisme, Mungkinkah Masuk Dalam Kurikulum Pendidikan?” diselenggarakan oleh BEM Fak. Ilmu Pendidikan, UNY, Jumat, 19 Mei 2000.
[2] Ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat demokratik (KPW-PRD) DI. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Sekilas Info

« »
« »
« »

Páginas