Sejak Sigmund
Freud, empunya psikoanalisis, membongkar tabir kegelapan jiwa, berbagai
anggapan sebelumnya tentang penyakit jiwa menjadi berubah. Kegilaan, paronia,
dan keterbelakangan mental adalah penyakit yang murni disebabkan kondisi
organik tubuh dan berbagai pengalaman yang tidak menyenangkan dari lingkungan.
Penyakit itu bukan bukan lagi karena kerasukan setan atau pengaruh roh halus.
Namun dapat
ditelanjanginya cara kerja jiwa dan berbagai mekanismenya tidak lantas membuat
jiwa manusia begitu saja mudah dipahami. Pada sebagian besar kasus gangguan
psikologi, dari yang semula mempelajari jiwa menjadi ilmu perilaku. Sedangkan
psikoanalisis menjadi semakin bersifat medis dalam psikiatri.
Berbagai
kasus seperti keterbelakangan mental, schizoprenia, phobia, autisme dan
gangguan emosi yang parah menjadi demikian menakutkan dan aneh sehingga harus
disisihkan di luar garis normal. Muncul kemudian konsep abnormalitas dalam
disiplin psikologi dan psikiatri. Sayangnya hampir semua diagnosis yang
diberikan untuk mecandra abnormalitas itu didasarkan pada kecenderungan
perilaku dan kondisi organis tubuh.
Dalam tradisi
keilmuan yang memuja bukti-bukti ilmiah, menyelami jiwa dan dunia para
penderita abnormalitas menjadi pekerjaan yang tidak efisien dan percuma.
Pekerjaan yang menghabiskan biaya, waktu dan energi ini barangkali hanya siap
dilakukan para seniman dan sastrawan demi menghasilkan karya besar. Tidak heran
jika kita barangkali lebih dapat memahami orang-orang yang menderita gangguan
jiwa melalui novel-novel atau film daripada melalui diagnosis-diagnosis ilmiah
yang kriterianya telah dibakukan.
Buku
Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil karya Torey Hayden ini
bukanlah novel. Torey juga bukanlah seorang sastrawan. Namun buku ini mengambil
jalan cerita sebuah novel dan Torey adalah pendidik yang mengambil senjata para
sastrawan. Buku ini adalah cerita Torey tentang pengalamannya seagai seorang
pendidik dalam menghadapi anak-anak didiknya yang mengalami keterbelakangan
mental dan gangguan emosi yang parah.
Melalui
penggambaran mendalam gejolak emosi dan detail-detail sikap yang
diakibatkannya, kelucuan yang tragis dan keceriaan anak-anak ini, Torey mengundang
kita ke dunia mereka. Mengikuti cerita Torey ini membuat kita lupa dengan
berbagai diagnosis ilmiah tentang penyakit jiwa yang dingin dan beku. Selain
itu kita tergoda pula untuk menyelami jiwa dan dunia anak-anak yang tak
beruntung ini dalam kehidupan sehari-hari mereka tanpa terbebani segala klaim
akademis.
Melalui cara
ini Torey secara halus mengajak kita untuk menerima "kegilaan"
anak-anak itu dengan empati dan cinta. Jangan tanya betapa sulitnya mencintai
anak-anak cacat mental ini. Sebagian mereka tidak akan pernah bisa hidup
mandiri, sebagian lagi perilakunya amat tak terkendali dan destruktif, dan
sebagian lagi hidup dengan martabat yang hanya layak dimiliki hewan.
Mungkin hanya rasa kasihan sesaat ketika pertama kali
bertemu dengan mereka. Namun menjadi guru yang mendidik--lebih tepatnya
merawat--mereka berjam-jam setiap hari atau bahkan orang tua yang harus merawat
mereka seumur hidup, rasa kasihan saja tidak cukup. Bahkan cintapun masih
memerlukan sandaran. Hanya keyakinan pada jiwa manusia yang mereka miliki, yang
mengabaikan segala nalar dan melampaui jangkauan pengetahuan kita, dapat
membuat kita bertahan terlibat dengan mereka.
Torey telah berusaha mencapai tingkat ini. Pengalamannya
bertahun-tahun menghadapi anak-anak lemah mental dan gangguan emosi parah ini
membuka matanya. Anak-anak "abnormal" yang seringkali disesali dan
seakan dikutuk menjalani kehidupan yang dalam standar masyarakat modern, tidak
akan produktif ini, di mata Torey adalah seperti anak-anak lain pada umumnya.
Bukan hanya itu, anak-anak ini memiliki keberanian yang tak tertandingi.
Sementara kita keluar dari rutinitas dengan mencari
pengalaman-pengalaman menantang sebagai rekreasi demi mengumpulkan kembali
motivasi yang pudar, Anak-anak ini sebagian hidup dalam teror yang tidak kita
ketahui. Sebagian lagi hidup dengan kekerasan dan kekejian sedemikian rupa
hingga tak terungkapkan kata-kata. Sebagian lagi terperangkap dalam hidup tanpa
harapan menjadi normal. Namun, mereka dapat bertahan. Mereka tetap menjalani
kehidupan mereka tanpa pernah tahu apa ada cara lain. Ini adalah drama yang
seringkali kita lupakan.
Sheila, yang menjadi tokoh utama cerita ini, adalah salah
satu dari anak-anak yang hidup dalam mimpi buruk itu. Gadis cilik yang tumbuh
dalam keluarga miskin di perkampungan kumuh ini hidup dalam kekerasan fisik
maupun emosional yang tak terbayangkan. Bapaknya adalah malapetaka.
Menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara karena menyiksanya. Ibunya
meninggalkannya pada usia empat tahun di tepi jalan.
Tak heran jika gadis cilik itu tumbuh menjadi liar dan
pendendam. Ia pernah menjadi penyebab kebakaran di perkampungan kumuhnya.
Mengolesi dinding terminal dengan kotoran manusia. Menjadi gadis bengal di
sekolahnya. Puncaknya ia membakar seorang anak laki-laki kecil usia tiga tahun
sampai hampir mati. Semua ini dilakukan pada usia belum genap tujuh tahun.
Dalam kondisi kerusakan emosi inilah Torey menerima
Sheila sebagai anak didiknya. Perjuangan Torey untuk mendapatkan kepercayaan
Sheila, ketabahannya menghadapi kenakalan gadis cilik ini, serta perhatian,
empati, dan cinta yang ia berikan pada anak yang tak pernah mendapatkan kasih
sayang dan merasa diabaikan ini, merupakan inti dari cerita buku ini.
Banyak kejadian mengharukan dan menyakitkan diceritakan
oleh Torey tentang Sheila. Salah satunya adalah tragedi yang mengundang kemarahan
kita. Sheila yang sedang berjuang menyembuhkan lukanya harus kembali terluka.
Pamannya yang ia sambut gembira kedatangannya, ternyata di kemudian hari
menjadi pemerkosanya. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana Sheila ketika
besar nanti jika dampak kejiwaan dari berbagai kejadian traumatis ini tak dapat
disembuhkan.
Mungkin orang-orang "sakit" di sekeliling
Sheila, bapaknya, ibunya dan pamannya di masa kecilnya dulu mengalami kejadian
sama traumatis dengan Sheila. Mreka barangkali adalah anak-anak menderita yang
sekarang terperangkap dalam tubuh dewasa, yang sama membutuhkan kasih sayang
dan perawatan seperti Sheila. Betapa
mengerikan jika lingkaran setan ini tidak segera diputuskan.
Penulis: Muhammad Syafiq
Kompas, tanggal 2003-10-26 00:00:00.0 |
1 komentar:
mantap nherr ...
kapan phengk pulang ?
By : rhamLi black asos
Posting Komentar